Tampilkan postingan dengan label Sistem Matapencaharian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sistem Matapencaharian. Tampilkan semua postingan

Beternak Ayam Pelung Cianjur


BERTERNAK dan Budidaya ayam pelung, kata Asep, cukup menjanjikan untung. Sepasang ayam yang masih kecil, berumur satu bulan bisa laku antara Rp 40.000 sampai Rp 50.000, berusia dua bulan Rp 75.000 sampai Rp 100.000, tiga bulan hingga enam bulan Rp 100.000 sampai Rp 300.000. Ketika menginjak umur tujuh bulan, saat ayam mulai berkokok dijual per ekor antara Rp 100.000 sampai Rp 400.000. Dan, lebih dewasa lagi, kalau suaranya bagus bisa laku Rp 1 juta/ ekor.

Cuma saja merawatnya yang harus ulet, karena ayam butuh perhatian dalam erawatannya. Misalnya, makanannya juga harus disesuaikan tingkat perkembangan si pelung. Pada ayam pelung berusia sehari sampai dengan satu minggu, sebaiknya diberi makan menir dengan jumlah 18 gram per ekor setiap hari. Untuk yang berumur lebih dari satu minggu diberikan dedak mulai dari 25 gram per ekor setiap hari. Setelah itu sesuai perkembangan usianya, makanannya bisa ditambah sampai 127 gram per ekor setiap hari.

Ayam pelung jantan dewasa yang sudah bersuara mengalun dan indah, makanannya diberi campuran dedak halus, ditambah dengan gabah, nasi setengah matang, katak kecil dicincang, ikan kecil atau belut serta pisang.

Sementara pakan jadi buatan pabrik dapat diberikan sesuai tingkatan umur. Namun pakan buatan pabrik tidak baik diberikan untuk ayam pelung jantan yang sudah berkokok merdu.

Ketika ayam mulai terlihat kurang sehat pemiliknya juga harus segera memberi obat. Untuk mencegah penyakit ND (cekak/tetelo/eluk), ayam pelung harus di-vaksinasi ND secara tepat dan benar sesuai program yang ditentukan, sehingga dapat menekan
kematian.

Sebenarnya, program vaksinasi ND ayam pelung sama dengan program vaksinasi ND untuk ayam buras biasa. Program vaksinasi itu diberikan sesuai tahapan usia, yaitu umur empat hari, empat minggu, empat bulan, dan kemudian diulang setiap empat bulan.

Sedang lokasi yang baik untuk pemeliharaan ayam pelung di tempat yang agak dingin dan teduh, dengan ketinggian antara 500-1.500 dpl. Dengan lokasi yang teduh, ayam pelung diharapkan bisa hidup nyaman, sehingga menghasilkan suara yang baik.

Pada umumnya pemeliharaan ayam pelung dilakukan di kandang. Pada awal ertumbuhan, ayam pelung sebaiknya ditempatkan di kandang postal atau kandang berpagar. Namun setelah ayam jantan dewasa sudah berkokok indah, ditempatkan di kandang yang disebut ajeng, yakni kandang khusus yang ditempatkan kurang lebih dua meter dari permukaan tanah.

Sumber : http://rivafauziah.wordpress.com
Foto : http://3.bp.blogspot.com

Perjuangan Ayam Pelung


Suara kokok ayam terdengar mengalun merdu saat itu. Suaranya terdengar khas, mengalun panjang dengan volume yang lantang, lengkap dengan suara angkatan, tengah dan suara akhir. Saat itu adalah kontes Ayam Pelung yang berlangsung di Cianjur, Jawa Barat, pusatnya Ayam Pelung.

Ayam Pelung jawara dinilai dari kokokan dan penampilannya. Kokokan Ayam Pelung terlihat dari volume suaranya, dursi kokokan atau kebat, suara angkatan, suara tengah dan suara akhir, atau tungtung.

Tampilan Ayam Pelung juga terlihat lebih gagah dibanding ayam yang biasa kita lihat. Ia besar dan memiliki bulu yang gemerlap. Bobotnya yang jantan bisa mencapai 3,4 kilogram, sementara yang betina 2,5 kilogram.

Tak heran dengan penampilan dan kokokannya yang lebih ini, banyak orang yang menggemari. Cianjur sebagai sentranya memiliki agenda tetap untuk kontes, yang diselenggarakan oleh Himpunan Peternak dan Pengemar Ayam Pelung Indonesia (HIPAPPI).

Harga Ayam Pelung jawara bisa mencapai belasan juta rupiah. Ia dirawat dengan khusus dan diyakini bisa menjadi bibit unggul untuk Ayam Pelung. Namun anggapan ini tak sepenuhnya dianut penggemar Ayam Pelung, karena ada pula pendapat yang mengatakan kualitas suara akan merosot bila dikawinkan dengan betina.

Sementara ada penelitian yang menyebutkan bahwa perihal kokokan diwariskan secara kultural melalui proses meniru, seperti yang ditemui pada burung pipit. Namun apapun Ayam Pelung tetap menarik minat penggemarnya, dan tak pernah surut.

Menurut Ketua HIPAPPI Cianjur, Agus Abdurrahman, peternakan Ayam Pelung tersebar di sejumlah tempat di Cianjur. Tercatat ada 800-an peternak dan pemilik demplot Ayam Pelung.

Hanya, para peternak dan penggemar Ayam Pelung cukup prihatin dengan serangan wabah flu burung, yang mau tidak mau membuat mereka was-was.

Menurut Ibu Akini, pemilik demplot Ayam Pelung, kalau sebelum wabah flu burung menyerang, peternak dan pemilik demplot bisa menjual hingga 3 ekor Ayam Pelung, dengan omset 500 ribu hingga 3 juta rupiah setiap minggunya. Kini seekor Ayam Pelungpun tak mudah dijual dalam sebulan.

Sulitnya menjual Ayam Pelung kini, membuat peternak terpaksa memotong Ayam Pelung betina untuk dikonsumsi. Padahal memotong Ayam Pelung pada masa lalu adalah tabu, apalagi untuk dikonsumsi.

Kalangan peternak, pemilik demplot dan penggemar Ayam Pelung amat berharap wabah flu burung segera lenyap. Usaha bukan tidak mereka lakukan, vaksinasi dan pembersihan kandang secara periodik, terus berlangsung. Namun itu tidak dapat hanya mereka sendiri yang bergerak, perlu gerakan serius dari instansi terkait.

Bagaimana jadinya bila kita tak lagi mendengar kokokan Ayam Pelung di Cianjur, kota yang diyakini tempat kelahiran Ayam Pelung. Jangan sampai itu terjadi.(Idh) Indosiar-News

Sumber : http://rivafauziah.wordpress.com

Upaya pelestarian Ayam Pelung


Memperhatikan adanya arti, fungsi dan pentingnya plasma nutfah Ayam pelung ini, maka sudah selayaknya apabila kita berusaha untuk melestarikan keberadaan dan kemurniannya. Namun tentu saja untuk melestariakan ayam Pelung ini perlu upaya-upaya dari berbagai pihak, yang dirangsang oleh rasa kepedulian terhadap keberadaan mahluk spesifik ini diiringi dengan manfaat yang secara ekonomis menguntungkan dan/atau mendatangkan suatu penghasilan bagi peternak (institusi dan/atau masyarakat petani perorangan, kelompok dan/atau peternak besar atau menengah) yang memelihara ayam pelung ini.

Salah satu upaya yang sementara ini sudah dilaksanakan adalah kegiatan kontes suara ayam Pelung, yang dapat menarik para peternak untuk tetap mempertahankan keberadaan ayam Pelung. Kemudian informasi dari buku inipun dapat dikatakan sebagai salah satu upaya untuk memberikan suatu dorongan kepada para peternak dan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk memelihara ayam Pelung ini. Selain upaya pemerintah Kabupaten Cianjur beserta para peternak ayam Pelungnya, pada tahun 1993 telah terbentuk Himpunan Peternak dan Penggemar Ayam Pelung Indonesia yang diketuai oleh Prof.Dr. Ir. Gunawan Satari, yang pada waktu itu menjabat sebagai staf ahli Kementrian Negara Riset dan Teknologi. Bahkan pada tahun yang sama telah dilaksanakan suatu kontes kokok ayam Pelung se Indonesia di Lapangan Banteng Jakarta, yang diselenggarakan oleh HIPPAPI bekerjasama dengan Yayasan Pembangunan Jawa Barat, Arena Promosi Peternakan Indonesia (APROSANDO), Direktorat Jenderal Peternakan dan Kantor Menteri Riset dan Teknologi.

Tentunya kegiatan kontes ini secara berkala telah dilakukan masyarakat Kabupaten Cianjur. Menurut Laporan HIPPAPI (1993) 8), ayam Pelung sudah menyebar ke Kabupaten Sukabumi, Bandung, Tasikmalaya, Purwakarta, Bogor, dan beberapa kabupaten lainnya di Jawa Barat, bahkan sampai ke DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur. HIPPAPI Cianjur saat ini cukup aktif dengan beranggotakan 300 peternak, merupakan upaya pelestarian yang cukup baik. Distribusi keberadaan ayam pelung telah berkembang sampai kurang lebih 12 kecamatan di Kabupaten Cianjur (Gambar 1).

Gambar 1. Peta penyebaran plasma nutfah ayam pelung

Upaya ini tidak hanya berhenti disini saja, tetapi instansi penelitian akan selalu ditantang untuk menggali segala potensi mulai dari potensi keindahan audiovisual sampai potensi penyediaan sifat-sifat yang bermanfaat yang dapat diturunkan atau direkayasakan secara genetika pada komoditas unggas lainnya, yang kita harapkan dapat memiliki sifat-sifat genetika yang ada dalam ayam pelung. Karakterisasi sifat-sifat khas merupakan mandat balai penelitian untuk selalu memberikan informasi berbagai kekayaan sumberdaya genetika plasma nutfah Indonesia.

Komisi Nasional Plasma Nutfah telah terbentuk dan terus mengupayakan untuk dapat berkoordinasi dan mendorong pemangku kepentingan di daerah, dimana terdapat sumber-sumber daya genetika asli, untuk ikut serta melestarikan keragaman hayati yang terdapat di bumi Indonesia tercinta ini. Diharapkan di daerah dapat dibentuk satu pemerhati plasma nutfah dalam bentuk Komisariat Daerah Plasma Nutfah yang dapat berkoordinasi dengan Komisi Nasional Plasma Nutfah.

Pustaka pilihan
(1). Simanjuntak,D.S, M.S. Siahaan, Laniarti,D., Oentoeng,J., Pohan, S.A.S. dan Fua, A., 1994. Mengenal Ternak Indonesia: Ternak Unggas. Dir. Bina Produksi, Dir. Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. (2). Mansjoer, S.S., S.P. Waluyo dan S.N. Priyono, 1994. Perkembangan berbagai jenis ayam asli Indonesia. Paper disampaikan pada Seminar Penyambutan Pangeran Akishimo dari Jepang, tgl 6 Agustus 1993 di Bogor. (3). Jarmani, S.N. dan A.G. Nataamijaya, 1996. Karakteristik suara ayam pelung. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hlm. 819-823. (4). Creswell, D. dan Gunawan, B., 1982. Ayam-ayam lokal di Indonesia: Sifat-sifat pada lingkungan yang baik. Laporan No.2. Balai Penelitian Ternak, Bogor. (5). Noerdjito, W.A., Paryanti, S., Noerdjito, M., Prawiradilaga, D.M., dan Suin, E., 1979. Proceedings Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hlm 219-223.

Nataamijaya, A.G., 1985. Ayam Pelung: Performans dan permasalahanny. Proceedings Seminar dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hlm: 150-158. (6). Iskandar, S., H. Resnawati and Pasaribu, T., 2003. Growth and carcass responses of three lines of local chickens and its crossing to dietary lysine and methionine. Proceeding The 3rd International Seminar on Tropical Animal Production, October 15-16, 2002. pp: 351- 357 (7). Panitia Kontes dan Pameran Ayam Pelung, 1993. Ayam Pelung. HIPPAPI bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Aprosando, Yayasan Pembangunan Jawa Barat, Dirjen Peternakan, Disnak Propinsi Jawa Barat, Disnak Peternakan DKI Jakarta dan PT. Bina Aneka Lestari. Leaflet

Pemda Kabupaten Cianjur, 2003. Mengenal Ayam Pelung Cianjur sebagai Hewan Kesayangan. Pemda Kabupaten Cianjur. Leaflet.

Sumber : http://rivafauziah.wordpress.com

Sejarah Ayam Pelung


Ayam Pelung merupakan salah satu plasma nutfah ternak asli Indonesia. Dilaporkan oleh Subandi dan Abdurrachim tahun 1984 (dalam �Mengenal Ternak Indonesia: Ternak Unggas 1), bahwa ayam Pelung ditemukan di desa Bumi Kasih, Jambu Dipa, Songgom dan Tegal Lega, yang terletak di Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dipelihara masyarakat utamanya untuk suara jago yang khas. Populasi pada tahun 1994 2) sekitar 5-6 ribu ekor dan berkembang mencapai kurang lebih 40 ribu ekor pada tahun 2003 9)

Dari informasi yang dikumpulkan oleh HIPPAPI (Himpunan Peternak dan Penggemar Ayam Pelung Indonesia) tahun 1993 mengemukakan sebuah legenda, yang tentunya bagi kita boleh percaya atau tidak, bahwa konon seorang tokoh bernama Haji Bustomi (Alm.) alias Bapak Guru Karta, seorang penduduk Kampung Cicariang, desa Jambudipa Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur menceritrakan bahwa ayam Pelung sudah dipelihara dan dikembangkan sejak tahun 1850 oleh seorang Kiai bernama H. Djarkasih alias Mama Acih (Alm.). Ia, penduduk desa Bunikasih Kecamatan Warungkondang, menemukan seekor anak ayam jantan besar, tinggi dan �turundul� (berbulu jarang). Ayam tersebut kemudian dipelihara dengan baik. Ayam tersebut tumbuh dengan pesat dan berkokok dengan suara besar, panjang dan berirama. Pada waktu orang kagum dengan ayam tersebut, maka dinamakan dengan �Pelung�. Sejak itu ayam tersebut mulai berkembang dan secara alami terseleksi oleh masyarakat peminatnya.

Keterengan lain yang juga datang dari daerah yang sama dijelaskan oleh seorang penduduk bernama Nambeng, yang menurut ceritranya bahwa sekitar tahun 1940, seorang bernama H. Kosim bertamu kepada gurunya Mama Ajengan Gudang. Ia melihat seekor ayam betina yang sedang mengasuh anak-anak ayam dan diantaranya ada satu ekor yang bentuk badannya berbeda dengan yang lainnya, besar, tinggi dan �trundul�. Ia kemudian membelinya dan dikembangkannya di Warungkondang. Ayam tersebut yang jantan berkokok dengan suara besar, panjang dan merdu.

Kedua ceritra tersebut secara ilmiah tentunya dapat saja terjadi mengingat banyak sekali berbagai variasi genetik ayam hutan yang ada di P. Jawa ini dan salah satunya adalah ayam Pelung, yang mempunyai ciri khas, yang disekuai penduduk, sehingga secara alami ayam-ayam tersebut terseleksi sampai sekarang.

Ayam Pelung pada umumnya dipelihara secara intensif sederhana oleh para peternak dalam jumlah terbatas untuk tujuan mendapatkan ayam-ayam jantan. Jenis pakan yang diberikan sangat berbeda dari satu peternak ke peternak lain. Pakan jadi komersial dikombinasikan dengan bahan-bahan pakan lokal seperti dedak padi, belut, dan/atau siput. Program vaksinasi tetelo (ND=Newcastle Desease) dilaksanakan secara teratur 3) dan pencegahan penyakit dilaksanakan semaksimal mungkin tergantung pengetahuan dan ketersediaan dana.

Program pemberian pakan sementara ini kelihatannya belum mengikuti standar kebutuhan ayam Pelung, tetapi kelihatannya masih memadai dengan berbagai pengalaman para peternak. Pemberian pakan dengan ransum pertumbuhan umur 0-8 minggu dengan ransum mengandung 20% protein kasar, umur 8-20 minggu dengan ransum mengandung 16 % protein kasar dengan kandungan energi sekitar 2850 kkal/kg, yang kemudian diikuti dengan ransum dewasa petelur ras yang mengandung 17 % protein memberikan suatu gambaran maksimal produktifitas4).

Dinas Peternakan Kabupaten Cianjur sejak tahun 1978 , dalam upaya mempertahankan plasma nutfah ayam Pelung, setiap tahun selalu melaksanakan kontes suara ayam Pelung, karena dipertimbangkan bahwa ayam pelung merupakan aset asli Kabupaten Cianjur. Bahkan pada tahun 1978 didirikan pusat pembibitan ayam pelung di Cipadang, Kecamatan Warung Kondang5). Terakhir, proyek demplot ayam pelung juga dilaksanakan di Kec. Warungkondang pada tahun 2000 (Wachidin 2003. pers. comm.)

Sumber : http://rivafauziah.wordpress.com
Foto : http://www.technologyindonesia.com

Kegiatan Perdagangan Pantai Utara Jawa

Oleh : Richadiana Kadarisman Kartakusuma

Manggala
Data perdagangan dalam prasasti secara khusus terdapat pada prasasti-prasasti yang bertema sima termuat pada kelompok yang disebut drawya haji. Suatu kelompok yang terdiri dari golongan abdi dalem, pejabat-pejabat dari berbagai kategori dengan kata lain kelompok atau golongan yang hidup dan menghidupi kas kerajaan. Di dalam kelompok itu disebutkan kelompok petugas pajak dengan berbagai keterangan tentang jenis-jenis dan jumlah benda -benda yang secara garis besar terdiri dari hasil bumi (pertanian), pajak tanah dan pajak perdagangan. Khusus pajak perdagangan disebut samwyawahara dan pajak usaha kerajinan yang disebut misra-paramisra.

Jawa Timur berada dalam kesatuan mandala kekuasaan dengan Jawa Tengah (tidak terpisah) sebagai kekuatan politik kerajaan Mataram Kuno namun sejak Pu Sindok memerintah pusat kekuatan politik yang semula berada di Jawa Tengah dipindahkan ke Jawa Timur seperti tercatat dalam prasasti Anjuk Ladang 915 (OJO XLVI) dan prasasti Paradah (OJO XLVIII) “...kita prasiddha maňrakşa kađatwan rahyaŋ ta i mđaŋ i bhūmi matarâm i watu galuh...” (...pusat kerajaan Mataram yang semula berada di Mdang kini berada di Watugaluh). Watugaluh adalah desa kecil di delta sungai Brantas, kecamatan Tembelang, kabupaten Jombang (Krom 1931:206; cf. Boechari l976:1-3). Edi Sedyawati (1990: 343) menyebut pemerintahan Mataram Kuno Jawa Timur sebagai Mataram Awal (I) Jawa Timur. Pu Sindok layaknya Nararyya Wijaya (Raden Wijaya) adalah juga ”The Founder” pendiri wangsa baru yang disebut Dinasti Isana. Selanjutnya secara turun-temurun memerintah Mataram Kuna dengan pusat kekuasaan di Jawa Timur hingga masa Airlangga (di dalam prasasti Calcutta/Pucangan mengaku keturunan Isana). Selain alasan peristiwa bencana alam (letusan gunung), pindahnya pusat kekuasaan ke Jawa Timur karena pantai utara Jawa Timur mencapai puncak perkembangan perdagangan Nusantara.

Komoditi Perdagangan
Data mengenai aktivitas perdagangan dalam prasasti biasanya dikaitkan dengan pengaturan mengenai batas barang-barang yang tidak dikenai pajak dan yang dikenai pajak. Dalam hubungan ini jika barang yang dijual tidak melebihi ketentuan maka petugas pajak tidak diperbolehkan untuk memungutnya (tan kna de sang mangilala drawya haji) dan pajak hanya dikenakan atas kelebihan barang. Jumlah terbanyak yang termasuk ke dalam golongan mangilala drawya haji ditemukan dalam prasasti Cane walau tidak seluruhnya merupakan pedagang melainkan terdiri dari berbagai profesi.

Istilah-istilah yang terdapat dalam prasasti secara langsung menunjuk kepada kegiatan perdagangan adalah tuha dagang atau juru dagang yaitu ketua/pengawas para pedagang. Istilah yang merujuk kepada profesi jual-beli disebut hadagang, banyaga atau awalija. Kendati tidak selalu disebutkan di dalam seluruh prasasti namun jenis-jenis barang yang diperdagangkan kerap dihantar atau dahului kata wli (beli) termasuk besar pajak yang ditentukan. Di samping berbagai jenis barang dagangan, juga kelompok yang melakukan usaha pelayanan, khususnya pelayanan angkutan dengan menggunakan tenaga hewan seperti atitih (kuda), juga alat angkut lainnya seperti gulungan (gerobag), mapadati (pedati) dan parahu (perahu). Sedangkan komoditi perdagangan adalah hasil karya undhagi/undahagi, dalam bahasa Indonesia sebagai undagi kerap rancu dengan pengertian pertukangan atau tukang kayu namun pengertian sesungguhnya tidak demikian sederhana. Istilah undhagi/ undahagi selain untuk menyebut tukang kayu, juga merujuk kepada tukang bangunan dan lainnya. Lebih tegas lagi undhagi/ undahagi adalah ahli yang memiliki keterampilan membuat segala benda kebutuhan sehari-hari terutama peralatan termasuk benda-benda yang berkaitan dengan mata pencaharian sebagian hasilnya diperdagangkan dan bukan tidak mungkin sekaligus sebagai pedagang juga. Karenanya undhagi/undahagi dikenai pajak baik hasil kerjanya maupun peralatannya. Termasuk undhagi/undahagi adalah tukang emas, tukang perak, tulang permata dan lain-lain yang sering diberi sebutan pande atau pandai.

Memang, tidak setiap prasasti menuliskan aktivitas perdagangan, antara lain prasasti Biluluk II (1391) “..asambewara sarwwa papat hadagang, hamahat ... hamalanten hamdel hamuter hanglaksa hangapu ... palalanjer luputing titiban sahang, cabe kemukus kapulaga besi kawali besi pinggan kapas ...” (... berdagang serba empat: pedagang, pemahat, tukang kain halus, pem-buat celup berwarna biru, pembuat minyak yang menggunakan gilingan/ hamuter, pembuat laksa, penjual kapur... termasuk hasil bumi yang diperjual-belikan seperti merica, cabe, kemenyan, kapulaga, besi, kuwali besi, pinggan kapas...). Tiap-tiap prasasti memiliki istilah-istilah menyebut jenis barang dagangan yang sama sejalan perkembangan dan pengenalan bahasa periode yang diwakilinya namu pada dasarnya berkaitan dengan ketentuan pajak.

Secara garis besar barang-barang yang diperdagangkan terdapat tidak kurang dari 31 macam dan tidak berati bahwa setiap pedagang menjual secara khusus satu jenis barang dagangan. Daftar jenis barang tersebut dapat dikelompokkan ke dalam:

a) jenis makanan dan bumbu-bumbuan dan pangan
b) jenis sandang
c) jenis perlengkapan umum, dan
d) hewan (ternak).

Jenis makanan dan bumbu-bumbuan meliputi bawang (bawang), bras (beras), garam/wuyah (garam), gula (gula), inga (minyak), pipakan/kapulaga (jahe/ tanaman jahe), wwahan (buah-buah), pucang (pinang), sireh/sirih (sirih) pja (ikan laut), acaraki (jamu), abakul gereh (penjula ikal asin), jurungan (minyak jarak), kletik (minyak kletik), manggula (pembuat gula), tpung kawung (tepung aren), wli tamba (penjual obat/ramuan/jamu, [h/ang-]laksa (pembuat makanan laksa), pamadamadan (penjual madat?) dalam lontar Adigama padanananya amahat berkenaan dengan penyadap enau, pohon kelapa atau pembuat tuak, heuma (berbagai sajen).

Jenis sandang seperti wasana (busana [bahan] pakaian), amahang/ kasumbha (bahan pe-warna), kapas, lawe (benang). Jenis perlengkapan umum meliputi galuhan (permata), gangsa (perunggu), anganyam (keranjang), labeh (kulit penyu), makacapuri (kotak sirih, cerana), mangawari (permata atau perhiasan?), pamanikan (penjual permata), maniga (pembuat perhiasan dari permata), pawdihan (pembuat kain, penenun?), amanganten (pembuat kain halus), pobaran (pembuat soga/kain), manglakha (pembuat celup). Salah satu contoh yang paling jelas termuat dalam prasasti Madhawapura: “...wahara drawya sang hyang dharmma ri madhawapura, hininganan kweh kdiknya an nikang tigang kabayan ri sasambya-wahara, abhasana tigang dasar, angawali tigang dasar,... dst. (berdagang dan pedagang adalah milik bangunan suci di Madhawapura maka seluruh peraturan pajak dan jumlahnya ditentukan olehnya, penjual pakaian hanya boleh 3 dasar, penjual kuali 3 dasar...dst).

Perlengkapan umum yang dipergunakan sehari-hari adalah barang-barang yang dibuat dari hasil pertukangan (undhahagi). Temasuk apande salwirning pande (pembuat benda-benda logam hasil tempa seperti apandai wsi (pandai besi), apandai dadap (pandai tameng), apandai mas (pandai mas), apandai salaka (pandai perak), apandai tamra (pandai tembaga), apandai singyasingyan (pandai benda-benda tajam), kangsi (gamelan dari kuningan) yang seluruhnya termasuk drawya haji saparanaya dwal-awli (pajak raja tentang jual beli). Juga amaranggi (pembuat benda-benda kayu yang diukir?), wli panjut (penjual obor/clupak/teplok), masayang (peralatan dari tembaga), tambra (lempeng tembaga), timah, wsi (besi), angawali (pembuat kuali). Pengrajin yang menjual hasil pekerjaannya seperti andyun (pembuat tempayan), angendi (pembuat kendi), angapus (pembuat benang/ tali), anghapu (pembuat kapur), anghanyam-hanyam/agawai kisi/agawai runggi (pembuat anyaman: keranjang), ahareng (pembuat arang), magawai payung (pembuat payung), pabata (pembuat bata), angrajut (pembuat jala), mopih (daun rokok klinting), pawlit (atap alang-alang), sikpan (hulu pedang), watu tajem (asah pisau), limus galuh (kamasan perak), lancang (perahu), palamak (lemak), wli wadung (kapak), lancang (pembuat perahu), dang (peralatan me-masak).

Jenis ternak meliputi sapi, wdus (kambing) dan celeng (babi) weuk (babi hutan), kebo/hadangan (kerbau), kidang (kijang), warai (kera). Dan jenis unggas terdiri dari hangsa (angsa), hayam (ayam) terutama andah (itik). Diluar itu ada juga kaluang (kalong), alap-alap. Ikan yang dikenal meliputi hayuyu (kepiting sungai), hurang (udang), wagalan, kawan-kawan, dlag (jenis-jenis ikan air tawar), gtam (keping laut), hnus (cumi), iwak knas (kerang), kadiwas, layar-layar, prang, tanggiri, rumahan, slar dan kura-kura (jenis-jenis ikan laut) dan lain-lain.

Beberapa sumber prasasti menyebut makanan yang diawetkan bagi persediaan dan komoditi perdagangan lokal adalah deng (dendeng), asin-asin (diasinkan). Bahwa jenis-jenis barang yang diproduksi untuk kebutuhan sehari hari juga diperjualbelikan sebagai barang dagangan mungkin dapat mengacu kepada beberapa prasasti bertema sima abad ke 10, walaupun prasasti tersebut berasal dari Mataram kuno Jawa Tengah (Dyah Balitung) namun seluruhnya ditemukan di Jawa Timur antara lain prasasti Sangsang (907) “..yang pangulang kbo ya ruang puluh kboannya sapi patangpuluh wdus wuangpuluh andah sawantayan....” ketentuan jumlah hewan ternak yang dikenai pajak bila penjualan dilakukan di wilayah sima, sedangkan ikan dijual dinyatakan dengan jamwangan.

Sumber tertulis maupun data arkeologi (relief candi) memperlihatkan bahwa telah banyak bahan makanan yang dikenal masa itu, yakni beras, umbi-umbian (ubi, talas), cabe, labu, kacang-kacangan, rempah-rempah (jahe, jamuju, sirih, kapulaga), buah-buahan (durian, rambutan, manggis, jerus, kecapi/sentul, sukun, langsat, jamblang, salak, nangka, jambu bol, wuni, mangga, pisang) dan jenis palem (kelapa). Di antara bahan pangan nabati yang utama adalah beras yang merupakan bahan pokok utama. Sebagaimana disebutkan dalam berbagai prasasti Sima merupakan peristiwa terpenting dalam kehidupan kerajaan mencantumkan skul diolah dengan berbagai variasinya terutama skul paripurna (tumpeng) sebagai sajian paling utama dan sakral. Prasasti menyebutkan berbagai jenis minuman yang dikonsumsi dari beras dan tumbuh-tumbuhan yang diolah proses fermentasi, sekurang-kurangnya dikenal tujuh jenis minuman.

Disebutkan barang-barang tersebut diangkut dan diperdagangkan dengan alat-alat tertentu tetapi ditetapkan dengan jumlah tertentu baik jumlah barang maupun alat pengangkutnya. Khusus hewan ternak ditetapkan berdasarkan jumlah saat digembalakan oleh si penggembala misalnya kerbau tidak boleh lebih dari 20 ekor, sapi 10 ekor, kambing 80 ekor, celeng 2 gerombolan, itik 2 wantayan (kandang, sangkar). Dalam hal ini barangkali keterangan prasasti Madhawapura dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bahwa pada hari pasar pedagang pakaian hanya diperboleh-kan mengisi 3 dasar (lahan), perahu tundan (perahu yang diberi atap) yang berdagang ke hilir hanya diperkenankan tiga kabayan, pedagang gereh tiga kabayan, yang berjualan dengan kereta (sarathi) juga tiga kabayan. Besar kemungkinan keterangan tentang jumlah tersebut ditentukan sehubungan kepada besar kecilnya tempat (lahan pasar?) untuk berjualan menyangkut ketertiban masyarakat setempat, bagaimana dengan lahan lebih besar belum diketahui (?). Sekurang-kurangnya barang-barang produksi terdiri dari bahan makanan, pakaian dan jenis perhiasan, peralatan rumah tangga, alat kerja dan barang-barang unik?.

Selain ketentuan barang yang berkait dengan pajak, variabel penting lainnya yang berkait langsung dengan perdagangan adalah satuan berat dan jumlah dan mata uang. Untuk satuan berat yang dikenal dalam prasasti adalah catu, sukat, kulak, batang, nalih, pikul, bantal, kati dan jung. Catu diukur dari batok kelapa yang dipotong bagian atas-nya dipergunakan mengukur beras, rempah-rempah, garam, minyak dan bahan pewarna. Satuan sukat atau kulak sama dengan 4 catu sedangkan istilah batang diperkirakan batang bambu yang digunakan untuk menakar jenis cair. Selanjutnya ukuran banyaknya dipersamakan dengan 8 kulat (sukat). Ukuran-ukuran tersebut digunakan secara umum dalam aktivitas perdagangan internasional karena berita Cina menerangkan satuan disebut nai-li sebagai salah satu sistem pengukuran yang dipakai di Jawa masa itu hingga abad ke 15.

Kati merupakan satuan berat digunakan mengukur berbagai barang termasuk menghitung uang dalam sistem moneter. Ukuran berat satu kati sama dengan 750 gram sebagai satuan hitung dasar, kati tidak sekedar digunakan di Nusantara juga di Malaysia hingga sekarang. Ada juga satuan tahil yang diperkirakan sama dengan 38 gram atau seperduapuluh tahil maka satu tahil sama dengan 20 tahil. Satuan yang lebih berat untuk mengukur barang-barang terutama yang dibebankan di atas pundak diistilahkan dengan bantal yang ukurannya sama dengan 20 tahil lebih berat lagi adalah pikul yang sama dengan lima kali bantal atau 100 kati atau sekitar 75 kg.

Mengukur intrinsik mata uang, sejauh yang diceritakan prasasti ada yang terbuat dari logam emas dan perak dengan satuan yang disebut suwarna (emas) dan dharana (perak). Sejalan artikatanya suwarna (= emas) dan dharana (= perak) keduanya merupakan istilah dari kosakata bahasa Sanskerta. Ukuran emas dan perak dengan bobot 2,4 gram sama dengan 1/16 tahil/ suwarna/ dharana sedangkan satuan lainnya yang lebih kecil adalah atak (=1,2 gram) kerap disebut ½ masa, kupang bernilai 0,6 gram (=¼ masa;) dan saga. Majapahit mengenal picis untuk istilah mata uang tembaga yang diperkirakan pengaruh Cina sebagai ukuran terendah untuk membayar pajak dan denda-denda khusus. 100 picis (=1 kupang/ sakupang), 200 picis (=1 atak/satak), 400 picis (1 masa/ samasa) dan 800 picis (2 masa/domas), 1000 picis (1 tali,), 10.000 picis (1 laksa/salaksa) 100.000 picis (=satu keti /saketi) .

Prasasti dan sumber tertulis lainnya sedikit memberi keterangan tentang aktifitas produksi yang dilakukan pada masa lalu, Jikalau ada, keterangan itu lebih didasarkan atas penafsiran dari barang-barang produksi yang tampak pada prasasti maupun relief candi dan data arkeologi lainnya. Meskipun secara garis besar jenis hasil produksi dapat dikelompokan ke dalam kategori bahan makanan, pakaian dan perhiasan, peralatan rumah tangga, alat kerja dan mungkin barang-barang langka (dari pedagang asing). Karena dalam salah satu prasasti masa Majapahit (Madhawapura) disebut beberapa benda yang dipakai raja seperti payung dari kain sutra putih (amagot payung pinghe) dan diketahui sutra merupakan produksi dari Cina dan satwa langka.

Pakaian atau bahan pakaian umumnya berupa kain lepas dinyatakan dengan wdihan (biasanya untuk laki-laki) dinyatakan istilah dengan sayugala (sepasang) dan untuk perempuan adalah kain/ken yang dinyatakan dengan sawlah (sebelah) dengan aneka jenis dan coraknya. Berdasarkan prasasti terdapat 11 jenis kain. Juga perhiasan terutama sisim (cincin) dengan motif prasada atau berpahatkan tulisan sri atau sramana, hiasan cakra dan kumbha yang umum ditemukan merujuk semacam “cincin stempel”. Kalung , pelbagai batu mulia untuk perhiasan erat kaitannya dengan para pandai (pandai mas, pandai salaka) sekaligus pengrajin (limus galuh, pamanikan, mangrumban). Juga barang-barang yang memiliki nilai jual cukup tinggi di pasaran internasional seperti gandharusa (myrrh) kemenyan (frankincence), kayu cendana dan rotan termasuk komoditi (ekspor), dan hewan (yang “dianggap” langka waktu itu) seperti burung kakak tua, dan badak (cula).

Peralatan rumah tangga yang dijual sebagian besar dihasilkan oleh kelompok pengrajin dan para pandai logam, pengrajin gerabah dan undahagi, penganyam khususnya jenis wadah. Prasasti menyebut dang, anyaman, saragi paganganan (seperangkat wadah untuk masakan berkuah), saragi pangliwetan (seperangkat wadah untuk memasak nasi), saragi inuman (seperangkat wadah untuk minum), padyussan (tempat mandi), talam (baki), buri (bejana), saragi pewakan (seperangkat wadah untuk memindang ikan). Demikian halnya peralatan kerja meliputi berbagai alat yang kerap dipakai istilah saprakaraning wsi atau wsi-wsi prakara (segala sesuatu benda yang terbuat dari besi) sebagian besar adalah alat-alat pertukangan tetapi juga membangun rumah, mengolah sawah ladang maupun untuk alat rumah tangga.

Produksi perdagangan yang disebutkan dinyatakan dalam transaksi jual beli baik di pasar-pasar lokal (pkan) mengikuti sistem pertanggalan yang dilaksanakan lima hari dalam seminggu (pancawara: umahis, pahing, pwan/pon, wagai/wage, kaliwuan/ kaliwon) siklus yang berkaitan dengan sistem penataan desa-desa (panyatur dan pangasta desa) atau mancapat. Oleh orang Jawa disebut sepasar atau sepasaran dan yang paling ramai biasanya umanis.

Aktivitas Perdagangan
Secara garis besar Jawa Timur tumbuh sebagai bagian dari jalur perdagangan internasional sangat terkait dengan kegiatan perkembangan perdagangan di kawasan Asia Tenggara pada umumnya. Namun alasan paling logis adalah kondisi geografis Jawa Timur yang sangat memadai terutama peranan kota-kota pantai yang secara integratif ditunjang aliran-aliran besar (mainstream) yang berfungsi menghubungkan daerah-daerah pedalaman dan kota-kota pantai dalam berbagai kegiatan. Beberapa aliran besar yang mempunyai fungsi integratif antara perdagangan, agama, politik, dan kebudayaan mendorong daerah-daerah ke arah integrasi aktivitas perdagangan adalah kekuasaan politik. Dikala itu selat Madura dan sekitarnya merupakan laut keluarga “The Familie Sea” , lalu lintas pelayaran dan perdagangan laut dan sekaligus menghubungkan bagian barat dan timur Nusantara. Jalur ini merupakan jalur simpang dari jalur pokok perdagangan laut tradisional yang membentang dari laut Jawa ke timur dan ternyata dipergunakan sebagai jalur perluasan kekuasaan politik, penyebaran agama dan kebudayaan.

Di tepi jalur laut ini tumbuh kota-kota pantai bagian timur pulau Jawa a.l. Tuban, Sedayu, Gresik, [Pa]jaratan dan Surabaya. Di perairan Gresik jalur perdagangan laut dari barat membelah dua arah, pertama cabang jalur ke arah timur melalui pantai utara pulau Madura; sedangkan cabang jalur kedua menyeberangi selat Madura dan bertemu dengan cabang pertama selanjutnya mengarah ke timur menuju kepulauan Maluku dengan atau tanpa melewati pulau-pulau yang termasuk kawasan Sunda kecil itu (Nusa Tenggara). Bahkan, komunikasi kota-kota pantai di kawasan sekitar selat Madura sampai akhir abad ke 18 lebih mudah dilakukan melalui jalur laut daripada jalur darat.

Jalur sungai sangat berperanan penting dalam mengembangkan kota-kota pantai kawasan ini serta menghubungkan daerah pedalaman dengan kota-kota pantai yang kemudian tumbuh sebagai bandar. Terlebih lagi di Jawa Timur terdapat dua sungai besar yakni Bengawan Solo dan Bangawas (Sungai Brantas) termasuk anak-anak sungainya pada musim pasang dapat dilayari oleh perahu-perahu merupakan jalur lalu lintas perdagangan cukup ramai. Dari segi ekonomi penguasaan politik daerah-daerah pantai di sekitar kawasan pantai utara Jawa Timur memiliki arti penguasaan sumber-sumber hasil (komoditi) baik berupa produksi agraris maupun maritim.

Pada prakteknya, pihak pusat menuntut pengakuan kesetiaan berupa penyerahan upeti, pajak, dan tenaga disalurkan kepada wakil-wakil raja (Rakryan, Bhratara), sebagian digunakan sebagai penghasilan juga untuk menjalankan pemerintahan. Hubungan antara kota pantai dan pedalaman menunjukkan peranan saling mendukung seperti kesuburan tanah, sarana transportasi, komoditi dan lain sebagainya. Dijelaskan bahwa jerih payah kota [pantai] dirasakan oleh penduduk pedalaman (desa) distribusi barang barang “impor” keperluan hidup ditangani pihak [kota] pantai. Sebaliknya penyediaan barang-barang kerajinan seperti alat-alat pertanian, perkakas rumah tangga, barang pecah belah (alat-alat rumah tangga sehari-hari) dan sebagainya ditangani penduduk desa. Aktivitas perdagangan di masa lampau merupakan hubungan antara pedalaman pantai sebagai symbiotic relation – saling membutuhkan dan saling tergantung.

Dari segi politis hubungan perdagangan sangat mungkin meluas hingga ke wilayah lebih timur yakni Bali seperti ternyata pada prasasti Buyan-Sanding-Tamblingan (l970); The Charter of Kapal (l977) dan Astasura- Ratna-Bhumi-Banten (l981) yang membuktikan kontak antara Jawa – Bali telah berlangsung sejak Mataram (Hindu) I Jawa Tengah. Jikalau Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya yang dapat dianggap sebagai the founder of Mataram (prasasti Gunung Wukir 732, Sragen abad ke-8 dan Mantyasih 907) itu pernah menaklukan Bali. Juga prasasti Kubu-Kubu (905) dari Rakai Watukura Dyah Balitung menyebutkan tentang penaklukan terhadap Bantan (sebutan halus [krama] dari Bali). Untuk kesekian kalinya pada tahun 1284 Jawa melakukan ekspedisi ke Bali (Krtanagara) disusul ekspedisi Gajah Mada tahun 1343. Suatu bukti bahwa Jawa-Bali telah demikian erat terjalin sejak masa Mataram awal. Penguasaan politis tersebut secara langsung juga penguasaan perdagangan oleh pihak Mataram, selain Madura daerah Nusa Tenggara lainnya khususnya Bali (Bantan).

Para pedagang terdiri dari berbagai kelompok yakni pedagang setempat dan pedagang asing. Pedagang setempat adalah mereka yang berprofesi dagang menjadi warga masyarakat Jawa yang datang dari suatu desa atau kota tertentu dengan jangkauan wilayah dagang terbatas pada wilayahnya sendiri (pedagang lokal) sejumlah wilayah desa atau kota sekaligus (pedagang regional) hingga ke luar wilayah kerajaan (pedagang internasional). Prasasti menyebutkan pedagang asing yang berasal dari Daratan Asia, antara lain sumber tertua dari prasasti Kuti (804) menyebut nama-nama pedagang asing dari negeri Cempa (Champa), Kling (Keling-India?) Haryya (Arya), Singhala (?), Goda (Gauda/ Benggala), Cwalika, Malyala, Karnnake, Remon/ Ramman (Mon), dan Kmir (Khmer). Prasasti Kancana (860) menyebut adanya Juru Cina. Prasasti Kaladi (909) dan prasasti Palebuhan (927) muncul pedagang asing yang disebut Drawida dan Pandikira.

Dari penyebutan namanya dapat dikatakan bahwa sebagian besar dari pedagang asing tersebut berasal dari Asia Selatan dan Asia Timur (Champa dan Khmer) . Bahkan prasasti Cane (1012), prasasti Patakan menyebut Juru Keling yakni ketua orang-orang keling. Istilah ini telah ada sejak abad ke 10 yakni dalam prasasti Barsahan (910) sementara itu Dalam karya sastra Nagarakretagama (1365) disebutkan sejumlah besar kelompok pedagang asing yang juga turut hadir dan diundang pada pesta perayaan tahunan kerajaan Majapahit, mereka datang berkendaraan potra (perahu) diantaranya Siam (Syangka, Ayodhyapura, Dharmmanagari, Rajapura), Myamar (Marutma), Champa (Campa, Singha nagari), Annam, Kamboja (Yawana), India Utara (Jambhudwipa), India Timur (Goda), India Selatan (Kanchipura, Karnnataka) dan Cina.

Berita Cina dari Ma Huan (1433) mencatat pelabuhan-pelabuhan utama pantai utara Jawa terdapat kelompok pedagang Islam dan pedagang Cina diantaranya ada yang berperan sebagai penguasa pelabuhan Tuban, Gresik, dan Surabaya. Tome Pires memberitakan bahwa pelabuhan-pelabuhan terpenting pantai utara Jawa dikuasai para pedagang Islam.

Sejumlah data prasasti menyiratkan pedagang setempat melakukan aktivitas dalam skala lokal menyediakan barang-barang kebutuhan yang cenderung tidak tahan lama. Pedagang dengan wilayah jangkauan desa menyediakan barang yang lebih tahan lama dan yang tidak selalu tersedia di setiap wilayah seperti garam, alat-alat rumah tangga (wadah-wadah tanah liat, alat-alat logam, dan perabot kayu) juga pakaian. Pedagang internasional terutama menjual barang-barang setempat atau dari tempat lain (diekspor lagi) yang memiliki nilai tinggi dan tidak dihasilkan atau tidak tersedia dalam jumlah mencukupi negeri yang hendak dituju (beras, pakaian, barang-barang, rempah-rempah, satwa [unik], mutiara, tumbuhan, obat-obatan). Pedagang yang melakukan aktifitas hingga ke luar wilayah kerajaan kembali dengan membawa barang-barang berkualitas tinggi yang banyak dibutuh-kan di negrinya yaitu Jawa.

Disebutkan bahwa pedagang asing adalah pedagang warga negara asing yang melakukan aktivitas perdagangan ke wilayah Jawa. Kelompok pedagang asing terdiri dari mereka yang berasal dari wilayah kepulauan Nusantara dan yang berasal dari daratan Asia. Pedagang dari wilayah Nusantara umumnya tidak disebutkan secara eksplisit asal daerahnya namun kehadirannya dapat disimpulkan secara tidak langsung dari sumber-sumber prasasti. Antara lain prasasti berbahasa Melayu Kuno antara lain prasasti Gondosuli II (827) menyebutkan adanya seorang tokoh yang bergelar Dang Puhawang Glis. Puhawang artinya nakhoda atau kapten kapal dagang, ternyata abad ke 9 di kerajaan Mataram ada komunitas Malayu.

Jaringan Pedalaman dan Pantai
Telah disebutkan bahwa peranan pedalaman (hinterland) bagi berkembangnya kota pantai turut menentukan. Dalam hubungan ini yang paling berperan adalah jalur-jalur baik jalur darat maupun jalur sungai yang memungkinkan terlaksananya hubungan antara daerah pedalaman dan kota, antara kota dan desa sekitarnya dan antara satu kota dengan kota lainnya.

Jaringan yang dilalui kegiatan perdagangan Jawa Timur di masa lalu tidak secara nyata disebutkan melainkan ada jalur-jalur yang menghubungkan antara satu daerah pedalaman dengan daerah pedalaman lainnya hingga menuju ke pantai sebagaimana telah disebutkan dalam prasasti Kamalagyan . Dikukuhkannya desa Kamalagyan sebagai salah satu sima menunjukkan arti penting guna transportasi sehari -hari maupun kegiatan perdagangan. Desa Kamalagyan sebagai desa penting untuk perdagangan (karena letaknya di tepi sungai Brantas) masih disebut di dalam prasasti Waringin Pitu (l447) juga sebaliknya. Di dalam prasasti Waringin Pitu, desa Kamalagyan disebut diantara desa Sarba (Serbo), Beron (Beron), Panumbangan (Penambangan), Sadang (Sadang), Pakambingan (Kambing), Kamalagen (Klagen), sebaliknya prasasti Kamalagyan menyebut Waringin Pitu diantara desa-desa lainnya dengan istilah Waringin Sapta. Sampai sekarang desa ini masih bernama Wringinpitu terletak di tepi selatan sungai Brantas dekat Krian-Sidoarjo. Prasasti Kamalagyan 1037 (Airlangga) melukiskan “betapa para nakhoda dan pedagang yang datang dari berbagai Nusantara (para puhawang para-banyaga sangka ring dwipantara...) sangat sukacita tatkala sungai Brantas diperbaiki dan dapat dilayari hingga menuju Hujung Galuh”. Desa Kamalagyan kini adalah Klagen terletak di tepi timur Kali Brantas. Jikalau kedua desa ini disebutkan pada masa Majapahit maka dapat dikatakan Waringin Pitu dan Klagen merupakan daerah terpenting selama berabad-abad sebagai daerah-daerah yang langsung berkait dengan aktivitas perdagangan, terutama sebagai jalur transportasi air dari pedalaman ke kota pantai. Namun sekurang-kurangnya kedua prasasti itu merupakan peluang guna menelusuri jalan perdagangan (transportasi) menuju Hujung Galuh.

Tumbuhnya kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa bagian timur cukup menunjukkan bahwa kegiatan politik, budaya maupun perdagangan laut lebih banyak berlangsung kawasan Jawa Timur. Beberapa sumber lebih muda seperti kidung Harsawijaya dan Pararaton menyebut pengiriman ekspedisi kerajaan Singhasari ke tanah Malayu berangkat dari bandar (pelabuhan) Tuban, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1275. Senada dengan berita Cina dari dinasti Yuan di dalam hubungan dengan pengiriman ekspedisi militer ke Jawa Timur pada abad ke-13 menyebutkan bandar-banda penting di Jawa Timur (Tuban dan Canggu).

Catatan perjalanan Tome Pires pada dasa warsa ke dua abad ke 15-16 menyebut serentetan bandar-bandar penting sepanjang pantai utara Jawa a.l. Cheroboan (Cirebon), Locarj (Losari), Tetegual (Tegal), Cedayu (Sedayu), Agaciy (Gresik), Curubaya (Surabaya), Gamda (Garuda), Pajarujam (Pajarakan) dan Panarunca (panarukan). Peran Selat Madura dalam perdagangan laut Jawa Timur tidak dapat dilepaskan sebagai “The Familie Sea” .

Perlu diterangkan bahwa kondisi alam daerah pedalaman yang sangat subur ini sangat membantu perkembangan bandar-bandar terutama lembah sepanjang Bengawan Sala sebagai penghasil beras dan hasil bumi lainnya yang melimpah, sehingga mampu menjadi barang dagang ekspor. Juga sepanjang pegunungan Kendeng yang membentang dari barat ke timur merupakan hutan kayu jati yang lebat dan berkualitas, produksi ini dikirim ke Tuban, Gresik dan Surabaya. Tatkala jalan darat yang menghubungkan daerah masih dalam kondisi belum memadai maka jalur sungai lebih mudah dilalui dan Bengawan Sala sangat berperan sebagai jalur utama mengangkut komoditi perdagangan hingga ke ujung pelabuhan (hujunggaluh).

Berita asing (VOC) pernah melacak jalur perdagangan penting yang menghubungkan pantai utara Jawa dengan daerah pedalaman yang berperan sebagai feeder point ataupun yang pernah diperkirakan pernah menghasilkan komoditi perdagangan. Dari Klagen ke arah timur terdapat sungai Purboyo yang bersebarangan dengan desa Seketi Kidul, selanjutnya desa Guyangan, Kepuhsari dan Gagang yang terletak kurang lebih 1.3 km dari selatan Wringin Pitu. Lebih ke timur terletak Waru Beron (1 km sebelah baratdaya Wringin Pitu) kemudian menuju selatan melalui desa Segodo Ageng (prasasti: Lagada).

Sementara dari arah utara memasuki Surabaya berturut-turut melewati Prambon, Sedayu, Bungah, Gresik– Surabaya – terus ke Wonokromo, Sidoarjo dan Porong. Menuju arah selatan masuk ke Pasuruan melewati Gempol, Bangil, Gempeng Bendungan, Kraton, - Pasuruan – Rajasa menuju Grati.

Selanjutnya ke timur memasuki Besuki dengan melalui Banyuanget, Mandingan, Bungatan, Panarukan, Situbondo menuju ke Sumberwaru. Jalan dari Sumberwaru ke Bujulmati agak sulit dilalui karena merupakan areal hutan tetapi Bujulmati adalah arah menuju Banyuwangi setelah melewati desa Watudodol.

Kegiatan Perdagangan Pantai Utara Jawa :
Sintesa Berdasarkan Data Sumber Tertulis
http://www.wacananusantara.org/3/464/kegiatan-perdagangan-pantai-utara-jawa

Kearifan Lokal Buru

Oleh : Agung Setyahadi

Bebas Beras ala Lumbung Suku Rana
Ketika di banyak daerah warga diintai kelaparan, suku Rana yang hidup terisolasi di dataran dan perbukitan di sekitar Danau Rana, Pulau Buru, Maluku Tengah, tak pernah dipusingkan dengan persoalan perut. Mereka menyatu dengan alam untuk membangun lumbung pangan yang tak lekang sepanjang masa. Bahkan warga Rana bebas dari kebutuhan beras.

Masyarakat Rana menanami lahan tadah hujannya dengan tanaman semusim seperti jagung, kacang, padi, singkong, dan hotong (mirip gandum). Tanaman pangan itu dibudidayakan secara bergiliran sesuai dengan ketersediaan air pada lahan tadah hujan.

Jenis tanaman pangan pada setiap musim itu membentuk pola konsumsi makanan yang mengikuti bahan pangan yang ada.

Masyarakat Rana tidak pernah terjebak dalam ketergantungan, karena tidak pernah bergantung pada satu jenis bahan pangan. Mereka menikmati apa saja yang dihasilkan oleh alam. Tidak ada gengsi-gengsian harus makan beras.

Kemampuan mereka menyelaraskan diri dengan kondisi alam telah membentuk kearifan terhadap bahan pangan. Mereka mampu membaca potensi terbaik yang bisa diberikan alam untuk mendukung kehidupan. Mereka tidak pernah tergoda untuk mengonversi kebun menjadi lahan-lahan persawahan. Padi hanya ditanam saat musim hujan, itu pun tidak seluruh kebun ditanami padi.

"Kami yang tinggal di sekitar Danau Rana ini tidak pernah kekurangan pangan. Belum pernah terjadi musibah kelaparan di sini. Kami makan apa yang dihasilkan oleh kebun," kata Wentis Waemesi, Portelu (kepala suku) Waikolo di Dusun Waremang, Wamlana, Air Buaya, Pulau Buru.

Saat berkunjung ke perkampungan di sekitar Danau Rana, minggu lalu, masyarakat setempat sedang melakukan panen kacang tanah. Warga di enam dusun di sekitar Danau Rana, yaitu Waeremang, Waegrahe, Waemamboli, Waemite, Kaktuan, dan Air Dapa, sibuk di kebun-kebun. Panen hasil bumi merupakan rahmat yang harus disyukuri.

Oleh karena itu, sebagai rasa syukur, hasil panenan pertama tidak boleh dijual, tetapi dimakan bersama-sama dengan seluruh warga kampung. Bila hasilnya berlimpah, warga tetangga kampung juga diundang makan bersama. Tradisi yang disebut wahadegen itu dilakukan setiap panen pertama untuk semua jenis tanaman pangan.

Dalam perayaan wahadegen, puji syukur diwujudkan dalam tarian ingafuka yang diiringi lantunan syair berbahasa Buru dan tetabuhan tifa. Pesta rakyat penduduk Rana ini menyajikan berbagai makanan yang dibuat dari hasil panen. Seperti saat wahadegen kacang di Waeremang, hasil bumi itu disajikan dalam bentuk kacang goreng, kacang rebus, sayur, dan kue kacang.

"Hasil panen harus selalu disyukuri dan kebahagiaan dibagi bersama dengan seluruh warga. Selama ini kami tidak pernah kekurangan pangan dan itu harus dipertahankan," kata Sudin Waemesi, warga Dusun Waeremang.

Saat Kompas diundang bersantap malam di rumah Sudin, makanan utama yang disajikan adalah singkong rebus, papeda sagu, sayur, dan ikan mujair. Singkong rebus dan papeda berfungsi seperti nasi, dan sajian lainnya sebagai pelengkap.

Singkong rebus disantap bersama mujair goreng ternyata sangat enak. Apalagi papeda disiram kuah gulai morea (sejenis belut besar), rasanya sungguh nikmat di tengah hawa sejuk Pegunungan Rana.

Ketahanan pangan mandiri
Singkong dan papeda (sagu), yang oleh sebagian orang dinilai sebagai makanan konsumsi masyarakat kelas bawah itu, justru bagi masyarakat Rana adalah anugerah tak ternilai. Predikat remeh-temeh yang dilekatkan pada singkong dan sagu, luruh dalam kearifan yang menghargai pangan lokal.

Sudin bangga menyajikan papeda sagu dan singkong rebus yang lembut dan manis itu. Makanan yang mungkin dicap murahan itulah yang telah menyelamatkan masyarakat Rana dari kelaparan dan penyakit busung lapar.

Mereka juga tidak pernah dipusingkan dengan kekurangan persediaan beras Bulog. Mereka tidak pernah antre untuk memperoleh beras seperti yang terjadi di berbagai kota lain.

"Kalau kami di sini paling senang makan hotong karena rasanya lebih lembut dari beras. Hotong juga tahan hingga tahunan dan tidak busuk. Kapan-kapan kalau ke sini lagi, Bapak harus merasakan hotong kami," ujar Sudin membanggakan salah satu pangan lokalnya.

Masyarakat Rana terbebas dari ketergantungan pada beras karena memiliki sistem ketahanan pangan mandiri.

Lumbung pangan mereka dibangun di atas fondasi kearifan atas bahan pangan lokal. Mereka menikmati apa yang diberikan oleh alam tanpa mengeluh karena tidak ada beras. Toh semua kebutuhan asupan gizi bisa dipenuhi dari pangan lokal.

Kebutuhan karbohidrat dipenuhi dari singkong, sagu, hotong, dan padi. Ikan mujair dan morea dari Danau Rana memasok kebutuhan protein. Sedangkan vitamin dan mineral lain dipenuhi dari sayur-sayuran yang tumbuh di sekitar rumah.

"Kami di sini bisa makan kenyang hanya dari hasil kebun. Singkong dan sagu sudah cukup bagi kami. Makan beras kadang- kadang saja kalau sedang panen," ujar Sudin.

Masyarakat Rana yang terisolasi karena ketiadaan akses jalan mampu bertahan dengan menghargai pangan lokal. Bila mereka tergantung dengan beras, tentunya 1.200 penduduk Rana akan kerepotan sendiri karena harus berjalan kaki dua hari menuju desa terdekat, yaitu Desa Unit VI atau ke Mako di Waeapo, sebagai sentra penghasil beras di Pulau Buru dan Maluku.

Runyamnya lagi, tidak ada akses transportasi ke desa terdekat itu, karena jalan yang dilewati pun merupakan hutan belantara dan jalan eks jalur kayu hak pengusahaan hutan (HPH) milik PT Gema Hutan Lestari dan PT Wahana Potensi. Itu pun dalam kondisi rusak dan sering terjadi longsor.

Andai saja mereka tak memahami kearifan lokal, maka tak mustahil ribuan penduduk Rana itu akan dengan cepat terancam kelaparan.

Ternyata, di tengah hutan di jantung Pulau Buru itu, masyarakat Rana mengisi lumbung pangan dengan singkong, sagu, kacang, jagung, hotong, dan sedikit beras. Bahan pangan lokal itulah yang membebaskan mereka dari krisis pangan seperti dialami oleh masyarakat yang tergantung pada beras.

Berkunjung ke perkampungan masyarakat Rana mengingatkan pada kekayaan bahan pangan di bumi Nusantara yang telah lama terlupakan.

Referensi
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0703/01/humaniora/3349968.htm

Ayam Pelung


Ayam Pelung merupakan ayam peliharaan asal Cianjur, sejenis ayam asli Indonesia dengan tiga sifat genetik. Pertama suara berkokok yang panjang mengalun. Kedua pertumbuhannya cepat. Ketiga postur badan yang besar. Bobot ayam pelung jantan dewasa bisa mencapai 5 - 6 kg dengan tinggi antara 40 sampai 50 cm.

Menurut cerita tahun 1850 di Desa Bunikasih Kecamatan Warungkondang Cianjur ada Kiayi dan Petani bernama H. Djarkasih atau Mama Acih menemukan anak ayam jantan di kebunnya.

Anak ayam yang trundul di bawa pulang dan dipelihara. Pertumbuhan anak ayam tersebut sangat pesat menjadi seekor Ayam Jago bertubuh besar dan tinggi serta suara kokoknya panjang mengalun dan berirama. Ayam jantan itu dinamakan Ayam Pelung dan oleh Mama Acih dikembangkan, dikawinkan dengan ayam betina biasa.

Sekarang Ayam Pelung ini semakin terkenal dan cukup diminati oleh masyarakat umum, wisatawan nusantara dan mancanegara. Seorang Putra Kaisar Jepang pernah berkunjung ke Warungkondang untuk melihat peternakan Ayam Pelung tersebut. Bahkan di Cianjur setiap tahun diselenggarakan kontes Ayam Pelung yang diikuti pemilik dan pemelihara ayam pelung se-Jawa-Barat dan DKI Jakarta. Ayam Pelung terbaik yang menjadi juara kontes bisa mencapai harga jutaan rupiah.

Nama ayam pelung berasal dari bahasa sunda Mawelung atau Melung yang artinya melengkung, karena dalam berkokok menghasilkan bunyi melengkung juga karena ayam pelung memiliki leher yang panjang dalam mengahiri suara / kokokannya dengan posisi melengkung.

Ayam pelung merupakan salah satu jenis ayam lokal indonesia yang mempunyai karakteristik khas, yang secara umum ciri ciri ayam pelumg dapat digambarkan sebagai berikut :

* Badan: Besar dab kokoh (jauh lebih berat / besar dibanding ayam lokal biasa)
* Cakar: Panjang dan besar, berwarna hitam, hijau, kuning atau putih
* Pial: Besar, bulat dan memerah
* Jengger: Besar, tebal dan tegak, sebagian miring dan miring, berwarna merah dan berbentuk tunggal
* Warna bulu: Tidak memiliki pola khas, tapi umumnya campuran merah dan hitam ; kuning dan putih ; dan atau campuran warna hijau mengkilat
* Suara: Berkokok berirama, lebih merdu dan lebih panjang dibanding ayam jenis lainnya.

Budidaya Ayam Pelung
Budidaya yang bertujuan untuk menghasilkan keturunan ayam pelung yang unggul dan baik terus dilakukan secara teliti dan tepat, yang mencakup antara lain : Pemilihan Induk, Pemilihan Pejantan, Teknik pemeliharaan dan kesehatan (sanitasi kandang & vaksinasi berkala). Dengan perkembangan teknologi belakangan ini, kita semua sependapat bahwa ayam pelung harus dikembangkan dan dibididayakan secara maksimal untuk kepentingan kesejahteraan manusia, tetapi dari sisi melestarikan dan mengembangkan ayam pelung dengan tidak harus merusak atau memusnahkan ras pelung yang sudah ada dan terbukti memiliki berbagai keunggulan.

Kontes Dan Bursa Ayam Pelung
Seperti halnya burung perkutut atau burung kicauan lainnya, ayam jago pelung juga dikonteskan yang menitik beratkan kepada alunan suaranya, dan sekarang ini hampir semua aspek sudah mendapat penilaian dalam suatu kontes : kontes suara khusus untuk jago ayam pelung, kontes penampilan, bobot badan dan juga untuk Pelung betina yang meliputi lomba lokal, nasional maupun internasional yang telah diagendakan secara terorganisir pada setiap tahunnya.

Pada kontes Ayam Pelung tersebut selain diadakan lomba tarik suara dan lainnya juga merupakan arena bursa penjualan dari anak ayam sampai ayam dewasa, dari usia 0 s/d 1 bulan (jodoan), usia 3 bulan (sangkal), usia 6 s/d 7 bulan (jajangkar), sampai kepada ayam pelung yang sudah jadi (siap kontes). Dengan demikian lomba/kontes ayam pelung sekaligus merupakan bursa penjualan, promosi dan sosialisasi khusus ayam pelung. Melalui bursa semacam ini para pembeli, penjual dan penggemar merasa puas karena pada umumnya mendapatkan bibit-bibit maupun induk yang berkualitas dan tambahan pengetahuan tentang segala hal mengenai ayam pelung yang cukup memuaskan dari sesama peternak dan penggemar.

Sumber : http://cianjurkab.go.id

Batik Pembangunan Di Kota Lain


Setelah perang di 1830, dari sahabat-sahabatnya Dipenogoro disajikan batik di Sokaraja-pusat batik di Banyumas dan tempat Najendra, salah satu Diponegoro kompanyon ditingkatkan dip batik-yang tak dikelantang polos kain tenun yang digunakan adalah produk diri dan pewarna yang digunakan adalah pohon tom , kecepatan dan bengkudu pohon pohon di mana mereka memberi warna merah dan kuning. Dari waktu ke waktu, Batik produksi telah dikembangkan di Sokaraja. Pada akhir abad 19., Mereka langsung melakukan kerjasama dengan batik maker dari Solo dan Ponorogo. Batik produksi daerah yang ditempatkan di Banyumas sudah dikenal sejak beberapa tahun lalu. Itu karena desain dan warna tertentu. Panggilan ke hari orang-orang di Batik Banyumas. Setelah Perang Dunia I, Cina tidak hanya menjadi pedagang batik tetapi juga bahan batik pedagang.

Demikian pula produksi batik di Pekalongan, ini menyebar ke wilayah lain: Buaran, dan Kedungwuni, Wiradesa, dll Batik produksi daerah-daerah yang tidak terlalu lama dari yang di kota-kota lain. It was about 19. Abad. Sementara itu, Yogyakarta dan Solo batik dan pembangunan daerah lainnya yang dekat hubungannya dengan sejarah perkembangan kerajaan Yogya dan Solo.

Setelah akhir Diponegoro melawan, keluarga kerajaan pada pindah dari Yogya - karena mereka tidak mau bekerja sama dengan kolonial Belanda dan batik telah menjadi terkenal dan kemudian menjadi mata pencaharian. Di daerah baru ini, desain telah disesuaikan dengan lingkungan sekitarnya.

Dengan mempertimbangkan proses-nya dan desain, batik Pekalongan itu sepenuhnya dipengaruhi oleh batik dari Demak. Pada awal abad ke-20, yang populer adalah batik proses handwritten batik. Tak dikelantang polos kain yang dibuat dari kedua produk domestik dan impor. Setelah Perang Dunia I, batik cap dan penggunaan obat-asing yang terbuat dari Jerman dan Inggris-baru saja dikenal.

Pada awal abad ke-20, yang menenun, yang menghasilkan benang ikat pinggang yang twined dengan cara yang mudah, yang ditemukan di Pekajangan untuk pertama kalinya. Beberapa tahun kemudian, batik baru saja dikenal. Ia diproses oleh karyawan yang bekerja di sektor menenun. Batik terus berkembang lebih cepat dari tenun ikat pinggang. Selain itu, sebagian besar karyawan pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto pernah dipindahkan pada perusahaan batik karena gaji tinggi.

Pada akhir abad 19., Batik dikenal di Tegal. Bahan-bahan yang digunakan adalah produk dalam negeri yang diambil dari berbagai tanaman: bengkudu, nila, soga pohon. Untuk menenun, produk itu sendiri. Untuk pertama kalinya, warna Tegal adalah batik sogan dan babaran abu-abu. Kemudian, ia menambahkan dalam nila (indigo) dan merah-biru. Dalam periode ini, Tegal batik disalurkan luar seperti Jawa Barat. Pedagang yang dibeli di kaki. Secara historis, itu mereka yang hadir batik di Tasik dan Ciamis. Selain itu, baru lainnya comers dari Jawa Tengah telah berpartisipasi dalam mengembangkan batik di daerah ini.

Pada awal abad ke-20, setelah Perang Dunia I, impor tak dikelantang polos kain dan impor obat baru saja dikenal. Sebagian besar pengusaha batik Tegal telah kehabisan modal. Mereka mengambil dasar komoditas dari Pekalongan pada kredit. Dan mereka yang dijual ke Cina yang memberikan kredit mereka. Ketika terjadi krisis ekonomi, yang dijual adalah batik dari Tegal perlambatan bawah. Dari 1934 ia kembali ke awal Perang Dunia II. Ketika Jepang menduduki di Indonesia, batik menjadi lambat lagi.

Demikian pula di Purworejo. Ini terjadi pada waktu yang sama dengan batik di Kebumen. Keduanya berasal dari Yogyakarta sekitar abad 21th. Batik pembangunan di Purwerojo itu lebih cepat dari yang di Kebumen. Sedangkan untuk produksinya, ia produk yang sama seperti Yogyakarta dan Banyumas.

Dalam Bayat, desa yang terletak di kaki Gunung Merapi, sekitar 21 km di sebelah timur dari Klaten, batik telah dikenal dalam waktu yang lama yang lalu. Sesungguhnya sejarahnya memiliki hubungan erat dengan istana Surakarta. Di Kebumen, batik telah ada sekitar abad 19.. Itu disampaikan oleh Jogja pengunjung dalam kasus menyebarkan Islam. Sumur-figur yang Penghulu, pemimpin Islam, Nusjav. Ia orang yang mengembangkan batik di Kebumen dan menetap pertama terletak di sebelah timur dari Sungai Lukolo. Nya warisan adalah sebuah masjid. Proses batik pertama di kota ini disebut "Teng abang atau Blambangan".

Akhirnya, proses terakhir dilakukan di Banyumas atau Solo. Berkaitan dengan pola, ia menggunakan kunyit yang cap yang terbuat dari kayu. Sementara itu pola dan pohon jenis burung. Bahan lainnya yang digunakan adalah bengkudu pohon, kemudu dan nila tom.

Penggunaan obat-obatan impor telah dikenal sekitar 1920. Itu disampaikan oleh BRI karyawan. Untuk mengurangi biaya waktu, akhirnya dia meninggalkan produk itu sendiri. Penggunaan cap sudah dikenal pada tahun 1930 yang disajikan oleh Purnomo dari Yogyakarta. Batik daerah di Kebumen yang Watugarut, dll Tanurekso

Oleh saat ini tentang warisan sejarah dan yang terakhir, mungkin akan mempertimbangkan bahwa batik telah dikenal sejak masa Tarumanegara di Tasikmalaya. Salah satunya adalah pohon Tarum. Ia menjabat sebagai proses batik. Desa untuk tetap membuat batik ini adalah Wurug, Sukapura, Mangunraja, Maronjaya dan Tasikmalaya kota. Untuk waktu yang lama yang lalu, yang paling ramai adalah tempat Sukapura dan Indihiang-desa yang terletak di perbatasan Tasikmalaya-kota dan 19. Dalam 18. Abad, perang dari kerajaan Jawa Tengah terjadi. Ia memimpin sebagian besar penduduk di Tegal, Pekalongan, Banyumas dan Kudus pengunjung ke wilayah barat dan tinggal di Ciamis dan Tasik. Kebanyakan dari mereka adalah pengusaha batik dan mereka berlari perdagangan batik di sana. Oleh karena itu, ia dikenal dengan produksi batik Soga yang berasal dari Jawa Tengah. Peristiwa batik produksi batik di Tasikmalaya adalah kombinasi dari Pekalongan, Tegal, Banyumas dan Kudus. Ia berbagai desain dan warna.

Di Ciamis, batik sudah dikenal di abad 19., Setelah Perang Diponegoro. Itu karena peran Diponegoro sekandang. Mereka telah disajikan dan dibuat sebagai mata pencaharian. Materi yang digunakan untuk kain tenun itu sendiri. Untuk lukisan, ia dibuat dari pohon seperti bengkudu dan pohon tom. Untuk pola, hal ini merupakan kombinasi dari batik Jawa Tengah dan produk lokal terutama garutan pola dan warna. Hingga abad ke-20, produksi batik di Ciamis telah berkembang langkah demi langkah diri dari permintaan untuk pasar distribusi.

Di Cirebon, asal batik berasal dari Kanoman, Kasepuhan, dan Keprabonan. Ia cerita yang sama seperti Batik Yogyakarta dan Solo. Namun, dengan fitur khusus yang flora dan fauna gambar. Ada juga pantai pola pikiran dipengaruhi oleh Cina dan Garuda burung, dipengaruhi oleh batik Yogya dan Solo.

Seperti daerah lain, di Jakarta, batik sudah dikenal di abad 19., Jawa Tengah yang disajikan oleh pengunjung. Batik daerah yang beredar di Jakarta adalah Karet, bendungan Ilir dan Udik, Kebayoran lama, Mampang Prapatan serta Tebet. Sebelum Perang Dunia I, Jakarta, khususnya pasar ikan Harbor, interregional telah menjadi pusat perbelanjaan di Indonesia. Setelah Perang Dunia I, ketika cap batik yang telah dikenal, produksi batik meningkat dan pedagang batik mencari daerah yang baru sedangkan yang tekstil dan batik di Jakarta adalah kawasan Tanah Abang (yang paling terkenal dari orang lain), Jatinegara dan Jakarta Kota. Batik produksi lokal dari Solo, Yogya, Banyumas, Ponorogo, Tulungagung, Pekalongan, Tasikmalaya, Ciamis dan Cirebon berkumpul di Tanah abang dan telah dikirim ke daerah lain dari Jawa. Dibandingkan dengan Cina dan Arab pedagang batik, Indonesia lebih kecil dari yang lain. Berdasarkan fakta ini, mereka memiliki inisiatif untuk mendirikan perusahaan batik di Tanah abang, Jakarta.

Setelah Word War I, adalah pengusaha batik China yang tiba karyawan dari Pekalongan, Yogya, Solo juga sebagai tenaga kerja lokal. Selanjutnya, setelah mempertimbangkan proses-nya, asal penduduk menyiapkan batik Perusahaan pola dan proses yang telah disesuaikan oleh Pekalongan, Yogya, Solo, dan Banyumas batik. Komoditi batik yang digunakan adalah produk tenun diri juga sebagai obat-obatan, yang terbuat dari bengkudu, kayu, dll kunir dasar kain katun halus menjadi terkenal dan distribusi berada di pasar Tanah Abang pasar dan sekitarnya. Selain itu, batik yang menyebar di beberapa bagian kota: Padang, Sumatera Barat, dan daerah lainnya dari Jawa.

Pada akhir Perang Dunia I, Sumatera Barat adalah salah satu pelanggan batik dari Pekalongan, Solo dan Yogya. Namun, tangan-tenun Silungkang dan tenun plekat-wujud pertama dari orang lain.

Setelah Jepang, terdapat kekurangan stok batik di Padang sedangkan permintaan terus meningkat dari hari ke hari. Pelanggan memerintahkan untuk kegiatan mereka sehari-hari. Ada yang serius yang disebabkan oleh konflik antara Sumatera dan Jawa serta blockades Belanda. Terkait dengan hal ini, para pedagang batik itu mencoba untuk memproduksi sendiri batik. Dengan memiliki produk sendiri dan melaksanakan penelitian canggih batik dari luar Jawa, mereka mengambil pola dan diterapkan dalam kayu sebagai alat cap. Batik sendiri obat yang digunakan adalah produk yang terbuat dari berbagai tanaman: bengkudu, kunyit, gambir, damar dll White memiliki latar belakang yang diambil dari bekas / second hand satu tangan dan produk tenun.

Dalam 1946, perusahaan pertama yang muncul di wilayah sampan, Padang Pariaman: Bagindo Idris, Sidi, Ali, Sidi Zokaria, Sutan Salim, Sutan Syamsudin dan Payakumbuh. Dalam 1948, ia muncul Sir Waslim (dari Pekalongan) dan Sutan Rajab. Pada tahun 1949 kebanyakan mereka menyiapkan Batik Perusahaan menggunakan bahan yang dibuat di Singapura melalui pelabuhan Padang dan Pekanbaru. Setelah buka kerja sama dengan Jawa, bahkan mereka tidak dapat menjalankan bisnis mereka. Sebagian besar dari Padang batik telah hitam, kuning, merah dan warna ungu. Mereka digunakan Banyumasan, Indramayu, Yogya, Solo dan pola. Saat ini, pola yang lebih baik dari sebelumnya. Namun, jauh lebih buruk daripada yang di Jawa. Yang digunakan adalah alat stempel yang terbuat dari logam dan sebagian besar dari produksi yang sarung.

Sumber : http://article.linggageni.com

Foto : http://images01.olx.co.id

Ekspedisi pagai `Mugorok Elu` Tanah Mentawai

Oleh: Gesit Ariyanto

Tengah malam di sebuah pondok kayu, Kepala Dusun Lakau, Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Laurianus Salamanang (37) memetik dawai gitar. Dia melantunkan tembang ”Mugorok Elu”—dalam bahasa lokal berarti meneteskan air mata.

Lagu karya mendiang Victor Saogo itu berkisah tentang kerinduan anak kepada orangtua dan kampung nun jauh.

Meskipun diciptakan puluhan tahun lalu, kisah itu masih relevan menggambarkan kondisi warga pulau di gugusan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Meski Indonesia sudah 62 tahun merdeka, tetap sulit menjangkau Pagai Selatan. Hal itu dialami Kompas dan anggota tim Komando Langsung I Ekspedisi Garis Depan Nusantara-Wanadri yang bermaksud memasang prasasti batas wilayah terluar Indonesia, awal Juni lalu.

”Beginilah kami orang pulau, mau keluar dusun harus berhitung dengan kondisi laut. Namun, kami sudah terbiasa,” kata Laurianus, satu-satunya guru SD Filial Vincentius di bawah binaan Pastoran Sikakap.

Dusun Lakau, berpenghuni 18 keluarga, dan Dusun Limosua (38 keluarga) dicapai dengan waktu tempuh sekitar 5 jam dari Sikakap, ibu kota Kecamatan Pagai Utara, menggunakan kapal berkecepatan 8 knot.

Kisah klasik
Diayun ombak ganas dan disengat panas matahari dalam hitungan jam bukan hal biasa bagi anggota tim. Bagi orang pulau, hal itulah yang harus dihadapi untuk perjalanan antarpulau. Hingga kini jumlah pemilik perahu bermesin di Pulau Pagai Selatan masih terbatas.

Masih banyak generasi muda Pagai yang mengalami fase berhari-hari mendayung sampan dari dusunnya menuju Sikakap untuk keperluan sekolah atau ekonomi. Sejauh ini Sikakap merupakan tujuan utama mobilitas penduduk di pulau-pulau sekitar Pagai. Di sanalah pusat ekonomi dan pendidikan warga.

Umumnya, anak-anak pulau merantau ke Sikakap untuk melanjutkan sekolah di atas kelas III. Mereka ”dipaksa menjadi dewasa” karena harus berpisah dengan orangtua pada usia belia. Mereka indekos, menumpang, atau tinggal di asrama untuk menuntut ilmu. Mereka harus memasak sendiri.

Seperti yang dilihat Kompas saat berkunjung ke salah satu SD swasta di Sikakap, sejumlah siswa kelas V memanfaatkan ruangan bekas kepala sekolah sebagai penginapan mereka. Selama bertahun-tahun, anak-anak yang masih belia itu hidup mandiri jauh dari orangtua dan memecahkan persoalan sendiri.

Seperti diungkapkan Kepala Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Sikakap Joni Faldi (32) dan Pastor Kepala Gereja Katolik Paroki Sikakap Matheus Tatebburuks, siswa harus jauh dari orangtua dan memasak sendiri bukan akibat dililit kemiskinan. Namun infrastruktur yang terbatas, bahkan parah, menyebabkan jumlah sekolah terbatas. Mereka harus berjuang keras demi ilmu.

Sebagian besar penduduk asli Pagai mengandalkan hasil alam, seperti nilam, kakao, cengkeh, kopra, dan lobster. Awal Juni lalu harga minyak nilam mencapai Rp 800.000 per kilogram, lobster sekitar Rp 200.000 per kg.

Puluhan pengepul nilam dan lobster menampung hasil warga sebelum menjualnya ke Padang. Para pendatang menguasai sektor ekonomi sekaligus menentukan harga. Penduduk lokal nyaris tak berdaya.

Sebenarnya, banyak potensi hasil alam Pagai, seperti budidaya ikan hias, ikan laut, dan pariwisata serta peluang bisnis pendukungnya. Namun, peluang itu tidak bisa dimanfaatkan penduduk lokal yang akses ekonominya sangat terbatas.

Sementara setiap tahun ribuan turis asing menikmati kekayaan alam dan budaya Mentawai. Resor-resor mewah di pulau-pulau kecil dikelola warga negara asing dengan mempekerjakan sedikit tenaga lokal.

Kejuaraan selancar ombak digelar rutin, menghadirkan atlet profesional kelas dunia. Lagi-lagi penduduk lokal tidak bisa berbuat apa-apa.

Turis datang dan pergi seiring dengan musim. Warga lokal seperti menetap di atas ”peti harta karun”.

Sumber :

cetak.kompas.com

Selalu Menyatu dengan Air Laut

Oleh : Kornelis Kewa Ama

Tidak banyak orang yang tahu mengenai penyebaran suku Bajo di Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tengara Barat (NTB), Bali, Makassar sampai di Papua. Mereka adalah orang pelaut yang tidak bisa hidup di daerah gunung. Bajo identik dengan air laut, perahu, dan pemukiman di atas air laut.

“Kalau di Lembata ini kami tersebar dari Balauring, Wairiang, Waijarang, Lalaba, dan Lewoleba. Di Adonara suku ini ada di Meko, Sagu, dan sebagian di Waiwerang. Di Pulau Flores terpusat di Pulau Babi yang tenggelam tahun 1992 akibat tsunami, dan dapat ditemukan hampir di setiap pesisir pantai termasuk di Labuan Bajo, Manggarai," kata Jamali Lintang, Koordinator Kerukunan Suku Bajo di Lewoleba.

Ditemui di pinggir pantai Lewoleba saat air laut surut, Lintang sedang membakar lumut di bagian dasar perahu, yang panjangnya lima meter dan lebarnya satu meter. Perahu dibakar dengan daun kelapa kering dengan tujuan perahu lebih lincah bergerak menuju sasaran.
Lintang mengaku bersama sekitar 50 kepala keluarga suku Bajo menempati pesisir pantai Lewoleba tahun 1960, yang lainnya menyebar ke utara dan selatan Pulau Lembata. Sebelumnya mereka berada di Meko, Kecamatan Klubagolit, di Pulau Adonara mereka mengaku suku asli dari Meko.

Tetapi setelah ditelusuri, asal usul suku Bajo sesungguhnya dari Sulawesi. Buktinya, selain menguasai bahasa daerah setempat seperti Lamaholot (Lembata) mereka juga berkomunikasi dengan bahasa Bajo, serumpun dengan bahasa Bugis, Sulawesi Selatan. Suku Bajo di Lewoleba mengaku berasal dari suku Bone di Sulawesi Selatan.

Di mana dua atau tiga warga Bajo berkumpul, mereka diwajibkan menggunakan bahasa Bajo, kecuali mereka berada di tengah kebanyakan warga Lamaholot. Suku Lamaholot terdiri dari warga Pulau Adonara, Solor, Lembata, dan daratan Flores Timur.

Suku Bajo di Lewoleba mencari ikan di sekitar perairan Pulau Lembata, Adonara, dan Solor. Mereka tidak pergi jauh dari daerah itu karena saat ini hampir setiap perairan sudah dikapling oleh masing-masing nelayan. "Jangan percaya kepada mereka yang tinggal di pedalaman atau di gunung, tetapi mengaku suku Bajo. Bajo itu sendiri artinya mendayung perahu dengan alat yang disebut bajo. Orang Bajo tidak bisa tinggal di tanah daratan kecuali sudah terjadi proses perkawinan dari generasi ke generasi, yang menyebabkan perubahan budaya, pola pikir, dan adat istiadat Bajo," tutur Lintang.

Agama Islam menjadi pilihan satu-satunya bagi seluruh warga Bajo. Bukan warga Bajo kalau ia beragama lain karena agama itu diwariskan nenek moyang dari dahulu kala.

Paulus Bapa Muda Pue, mantan asisten tiga Sekda Flores Timur, menyebutkan, meski sudah ratusan tahun warga Bajo tinggal di antara warga Kristen, mereka tetap menjaga identitas diri mereka sebagai orang yang taat shalat lima waktu dan berpegang teguh pada keyakinan yang diwariskan nenek moyang. Suku Bajo sangat menghormati adat istiadat masyarakat setempat dan selalu menjaga kerukunan bersama.

Kebersamaan dan persatuan di antara warga suku Bajo sangat kuat. Mereka mampu bertahan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya karena persatuan dan kesatuan yang dibangun di antara mereka. Kerja sama paling nyata di antara warga Bajo sering terlihat dalam hal mata pencarian.
"Jika ada sesama warga Bajo kesulitan mendapatkan ikan di laut, warga Bajo lain menolong. Atau yang satu belum memiliki perahu untuk menangkap ikan, yang lain membantu menyumbangkan perahu cuma-cuma. Ini tidak ada satu wadah tertentu. Sikap membantu tersebut lahir secara spontanitas turun temurun," papar Bapa.

Suku Bajo menyebar di sejumlah provinsi di Indonesia, seperti di NTB, Bali, Maluku, Papua dan pesisir pantai Pulau Timor, NTT. Mereka dapat diidentifikasi dari bahasa daerah yang digunakan. Di daerah lain mereka tidak menyebut diri Bajo, tetapi suku Bugis atau Makassar atau Buton.

Keberadaan mereka di daerah itu pun sudah ratusan tahun silam. Sebagian dari mereka telah kawin dengan penduduk asli, dan membentuk pemukiman muslim di pesisir pantai.
Lapande, Ketua RT bagi suku Bajo di pantai Lewoleba menyebutkan, suku Bajo adalah suku pelaut. Mereka mewarisi jiwa dan tradisi melaut dari nenek moyang yang diyakini dari Makassar.

Wajo
Bajo dalam bahasa Lamaholot artinya mendayung perahu. Di beberapa tempat di Flores Timur kelompok ini disebut Wajo, Watan, Besidu. Wajo sama artinya dengan bajo, yakni mendayung, alat mendayung perahu. Watan artinya pantai, keseluruhan hidup di pesisir pantai. Besidu artinya rumah panggung di atas air, kehidupan di atas air laut, bertengger di atas air laut. Mata pencarian orang Bajo adalah nelayan.

Sampai tahun 1960-an orang Bajo tidak bisa menginjakkan kaki di tanah daratan sehingga hasil tangkapan dijual langsung di atas perahu. Mereka tidak boleh menginjak semut atau bersentuhan dengan semut.

Suku ini memproduksi ikan kering dalam jumlah besar kemudian dijual ke pasar bahkan ke pasar-pasar tradisional di Kupang. Dari 50 keluarga di pantai Lewoleba dihasilkan 100 ton ikan kering per tahun. Jenis ikan yang dihasilkan biasanya ikan tembang, cumi-cumi, atau ikan tongkol.

Nyaris tidak ada suku Bajo yang menyekolahkan anak sampai tingkat perguruan tinggi. "Kebanyakan orangtua berpikir, sekolah sampai sarjana pun tidak mendapat tempat yang layak di pemerintahan karena mereka berada di daerah yang dianggap sebagai warga pendatang. Kembali ke kampung asal di Sulawesi pun dianggap pendatang karena tidak memiliki kartu tanda penduduk setempat," ujar Lapande.

Permohonan mendapat bantuan kredit pengadaan perahu, pukat, dan fasilitas lain dari pemerintah daerah setempat pun sangat sulit. Padahal, mereka pun sudah tinggal di Lewoleba sejak 1960-an.

Menurut Lintang, warga Bajo jarang mendapatkan kartu keluarga miskin atau kartu pengobatan gratis. Padahal, mereka membayar pajak kepada pemerintah, termasuk retribusi usaha sebagai nelayan.

Mengenai Pulau Siput yang berada sekitar lima kilometer di depan perkampungan suku Bajo, Lintang menyebutkan, tahun 1960-an di pulau itu hidup penduduk asli sekitar tujuh keluarga. Akibat tsunami tahun 1968, pulau itu nyaris rata dengan permukaan air laut. Di sana tak ada lagi kehidupan kecuali hamparan pasir putih. Pulau yang sebelum tsunami luasnya 1 kilometer persegi, kini tersisa 500 meter persegi memanjang dari timur ke barat.

Disebut Pulau Siput karena di pulau itu terdapat jutaan siput setiap terang bulan. Saat air laut surut, tumpukan siput memenuhi pulau. Siput itu diambil penduduk suku Bajo dan diolah sebagai dendeng siput.

"Belakangan sudah sangat sulit mendapat siput di pulau itu. Orang harus menggunakan alat khusus untuk menggali atau menusuk pasir untuk mendapat siput. Dari ikan hingga siput, menjadi mata pencaharian suku Bajo. Semua yang dari laut adalah sumber nafkah mereka karena suku Bajo memang identik dengan laut.

Sumber : www.kompas.com

Rencana Tambang Emas di Leragere

Masyarakat Sebagai Pemegang Saham?

Oleh : Agustinus Dawarja, S.H.

Persoalan pertambangan di Leragere, Kecamatan Lebatukan, Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) semakin berkembang dan meluas. Dan hal ini tidak menguntungkan bagi semua pihak (ekonomi politik wilayah). Pemerintah (pusat atau daerah) yang tentu telah menerbitkan izin pertambangan atau setidaknya telah mengundang investor untuk datang tetap berkeyakinan bahwa kehadiran investor tersebut merupakan berkat. Hal ini didasarkan para pertimbangan bahwa kehadiran modal swasta diperlukan dalam pembangunan Lembata. Investor penambang tentu saja tidak akan membiarkan pihak lain menghalangi rencana bisnis mereka, karena mereka terikat dengan pemegang saham, bank atau lembaga keuangan yang telah memberikan pinjaman atau ketentuan hukum pasar modal jika mereka mendapatkan dananya melalui lembaga pasar modal (saham atau obligasi).

Tanah Ulayat-Setoran modal
Perbedaan pandangan dalam pengelolaan tambang emas di Leragera seharusnya tidak perlu terjadi seandainya masyarakat Leragere selaku pemilik tanah sejak awal dianggap sebagai pemodal juga dengan kepemilikan mereka atas tanah sebagai setoran modal. Tanah ulayat yang mereka miliki seharusnya dan sepatutnya diperhitungkan sebagai investasi dan mereka tidak harus dipandang sebagai penghambat apalagi korban. Seandainya perusahaan pertambangan yang memiliki izin memiliki uang, teknologi dan sumber daya manusia (SDM), maka ketiga faktor tersebut tidak cukup untuk melakukan penggalian emas tanpa melakukan penggalian atas permukaan tanahnya.

Uang, teknologi, dan SDM merupakan faktor tambahan dan faktor yang paling penting atau yang tidak dapat diabaikan adalah cadangan emas yang terletak dalam perut bumi Leragere. Dengan demikian, maka masyarakat adat Leragere selaku pemilik tanah ulayat harus dijadikan pemegang saham dalam perusahaan penambangan tersebut, sehingga mereka merasakan manfaat dari kehadiran perusahaan penambangan tersebut. Bagaimana caranya?

Cadangan Emas-Mineral Lainnya
Perusahaan penambangan tentu saja sebelum melakukan eksploitasi, telah melakukan studi atau eksplorasi mengenai jumlah cadangan emas atau sumber mineral lainnya dalam perut bumi Leragera. Berdasarkan perhitungan tersebut, sebenarnya para pemodal melakukan kerjasama dengan pemodal lain atau lembaga keuangan. Termasuk mendapatkan dana murah melalui pasar modal (equity atau bonds) guna pembiayaan penambangan.

Investor penambang pun tentu saja telah mengeluarkan banyak investasi jauh sebelum melakukan rencana eksploitasi atas penambangan emas di wilayah Leragere. Dengan demikian, mengabaikan kepentingan mereka sama sekali pun merupakan sikap yang kurang bijaksana kecuali sejal awal pemerintah daerah atau pusat tidak memperkenankan mereka untuk melakukan eksplorasi atas penambangan di wilayah tersebut. Misalnya, yang dilakukan Pemerintah Amerika Serikat (AS) dengan tidak melakukan eksplorasi minyak di wilayah mereka sendiri saat ini. Kecuali cadangan-cadangan minyak di tempat lain telah habis atau sumber energi alternatif tidak dapat ditemukan. Pemerintah Negeri Paman Sam itu memandang cadangan minyaknya sebagai last resources (sumber terakhir jika tidak ada pilihan lain atas energi).

Masyarakat Ulayat Selaku Pemegang Saham
Secara teoritis sebenarnya masyarakat ulayat Leragere dapat menjadi pemegang saham dengan melakukan konversi nilai atas tanah dan cadangan emas di dalamnya menjadi nilai saham. Meskipun perhitungan konversi nilai tanah dan potensi cadangan emas tersebut tidak mudah dilakukan, namun secara teoritis sesungguhnya dengan menjadikan masyarakat ulayat Leragere sebagai pemegang saham dalam perusahaan penambang, hemat penulis, hal ini akan menguntungkan semua pihak. Baik bagi perusahaan penambang, pemerintah daerah maupun masyarakat ulayat itu.

Dengan menjadikan mereka sebagai pemegang saham dalam perusahaan penambang, maka masyarakat ulayat tidak harus menjadi korban dari sebuah proyek penambangan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Mengorbankan mereka dalam proses penambangan saat ini mempunyai implikasi jangka panjang yang tentu tidak kita harapkan. Mengalahkan dan mengabaikan mereka memang lebih mudah daripada mengakomodasi kepentingan mereka saat ini. Namun, membuat kelompok ini frustrasi tidak mustahil kita sedang melahirkan "anak teroris" untuk masa depan pembangunan wilayah (geopolitik ekonomi wilayah). Jangan sampai mereka merasa terabaikan dan tidak merasa sebagai anak cucu kemerdekaan dan pembangunan Indonesia. Jika itu terjadi maka kita semua akan mengalami kerugian.

Bagaimana Menjadi Pemegang Saham?
Pemerintah daerah, gereja atau lembaga lain yang bisa mewakili kepentingan masyarakat Leragere bisa menjadi beneficial shareholders untuk saat-saat awal sampai mereka sendiri memiliki kemampuan untuk menjadi registered shareholders (pemegang saham terdaftar). Anak-anak mereka yang telah berpendidikan nantinya dapat menjadi pemimpin kepentingan mereka sendiri untuk jangka panjang. Mengenai sistem pembagian dan distribusi dividen atau persentase kepemilikan di antara mereka, biarkan hukum adat mereka yang mengatur tanpa intervensi pihak lain kecuali dimintakan atau dilakukan demi kepentingan mereka. Semoga dengan menjadikan mereka selaku pemegang saham dalam perusahaan pertambangan tersebut, sengketa dan rencana perusahaan pertambangan emas (bahan mineral lainnya) di Leragere yang telah dirintis tidak menimbulkan korban bagi masyarakat, malah sebaliknya menjadi berkat dan model pembangunan yang partisipatif bagi proyek-proyek lain di masa depan.

Penulis adalah Advokat dan Konsultan Hukum Pasar Modal, tinggal di Jakarta

Sumber : www.indomedia.com/poskup/

Madu dari Pohon Sialang; Alternatif Pendapatan Masyarakat di Sekitar Hutan Tesso Nilo

Oleh : Syafrizal & Dani

Madu sialang di Logas Tanah Darat merupakan adalah satu sumber penghasilan bagi masyarakat sekitar hutan meskipun potensi ini belum memberikan kontribusi yang besar bagi perkonomian masyarakat di Kecamatan Logas Tanah Darat, Kuantan Singingi, Riau, Indonesia. Di sisi lain potensi tersebut sangat tergantung kepada kondisi hutan di sana, dimana diantaranya merupakan habitat pohon sialang yang merupakan pohon tempat bersarangnya lebah madu hutan.

Salah satu upaya melestarikan pohon sialang tersebut adalah melakukan pendataan keberadaan dan sebaran pohon sialang di kawasan tersebut. Masyarakat di Logas Tanah Darat telah melakukan upaya tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan rencana pengelolaan pohon sialang. Antara lain dengan membuat aturan adat mengenai pengelolaan hutan yang berkaitan dengan keberadaan pohon sialang dan pengaturan pemanenan madu.

Kepunahan pohon sialang akan berdampak kepada produksi madu hutan yang merupakan kegiatan ekonomi masyarakat yang sudah berjalan secara turun temurun. Jika pohon sialang ini punah maka masyarakat yang selama ini memanfaatkan madu hutan akan kehilangan pendapatan minimal Rp. 569,380,000,- per-tahun yang diperoleh dari 154 pohon sialang dengan jumlah sarang sekitar 2.044.

Untuk menghindari kerugian tersebut rambu-rambu larangan menebang untuk pohon yang sudah disarangi oleh lebah sudah sejak lama berlaku, namun sanksi itu berlaku untuk perusahaan dengan denda Rp. 25.000.000,- tapi jika ditebang oleh masyarakat kampung (anak dan keponakan) sanksi dalam aturan adat itu tidak pernah ditegakkan.

Di wilayah masyarakat adat Logas Tanah Darat penyebaran pohon Sialang terdapat di hutan perlandangan (Hutan Getah/karet), hutan akasia (HTI PT. RAPP), hutan alam (HPH PT. Hutani Sola Lestari dan HPH Nanjak Makmur). Pohon sialang ini batangnya dibersihkan oleh masyarakat menurut sukunya. Untuk memudahkan mengambil madu sialang yang 99 % dijual, dipasaran harganya berkisar Rp. 7000/Kg.

Di Kecamatan Logas Tanah Darat itu sendiri madu ini potensial untuk dikembangkan, dengan bahan baku yang cukup (lihat tabel 2) dengan masa panen 2 kali dalam 1 tahun. Namun secara tradisional hasil yang diperoleh masyarakat kurang berdampak bagi peningkatan kesejahteraan, karena aktifitas pemanfaatan pengelolaannya dilakukan perorangan, belum terorganisir. Untuk meningkatkan hasil yang diperoleh, dibentuk kelompok usaha “SIALANG LESTARI”, dengan harapan kelompok ini menjadi andalan masyarakat petani madu untuk meningkatkan penghasilan.

Kelompok usaha ini diarahkan menjadi sebuah industri kecil masyarakat, yang mampu menopang perkembangan ekonomi. Untuk mewujudkannya perlu fasilitasi peningkatan SDM pengurus dalam meningkatkan keterampilan usaha dan mutu madu, penyerahan bantuan mesin penurun kadar air, alat pengukur kadar air, serta drum pengumpul madu dan persiapan pra produksi pengolahan madu diantaranya Izin produksi Depkes dan izin usaha industri dari Deperindag Kabupaten Kuantan Singingi Riau, produksi pengolahan madu, peluncuran produksi usaha madu sialang, memfasilitasi bantuan kredit usaha. Diupayakan fasilitasi oleh WWF tersebut untuk memberikan dukungan moril dan memberikan daya saing di pasaran, sehingga kelompok ini dapat mandiri.

Disamping fasilitasi, yang perlu dikembangkan adalah peluang pasar. Hal ini bisa dilakukan dengan menjajaki beberapa permintaan distributor madu di beberapa daerah seperti Pekanbaru, Batam, Jakarta, Medan dan dari luar Indonesia yakni Malaysia.

Sumber : www.wwf.or.id/tessonilo

Petani, Nelayan, dan Priyayi Melayu di Riau

Oleh : H. Said Mahmud Umar

Masyarakat Melayu Riau dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan petani, nelayan, dan priyayi. Ketiganya hidup berdampingan dengan tenteram di bawah seorang pemimpin yang diakui bersama. Ketiga golongan tersebut berinteraksi di pasar, ketika menjual dan membeli barang-barang kebutuhan yang diperlukan. Interaksi juga terjadi di tempat-tempat upacara, karena upacara dilakukan oleh ketiga golongan tersebut secara gotong-royong.

1. Pendahuluan
Pembahasan mengenai interaksi antara petani, nelayan, dan priyayi termasuk bidang antropologi. Antropologi merupakan ilmu yang membahas masalah manusia, sehingga ma¬salah yang dikaji sangat kompleks. Ruang lingkup pembahasan interaksi antara petani, nelayan, dan priyayi dalam makalah ini terbatas pada masyarakat Melayu Riau. lnteraksi dapat diartikan sebagai hubungan timbal-balik antara individu dengan individu maupun individu dengan sekelompok individu.

Pembahasan tentang masyarakat Melayu Riau tidak dapat dilakukan secara sepintas, karena masyarakat Melayu merupakan masyarakat kompleks, sehingga pembahasannya menuntut kesungguhan dan memerlukan waktu yang cukup lama. Masyarakat Melayu Riau memiliki adat dan tradisi yang homogen. Homogenitas corak adat dan tradisi tersebut tumbuh dan berkembang sesuai dengan pengaruh lingkungan alam dan keadaan setempat. Jauh sebelum kedatangan Belanda, di Riau telah berdiri beberapa kerajaan yang berdaulat ke dalam dan ke luar (de facto, de jure). Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Kerajaan siak Sri Indrapura, Indragiri, Pelawan, Riau Lingga, dan be¬berapa kerajaan lainnya. Semua kerajaan tersebut diatur oleh pemerintahan yang dikepalai seorang sultan atau raja beserta para pembantunya. Pembantu terendah ialah seorang pemimpin yang dapat digolongkan sebagai priyayi. Sebenarnya sebutan priyayi kurang lazim di Riau. Adapun maksud istilah priyayi di sini adalah orang yang mempunyai pekerjaan “halus”, yaitu orang yang bekerja sebagai pegawai pemerintah (Geertz, 1981: 308). Ciri-ciri priyayi terwujud dalam pola perilaku khidmat, pola mengasosiasikan diri, dan pola menyamakan status kedudukan (pada zaman raja-raja).

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, kerajaan-kerajaan tersebut bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kaum bangsawan yang bekerja di kerajaan otomatis menjadi pegawai daerah. Kaum bangsawan yang memegang pimpinan maupun kaum bangsawan yang tidak memegang pimpinan kemudian bekerja sama dengan pegawai Republik Indonesia untuk membina masyarakat yang baru merdeka. Dalam pandangan masyarakat Melayu Riau, pemimpin ada¬lah orang yang bijaksana, berbudi ba¬hasa, bertamaddun, terbuka, bertanggung jawab, dan yang dikenal oleh semua rakyat.

Kepala suku merupakan pemimpin dalam wilayahnya. Gelar di¬pakai menurut tingkatnya masing-masing, misalnya datuk yang mengepalai suku dan penghulu yang mengepalai sebuah negeri atau kampung. Perkembangan terakhir, status kampung diubah menjadi wilayah yang disebut desa dan dipimpin oleh kepala desa. Di samping itu juga terdapat pemimpin agama yang disebut imam. Imam bertugas mengurusi semua persoalan yang berhubungan dengan kehidupan beragama. Imam merupakan pemimpin nonformal yang menjadi tumpuan masyarakat.

Kegiatan kehidupan masyarakat sehari-hari berjalan dengan bimbingan kepala desa dan imam-imam. Kegiatan bekerja tidak lepas dari kegiatan sumber mata-pencaharian masyarakat, yaitu bercocok-tanam dan menangkap ikan. Setiap musim turun ke sawah, para petani bekerja dengan bimbingan kepala desa atau peng¬hulu. Dalam pelaksanaan kegiatan ini selalu terjalin kerja sama antara kepala desa dengan tokoh masyarakat lainnya. Bim¬bingan tokoh-tokoh masyarakat dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat dengan penuh kesadaran. Kerjasama ini didukung oleh perasaan kekeluargaan dan perasaan senasib sepenanggungan (Saparin, 1976: 2). Perasaan senasib sepenanggungan ini melahirkan kebersamaan di antara anggota masyarakat. Umumnya, setiap pengelompokan masyarakat merupakan perwujudan kegiatan yang menumbuhkan interaksi antara sesama anggotanya (Santoso, 1982/1983: 2).

Jika ditelusuri dengan sungguh-sungguh, ikatan ketergantungan ekonomi secara horizontal (mendatar) antara sebuah rumah tangga dengan rumah tangga lainnya tampak terjalin. Jalinan ikatan ketergantungan tersebut juga terjadi secara vertikal, yaitu antara anggota dengan pemimpin yang berkedudukan lebih tinggi. Jalinan ikatan ketergantungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Dari bagan di atas tampak bahwa hubungan ikatan horizontal dan vertikal diatur menurut ketentuan yang berlaku dalam masyarakat Melayu. Pemahaman ciri-ciri hubungan masyarakat ini diharapkan akan membantu para pengambil kebijakan dalam menetapkan kebijakan untuk membina masyarakat secara tepat, agar dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat di segala bidang. Perlu disadari bahwa pembimbing berperan sebagai pemimpin yang mengemudikan interaksi sosial antara sesama anggota masyarakat. Dalam membimbing masyarakat, hal yang perlu diperhatikan adalah masalah keyakinan dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat, karena hal itu mempengaruhi cara berpikir dan bertingkah-laku masyarakat. Sebagian besar masyarakat Melayu Riau beragama Islam, namun gejala percaya kepada roh gaib masih tampak.

2. Masyarakat Desa Dan Kota
Pemerintah desa menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, ialah suatu wilayah setempat yang merupakan kesatuan penguasa yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri Saparin, 1976: 2). Berdasarkan Undang-undang tersebut, kemajuan suatu desa ditentukan oleh masyarakatnya. Pemimpin dan seluruh masyarakat harus berusaha bersama-sama untuk mencapai kemajuan dalam segala segi kehidupan secara seimbang.

Sifat pemerintahan desa masih tampak sederhana, sesuai dengan kebutuhan hidup mereka, karena tingkat berpikir warga desa belum sejajar dengan warga kota. Hal itu terjadi sebagai akibat keterbatasan pendidikan di desa. Warga desa yang telah memperoleh pendidikan di kota belum mampu mengubah keadaan warga desanya secara maksimal. Tradisi lama masih dipertahankan seiring dengan masuknya penemuan-penemuan baru hasil perkembangan ilmu dan teknologi. Modernisasi yang memasuki desa mengakibatkan proses mobilisasi terjadi dengan cepat. Masyarakat desa berpindah ke kota, dan sebaliknya.

Sebagian besar warga desa terdiri dari masyarakat petani, baik yang mempunyai sawah maupun tidak. Golongan masyarakat petani dan golongan masyarakat kota yang berpenghasilan rendah jumlahnya lebih besar bila dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi. Golongan cendekiawan, pemimpin, ulama, dan pedagang menempati lapisan atas. Pelapisan sosial hanya bersifat sementara, karena stratifikasi sosial selalu bergeser dan berubah-ubah. Pergeseran terjadi karena adanya sistem pemerintahan dan pendidikan yang demokratis. Pendidikan merupakan salah satu faktor terjadinya perubahan status kedudukan individu dalam masyarakat. Saat ini orang yang berpendidikan akan diterima oleh ma¬syarakat sebagai orang pandai yang bijak dan dipercaya.

Warga desa yang mencari kehidupan di kota berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan di kota. Biasanya mereka menjadi buruh kasar, karena tidak memiliki skill dan pengetahuan yang diperlukan di kota. Sebaliknya, warga kota yang pindah ke desa menempati status sosial teratas. Masyarakat desa menerima kehadiran mereka, karena warga kota tersebut dianggap sebagai orang yang lebih modern dan pandai.

3. Sikap Mental Warga Masyarakat Desa
Adaungkapan Melayu segar teringar-ingar yang berbunyi: “Siapa yang hidup berkelebihan, dia adalah serakah”. Ungkapan ini menyiratkan pandangan hidup masyarakat Melayu Riau di desa, karena setiap warga desa tidak ingin menjadi manusia serakah. Para petani tidak ingin mencari rezeki melebihi kebutuhan sehari-hari. Mereka bersikap sadar diri, tahu diuntung, serta selalu menempatkan diri sebagai warga masyarakat yang mentaati adat.

Usaha pemerintah untuk meningkatkan kehidupan ekonomi petani belum tercapai, karena cara berpikir warga desa masih statis. Mereka bekerja sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Adat-istiadat, kebiasaan, serta tata-cara hidup di desa yang tidak ekonomis seperti pesta kenduri dan kebiasaan saling memberi masih tetap dipertahankan. Hari walimah atau sunat rasul selalu diadakan pada saat musim panen. Sebagian besar hasil penjualan pa¬nen dihabiskan untuk keperluan tersebut. Biaya sunat rasul tidak ditanggung sepenuhnya oleh keluarga yang mengadakan upacara, akan tetapi juga dibantu oleh kerabat terdekat. Kerelaan membantu kemudian berubah menjadi wajib memberi.

Masyarakat petani masih belum menerima usaha-usaha pembaharuan, karena masyarakat petani masih dikuasai oleh tradisi lama. Oleh karena itu, pemerintah berkeinginan untuk mengubah kesadaran petani agar menjadi petani yang maju dan terhubung dengan kehidupan kota (Saparin, 1976:14). Pemerintah menginginkan agar hasil pertanian tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan warga desa, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan warga kota dan para nelayan. Sikap statis para petani dalam kehidupan sosial ekonomi tercermin dari segala tindakannya yang menggunakan cara-cara tradisional.

Pendapatan nelayan memang relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan petani. Hal ini karena tengkulak ikan dan toke-toke perahu nelayan menguasai modal dan alat produksi yang menentukan pemasaran hasil nelayan. Sama halnya dengan pola hidup masyarakat petani, para nelayan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apabila mendapat hasil lebih, mereka akan menggunakannya untuk membeli barang-barang yang kurang bermanfaat.

Meskipun sulit dibuktikan, tetapi tampak bahwa nelayan tidak memikirkan masa depan. Mereka hampir tidak mengenal cara menabung. Sebagai seorang muslim, mereka berkeyakinan bahwa Tuhan akan selalu memberi rezeki untuk hari esok. Pandangan tersebut menyebabkan nelayan kurang memikirkan persiapan untuk meng¬hadapi masa depan dan keadaan yang tidak terduga.

Meskipun pemerintah telah berusaha meningkatkan teknologi penangkapan ikan, membina koperasi nelayan, serta mem¬bantu pemasaran ikan, namun hasilnya belum memadai. Tingkat pendapatan nelayan tetap rendah, karena nelayan tradisional sukar menerima inovasi baru dan kurang memiliki inisiatif dalam meningkatkan usaha. Di samping itu, ada faktor lain yang ikut mempengaruhi mental nelayan tersebut, yaitu sikap ketaatan kepada pemimpin. Sebagai contoh, perairan Kecamatan Tebing Tinggi yang merupakan salah satu daerah perikanan penting di pantai timur Pulau Sumatera dikuasai oleh penduduk nonpribumi yang hanya berjumlah 198 jiwa. Perairan tersebut dilingkari oleh banyak selat dan pulau. Jumlah penduduknya kurang lebih 82.160 jiwa. Rata-rata hasil produksi ikan dan udang setiap tahun adalah 9.258, 5 ton, terdiri dari 8.326, 2 ton ikan dan selebihnya udang.

Penangkapan ikan dilakukan bersama-sama dalam kelompok-kelompok nelayan dengan modal dan barang sesuai kemampuan masing-masing. Pemasaran ikan yang dilakukan nelayan melalui proses panjang, dengan alat dan cara tradisional (Susilo, 1963 : 53). Jumlah penduduk Tebing Tinggi menurut kewarganegaraannya.

Jumlah nelayan penuh dan pegawai negeri sangat jauh. Kehidupan nelayan yang menggantungkan hidup dengan menjadi buruh atau meynewa alat penangkapan dari orang lain sangat tertekan. Jumlah penghasilan yang diperoleh tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena sebagian besar hasilnya untuk menyewa alat. Akibatnya, mereka sangat tergantung pada pihak lain. Pemerintah menyadari keadaan yang menimpa masyarakat nelayan tersebut, sehingga pemerintah berusaha meningkatkan taraf hidup nelayan pribumi melalui program UDP Unit Perikanan, seperti yang dilakukan di Selatpanjang.

Bentuk pemasaran ikan bermacam-macam. Ada yang langsung disalurkan oleh nelayan, ada juga yang disalurkan melalui jalur lain. Kedua bentuk pemasaran itu mempunyai sisi positif maupun negatif. Bila hasil tangkapan dijual sendiri oleh nelayan, harganya akan lebih mahal, akan tetapi memerlukan waktu lama, sehingga mengganggu waktu penangkapan. Namun ada juga yang dijual kepada toke-toke yang bertindak sebagai perantara. Jalur-jalur distribusi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Perikanan dan pertanian merupakan usaha utama orang Melayu. Melalui usaha ini terbuka usaha-usaha lain bagi penduduk sekitarnya, seperti pedagang ikan atau pengolah hasil ikan (pembuat ikan asin, terasi, kerupuk, dan sebagainya).

4. Tempat Interaksi Petani, Nelayan, Dan Priyayi
Interaksi ketiga golongan ini dapat digambarkan dalam diagram berikut.
Dari diagram di atas terlihat bahwa ketiga golongan tersebut berinteraksi di pasar, yaitu saat mereka menjual atau membeli barang-barang yang diperlukan. Interaksi yang terjadi secara tidak langsung tersebut seakan-akan kurang intim, karena interaksi dalam pasar tidak diikat oleh tatakrama adat yang erat. Walaupun sifatnya terbatas, akan tetapi interaksi yang menjurus pada interaksi sosial yang bersifat kekerabatan sudah tampak. Ketiga golongan tersebut berinteraksi di pasar dengan sistem silang. lnteraksi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Pola interaksi tersebut masih memperlihatkan keterbatasan hubungan dari setiap golongan. Pola interaksi yang ideal ialah pola hubungan yang terjadi pada masa Kerajaan Siak Sri Indrapura. Dalam pola tersebut pekerja halus (priyayi), petani, dan nelayan bersatu dalam satu lingkaran. Mereka merupakan satu kesatuan dalam segala hal. Penggarapan sawah pertanian dilakukan secara gotong-royong dan pegawai juga berpartisipasi aktif dalam meningkatkan penghasilan nelayan. Kegiatan seperti ini terjadi ketika diadakan upacara penyemahan ikan terubuk.

Pola yang disarankan kepada pemerintah adalah pola seluruh kehidupan sosial ekonomi masyarakat dalam satu lingkaran kerja sama. Tidak boleh ada batas antara pekerja halus, petani, dan nelayan. Sebagai contoh, hubungan lama yang pernah terjalin antara pemuka masyarakat dan rakyat di Kerajaan Siak Sri Indrapura sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Orang-orang Kerajaan Siak Sri Indrapura yang bertugas sebagai pendamping sultan dalam pemerintahan sehari-hari adalah kepala suku yang diberi gelar datuk. Gelar datuk tersebut dimiliki oleh beberapa orang, yaitu (a) Bebas Sri Bijuangsa, yang bergelar Datuk Lima Puluh; (b) Syawal Sri Dewa Raja, yang bergelar Datuk Pesisir; (c) Syamsuddin Sri Perkerma, yang bergelar Datuk Tanah Datar; dan (d) Hamzah, yang bergelar Datuk Kampar.

Sultan Siak berputra tiga orang, yaitu (a) Tengku Alam, bergelar Yang Dipertuan Muda; (b) Tengku Ngah, mangkat sebelum diberi gelar; (c) Tengku Buang Asmara, bergelar Tengku Mahkota.

Pengangkatan Tengku Buang Asmara dengan penobatan oleh Datuk Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal dengan gelar Sultan Muhammad Abdul Muzaftarsyah serta putranya Encik Ibrahim berlangsung dalam suasana meriah. Suatu ketika Datuk Panglima Tuagik menasihati anak dan cucunya sebagai berikut: “Kalau kita sebagai kepala pemerintahan jangan sekali-kali mungkir janji, ikrar kita hendaklah dimuliakan”. Adapun amanah yang disampaikan yaitu “pelihara segala senjata dan jangan membawa luka di belakang”.

Hubungan baik antara Sultan Siak dengan Datuk Sri Maharaja Lela Encik Ibrahim) terjalin baik. Kesatuan dan kepaduan dalam membimbing, membina, dan mengembangkan hidup masyarakat berada di bawah naungan bendera sultan menyebabkan Datuk Ibrahim mendapat dua gelar kehormatan, yaitu Datuk Sri Maharaja Lela yang diperoleh di Bengkalis dan Datuk Laksamana Raja Di Laut yang diperoleh dari Sultan Siak Sri Indrapura.

Bendera kesatuan kerajaan berwarna hitam, kuning, dan hijau lumut. Warna bendera tersebut memiliki makna sebagai berikut: (a) Kuning di bagian tengah bendera, melambangkan Kerajaan Siak Sri Indrapura; (b) Hitam, melambangkan pakaian hulubalang; dan (c) Hijau lumut, melambangkan kemakmuran.

Lancang Kuning Laksamana bernama Lancang Kuning “Murai Batu”. Datuk Laksamana Raja Di Laut bermaksud memindahkan ibu negeri ke Bukit Batu (sekarang Bukit Batu Laut). Pemerintah kerajaan harus berdasarkan hukum yang baik. Ukuran benar salah ditetapkan dengan hukum. Hukum berlaku untuk semua orang dan tidak membedakan status pelanggarnya. Sebagai contoh, adalah peristiwa penegakan hukum atas adik kandung Datuk Sri Maharaja Lela.

Adik kandung Datuk ini melakukan tindakan pidana, yaitu menikam tabib pribadi raja. Sultan sangat marah. Dia kemudian memutuskan agar pelaksanaan hukuman diserahkan kepada kakaknya sendiri, yaitu Datuk Sri Maharaja Lela. Dalam ketentuan hukum, tikam dibalas dengan tikam, bunuh dibalas dengan bunuh, dengan syarat harus mati dengan sekali tikam; tidak boleh melebihi luka yang terdapat pada luka korban yang telah ditikam; dan apabila tidak sesuai dengan dua ketentuan tersebut, hukuman akan berpindah kepada si penikam.

Dari syarat tersebut tampak jelas bahwa hukum Islam menjadi landasan kerajaan. Datuk Laksamana mempunyai dua kelebihan, seperti yang diungkapkan Sultan Siak setelah perang menaklukkan Asahan, yaitu, “Datuk Laksamana menjunjung duli atau titah” dan “Datuk Laksamana hilir bergalah.” Dua ungkapan ini dapat diinterpretasikan sebagai berikut: (a) Datuk Laksamana datang menghadap ke Siak (kepada raja), memakai pakaian tersendiri; (b) Setelah sampai di Kuala Siak, Datuk Laksamana mempunyai kuasa sendiri dan juga mempunyai pakaian sendiri.

Sekitar tahun 1864, Laksamana Setia Diraja mulai memusatkan perhatiannya ke bidang pertanian. Beliau membuka hutan-hutan baru untuk dijadikan perkebunan, sampai ke daerah Dumai yang dikenal dengan nama Bukit Datuk. Pada tahun 1908, Laksamana Abdullah Saleh merasa bahwa dirinya telah lanjut usia, sehingga dia menunjuk penggantinya, yaitu Encik Ali Akbar (adik S. Gafur) untuk memikul tanggung jawab besar dengan gelar Datuk Laksamana Setia Diraja. Pemerintah Siak dipangku oleh Tengku Besar dan Datuk Limapuluh sebagai wali dari Sultan Siak. Pelantikan Sultan Siak XII dilakukan oleh Datuk Laksamana Ali Akbar sebagai ahli waris Datuk Panglima Tuagik.

5. Upacara Penyemahan Nelayan Terubuk
Bomo memegang peran memanggil ikan terubuk dengan cara memimpin upacara menyemah ikan terubuk. Dalam upacara tersebut, Bomo berada dalam keadaan tidak sadarkan diri (trance). Upacara penyemahan laut dimulai dengan memotong kerbau. Kemudian sebuah balai terubuk diletakkan di Bukit Batu Laut. Balai tersebut dibuat tanpa menggunakan paku, karena bila menggunakan paku atau besi, maka roh tidak akan masuk ke dalam tubuh Bomo. Balai terdiri dari empat buah tiang yang tembus ke dasar balai. Para Batin menjaga dan menunggu di keempat tiang ini sampai roh yang dipanggil tiba. Batinbatin yang bertugas menjaga adalah Bengkalis, Batin Senderak, Batin Alam, dan Batin Penebal. Seorang Batin yang bergelar Batin Cedun bertugas mengawasi Batinbatin dan Bomo yang dimasuki roh. Petunjuk untuk memasukkan roh ke dalam tubuh Bomo diperoleh dari seorang perempuan bernama Jenjang Raja.

Upacara penyemahan ikan terubuk bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan. Oleh karena itu, semua nelayan ikut serta dalam upacara tersebut. Dalam upacara penyemahan ikan terubuk tercipta kerjasama yang erat antara unsur pemimpin dan rakyat. Kerjasama terlihat dalam mempersiapkan perlengkapan upacara yang disajikan di atas sebuah rakit. Rakit dibuat dari susunan sampan bolong. Rakit diberi lantai sebagai tempat duduk untuk orang yang langsung terlibat dalam upacara penyemahan.

Datuk Bandara Jamal yang merupakan keturunan Datuk Laksamana Bukit Batu amat mementingkan upacara penyemahan, karena upacara tersebut sangat dipercaya oleh masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan selalu menyerahkan penyelenggaraan upacara penyemahan ikan kepada pemerintah. Dalam upacara penyemahan ikan terubuk tersebut terlihat jalinan kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat demi kesejahteraan hidup bersama. Cara kerja masyarakat dalam penyemahan digambarkan dalam diagram berikut.

Oleh karena perkembangan zaman, kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat mulai terlihat tidak intim lagi. Perkembangan zaman dan peradaban membawa warna baru dalam kehidupan masyarakat. Keadaan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Di antaranya adalah: (a) Keyakinan lama telah pudar, karena perkembangan pengetahuan dan teknologi telah mengubah cara berpikir orang. Ilmu pengetahuan menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara penyemahan laut dengan populasi ikan terubuk serta penghasilan nelayan; (b) Kurangnya perhatian pemimpin terhadap alat, perlengkapan, dan keperluan nelayan. Tidak ada usaha yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan seperti yang dilakukan oleh pemimpin zaman dulu; (c) Tidak adanya kesatuan pendapat tentang cara membina nelayan; (d) Keterbatasan hubungan antara keturunan Datuk Laksamana Raja Di Laut, pemerintah, dan rakyat; (e) Pemimpin informal kurang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan spiritual rakyat.

Sudah menjadi kebiasaan, apabila Datuk Laksamana mencucikan kakinya di laut, maka ikan terubuk akan datang membanjiri Laut Bukit Batu. Ketika air pasang, para nelayan berbondong-bondong turun ke laut membawa jaring ikan terubuk. Jadi, ada hubungan timbal balik antara pimpinan dengan masyarakat nelayan. Mereka saling mengisi dengan tujuan kemakmuran bersama.

6. Penutup
Interaksi antara golongan petani, nelayan, dan priyayi dalam masyarakat Melayu Riau harus berorientasi pada pola interaksi lama yang diterapkan pada masa kerajaan. Pola interaksi secara horizontal maupun vertikal perlu dikembangkan lagi sebagai landasan pokok dalam membina kelanjutan tradisi Melayu serta sebagai landasan dalam membangun dan menyejahterakan kehidupan sosial ekonomi Melayu di masa mendatang. Tanpa memperhatikan jaringan hubungan interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat Melayu, maka orang yang bertugas memimpin orang Melayu akan kurang berhasil.

Daftar Pustaka
Geertz, C. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Hamidy, U. U. 1982. Sistem Nilai Masyarakat Pedesaan di Riau. Pekanbaru: Bumi Pustaka.

Ihromi, T. O. 1980. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Yayasan Obor Indonesia: Gramitra.

Koentjaraningrat. 1982. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: Universitas Indo¬ne¬sia Press.

Rehzain, A. 1983. Datuk Laksamana Raja Di Laut.

Saparin, 1976. Tinjauan tentang Masyarakat Pedesaan di Indonesia. Jakarta: Departemen Dalam Negeri.

Wolf, E. R. 1983. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: Rajawali.
__________________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau