Petani, Nelayan, dan Priyayi Melayu di Riau

Oleh : H. Said Mahmud Umar

Masyarakat Melayu Riau dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan petani, nelayan, dan priyayi. Ketiganya hidup berdampingan dengan tenteram di bawah seorang pemimpin yang diakui bersama. Ketiga golongan tersebut berinteraksi di pasar, ketika menjual dan membeli barang-barang kebutuhan yang diperlukan. Interaksi juga terjadi di tempat-tempat upacara, karena upacara dilakukan oleh ketiga golongan tersebut secara gotong-royong.

1. Pendahuluan
Pembahasan mengenai interaksi antara petani, nelayan, dan priyayi termasuk bidang antropologi. Antropologi merupakan ilmu yang membahas masalah manusia, sehingga ma¬salah yang dikaji sangat kompleks. Ruang lingkup pembahasan interaksi antara petani, nelayan, dan priyayi dalam makalah ini terbatas pada masyarakat Melayu Riau. lnteraksi dapat diartikan sebagai hubungan timbal-balik antara individu dengan individu maupun individu dengan sekelompok individu.

Pembahasan tentang masyarakat Melayu Riau tidak dapat dilakukan secara sepintas, karena masyarakat Melayu merupakan masyarakat kompleks, sehingga pembahasannya menuntut kesungguhan dan memerlukan waktu yang cukup lama. Masyarakat Melayu Riau memiliki adat dan tradisi yang homogen. Homogenitas corak adat dan tradisi tersebut tumbuh dan berkembang sesuai dengan pengaruh lingkungan alam dan keadaan setempat. Jauh sebelum kedatangan Belanda, di Riau telah berdiri beberapa kerajaan yang berdaulat ke dalam dan ke luar (de facto, de jure). Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Kerajaan siak Sri Indrapura, Indragiri, Pelawan, Riau Lingga, dan be¬berapa kerajaan lainnya. Semua kerajaan tersebut diatur oleh pemerintahan yang dikepalai seorang sultan atau raja beserta para pembantunya. Pembantu terendah ialah seorang pemimpin yang dapat digolongkan sebagai priyayi. Sebenarnya sebutan priyayi kurang lazim di Riau. Adapun maksud istilah priyayi di sini adalah orang yang mempunyai pekerjaan “halus”, yaitu orang yang bekerja sebagai pegawai pemerintah (Geertz, 1981: 308). Ciri-ciri priyayi terwujud dalam pola perilaku khidmat, pola mengasosiasikan diri, dan pola menyamakan status kedudukan (pada zaman raja-raja).

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, kerajaan-kerajaan tersebut bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kaum bangsawan yang bekerja di kerajaan otomatis menjadi pegawai daerah. Kaum bangsawan yang memegang pimpinan maupun kaum bangsawan yang tidak memegang pimpinan kemudian bekerja sama dengan pegawai Republik Indonesia untuk membina masyarakat yang baru merdeka. Dalam pandangan masyarakat Melayu Riau, pemimpin ada¬lah orang yang bijaksana, berbudi ba¬hasa, bertamaddun, terbuka, bertanggung jawab, dan yang dikenal oleh semua rakyat.

Kepala suku merupakan pemimpin dalam wilayahnya. Gelar di¬pakai menurut tingkatnya masing-masing, misalnya datuk yang mengepalai suku dan penghulu yang mengepalai sebuah negeri atau kampung. Perkembangan terakhir, status kampung diubah menjadi wilayah yang disebut desa dan dipimpin oleh kepala desa. Di samping itu juga terdapat pemimpin agama yang disebut imam. Imam bertugas mengurusi semua persoalan yang berhubungan dengan kehidupan beragama. Imam merupakan pemimpin nonformal yang menjadi tumpuan masyarakat.

Kegiatan kehidupan masyarakat sehari-hari berjalan dengan bimbingan kepala desa dan imam-imam. Kegiatan bekerja tidak lepas dari kegiatan sumber mata-pencaharian masyarakat, yaitu bercocok-tanam dan menangkap ikan. Setiap musim turun ke sawah, para petani bekerja dengan bimbingan kepala desa atau peng¬hulu. Dalam pelaksanaan kegiatan ini selalu terjalin kerja sama antara kepala desa dengan tokoh masyarakat lainnya. Bim¬bingan tokoh-tokoh masyarakat dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat dengan penuh kesadaran. Kerjasama ini didukung oleh perasaan kekeluargaan dan perasaan senasib sepenanggungan (Saparin, 1976: 2). Perasaan senasib sepenanggungan ini melahirkan kebersamaan di antara anggota masyarakat. Umumnya, setiap pengelompokan masyarakat merupakan perwujudan kegiatan yang menumbuhkan interaksi antara sesama anggotanya (Santoso, 1982/1983: 2).

Jika ditelusuri dengan sungguh-sungguh, ikatan ketergantungan ekonomi secara horizontal (mendatar) antara sebuah rumah tangga dengan rumah tangga lainnya tampak terjalin. Jalinan ikatan ketergantungan tersebut juga terjadi secara vertikal, yaitu antara anggota dengan pemimpin yang berkedudukan lebih tinggi. Jalinan ikatan ketergantungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Dari bagan di atas tampak bahwa hubungan ikatan horizontal dan vertikal diatur menurut ketentuan yang berlaku dalam masyarakat Melayu. Pemahaman ciri-ciri hubungan masyarakat ini diharapkan akan membantu para pengambil kebijakan dalam menetapkan kebijakan untuk membina masyarakat secara tepat, agar dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat di segala bidang. Perlu disadari bahwa pembimbing berperan sebagai pemimpin yang mengemudikan interaksi sosial antara sesama anggota masyarakat. Dalam membimbing masyarakat, hal yang perlu diperhatikan adalah masalah keyakinan dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat, karena hal itu mempengaruhi cara berpikir dan bertingkah-laku masyarakat. Sebagian besar masyarakat Melayu Riau beragama Islam, namun gejala percaya kepada roh gaib masih tampak.

2. Masyarakat Desa Dan Kota
Pemerintah desa menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, ialah suatu wilayah setempat yang merupakan kesatuan penguasa yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri Saparin, 1976: 2). Berdasarkan Undang-undang tersebut, kemajuan suatu desa ditentukan oleh masyarakatnya. Pemimpin dan seluruh masyarakat harus berusaha bersama-sama untuk mencapai kemajuan dalam segala segi kehidupan secara seimbang.

Sifat pemerintahan desa masih tampak sederhana, sesuai dengan kebutuhan hidup mereka, karena tingkat berpikir warga desa belum sejajar dengan warga kota. Hal itu terjadi sebagai akibat keterbatasan pendidikan di desa. Warga desa yang telah memperoleh pendidikan di kota belum mampu mengubah keadaan warga desanya secara maksimal. Tradisi lama masih dipertahankan seiring dengan masuknya penemuan-penemuan baru hasil perkembangan ilmu dan teknologi. Modernisasi yang memasuki desa mengakibatkan proses mobilisasi terjadi dengan cepat. Masyarakat desa berpindah ke kota, dan sebaliknya.

Sebagian besar warga desa terdiri dari masyarakat petani, baik yang mempunyai sawah maupun tidak. Golongan masyarakat petani dan golongan masyarakat kota yang berpenghasilan rendah jumlahnya lebih besar bila dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi. Golongan cendekiawan, pemimpin, ulama, dan pedagang menempati lapisan atas. Pelapisan sosial hanya bersifat sementara, karena stratifikasi sosial selalu bergeser dan berubah-ubah. Pergeseran terjadi karena adanya sistem pemerintahan dan pendidikan yang demokratis. Pendidikan merupakan salah satu faktor terjadinya perubahan status kedudukan individu dalam masyarakat. Saat ini orang yang berpendidikan akan diterima oleh ma¬syarakat sebagai orang pandai yang bijak dan dipercaya.

Warga desa yang mencari kehidupan di kota berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan di kota. Biasanya mereka menjadi buruh kasar, karena tidak memiliki skill dan pengetahuan yang diperlukan di kota. Sebaliknya, warga kota yang pindah ke desa menempati status sosial teratas. Masyarakat desa menerima kehadiran mereka, karena warga kota tersebut dianggap sebagai orang yang lebih modern dan pandai.

3. Sikap Mental Warga Masyarakat Desa
Adaungkapan Melayu segar teringar-ingar yang berbunyi: “Siapa yang hidup berkelebihan, dia adalah serakah”. Ungkapan ini menyiratkan pandangan hidup masyarakat Melayu Riau di desa, karena setiap warga desa tidak ingin menjadi manusia serakah. Para petani tidak ingin mencari rezeki melebihi kebutuhan sehari-hari. Mereka bersikap sadar diri, tahu diuntung, serta selalu menempatkan diri sebagai warga masyarakat yang mentaati adat.

Usaha pemerintah untuk meningkatkan kehidupan ekonomi petani belum tercapai, karena cara berpikir warga desa masih statis. Mereka bekerja sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Adat-istiadat, kebiasaan, serta tata-cara hidup di desa yang tidak ekonomis seperti pesta kenduri dan kebiasaan saling memberi masih tetap dipertahankan. Hari walimah atau sunat rasul selalu diadakan pada saat musim panen. Sebagian besar hasil penjualan pa¬nen dihabiskan untuk keperluan tersebut. Biaya sunat rasul tidak ditanggung sepenuhnya oleh keluarga yang mengadakan upacara, akan tetapi juga dibantu oleh kerabat terdekat. Kerelaan membantu kemudian berubah menjadi wajib memberi.

Masyarakat petani masih belum menerima usaha-usaha pembaharuan, karena masyarakat petani masih dikuasai oleh tradisi lama. Oleh karena itu, pemerintah berkeinginan untuk mengubah kesadaran petani agar menjadi petani yang maju dan terhubung dengan kehidupan kota (Saparin, 1976:14). Pemerintah menginginkan agar hasil pertanian tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan warga desa, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan warga kota dan para nelayan. Sikap statis para petani dalam kehidupan sosial ekonomi tercermin dari segala tindakannya yang menggunakan cara-cara tradisional.

Pendapatan nelayan memang relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan petani. Hal ini karena tengkulak ikan dan toke-toke perahu nelayan menguasai modal dan alat produksi yang menentukan pemasaran hasil nelayan. Sama halnya dengan pola hidup masyarakat petani, para nelayan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apabila mendapat hasil lebih, mereka akan menggunakannya untuk membeli barang-barang yang kurang bermanfaat.

Meskipun sulit dibuktikan, tetapi tampak bahwa nelayan tidak memikirkan masa depan. Mereka hampir tidak mengenal cara menabung. Sebagai seorang muslim, mereka berkeyakinan bahwa Tuhan akan selalu memberi rezeki untuk hari esok. Pandangan tersebut menyebabkan nelayan kurang memikirkan persiapan untuk meng¬hadapi masa depan dan keadaan yang tidak terduga.

Meskipun pemerintah telah berusaha meningkatkan teknologi penangkapan ikan, membina koperasi nelayan, serta mem¬bantu pemasaran ikan, namun hasilnya belum memadai. Tingkat pendapatan nelayan tetap rendah, karena nelayan tradisional sukar menerima inovasi baru dan kurang memiliki inisiatif dalam meningkatkan usaha. Di samping itu, ada faktor lain yang ikut mempengaruhi mental nelayan tersebut, yaitu sikap ketaatan kepada pemimpin. Sebagai contoh, perairan Kecamatan Tebing Tinggi yang merupakan salah satu daerah perikanan penting di pantai timur Pulau Sumatera dikuasai oleh penduduk nonpribumi yang hanya berjumlah 198 jiwa. Perairan tersebut dilingkari oleh banyak selat dan pulau. Jumlah penduduknya kurang lebih 82.160 jiwa. Rata-rata hasil produksi ikan dan udang setiap tahun adalah 9.258, 5 ton, terdiri dari 8.326, 2 ton ikan dan selebihnya udang.

Penangkapan ikan dilakukan bersama-sama dalam kelompok-kelompok nelayan dengan modal dan barang sesuai kemampuan masing-masing. Pemasaran ikan yang dilakukan nelayan melalui proses panjang, dengan alat dan cara tradisional (Susilo, 1963 : 53). Jumlah penduduk Tebing Tinggi menurut kewarganegaraannya.

Jumlah nelayan penuh dan pegawai negeri sangat jauh. Kehidupan nelayan yang menggantungkan hidup dengan menjadi buruh atau meynewa alat penangkapan dari orang lain sangat tertekan. Jumlah penghasilan yang diperoleh tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena sebagian besar hasilnya untuk menyewa alat. Akibatnya, mereka sangat tergantung pada pihak lain. Pemerintah menyadari keadaan yang menimpa masyarakat nelayan tersebut, sehingga pemerintah berusaha meningkatkan taraf hidup nelayan pribumi melalui program UDP Unit Perikanan, seperti yang dilakukan di Selatpanjang.

Bentuk pemasaran ikan bermacam-macam. Ada yang langsung disalurkan oleh nelayan, ada juga yang disalurkan melalui jalur lain. Kedua bentuk pemasaran itu mempunyai sisi positif maupun negatif. Bila hasil tangkapan dijual sendiri oleh nelayan, harganya akan lebih mahal, akan tetapi memerlukan waktu lama, sehingga mengganggu waktu penangkapan. Namun ada juga yang dijual kepada toke-toke yang bertindak sebagai perantara. Jalur-jalur distribusi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Perikanan dan pertanian merupakan usaha utama orang Melayu. Melalui usaha ini terbuka usaha-usaha lain bagi penduduk sekitarnya, seperti pedagang ikan atau pengolah hasil ikan (pembuat ikan asin, terasi, kerupuk, dan sebagainya).

4. Tempat Interaksi Petani, Nelayan, Dan Priyayi
Interaksi ketiga golongan ini dapat digambarkan dalam diagram berikut.
Dari diagram di atas terlihat bahwa ketiga golongan tersebut berinteraksi di pasar, yaitu saat mereka menjual atau membeli barang-barang yang diperlukan. Interaksi yang terjadi secara tidak langsung tersebut seakan-akan kurang intim, karena interaksi dalam pasar tidak diikat oleh tatakrama adat yang erat. Walaupun sifatnya terbatas, akan tetapi interaksi yang menjurus pada interaksi sosial yang bersifat kekerabatan sudah tampak. Ketiga golongan tersebut berinteraksi di pasar dengan sistem silang. lnteraksi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Pola interaksi tersebut masih memperlihatkan keterbatasan hubungan dari setiap golongan. Pola interaksi yang ideal ialah pola hubungan yang terjadi pada masa Kerajaan Siak Sri Indrapura. Dalam pola tersebut pekerja halus (priyayi), petani, dan nelayan bersatu dalam satu lingkaran. Mereka merupakan satu kesatuan dalam segala hal. Penggarapan sawah pertanian dilakukan secara gotong-royong dan pegawai juga berpartisipasi aktif dalam meningkatkan penghasilan nelayan. Kegiatan seperti ini terjadi ketika diadakan upacara penyemahan ikan terubuk.

Pola yang disarankan kepada pemerintah adalah pola seluruh kehidupan sosial ekonomi masyarakat dalam satu lingkaran kerja sama. Tidak boleh ada batas antara pekerja halus, petani, dan nelayan. Sebagai contoh, hubungan lama yang pernah terjalin antara pemuka masyarakat dan rakyat di Kerajaan Siak Sri Indrapura sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Orang-orang Kerajaan Siak Sri Indrapura yang bertugas sebagai pendamping sultan dalam pemerintahan sehari-hari adalah kepala suku yang diberi gelar datuk. Gelar datuk tersebut dimiliki oleh beberapa orang, yaitu (a) Bebas Sri Bijuangsa, yang bergelar Datuk Lima Puluh; (b) Syawal Sri Dewa Raja, yang bergelar Datuk Pesisir; (c) Syamsuddin Sri Perkerma, yang bergelar Datuk Tanah Datar; dan (d) Hamzah, yang bergelar Datuk Kampar.

Sultan Siak berputra tiga orang, yaitu (a) Tengku Alam, bergelar Yang Dipertuan Muda; (b) Tengku Ngah, mangkat sebelum diberi gelar; (c) Tengku Buang Asmara, bergelar Tengku Mahkota.

Pengangkatan Tengku Buang Asmara dengan penobatan oleh Datuk Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal dengan gelar Sultan Muhammad Abdul Muzaftarsyah serta putranya Encik Ibrahim berlangsung dalam suasana meriah. Suatu ketika Datuk Panglima Tuagik menasihati anak dan cucunya sebagai berikut: “Kalau kita sebagai kepala pemerintahan jangan sekali-kali mungkir janji, ikrar kita hendaklah dimuliakan”. Adapun amanah yang disampaikan yaitu “pelihara segala senjata dan jangan membawa luka di belakang”.

Hubungan baik antara Sultan Siak dengan Datuk Sri Maharaja Lela Encik Ibrahim) terjalin baik. Kesatuan dan kepaduan dalam membimbing, membina, dan mengembangkan hidup masyarakat berada di bawah naungan bendera sultan menyebabkan Datuk Ibrahim mendapat dua gelar kehormatan, yaitu Datuk Sri Maharaja Lela yang diperoleh di Bengkalis dan Datuk Laksamana Raja Di Laut yang diperoleh dari Sultan Siak Sri Indrapura.

Bendera kesatuan kerajaan berwarna hitam, kuning, dan hijau lumut. Warna bendera tersebut memiliki makna sebagai berikut: (a) Kuning di bagian tengah bendera, melambangkan Kerajaan Siak Sri Indrapura; (b) Hitam, melambangkan pakaian hulubalang; dan (c) Hijau lumut, melambangkan kemakmuran.

Lancang Kuning Laksamana bernama Lancang Kuning “Murai Batu”. Datuk Laksamana Raja Di Laut bermaksud memindahkan ibu negeri ke Bukit Batu (sekarang Bukit Batu Laut). Pemerintah kerajaan harus berdasarkan hukum yang baik. Ukuran benar salah ditetapkan dengan hukum. Hukum berlaku untuk semua orang dan tidak membedakan status pelanggarnya. Sebagai contoh, adalah peristiwa penegakan hukum atas adik kandung Datuk Sri Maharaja Lela.

Adik kandung Datuk ini melakukan tindakan pidana, yaitu menikam tabib pribadi raja. Sultan sangat marah. Dia kemudian memutuskan agar pelaksanaan hukuman diserahkan kepada kakaknya sendiri, yaitu Datuk Sri Maharaja Lela. Dalam ketentuan hukum, tikam dibalas dengan tikam, bunuh dibalas dengan bunuh, dengan syarat harus mati dengan sekali tikam; tidak boleh melebihi luka yang terdapat pada luka korban yang telah ditikam; dan apabila tidak sesuai dengan dua ketentuan tersebut, hukuman akan berpindah kepada si penikam.

Dari syarat tersebut tampak jelas bahwa hukum Islam menjadi landasan kerajaan. Datuk Laksamana mempunyai dua kelebihan, seperti yang diungkapkan Sultan Siak setelah perang menaklukkan Asahan, yaitu, “Datuk Laksamana menjunjung duli atau titah” dan “Datuk Laksamana hilir bergalah.” Dua ungkapan ini dapat diinterpretasikan sebagai berikut: (a) Datuk Laksamana datang menghadap ke Siak (kepada raja), memakai pakaian tersendiri; (b) Setelah sampai di Kuala Siak, Datuk Laksamana mempunyai kuasa sendiri dan juga mempunyai pakaian sendiri.

Sekitar tahun 1864, Laksamana Setia Diraja mulai memusatkan perhatiannya ke bidang pertanian. Beliau membuka hutan-hutan baru untuk dijadikan perkebunan, sampai ke daerah Dumai yang dikenal dengan nama Bukit Datuk. Pada tahun 1908, Laksamana Abdullah Saleh merasa bahwa dirinya telah lanjut usia, sehingga dia menunjuk penggantinya, yaitu Encik Ali Akbar (adik S. Gafur) untuk memikul tanggung jawab besar dengan gelar Datuk Laksamana Setia Diraja. Pemerintah Siak dipangku oleh Tengku Besar dan Datuk Limapuluh sebagai wali dari Sultan Siak. Pelantikan Sultan Siak XII dilakukan oleh Datuk Laksamana Ali Akbar sebagai ahli waris Datuk Panglima Tuagik.

5. Upacara Penyemahan Nelayan Terubuk
Bomo memegang peran memanggil ikan terubuk dengan cara memimpin upacara menyemah ikan terubuk. Dalam upacara tersebut, Bomo berada dalam keadaan tidak sadarkan diri (trance). Upacara penyemahan laut dimulai dengan memotong kerbau. Kemudian sebuah balai terubuk diletakkan di Bukit Batu Laut. Balai tersebut dibuat tanpa menggunakan paku, karena bila menggunakan paku atau besi, maka roh tidak akan masuk ke dalam tubuh Bomo. Balai terdiri dari empat buah tiang yang tembus ke dasar balai. Para Batin menjaga dan menunggu di keempat tiang ini sampai roh yang dipanggil tiba. Batinbatin yang bertugas menjaga adalah Bengkalis, Batin Senderak, Batin Alam, dan Batin Penebal. Seorang Batin yang bergelar Batin Cedun bertugas mengawasi Batinbatin dan Bomo yang dimasuki roh. Petunjuk untuk memasukkan roh ke dalam tubuh Bomo diperoleh dari seorang perempuan bernama Jenjang Raja.

Upacara penyemahan ikan terubuk bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan. Oleh karena itu, semua nelayan ikut serta dalam upacara tersebut. Dalam upacara penyemahan ikan terubuk tercipta kerjasama yang erat antara unsur pemimpin dan rakyat. Kerjasama terlihat dalam mempersiapkan perlengkapan upacara yang disajikan di atas sebuah rakit. Rakit dibuat dari susunan sampan bolong. Rakit diberi lantai sebagai tempat duduk untuk orang yang langsung terlibat dalam upacara penyemahan.

Datuk Bandara Jamal yang merupakan keturunan Datuk Laksamana Bukit Batu amat mementingkan upacara penyemahan, karena upacara tersebut sangat dipercaya oleh masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan selalu menyerahkan penyelenggaraan upacara penyemahan ikan kepada pemerintah. Dalam upacara penyemahan ikan terubuk tersebut terlihat jalinan kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat demi kesejahteraan hidup bersama. Cara kerja masyarakat dalam penyemahan digambarkan dalam diagram berikut.

Oleh karena perkembangan zaman, kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat mulai terlihat tidak intim lagi. Perkembangan zaman dan peradaban membawa warna baru dalam kehidupan masyarakat. Keadaan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Di antaranya adalah: (a) Keyakinan lama telah pudar, karena perkembangan pengetahuan dan teknologi telah mengubah cara berpikir orang. Ilmu pengetahuan menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara penyemahan laut dengan populasi ikan terubuk serta penghasilan nelayan; (b) Kurangnya perhatian pemimpin terhadap alat, perlengkapan, dan keperluan nelayan. Tidak ada usaha yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan seperti yang dilakukan oleh pemimpin zaman dulu; (c) Tidak adanya kesatuan pendapat tentang cara membina nelayan; (d) Keterbatasan hubungan antara keturunan Datuk Laksamana Raja Di Laut, pemerintah, dan rakyat; (e) Pemimpin informal kurang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan spiritual rakyat.

Sudah menjadi kebiasaan, apabila Datuk Laksamana mencucikan kakinya di laut, maka ikan terubuk akan datang membanjiri Laut Bukit Batu. Ketika air pasang, para nelayan berbondong-bondong turun ke laut membawa jaring ikan terubuk. Jadi, ada hubungan timbal balik antara pimpinan dengan masyarakat nelayan. Mereka saling mengisi dengan tujuan kemakmuran bersama.

6. Penutup
Interaksi antara golongan petani, nelayan, dan priyayi dalam masyarakat Melayu Riau harus berorientasi pada pola interaksi lama yang diterapkan pada masa kerajaan. Pola interaksi secara horizontal maupun vertikal perlu dikembangkan lagi sebagai landasan pokok dalam membina kelanjutan tradisi Melayu serta sebagai landasan dalam membangun dan menyejahterakan kehidupan sosial ekonomi Melayu di masa mendatang. Tanpa memperhatikan jaringan hubungan interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat Melayu, maka orang yang bertugas memimpin orang Melayu akan kurang berhasil.

Daftar Pustaka
Geertz, C. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Hamidy, U. U. 1982. Sistem Nilai Masyarakat Pedesaan di Riau. Pekanbaru: Bumi Pustaka.

Ihromi, T. O. 1980. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Yayasan Obor Indonesia: Gramitra.

Koentjaraningrat. 1982. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: Universitas Indo¬ne¬sia Press.

Rehzain, A. 1983. Datuk Laksamana Raja Di Laut.

Saparin, 1976. Tinjauan tentang Masyarakat Pedesaan di Indonesia. Jakarta: Departemen Dalam Negeri.

Wolf, E. R. 1983. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: Rajawali.
__________________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau