Tampilkan postingan dengan label Organisasi Sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Organisasi Sosial. Tampilkan semua postingan

Asal Mula Kota Garut

Sejarah Kabupaten Garut berawal dari pembubaran Kabupaten Limbangan pada tahun 1811 oleh Daendles dengan alasan produksi kopi dari daerah Limbangan menurun hingga titik paling rendah nol dan bupatinya menolak perintah menanam nila(indigo). Pada tanggal 16 Pebruari 1813, Letnan Gubernur di Indonesia yang pada waktu itu dijabat oleh Raffles, telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan kembali Kabupaten Limbangan yang beribu kota di Suci. Untuk sebuah Kota Kabupaten, keberadaan Suci dinilai tidak memenuhi persyaratan sebab daerah tersebut kawasannya cukup sempit.

Berkaitan dengan hal tersebut, Bupati Limbangan Adipati Adiwijaya (1813-1831) membentuk panitia untuk mencari tempat yang cocok bagi Ibu Kota Kabupaten. Pada awalnya, panitia menemukan Cumurah, sekitar 3 Km sebelah Timur Suci (Saat ini kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Pidayeuheun). Akan tetapi di tempat tersebut air bersih sulit diperoleh sehingga tidak tepat menjadi Ibu Kota. Selanjutnya panitia mencari lokasi ke arah Barat Suci, sekitar 5 Km dan mendapatkan tempat yang cocok untuk dijadikan Ibu Kota. Selain tanahnya subur, tempat tersebut memiliki mata air yang mengalir ke Sungai Cimanuk serta pemandangannya indah dikelilingi gunung, seperti Gunung Cikuray, Gunung Papandayan, Gunung Guntur, Gunung Galunggung, Gunung Talaga Bodas dan Gunung Karacak.

Saat ditemukan mata air berupa telaga kecil yang tertutup semak belukar berduri (Marantha), seorang panitia "kakarut" atau tergores tangannya sampai berdarah. Dalam rombongan panitia, turut pula seorang Eropa yang ikut membenahi atau "ngabaladah" tempat tersebut. Begitu melihat tangan salah seorang panitia tersebut berdarah, langsung bertanya : "Mengapa berdarah?" Orang yang tergores menjawab, tangannya kakarut. Orang Eropa atau Belanda tersebut menirukan kata kakarut dengan lidah yang tidak fasih sehingga sebutannya menjadi "gagarut".

Sejak saat itu, para pekerja dalam rombongan panitia menamai tanaman berduri dengan sebutan "Ki Garut" dan telaganya dinamai "Ci Garut". (Lokasi telaga ini sekarang ditempati oleh bangunan SLTPI, SLTPII, dan SLTP IV Garut). Dengan ditemukannya Ci Garut, daerah sekitar itu dikenal dengan nama Garut.. Cetusan nama Garut tersebut direstui oleh Bupati Kabupaten Limbangan Adipati Adiwijaya untuk dijadikan Ibu Kota Kabupaten Limbangan.

Pada tanggal 15 September 1813 dilakukan peletakkan batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibukota, seperti tempat tinggal, pendopo, kantor asisten residen, mesjid, dan alun-alun. Di depan pendopo, antara alun-alun dengan pendopo terdapat "Babancong" tempat Bupati beserta pejabat pemerintahan lainnya menyampaikan pidato di depan publik. Setelah tempat-tempat tadi selesai dibangun, Ibu Kota Kabupaten Limbangan pindah dari Suci ke Garut sekitar Tahun 1821. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal No: 60 tertanggal 7 Mei 1913, nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut dan beribu kota Garut pada tanggal 1 Juli 1913. Pada waktu itu, Bupati yang sedang menjabat adalah RAA Wiratanudatar (1871-1915). Kota Garut pada saat itu meliputi tiga desa, yakni Desa Kota Kulon, Desa Kota Wetan, dan Desa Margawati. Kabupaten Garut meliputi Distrik-distrik Garut, Bayongbong, Cibatu, Tarogong, Leles, Balubur Limbangan, Cikajang, Bungbulang dan Pameungpeuk.

Pada tahun 1915, RAA Wiratanudatar digantikan oleh keponakannya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929). Pada masa pemerintahannya tepatnya tanggal 14 Agustus 1925, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal, Kabupaten Garut disahkan menjadi daerah pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom). Wewenang yang bersifat otonom berhak dijalankan Kabupaten Garut dalam beberapa hal, yakni berhubungan dengan masalah pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-jembatan, kebersihan, dan poliklinik. Selama periode 1930-1942, Bupati yang menjabat di Kabupaten Garut adalah Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa. Ia diangkat menjadi Bupati Kabupaten Garut pada tahun 1929 menggantikan ayahnya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929).

Perkembangan Fisik Kota
Sampai tahun 1960-an, perkembangan fisik Kota Garut dibagi menjadi tiga periode, yakni pertama (1813-1920) berkembang secara linear. Pada masa itu di Kota Garut banyak didirikan bangunan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan pemerintahan, berinvestasi dalam usaha perkebunan, penggalian sumber mineral dan objek wisata. Pembangunan pemukiman penduduk, terutama disekitar alun-alun dan memanjang ke arah Timur sepanjang jalan Societeit Straat.

Periode kedua (1920-1940), Kota Garut berkembang secara konsentris. Perubahan itu terjadi karena pada periode pertama diberikan proyek pelayanan bagi penduduk. Wajah tatakota mulai berubah dengan berdirinya beberapa fasilitas kota, seperti stasiun kereta api, kantor pos, apotek, sekolah, hotel, pertokoan (milik orang Cina, Jepang, India dan Eropa) serta pasar.

Periode ketiga (1940-1960-an), perkembangan Kota Garut cenderung mengikuti teori inti berganda. Perkembangan ini bisa dilihat pada zona-zona perdagangan, pendidikan, pemukiman dan pertumbuhan penduduk.

Keadaan Umum Kota
Pada awal abad ke-20, Kota Garut mengacu pada pola masyarakat yang heterogen sebagai akibat arus urbanisasi. Keanekaragaman masyarakat dan pertumbuhan Kota Garut erat kaitannya dengan usaha-usaha perkebunan dan objek wisata di daerah Garut.

Orang Belanda yang berjasa dalam pembangunan perkebunan dan pertanian di daerah Garut adalah K.F Holle. Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Kolonial Belanda mengabadikan nama Holle menjadi sebuah jalan di Kota Garut, yakni jalan Holle (Jl.Mandalagiri) dan membuat patung setengah dada Holle di Alun-alun Garut.

Pembukaan perkebunan-perkebunan tersebut diikuti pula dengan pembangunan hotel-hotel pada Tahun 1917. Hotel-hotel tersebut merupakan tempat menginap dan hiburan bagi para pegawai perkebunan atau wisatawan yang datang dari luar negeri. Hotel-hotel di Kota Garut , yaitu Hotel Papandayan, Hotel Villa Dolce, Hotell Belvedere, dan Hotel Van Hengel.

Di luar Kota Garut terdapat Hotel Ngamplang di Cilawu, Hotel Cisurupan di Cisurupan, Hotel Melayu di Tarogong, Hotel Bagendit di Banyuresmi, Hotel Kamojang di Samarang dan Hotel Cilauteureun di Pameungpeuk. Berita tentang Indahnya Kota Garut tersebar ke seluruh dunia, yang menjadikan Kota Garut sebagai tempat pariwisata.

Penetapan Hari Jadi Garut
Sebagaimana sudah disepakati sejak awal, semua kalangan masyarakat Garut telah menerima bahwa hari jadi Garut bukan jatuh pada tanggal 17 Mei 1913 yaitu saat penggantian nama Kabupaten Limbangan menjadi Kabupaten Garut, tetapi pada saat kawasan kota Garut mulai dibuka dan dibangun sarana prasarana sebagai persiapan ibukota Kabupaten Limbangan. Oleh karena itu, mulai tahun 1963 Hari Jadi Garut diperingati setiap tanggal 15 September berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta Sejarah yang mengacu tanggal 15 September 1813 tersebut pada tulisan yang tertera di jembatan Leuwidaun sebelum direnovasi. Namun keyakinan masyarakat terhadap dasar pengambilan hari jadi Garut pun berubah. Dalam PERDA Kab. DT II Garut No. 11 Tahun 1981 tentang Penetapan Hari Jadi Garut yang diundangkan dalam Lembaran Daerah pada tanggal 30 Januari 1982, dinyatakan bahwa Hari Jadi Garut dipandang lebih tepat pada Tanggal 17 Maret 1813.

Penelusuran hari jadi Garut berpijak pada pertanyaan kapan pertama kali muncul istilah “Garut”. Seperti dijelaskan dalam Latar Belakang di atas, bahwa ungkapan itu muncul saat “ngabaladah” dalam mencari tempat untuk ibukota Kabupaten Limbangan yang diperintahkan R.A.A Adiwijaya sebagai Bupati yang dilantik pada tanggal 16 Februari 1813. Fakta tentang Jembatan Leuwidaun yang peletakkan batu pertamanya adalah tanggal 15 September 1918 juga tetap diperhitungkan. Dengan demikian, asal mula tercetus kata “Garut” adalah diyakini berada pada sebuah hari antara 16 Februari 1813 s.d. 15 September 1918.

Dari berbagai penelusuran diketahui bahwa Bupati Adiwijaya dalam membuat kebijakan selalu meminta fatwa dari sesepuh yang diduga berkebudayaan Islam karena Suci berada di sekitar Godog, makam tokoh penyebar agama Islam. Bersumber pada tradisi tata perhitungan waktu masyarakat, diperkirakan bahwa panitia yang “ngabaladah” ibukota diperintahkan pada bulan Mulud sebagai bulan yang dianggap baik pada waktu itu. “Ngabaladah” tidak mungkin dilakukan pada tanggal 1 Mulud karena kepercayaan orang Sunda pada waktu itu adalah bahwa hari baik jatuh pada saat bulan purnama antara 12-14 Mulud. Karena, 12 mulud dianggap sebagai hari puncak peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, maka yang paling diiyakini memungkinkan untuk “ngabaladah” adalah tanggal 14 Mulud. Menurut perhitungan waktu karya Roofer, hasil konversi tanggal 14 Mulud 1228 Hijriyah itu adalah tanggal 17 Maret 1913.

Sumber:
• Garoet Kota Intan – Drs. Kunto Sofianto, M.Hum.
• Lampiran PERDA Kab. Garut No 11 Th 1981 Tentang Penetapan Hari Garut
yuliantoro.blogspot.com

Sejarah Ringkas Kerajaan Majapahit

Setelah raja Śri Kĕrtānegara gugur, kerajaan Singhasāri berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Salah satu keturunan penguasa Singhasāri, yaitu Raden Wijaya, kemudian berusaha merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah keturunan Ken Angrok, raja Singhāsāri pertama dan anak dari Dyah Lěmbu Tal. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya. Menurut sumber sejarah, Raden Wijaya sebenarnya adalah mantu Kĕrtanāgara yang masih terhitung keponakan. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa ia mengawini dua anak sang raja sekaligus, tetapi kitab Nāgarakertāgama menyebutkan bukannya dua melainkan keempat anak perempuan Kěrtanāgara dinikahinya semua. Pada waktu Jayakatwang menyerang Singhasāri, Raden Wijaya diperintahkan untuk mempertahankan ibukota di arah utara. Kekalahan yang diderita Singhasāri menyebabkan Raden Wijaya mencari perlindungan ke sebuah desa bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh dengan sisa pasukan tinggal duabelas orang. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan di sana memperoleh perlindungan dari Aryya Wiraraja, seorang bupati di pulau ini. Berkat bantuan Aryya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat kembali ke Jawa dan diterima oleh raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian ia diberi sebuah daerah di hutan Těrik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih untuk mengantisipasi serangan musuh dari arah utara sungai Brantas. Berkat bantuan Aryya Wiraraja ia kemudian mendirikan desa baru yang diberi nama Majapahit. Di desa inilah Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap almarhum Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Aryya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupaya ia pun kurang menyukai raja Jayakatwang.

Tidak terduga sebelumnya bahwa pada tahun 1293 Jawa kedatangan pasukan dari Cina yang diutus oleh Kubhilai Khan untuk menghukum Singhasāri atas penghinaan yang pernah diterima utusannya pada tahun 1289. Pasukan berjumlah besar ini setelah berhenti di Pulau Belitung untuk beberapa bulan dan kemudian memasuki Jawa melalui sungai Brantas langsung menuju ke Daha. Kedatangan ini diketahui oleh Raden Wijaya, ia meminta izin untuk bergabung dengan pasukan Cina yang diterima dengan sukacita. Serbuan ke Daha dilakukan dari darat maupun sungai yang berjalan sengit sepanjang pagi hingga siang hari. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dengan kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan oleh pasukan Cina.

Dengan dikawal dua perwira dan 200 pasukan Cina, Raden Wijaya minta izin kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Namun dengan menggunakan tipu muslihat kedua perwira dan para pengawalnya berhasil dibinasakan oleh Raden Wijaya. Bahkan ia berbalik memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa yang tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu anggota pasukan kerajaan Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan meninggalkan banyak korban. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing. Ia kemudian memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit. Pada tahun 1215 Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. Keempat anak Kertanegara dijadikan permaisuri dengan gelar Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari, Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā, Śri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnyāparamitā, dan Śri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri. Dari Tribhūwaneśwari ia memperoleh seorang anak laki bernama Jayanagara sebagai putera mahkota yang memerintah di Kadiri. Dari Gayatri ia memperoleh dua anak perempuan, Tribhūwanottunggadewi Jayawisnuwardhani yang berkedudukan di Jiwana (Kahuripan) dan Rājadewi Mahārājasa di Daha. Raden Wijaya masih menikah dengan seorang isteri lagi, kali ini berasal dari Jambi di Sumatera bernama Dara Petak dan memiliki anak darinya yang diberi nama Kalagěmět. Seorang perempuan lain yang juga datang bersama Dara Petak yaitu Dara Jingga, diperisteri oleh kerabat raja bergelar 'dewa' dan memiliki anak bernama Tuhan Janaka, yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai Adhityawarman, raja kerajaan Malayu di Sumatera. Kedatangan kedua orang perempuan dari Jambi ini adalah hasil diplomasi persahabatan yaang dilakukan oleh Kěrtanāgara kepada raja Malayu di Jambi untuk bersama-sama membendung pengaruh Kubhilai Khan. Atas dasar rasa persahabatan inilah raja Malayu, Śrimat Tribhūwanarāja Mauliwarmadewa, mengirimkan dua kerabatnya untuk dinikahkan dengan raja Singhasāri. Dari catatan sejarah diketahui bahwa Dara Jingga tidak betah tinggal di Majapahit dan akhirnya pulang kembali ke kampung halamannya.

Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayanāgara. Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayanāgara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan. Pada mulanya Jayanāgara juga terpengaruh oleh hasutan Mahāpati yang menjadi biang keladi perselisihan tersebut, namun kemudian ia menyadari kesalahan ini dan memerintahkan pengawalnya untuk menghukum mati orang kepercayaannya itu. Dalam situasi yang demikian muncul seorang prajurit yang cerdas dan gagah berani bernama Gajah Mada. Ia muncul sebagai tokoh yang berhasil mamadamkan pemberontakan Kuti, padahal kedudukannya pada waktu itu hanya berstatus sebagai pengawal raja (běkěl bhayangkāri). Kemahirannya mengatur siasat dan berdiplomasi dikemudian hari akan membawa Gajah Mada pada posisi yang sangat tinggi di jajaran pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu sebagai Mahamantri kerajaan.

Pada masa Jayanāgara hubungan dengan Cina kembali pulih. Perdagangan antara kedua negara meningkat dan banyak orang Cina yang menetap di Majapahit. Jayanāgara memerintah sekitar 11 tahun, pada tahun 1328 ia dibunuh oleh tabibnya yang bernama Tanca karena berbuat serong dengan isterinya. Tanca kemudian dihukum mati oleh Gajah Mada.

Karena tidak memiliki putera, tampuk pimpinan Majapahit akhirnya diambil alih oleh adik perempuan Jayanāgara bernama Jayawisnuwarddhani, atau dikenal sebagai Bhre Kahuripan sesuai dengan wilayah yang diperintah olehnya sebelum menjadi ratu. Namun pemberontakan di dalam negeri yang terus berlangsung menyebabkan Majapahit selalu dalam keadaan berperang. Salah satunya adalah pemberontakan Sadĕng dan Keta tahun 1331 memunculkan kembali nama Gajah Mada ke permukaan. Keduanya dapat dipadamkan dengan kemenangan mutlak pada pihak Majapahit. Setelah persitiwa ini, Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum menundukkan daerah-daerah di Nusantara, seperti Gurun (di Kalimantan), Seran (?), Tanjungpura (Kalimantan), Haru (Maluku?), Pahang (Malaysia), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda (Jawa Barat), Palembang (Sumatera), dan Tumasik (Singapura). Untuk membuktikan sumpahnya, pada tahun 1343 Bali berhasil ia ditundukan.

Ratu Jayawisnuwaddhani memerintah cukup lama, 22 tahun sebelum mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya yang bernama Hayam wuruk dari perkawinannya dengan Cakradhara, penguasa wilayah Singhāsari. Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja tahun 1350 dengan gelar Śri Rajasanāgara. Gajah Mada tetap mengabdi sebagai Patih Hamangkubhūmi (mahāpatih) yang sudah diperolehnya ketika mengabdi kepada ibunda sang raja. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesarannya. Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan nusantara mencapai hasilnya di masa ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit dirasakan sampai ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Maluku, hingga Papua. Tetapi Jawa Barat baru dapat ditaklukkan pada tahun 1357 melalui sebuah peperangan yang dikenal dengan peristiwa Bubat, yaitu ketika rencana pernikahan antara Dyah Pitalokā, puteri raja Pajajaran, dengan Hayam Wuruk berubah menjadi peperangan terbuka di lapangan Bubat, yaitu sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut. Akibat peperangan itu Dyah Pitalokā bunuh diri yang menyebabkan perkawinan politik dua kerajaan di Pulau Jawa ini gagal. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala.

Setelah peristiwa Bubat, Mahāpatih Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya karena usia lanjut, sedangkan Hayam Wuruk akhirnya menikah dengan sepupunya sendiri bernama Pāduka Śori, anak dari Bhre Wĕngkĕr yang masih terhitung bibinya.

Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Hayam Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar muat barang. Empat belas tahun setelah ia memerintah, Mahāpatih Gajah Mada meninggal dunia di tahun 1364. Jabatan patih Hamangkubhūmi tidak terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya.

Raja Hayam Wuruk wafat tahun 1389. Menantu yang sekaligus merupakan keponakannya sendiri yang bernama Wikramawarddhana naik tahta sebagai raja, justru bukan Kusumawarddhani yang merupakan garis keturunan langsung dari Hayam Wuruk. Ia memerintah selama duabelas tahun sebelum mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk puterinya, Suhita menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre Wirabhūmi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir yang menghendaki tahta itu dari keponakannya. Perebutan kekuasaan ini membuahkan sebuah perang saudara yang dikenal dengan Perang Parěgrěg. Bhre Wirabhumi yang semula memperoleh kemenanggan akhirnya harus melarikan diri setelah Bhre Tumapĕl ikut campur membantu pihak Suhita. Bhre Wirabhūmi kalah bahkan akhirnya terbunuh oleh Raden Gajah. Perselisihan keluarga ini membawa dendam yang tidak berkesudahan. Beberapa tahun setelah terbunuhnya Bhre Wirabhūmi kini giliran Raden Gajah yang dihukum mati karena dianggap bersalah membunuh bangsawan tersebut.

Suhita wafat tahun 1477, dan karena tidak mempunyai anak maka kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre Tumapĕl Dyah Kĕrtawijaya. Tidak lama ia memerintah digantikan oleh Bhre Pamotan bergelar Śri Rājasawardhana yang juga hanya tiga tahun memegang tampuk pemerintahan. Bahkan antara tahun 1453-1456 kerajaan Majapahit tidak memiliki seorang raja pun karena pertentangan di dalam keluarga yang semakin meruncing. Situasi sedikit mereda ketika Dyah Sūryawikrama Giriśawardhana naik tahta. Ia pun tidak lama memegang kendali kerajaan karena setelah itu perebutan kekuasaan kembali berkecambuk. Demikianlah kekuasaan silih berganti beberapa kali dari tahun 1466 sampai menjelang tahun 1500. Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit. Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah, pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhūmi. Ia menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang pernah dikalahkan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Demikianlah maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singhāsari, digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.

Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.

(Disarikan dari Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, 1984, halaman 420-445, terbitan PP Balai Pustaka, Jakarta)

Sumber : http://ongkipurwanta.multiply.com

Bumi Marapu


Oleh : Siti Maria

Pulau Sumba Selayang Pandang

"Bumi Marapu" adalah sebutan lain bagi Tana Humba atau 'Sumba'. 'Marapu' merupakan merupakan kepercayaan asli yang bersumber pada unsur pemujaan arwah nenek moyang yang dianggap sebagai hal yang sangat penting bagi orang Sumba. Dengan membedah pulau Sumba terbesit pesan, Sumba adalah pulaunya para arwah. Di setiap sudut kota dan kampungnya tersimpan persembahan dan pujian para abdi. Altar megalit dan batu kuburan keramat yang menghias setiap jantung kampung dan dusun (paraingu).

Pulau ini oleh suku bangsanya sendiri disebut "Tana Humba". Menurut ceritera, kata humba berasal dari nama isteri nenek moyang pertama orang Sumba yang datang dan mendiami Sumba, yakni ibu model Rambu Humba, isteri kekasih hati Umbu Walu Mandoku. Salah satu peletak landasan suku¬-suku atas kabisu-kabisu Sumba. Kata 'humba'atau 'sumba'artinya 'asli', jadi tana humba artinya 'tanah asli'.

Pulau Sumba terbag atas dua kabupaten, yakni Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur. Pulau ini terletak dibelahan luar paling selatan dari untaian pulau-pulau di Indonesia yang termasuk ke dalam wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur.

Atau pada 10 LS dan 120 BT, tepatnya di Tenggara Pulau Bali, sebelah selatan Pulau Flores, di sebelah barat daya Pulau Timor, di sebelah barat laut Darwin — Australia. Sebagai sebuah pulau, Pulau Sumba merupakan salah satu dari 3 pulau terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Pulau Flores, Timor dan Sumba.

Dalam peta, pulau Sumba bagaikan sebuah atol di tengah lautan dengan karakteristik kehidupan yang begitu spesifik dan unik. Keunikannya, karena pulau Sumba terkenal dengan ragam atraksi kesenian, upacara adat dan kampung adat yang sangat spesifik dengan kuburan batu dan menhir peninggalan zaman megalitikum.

Dahulu Pulau Sumba terkenal dengan nama Pulau Cendana, karena merupakan pulau penghasil kayu cendana terbesar. Namun sekarang telah punah karena pembabatan besar-besaran pada masa lampau.

Secara topografi pulau Sumba terdiri dari tebaran perbukitan dataran rendah yang landai dan bertingkat-tingkat. Wilayahnya yang beramplitudo suhu yang tinggi mengakibatkan batu-batuan menjadi lapuk, tanah merekah dan terjadi seleksi alam baik terhadap tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang dapat hidup dalam kondisi demikian. Oleh karena itu, jenis tumbuhan yang ada umumnya berupa tanaman keras seperti jati, kelapa dan aren; sedangkan hewan peliharaan umumnya adalah kerbau, sapi dan kuda sesuai dengan keadaan alam Sumba yang berpadang savana luas.

Atau pada 10 LS dan 120 BT, tepatnya di Tenggara Pulau Bali, sebelah selatan Pulau Flores, di sebelah barat daya Pulau Timor, di sebelah barat laut Darwin — Australia. Sebagai sebuah pulau, Pulau Sumba merupakan salah satu dari 3 pulau terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Pulau Flores, Timor dan Sumba.

Dalam peta, pulau Sumba bagaikan sebuah atol di tengah lautan dengan karakteristik kehidupan yang begitu spesifik dan unik. Keunikannya, karena pulau Sumba terkenal dengan ragam atraksi kesenian, upacara adat dan kampung adat yang sangat spesifik dengan kuburan batu dan menhir peninggalan zaman megalitikum.

Dahulu Pulau Sumba terkenal dengan nama Pulau Cendana, karena merupakan pulau penghasil kayu cendana terbesar. Namun sekarang telah punah karena pembabatan besar-besaran pada masa lampau.

Secara topografi pulau Sumba terdiri dari tebaran perbukitan dataran rendah yang landai dan bertingkat-tingkat. Wilayahnya yang beramplitudo suhu yang tinggi mengakibatkan batu-batuan menjadi lapuk, tanah merekah dan terjadi seleksi alam baik terhadap tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang dapat hidup dalam kondisi demikian. Oleh karena itu, jenis tumbuhan yang ada umumnya berupa tanaman keras seperti jati, kelapa dan aren; sedangkan hewan peliharaan umumnya adalah kerbau, sapi dan kuda sesuai dengan keadaan alam Sumba yang berpadang savana luas.



Kuda Sumba tersebut yang dikenal dengan nama Shadelwood sering dimanfaatkan untuk kepentingan perlombaan. Lomba pacuan kuda biasanya diselenggrakan setiap tahun di kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat. Selain itu, juga kepentingan untuk upacara, yakni Pasola. Pasola, nama permainan rakyat tradisional yang dilaksanakan dalam rangka menyambut tahun baru adat menurut kepercayaan Marapu. Biasanya diadakan setiap tahun yang menurut perhitungan kalender adat Marapu, jatuh pada bulan Februari atau Maret.

Di dalam pasola, diperlihatkan permainan rakyat berupa perang tanding sambil menunggang kuda. Perang tanding biasanya dilakukan di suatu padang terbuka. Di tempat itulah mereka saling mendemonstrasikan kemampuan menombak musuhnya dengan menggunakan senjata lambing yang terbuat dari bambu atau kayu, sambil menunggang kuda. Permainan ini biasanya disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum. Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabisu yang harus menguasai dua ketrampilan sekaligus yakni memacu kuda dan melempar lambing (hola).

Pulau Sumba dikenal pula dengan alamnya nan indah. Ditandai, terdapatnya pantai yang dapat dijadikan berparisiwisata, seperti di Sumba timur, terdapat pantai Kalala, Tarimbang, Purukaberta dan Walakiri yang sudah mendunia dan dikenal indah untuk berselancar. Begitu juga wisata alam di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti dan tempat persinggahan burung dari Australia.

Penduduk dan Pencahariannya
Penduduk Pulau Sumba, menyebut diri mereka dengan sebutan Tau Humba (orang Sumba) dan memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Sumba yang termasuk golongan bahasa Bima-Sumba. Penduduknya mayoritas beragama Kristen Protestan dan Katolik. Walaupun demikian, namun dalam kehidupan sehari-hari masih sangat dipengaruhi oleh adat dan tradisi yakni pemeluk yang khusuk berbakti kepada arwah para leluhurnya, khususnya kepada bapak besar bersama, sang pengasal semua suku. Marapu, kepercayaan asli yang menyembah roh nenek moyang yang menurut petunjuk dan perhitungan para Rato, Pemimpin Suku dan Imam agung para Merapu. yaitu yang dikenal dengan kepercayaan "Merapu". Dan hal tersebut, membawa akibat keterikatan mereka pada tempat tinggalnya.

Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari penduduk pada dasarnya merupakan cerminan kehidupan agama tradisional mereka. Hal ini dapat dilihat ketika mereka sedang melaksanakan upacara adat berkenaan dengan daur hidup seperti upacara kelahiran (habola), perkawinan (lalei atau mangoma) dan kematian (pa taningu).

Pencaharian penduduk, umumnya bertani dan beternak. Untuk penggarapan sawah khususnya di wilayah desa-desa tradisional dilakukan dengan cara tradisional serta terikat oleh suatu sistem/peraturan adat yang pengawasan dan pengaturannya dikendalikan oleh dewan adat (para rato).Penggarapan sawahnya yang disebut renca Renca, yaitu pengerahan tenaga manusia dan kerbau dalam jumlah besar di atas tanah sawah yang akan ditanami, dimana kaki-kaki kerbau yang berjumlah puluhan digunakan sebagai pengganti bajak. Pekerjaan ini biasanya akan diawali dan diakhiri dengan upacara keagamaan (ritus). Sedangkan berladang umumnya masih mengenal system barter atau dal istilah Sumba dikenal dengan nama Ippa Mandara dimana masyarakat atau kerabat dari desa satu ke desa yang lain dengan tujuan memimta sebagian hasil panen dan sebaliknya pada saat tertentu orang itu dapat mengembalikannya namun hanya berbeda waktu.


Kerajinan, Pulau Sumba terkenal dengan tenunnya. Tenun yang dikenal adalah tenun dengan teknik ikat dan sulam dengan menggunakan alat-alat tradisional yang sederhana. Kain Sumba Barat, disain pada umumnya berupa variasi garis dalam bentuk geometrik dengan selingan gambar mamuli atau binatang. Kain Sumba Timur, motif dan desainnya menggambarkan irama kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya dan bahkan menggambarkan kehidupan alam semesta misalnya matahari, bulan dan bintang.
Kerajinan tenun tersebut, bermutu tinggi selain sebagai koleksi atau digunakan dalam upacara adat, tenunan tersebut dibuat dengan mengguna¬kan ramuan tradisional dan membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Ada beberapa daerah yang terkenal dengan kain tenunnya, seperti di Kabupaten Sumba Timur yakni desa Kaliuda yang terletak di kecamatan Pahungalodu, Kecamatan Rindiumalulu (Rindi dan Watuhadang), kecamatan Pandawai (Rambangaru dan kelurahan Prailulu).

Asal usul Orang Sumba
Orang Sumba diperkirakan berasal dari Indo Cina dengan rumpun ras mongoloid. Mereka datang secara bergelombang dan berkelompok selama berabad-abad lamanya dengan melewati beberapa daerah diantaranya Semenanjung Malaka, Tanabara (Singapura), Riau, Jawa, Bali, Bima, Makasar, Ende, Ambarai (Manggarai), Enda (Roti), Ndau (Dao), Haba (Sabu) dan Raejua.

Dalam perjalanan ada yang menggunakan perahu yang terbuat dari kayu rica. Perahu tersebut kandas dihempas ombak dan pertama kali mendarat di Haharu Lendewatu atau yang kita kenal sekarang dengan nama Tanjung Sasar, nama sebuah tanjung di sebelah utara Pulau Sumba bagian barat.

Selain di Tanjung sasar, juga di Muara Sungai Pandawai, kemudian menyebar ke seluruh Pulau Sumba. Rentan waktu yang berabad-abad lamanya, mereka yang datang ke pulau Sumba tadi menempati beberapa tempat secara berkelompok, seperti ke daerah Sumba Barat (di sekitar dataran tinggi seperti Wanakaladaorang Laura, Kodi dan Waijewa) dan Sumba Timur(Melolo, Lewa dan daerah pesisir seperti yang tinggaldi sekitar Muara sungai Kambaniru), dan kemudian mereka berpencar mencari tempat untuk melangsungkan hidupnya.

Mereka yang hidup berkelompok ini, lalu membentuk satu komunitas. Tujuan membentuk komunitas untuk dapat bertahan hidup dengan menjalankan segala aktivitas kehidupannya mulai dari mendirikan rumah, membuat seperangkat aturan maupun yang berkenaan dengan penggenerasiannya. Mereka menurunkan generasi-generasi dengan melahirkan banyak generasi dan menempati daerah-daerah seperti Waijewa, Loli, Lamboya Kodi, dan Tana Righu serta wilayah lainnya.

Dalam persebarannya mereka menyebar dan berpencar ke daerah-daerah perbukitan di seluruh Pulau Sumba. Kelompok-kelompok mereka makin bertambah banyak, maka bermusyawarahlah para leluhur untuk menetapkan nama kelompoknya masing-masing dan tempat kediamannya dan berjanji serta bersumpah untuk tetap bersatu di dalam persekutuan persaudaraan. Masing-masing berpisah menurut kelompoknya ada yang ke barat dan ada yang ke timur. Kelompok-kelompok itu merupakan satu persekutuan hukum menurut keturunan (genealogis), yang anggota-anggotanya berasal dari satu leluhur. Kelompok-kelompok semacam ini disebut kabihu atau kabisu yang sama artinya dengan marga atau suku/klan.

Masing-masing kelompok menurut marganya (kabisunya) membentuk komunitas dan mencari tanah untuk mendirikan pemukiman semacam desa untuk tempat menetap. Apabila telah mendapat tanah yang dikehendakinya, menetaplah mereka disitu dengan membuat semacam perkampungan yang disebut paraingu, perkampungan yang disebut, Paraingu adalah persekutuan dari beberapa kampung.Sebuah paraingu dipinnpin oleh seorang yang disebut Bapa Raja. Kepemimpinan itu berdasarkan keturunan kepada ahli waris laki-laki. Istilah untuk tempat pemukiman semacam desa di pulau Sumba dikenal dengan nama wano kalada dan wano nggolu untuk di Sumba Barat; sedangkan di Sumba Timur dikenal dengan nama paraingu dan parona.

Tanah yang mereka telah miliki itu akan diselenggarakan dan dipertahankan bersama-sama oleh Tuan Tanah dengan kelompok-kelompok yang ada dalam lingkungan paraingu itu.

Pola Perkampungan dan Arsitektunya
Perkampungan asli suku bangsa Sumba berupa desa-desa tradisional. Perkampungannya terpencar dan mengelompok, letak antar-paraingu (kampung) sangat berjauhan dengan pola perkampungan asli dalam bentuk lingkaran. Perkampungan atau desa tradisional tersebut umumnya terletak di puncak-puncak bukit dan punggung¬punggung gunung yang sulit dicapai. Setiap kampung terdiri dari beberapa rumah dan sekelilinginya dipagari dengan batu alam ataupun bambu yang tinggi dengan tanaman berduri sejenis kaktus serta biasanya mempunyai 2 (dua) pintu gerbang. Pagar tersebut merupakan batas sebagai kesatuan rumah-rumah tempat tinggal saja.


Hal yang menyebabkan didirikannya perkampungan (paraingu) di atas bukit karena pada masa lampau letak yang karena pada masa lampau letak yang demikian mempunyai keterkaitan dengan faktor ketentraman yakni keamanan dan kepercayaan. Faktor keamanan, karena dahulu sering terjadi perang antar suku (klan) atau desa, misalnya dikarenakan pertentangan mengenai soal batas tanah pertanian. Maka dengan demikian pendirian kampung di atas bukit dimaksudkan agar mereka mudah melihat atau mengintai musuh. Karena secara geografis daerah perbukitan dianggap sebagai tempat yang paling strategis untuk melihat musuh dari jarak jauh dan membaca gejala-gejala yang timbul akibat terjadinya perang tanding.

Faktor kepercayaan, karena kepercayaan asli yang mempunyai hubungan erat dengan kepercayaan Marapu yang bersumber pada unsur pemujaan arwah nenek moyang. Bukit dan gunung selalu dihubungkan dengan tempat pemujaan arwah nenek moyang, tempatnya arwah dan tempat datangnya nenek moyang. Oleh karenanya, membawa akibat keterikatan mereka pada tempat tinggalnya, sehingga daerah ini dikenal dengan 'Bumi Marapu'. Marapu merupakan kepercayaan asli yang bersumber pada unsur pemujaan arwah nenek moyang dianggap sebagai hal yang sangat penting.

Dalam perkembangannya, walaupun faktor ketentraman yang keterkaitan dengan perang antar klan sudah tidak lagi, akan tetapi pola perkampungan komunitas adat di pulau Sumba masih tetap dipertahankan yakni penduduk masih tetap tinggal di bukit-bukit. Hal ini, dikarenakan keterkaitan dengan kepercayaan aslinya yakni kepercayaan Marapu bahwa tempat-tempat arwah, tempat datangnya nenek moyang, pemujaan arwah nenek moyang selalu berhubungan dengan bukit dan gunung. Mereka menganggap bahwa "marapu" yaitu arwah leluhur atau roh nenek moyang yang didewakan bertempat tinggal pada tempat yang tinggi (tempat yang teratas). Dunia tempat tinggal para marapu/arwah leluhur ini dalam perwujudannya dapat dilihat sebagai gunung atau bukit. Agar manusia dapat berkontak dengan Marapu yang merupakan perantara antara manusia dengan Ilahi, maka perlulah dibangun uma (rumah) di atas bukit.

Rumah tinggal (uma) ada yang merupakan rumah bermenara (uma mbatangu), atau rumah biasa Rumah biasa adalah rumah panggung tanpa menara sebagai tempat tinggal. Arsitektur rumah adat menurut adat Sumba haruslah mempunyai bubungan yang lonjong, serupa menara. Rumah yang bermenara (uma mbatangu) ini dimiliki oleh setiap persekutuan kerabat (kabihu) yang dihuni oleh keluarga secara turun temurun. Menara diyakini sebagai tempat Marapu. Di menara itu pula mereka menyimpan benda pusaka milik keluarga, seperti mas-mas yang telah dikuduskan untuk Marapu. Tempat itu adalah tempat muharam, yang hanya dapat dimasuki oleh para 'ratu' (imam) pada waktu upacara-upacara yang penting.

Disetiap rumah yang bermenara ini mempunyai tiga bagian yakni bagian bawah rumah, tengah rumah dan atas rumah. Ketiga bagian tersebut dalam pandangan orang Sumba seakan-akan simbol alam yang mempunyai makna, yakni alam bawah (tempat arwah-arwah), alam tengah (tempat manusia) dan alam atas (tempat dewa-dewa).

Uma atau rumah adat orang Sumba tersebut memiliki nilai arsitek tersendiri, karena memiliki menara yang tinggi. Rumah adat itu menggunakan pasak dengan alat ikat tali hutan atau rotan. Konstruksi rumah merupakan rumah panggung dengan Uma atau rumah adat orang Sumba tersebut memiliki nilai arsitek tersendiri, karena memiliki menara yang tinggi. Rumah adat itu menggunakan pasak dengan alat ikat tali hutan atau rotan. Konstruksi rumah merupakan rumah panggung dengan alang-alang, tiang utama dari pohon aren, dengan dinding dan lantai bambu. Panggungnya digunakan sebagai tempat aktifitas manusia seperti tempat untuk memasak, tempat untuk tidur. Di atas'panggung ada loteng yang digunakan untuk menyimpan makanan seperti padi, jagung yang kemudian diasapi dari bawah. Sedangkan di bawah panggung digunakan untuk memelihara ternak seperti kuda, kambing, babi dan lain-lain, juga ada tempat khusus untuk ibu-ibu menenun. Rumah adat tersebut bisa bertahan puluhan tahun.

Marapu Kepercayaan Asli Orang Sumba
'Marapu' terdiri dari dua kata, ma dan rapu. Kata ma berarti 'yang'. Sedangkan kata rapu berarti 'dihormati' dan 'didewakan'. Atau mera dan appu. Mera artinya 'serupa' dan appu artinya 'nenek moyang'. Jadi Marapu artinya 'serupa dengan nenek moyang'. Dalam kaitannya ini, 'Marapu" merupakan kepercayaan asli orang Sumba. Pemujaan arwah nenek moyang atau leluhur yang didewakan merupakan unsur yang menonjol. Mereka disebut 'Marapu', yang dipertuan, yang diperdewa, yang diperilah adalah para leluhur yang sangat dihormati oleh anak cucunya turun temurun.

Kepercayaan Marapu yang merupakan penyembahan kepada arwah nenek moyang dan kekuatan-kekuatan supranatural, dalam pemujaannya dengan melaksanakan sejumlah ritus keagamaan. Ritus keagamaan ini, dipimpin oleh seorang iman yang dilakukan berdasarkan ketentuan adat apabila memerlukan pertolongan para leluhur. Penyembahannya ditujukan kepada arwah leluhur dan kekuatan supranatural.

Penyembahan kepada Marapu dan kekuatan supranatuaral itu biasanya dilaksanakan di dalam rumah, di dalam kampung dan di luar kampung. Rumah dan kampung tidak saja dipandang sebagai tempat berdiam tetapi juga sebagai tempat persekutuan dengan sesama marga, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Oleh karena itu, orang Sumba mengenal istilah na mawulu tau na maji tau (yang menganyam manusia), na nia pakarawurungu, naAma pakawurunga (ibu bapa yang namanya dibisikkan bila disebut). Adapun tempat-tempat pemujaan pada umumnya berupa rumah-rumah adat disamping khusus berupa katoda (tiang batu).

Orang Sumba sangat menghargai orang yang sudah meninggal. lni ditandai dengan dikuburnya orang yang telah meninggal di depan rumah atau di tengah kampung. Karena beranggapan, leluhur inilah yang telah menetapkan tata cara adat-istiadat yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, kematian, perekonomian dan sebagainya. Personifikasi Marapu terwujud dalam bentuk patung, lambang bulan, matahari, berbagai bentuk binatang, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Semua itu diletakkan dalam tempat yang baik dan kuat disimpan di atas loteng rumah. Pada tempat itulah roh leluhur hadir.

Bagi orang Sumba menganggap kematian itu sebagai hal yang penting. Kematian berarti memulai kehidupan baru di alam akhirat. Karena itu memberikan bekal bagi orang yang telah meninggal bukanlah tindakan mubazir. Semakin tinggi kedudukan seseorang didalam masyarakat, dari golongan bangsawan (maramba) semakin besar upacara yang dikehendaki untuk diselenggarakan.

Di beberapa tempat dapat dijumpai mayat yang disimpan dalam rumah, diantaranya sudah puluhan tahun. Mayat dalam posisi duduk dibungkus dengan kain puluhan kain tenun Sumba yang bagus-bagus. Alas duduk mayat adalah kulit kerbau. Upacara kematian itu seringkali tertunda-tunda sehubungan dengan persiapan upacara yang membutuhkan dana yang besar.

Upacara yang berhubungan dengan rumah dari mulai mendirikan tiang sampai pada bubungan rumah dilakukan upacara. Pertanian dan upacara sekitar daur hidup merupakan perwujudan pelaksanaan pemujaan berdasarkan kepercayaan asli, di samping adanya unsur pemujaan pada bulan dan matahari. Menghadapi musim bercocok tanam orang Sumba mengenal bulan suci yang disebut bulan Nyale (Wula Nyale). Pada bulan ini mereka meramal tentang buruk-baiknya hasil panen pada musim yang akan datang, dengan menggunakan sistim pengetahuan berdasarkan gejala yang diberikan oleh alam. Gejala itu disaksikan pada cacing (nyale) yang keluar dari pantai laut dangkal berbatu yang penuh lumut. Para pemimpin upacara (Rato) mengamati pertanda alam tentang kapan cacing atau nyale tadi akan muncul. Hakekatnya memohon kesuburan agar panen yang akan datang menjadi baik dan melimpah

Oleh karena itu, upacara adalah kekayaan masyarakat Sumba. Hal ini terbukti walaupun pendapatan penduduknya tergolong miskin, atas dasar kepercayaan terhadap warisan leluhur, penyelenggaraan pesta adat tidak menjadi halangan. Misal Upacara adat Woleka di desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Bangedo yang dilaksanakan 40 tahun sekali menjadi salah satu bukti. Upacara untuk meminta ampun, berkat, dan rezeki pada arwah leluhur biasanya akan menghabiskan tak kurang dari 100 ekor kerbau, 100 ekor sapi, 200 ekor babi dan beberapa kuda. Hewan yang menjadi hidangan pesta ini merupakan hasil ternak penduduk.

Penutup
Masyarakat Sumba secara umum, dalam sistem kepercayaan asli adalah pemujaan kepada nenek moyang yang merupakan salah satu unsur kepercayaan lama yang dikenal dengan istilah Marapu. Kepercayaan asli masyarakat tersebut, tercermin dari beranekaragam bentuk dan manifestasi religiusitas, salah satu bentuknya adalah kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang yang dianggap mempunyai kekuatan yang berada diluar jiwa manusia. Walaupun masyarakat Sumba sudah menganut agama nasrani, tetapi masyarakat masih dipengaruhi oleh adat istiadat setempat seperti kepercayaan kepada Marapu yang disimbolkan kepada beberapa mahluk kepercayaan disekitar lingkungan tempat tinggal.

Orang Sumba mengelompokan diri dalam persekutuan marga (kabihu), kampung (paraingu) dan kepercayaan (Marapu). Kehidupan dalam masyarakat dituntun oleh adat istiadat dan tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan. Seluruh kehidupannya, sejak masih janin dalam rahim ibunya hingga meninggal, diwarnai oleh kepercayaan kepada Marapu. Tidak ada satu bidang kehidupan pun yang tidak diwarnai oleh adat istiadat dan kepercayaan ini. Kesejahteraan atau kemalangan hidup ditentukan oleh taat tidaknya seseorang dalam pelaksanaan adat-istiadat.

Sumber :
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2007.
Alamat Kompleks Depdiknas, Gedung E, Lantai 10, .11. .1 end. Sudirman, Senayan Jakarta 10270
email : subditkomunitasadat@yahoo.com
Fotografer : Julianus Limbeng, Flavianus Dinong

Sistem Gotong-Royong Masyarakat Minahasa

II. Orang Minahasa
Minahasa merupakan suatu suku bangsa yang berada di wilayah asalnya daerah Sulawesi Utara. Biasa disebut juga dengan orang Menado atau Kawanua. Suku bangsa Minahasa ini tediri dari beberapa sub suku, yakni suku Tonsea, Tombulu, Tontemboan (Tompakewa), Toulour, Tonsawang (Tonsini), Pasan (Ratahan), Ponosakan, dan Bantik.

Selain sub suku tersebut ada pula kelompok peranakan Eropa, biasa disebut dengan orang Borgo, mereka mengidentifikasikan dirinya masuk dalam suku Tombulu, Tontemboan, dan Tonsea. Sub suku bangsa Tonsea, Tombulu, Toulour, dan Totemboan merupakan penduduk asli tanah Minahasa. Sub suku bangsa lainnya merupakan kelompok yang datang kemudian menempati wilayah Minahasa.

Kalau dilihat dari bahasanya, bahasa Minahasa yang digunakan terbagi pula ke dalam beberapa dialek. Seperti dialek Tonsea, Tombulu, Tontemboan, Toulour, Tonsawang. dialek Ratahan dan dialek Bantik banyak persamaannya dengan bahasa Sangir. Sedangkan dialek Ponosakan menunjukkan banyak persamaannya dengan bahasa Bolaang Mangondow. Walau demikian ketiga kelompok pemakai bahasa ini tetap mengaku dirinya sebagai orang Minahasa.

Dengan banyaknya sub suku bangsa, bahasa atau dialek pada orang Minahasa, maka untuk berkomunikasi antar sub suku bangsa mereka memakai bahasa Melayu Manado sebagai sarana komunikasinya. Bahasa Melayu Manado merupakan salah satu dialek lokal dari bahasa Melayu yang berpusat di Riau, pada masa lampau bahasa Melayu menyebar sebagai bahasa perdagangan di wilayah Indonesia. Pada dasarnya bahasa Melayu Manado dapat dibedakan menjadi dialek Melayu Pante, Melayu Gunung, dan Melayu Kota. Biasanya dialek Melayu Pante digunakan oleh orang Minahasa yang tinggal di pesisir, terutama orang nelayan Borgo. Sedangkan dialek Melayu Kota yang cukup mempunyai variasi digunakan oleh orang Minahasa lainnya, juga oleh orang Cina dan orang Arab.

Berdasarkan agama yang dianut, sebagian besar orang Minahasa adalah penganut agama Nasrani. Hanya sebagian kecil dari mereka yang menganut agama Islam. Besarnya jumlah orang Minahasa sebagai penganut agama Nasrani, tidak lepas dari sejarah Pendudukan bangsa Eropa di wilayah tersebut. Wilayah orang Minahasa dimana dalam pendudukan penjajah tersebut juga diikuti oleh para zending dan missionaris dari Eropa yang bertugas untuk menyebarkan agama Kristen. Sebagai penyiar agama Kristen Khatolik dan Kristen Protestan yang relatif lama di Minahasa, mereka cukup berhasil menanamkan nilai-nilai agama Nasrani kepada orang Minahasa yang sebelumnya penganut agama Animisme.

Sebagai penganut agama Nasrani, orang Minahasa dapat menjalankan kegiatan keagamaan dengan konsekuen dan konsisten. Kondisi ini biasa tercermin dari kegiatan keagamaan yang mereka lakukan. Dari kecil hingga dewasa mereka membiasakan diri untuk selalu ke Gereja, guna bersembahyang dan memanjatkan doa kepada Tuhan. Tidak hanya itu merekapun berusaha membaca alkitab agar dapat mewujudkan perilaku yang sesuai dengan ajaran agama Kristen.

Bersamaan masuknya orang Eropa ke wilayah Minahasa masuk pula budaya Eropa yang diadopsi oleh orang Minahasa. Antara lain tercermin dalam gaya dan sikap, atau kebiasaan-kebiasaan hidup mereka. Sebagian besar orang Minahasa mempunyai gaya dan sikap hidup yang berorientasi ke dunia barat atau Eropa. Seperti nampak dalam kehidupannya yang senantiasa melakukan pesta dalam suafii kegiatan. Pesta selalu dilakukan bila mereka merasa memperoleh berkah atau kemuliaan dalam hidup. Pesta menjadi wujud kebahagiaan yang telah mereka peroleh, sehingga bila tidak mengadakan pesta akan terasa kurang nyaman. Oleh karena itulah seringkali orang Minahasa dikenal sebagai penyenang dan pelaku pesta.

Gaya hidup dan sikap orang Minahasa yang dipengaruhi oleh budaya Eropa, juga nampak dalam pola berpakaiannya hingga saat ini. Terutama tercermin dalam pakaian adat perkawinan yang biasa mereka kenakan. Dalam adat perkawinan mereka biasa menggunakan pakaian gaya Eropa, seperti pengantin laki-laki mengenakan stelan jas dan pengantin perempuan mengerakan pakaian rok panjang berwarna putih dengan slayar.

Gaya, sikap atau kebiasaan hidup yang mereka wujudkan banyak mencerminkan adopsi dari kebudayaan Eropa itu, memunculkan nilai nilai atau aturan kehidupan yang bermakna dalam budaya orang Minahasa. Seperti salah satu konsep hidup yang mereka miliki, yakni "Rai Paar Katilau". Yang berarti jangan mau ketinggalan. Bagi orang Minahasa "Rai Paar Katilau" atau jangan mau ketinggalan ini merupakan nilai budaya yang menjadi pedoman kehidupan yang dijalankannya.

Dalam nnenjalani hidupnya, seseorang diharapkan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik. Untuk memperolehnya seseorang harus rajin bekerja, mempunyai cita-cita, merencanakan setiap langkah yang akan ditempuh, agar keinginannya dapat terwujud. Berkaitan dengan mewujudkan keinginan yang baik itu, orang-orang tua Minahasa senantiasa mengeluarkan kata atau ungkapan "Rai Paar Katilau" kepada anak-anaknya.

Kata atau ungkapan "Rai Paar Katilau" yang senantiasa diungkapkan itu, mengandung makna yang sangat dalam. Tidak hanya mengandung arti jangan mau ketinggalan, tetapi juga mengandung pengertian jangan hanya dapat melihat namun juga harus memiliki. Kata atau ungkapan ini bermaksud untuk memacu maju seseorang, agar menjalani hidupnya tidak bermalas-malasan dan mau berusaha untuk meraih apa yang diinginkannya. Tidak hanya itu seseorang juga harus berusaha untuk mengejar kemajuan yang telah dicapai oleh orang lain. Oleh karena itu setiap orang tua Minahasa selalu mengeluarkan kata atau ungkapan tersebut dalam mendidik dan mengarahkan masa depan anak¬anaknya.

Kondisi demikian dapat tercermin dalam kehidupan sehari-hari orang Minahasa. Misalkan pada satu keluarga petani bekerja mengolah tanah sawah dengan cangkul, ke depannya diibaratkan harus dapat mengolah tanah sawah atau membajak dengan menggunakan tenaga hewan. Dalam arti kemajuan itu akan dapat ia peroleh, dengan mereka harus berusaha dan memacu maju diri. Untuk itu kata atau ungkapan "Rai Paar Katilau" harus selalu diingat, yang dapat mendorong munculnya semangat untuk meraih sesuatu. Semangat untuk meraih sesuatu akan semakin muncul apabila tetangga sekitar tempat tinggalnya telah memiliki apa yang diinginkannya.

Kata atau ungkapan "Rai Paar Katilau" ini dapat dianggap sebagai ajakan untuk berkompetensi atau bersaing secara positif, sebagaimana layaknya manusia dalam menjalin hubungan sosial biasanya memiliki rasa persaingan. Rasa persaingan ini dalam kaitannya dengan kata atau ungkapan "Rai Paar Katilau" dapat dianggap sebagai persaingan yang bersifat positif. Karena dengan jangan mau ketinggalan sebagai arti dari kata atau ungkapan itu, memberi gambaran seseorang tidak boleh ketinggalan dengan yang lain dalam berbagai hal. Untuk itu ia harus mengejar ketinggalannya dari yang lain, yang menjadi wujud dari rasa berkompetensi itu.

Bagi orang Minahasa kata atau ungkapan "Rai Paar Katilau" tetap ada atau hidup hingga kini, dan masih sering diucapkan terutama oleh orang tua untuk memacu maju anak-anaknya. Namun demikian sebagian orang Minahasa tidak selalu memahami sepenuhnya makna sebenarnya kata atau ungkapan tersebut Oleh karena itu sering mereka mewujudkannya secara kurang tepat.

Biasanya bila ingin memperoleh sesuatu yang sudah diperoleh orang lain atau untuk menyaingi orang lain, sering mereka menjalankan prosedur yang kurang benar. Misalkan dalam mengadakan suatu pesta perkawinan untuk menyaingi atau melebihi orang lain, yang bersangkutan berusaha menampilkan pestanya lebih baik dan lebih meriah dengan biaya besar, meskipun biayanya berasal dari uang pinjaman. Sehingga terkesan mereka memaksakan diri untuk memperoleh suatu predikat menjadi orang yang sukses dimata orang lain. contoh seperti ini menunjukkan bahwa ungkapan "Rai Paar Katilau" itu, bagi sebagian orang Minahasa melenceng dari maknanya semula.

Namun terlepas dari kesalahan wujud maknanya itu, kata atau ungkapan "Rai Paar Katilau" sangat membangun dan dinamis. Hal ini memberi gambaran bahwa pada dasarnya sifat orang Minahasa sangat terbuka dunia luar. Mereka merupakan masyarakat yang ingin selalu maju tidak mau ketinggalan dengan yang lain. Kondisi demikian adalah positif dan dapat menjadi potensi dalam pembangunan.

Berkaitan dengan itu masih banyak kata atau ungkapan milik orang Minahasa yang terwujud pada kebiasaan¬kebiasaannya dalam berkehidupan sosial, yang selalu positif dan dapat menjadi potensi dalam pembangunan. Kata atau ungkapan itu memang masih sering terdengar dan diingat oleh orang Minahasa, sengaja atau tidak sengaja terwujud dalam perilakunya. Seperti kata atau ungkapan "Lama Asi Kakele Tow", "Maan, Matulengka Mokan Uleluwekan Taan Maleo-leosan", "Baya Papayangaen Satanu Toro Patuahlah". "Lama Asi Kakele Tow" merupakan kata atau ungkapan yang mengandung pengertian setia, taat dan mengasihi sesama manusia. Kata atau ungkapan tersebut mempunyai makna yang bersifat moral, bahwa manusia dalam kehidupannya harus mengasihi sesama manusia. Dalam arti manusia dalam berhubungan, baik dengan kerabat maupun di luar kerabat, atau masyarakat luas, harus dapat bersikap saling mengasihi. Apalagi dalam ajaran agama Kristen selalu ada kasih dalam kehidupan ini, baik kasih manusia maupun kasih Tuhan.

Oleh karena itulah orang Minahasa selalu mengingat kata dan ungkapan tersebut, agar perilaku yang mereka wujudkan tidak lepas dari makna yang terkandung dalam kata atau ungkapan yang ada. Seringkali kita melihat sebagian orang Minahasa dalam hubungan sosialnya cukup akrab atau bersahabat dengan orang yang dikenalnya. Mereka biasa ramah dan mau menyapa baik orang yang telah dikenal atau baru dikenal.

Kata atau ungkapan yang dimiliki dan senantiasa hidup dalam masyarakat Minahasa , pada dasarnya memang selalu menjadi pedoman dalam berperilaku. Mereka berusaha mewujudkan perilaku dalam bermasyarakat untuk selalu memelihara hubungan baik dengan sesamanya, sebagaimana makna ungkapan "Maan Matulengka Mokan Uleluwekan Taan Maleo-leosan", yang dalam Bahasa Indonesia berarti biar lesung padi sudah tidak terpakai lagi akibat paceklik tetapi tetap berbaik-baiklah.

Makna ungkapan tersebut, menunjukkan bahwa dalam keadaan apapun manusia harus saling memelihara hubungan baik diantara sesamanya, yaitu harus dapat menjaga hubungan balk dengan siapapun, walau dalam keadaan susah atau paceklik. Jadi bukan berarti hubungan akan berlangsung hanya dalam keadaan senang atau gembira saja, hubungan hendaknya tetap berlangsung dalam keadaaan susah sekalipun. Ungkapan ini seringkali diingatkan oleh orang tua kepada anaknya yang baru menikah. Dengan maksud menasehati anak agar berbaik¬baik dalam rumah tangga bukan hanya pada waktu senang saja, tetapi juga pada waktu sedang susah.

Ungkapan lain yang sering disampaikan oleh orang Minahasa secara turun temurun adalah "Baya Papayangaen Satanu Toro Patuhlah", ungkapan tersebut berarti semua usaha atau pekerjaan diharapkan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Makna yang terkandung dari ungkapan itu meng¬gambarkan bahwa setiap pekerjaan atau usaha hendaklah dikerjakan dengan sebenar-benarnya menurut ketentuan yang berlaku. Kalau dijabarkan makna tersebut memberi pejelasan bahwa semua pekerjaan haruslah dikerjakan secara orang dewasa (patuahlah), dan jangan hanya sebagai pekerjaan anak-anak. Pengertian patuahlah mempunyai arti yang luas, dimana seorang yang sudah dewasa mengerjakan sesuatu biasanya tidak semberono, penuh rencana dan bersikap wajar.

Istilah patuahlah (tuah), juga mengandung arti matang pemikiran yang biasa dimiliki oleh seseorang sesepuh yang menjadi pemimpin dalam lingkungannya. Sebagai pemimpin ia selalu bersikap patuahlah dalam menjalankan tugasnya, misal dalam kegiatan gotong-royong (mapalus diuraikan pada bagian tiga) ia akan melakukan musyawarah dan cara yang pantas dilakukan sebagai orang dewasa. Dengan demikian dapat diartikan kata atau ungkapan yang ada dalam kehidupan orang Minahasa itu, sebagai alat kontrol sosial bagi seseorang dalam manjalankan kehidupannya.

III. Budaya Mapalus
Salah satu bentuk dari wujud kebudayaan sistem sosial adalah gotong royong yang masih diaktifkan oleh banyak suku bangsa di Indonesia. Gotong royong adalah bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu, dengan azas timbal-balik yang mewujudkan adanya keteraturan sosial dalam masyarakat. Pada dasarnya, kegiatan gotong royong melibatkan banyak anggota suatu kelompok masyarakat.

Interaksi yang terjadi merupakan perwujudan salah satu hakekat hidup manusia, bahwa manusia sangat membutuhkan manusia yang lain sebagai sesama mahluk sosial. Dad sinilah tercipta berbagai aktivitas di antara mereka sebagai lembatan' untuk saling melengkapi dan berbagi rasa dalam menunjang kelangsungan hidup mereka, dan salah satunya adalah gotong royong.

Gotong royong sebagai salah satu bentuk aktivitas kebudayaan tercipta atas dasar rasa ingin saling membantu dalam kehidupan bermasyarakat. Aktivitas masyarakat yang berinteraksi dan bergaul dalam gotong royong akan menciptakan suasana keterbukaan dan saling percaya, sehingga pada akhirnya akan terjalin hubungan timbal-balik yang bersifat saling memberi dan menerima (reciprocity). Dengan demikian, gotong royong akan dirasa penting serta berharga bagi kehidupan manusia dan masyarakatnya, dalam membangun rasa kebersamaan dan sepenanggungan menghadapi berbagai masalah yang dihadapi.

Di kalangan masyarakat Minahasa, gotong royong dikenal dengan istilah mapalus, pada awalnya mapalus dilakukan khusus pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan bidang pertanian, mulai dari membuka lahan sampai memetik hasil atau panen. Kegiatan gotong royong semacam ini berlangsung sesuai permintaan atau sesuai giliran. Ketika seorang anggota masyarakat akan melakukan pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga kerja, maka hal tersebut disampaikan kepada kepala adat, yang selanjutnya akan mengerahkan warga masyarakat lainnya untuk ikut membantu. Bila di antara orang¬orang yang telah memberi bantuan tersebut menghadapi kondisi serupa pada suatu saat, maka orang yang telah dibantunya dulu akan balas membantunya.

Dengan mencermati mekanisme mapalus sedemikian itu, dapat dikemukakan bahwa tanpa mereka sadari telah tercipta azas timbal-balik dalam kegiatan gotong royong di kalangan orang Minahasa, yaitu melalui mapalus, Mapalus dapat berlangsung dengan baik serta memberi banyak manfaat bagi kehidupan orang Minahasa, kegiatan ini dilakukan tidak hanya terbatas di bidang pertanian, melainkan juga diterapkan dalam setiap kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan, dan hampir di segala bidang kehidupan, seperti dalam kegiatan-kegiatan upacara adat, mendirikan rumah, membuat perahu, perkawinan, kematian, dan sebagainya.

Dalam pelaksanaannya, mapalus dapat digolongkan dalam kegiatan yang bersifat spontan tanpa pamrih dan terorganisir. Mapalus yang bersifat spontan tanpa pamrih maksudnya segala sesuatu yang diberikan baik tenaga maupun mated (bahan dan uang) tidak diharapkan untuk dikembalikan atau dibalas. Sebagai contoh , misalnya ketika suatu keluarga akan membangun rumah atau membuka lahan persawahan, atau kegiatan-kegiatan lain yang bukan untuk kepentingan masyarakat umum, biasanya banyak orang yang akan membantu tanpa harus diminta. Begitu terlihat banyak orang yang sedang bekerja, secara spontan mereka akan melibatkan diri dalam pekerjaan tersebut.

Wujud mapalus yang terorganisir adalah yang dilakukan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, yaitu pihak yang telah menerima bantuan wajib mengembalikan atau membalas bantuan yang telah diterimanya dalam bentuk apa pun terhadap pihak yang telah memberi bantuan kepadanya. Gotong royong semacam ini biasanya berlaku pada kegiatan atau pekerjaan yang bersifat lebih formal, seperti dalam penyelenggaraan upacara adat, baik yang diselenggarakan oleh sebuah keluarga maupun yang menyangkut kepentingan masyarakat. Begitu pula mapalus dapat dibedakan atas yang bersifat umum dan khusus. Pada mapalus yang bersifat umum, individu-individu yang terlibat dalam kegiatan ini tidak dibedakan atas golongan atau status sosial tertentu, siapa saja boleh berpartisipasi. Mapalus yang sifatnya lebih khusus melibatkan hanya orang-orang yang terikat dalam suatu hubungan kekerabatan tertentu, atau merupakan anggota dari suatu perkumpulan tertentu.

Perkembangan selanjutnya dari budaya mapalus yaitu mulai adanya sistem upah atau pemberian baik berupa uang, bahan, atau makanan. Pihak yang membutuhkan bantuan tenaga orang lain akan memberi upah kepada orang-orang yang telah membantunya sebagai imbalan atas bantuan yang telah diberikan atau sebagai ungkapan rasa terima kasih. Mapalus dengan sistem upah ini jarang dilakukan. Orang Minahasa (terutama yang bermukin di pedesaan) lebih sering terlibat dalam mapalus secara spontan tanpa pamrih.

Mapalus dapat berlangsung tanpa adanya peran aktif para anggota masyarakat sebagai pelaksana kegiatan. Biasanya dalam setiap kegiatan mapalus akan ditunjuk seorang pemimpin agar kegiatan tersebut dapat berlangsung terarah dan tepat waktu. Pemimpin ditunjuk secara spontan dari kalangan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan. Siapa saja secara spontan dapat melibatkan did dalam kegiatan ini, dalam arti tidak terjadi pengerahan tenaga kerja secara paksa atau harus diminta dulu. Sebagai balas jasa atau ungkapan rasa terima kasih tidak diberikan upah dalam bentuk apa pun, tetapi di dalamnya terkandung maksud agar orang yang telah diberi bantuan suatu saat tenaganya akan dibutuhkan oleh orang lain yang mempunyai pekerjaan besar.

Saat ini, di kalangan orang Minahasa berkembang suatu bentuk mapalus yang lebih terorganisir seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Biasanya bentuk gotong royong seperti ini untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat lebih khusus dan formal dibanding mapalus yang bersifat spontan, seperti misalnya dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat baik yang berupa upacara daur hidup (life cycle) maupun acara adat lainnya.

Dalam pelaksanaan Mapalus yang terorganisir, para peserta yang terlibat dibedakan atas pembina, pengurus, dan anggota. Seorang pembina mempunyai tugas dan fungsi untuk membimbing serta mengarahkan anggota-anggota yang terlibat dalam mapalus, sekaligus terhadap pekerjaan atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Jabatan pembina tidak ditentukan oleh para anggota. Jika pekerjaan atau kegiatan tersebut dilakukan dalam sebuah desa, maka dengan sendirinya kepala desa akan berperan sebagai pembina.

Walaupun segala kewajiban dan tanggung jawab diserahkan sepenuhnya kepada setiap anggota yang terlibat dalam mapalus. Akan tetapi agar kegiatan atau pekerjaan dapat berlangsung dengan baik dan lancar, maka dipilih orang¬orang yang berperan sebagai pengurus. Biasanya dalam suatu kegiatan dipilih paling sedikit dua orang pengurus. Tugas pengurus adalah mengatur atau mengkoordinir pelaksanaan mapalus sehubungan dengan suatu kegiatan adat. Jabatan pengurus dipilih dan ditentukan oleh para anggota, walaupun para pengurus juga terdaftar sebagai anggota.

Anggota yang tergolong dalam mapalus adalah semua orang yang terlibat pada kegiatan tersebut. Pada umumnya yang menjadi anggota adalah keluarga inti yang akan menyelenggarakan pesta atau upacara adat, ditambah seluruh kerabat mereka, baik yang bermukim dalam satu daerah maupun di luar daerah. Anggota juga terdiri dari orang-orang yang ikut membantu walaupun mereka bukan kerabat dari keluarga yang menyelenggarakan kegiatan.

Pada setiap kegiatan mapalus yang bersifat formal biasanya diberlakukan aturan-aturan yang mengikat semua orang yang terlibat. Balk anggota, pengurus, maupun pembina harus disiplin mentaati peraturan yang berlaku selama melaksanakan mapalus. Bagi siapa saja yang melanggar peraturan, akan dikenakan sanksi sosial berupa pengucilan dari masyarakat dan semua kegiatan adat atau diharuskan membayar denda secara adat.

Pada perkembangan selanjutnya, bentuk-bentuk mapalus menjadi beragam, saat ini mapalus bukan saja merupakan kegiatan yang melibatkan perorangan secara spontanitas, akan tetapi dalam pelaksanaannya dibutuhkan suatu keteraturan yang tidak saja dapat dijalankan secara perorangan namun harus dilakukan secara bersama-sama. Oleh sebab itu, mapalus dianggap penting untuk dilaksanakan secara teratur dan terorganisir. Kesadaran masyarakat akan perlunya kegiatan mapalus dijalankan secara teratur dan terkendali, diwujudkan dengan terbentuknya banyak perkumpulan mapalus di Minahasa.

Perkumpulan atau kelompok mapalus dapat pula terbentuk di kalangan orang-orang yang sedaerah asal, tetapi juga mereka yang bermukim di luar daerah asal. Perkumpulan atau kelompok ini banyak dijumpai di kota Manado atau di kota-kota lain di luar wilayah Minahasa. Salah satu wujud dari perkumpulan tersebut dikenal dengan sebutan organisasi Kawanua, yang memiliki program saling tolong atau gotong royong bila salah satu anggotanya membutuhkan bantuan dalam berbagai kegiatan. Kegiatan tolong-menolong yang menonjol dari perkumpulan atau kelompok mapalus ini terutama berkaitan dengan peristiwa kedukaan, misalnya kematian, sakit, rtimpa musibah atau bencana, dan sebagainya.

Kegiatan gotong royong atau mapalus bukan hanya sekadar aktivitas masyarakat yang saling tolong demi tercapainya kebutuhan, atau hanya sebagai perwujudan dari interaksi antar-manusia sebagai mahluk sosial. Di balik kegiatan tersebut terkandung nilai-nilai luhur yang ditanamkan secara turun-temurun, yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup bagi orang Minahasa pada umumnya. Beberapa nilai budaya yang tersirat dalam mapalus, di antaranya:

1. Nilai kebersamaan
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup menyendiri dalam memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidupnya. Untuk itu dia akan bergaul dengan individu-individu lainnya dalam suatu masyarakat, baik di dalam maupun di luar keluarga. Dengan kata lain, dia akan berinteraksi dengan mahluk sosial lainnya. lnteraksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorangan serta antara kelompok-kelompok manusia.

Dalam berinteraksi atau bergaul akan muncul rasa saling membutuhkan, yang antara lain diwujudkan dengan saling menolong atau saling memberi dan menerima. Dengan adanya interaksi sosial yang demikian, akan memupuk dan menghidupkan rasa kebersamaan di antara anggota-anggota suatu kelompok masyarakat. Kegiatan gotong royong dalam bentuk apa pun merupakan wujud nyata dari interaksi sosial masyarakat yang memiliki rasa saling membutuhkan.

Kebersamaan di antara orang-orang yang terlibat dalam kegiatan mapalus merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan serta kelangsungan kegiatan tersebut. Rasa kebersamaan dan sepenanggungan akan muncul dengan sendirinya bila ada kesediaan dan kerelaan diri untuk dapat memberi dan menerima bantuan terhadap sesama. Keikutsertaan warga atau keluarga dalam mapalus menandakan suatu sikap yang bersedia dan rela untuk membantu warga atau keluarga lainnya secara bersama-sama.

Sebelum mapalus dilakukan berkaitan dengan suatu pekerjaan atau peristiwa tertentu, biasanya diadakan musyawarah untuk mengatasi permasalahan yang kemungkinan akan timbul. Sampai sejauh ini, pelaksanaan mapalus dapat berlangsung dengan baik karena ada unsur musyawarah untuk mencapai mufakat, yang secara tidak langsung menunjang rasa kebersamaan di antara warga yang terlibat dalam mapalus. Dengan penuh kesadaran anggota masyarakat yang lain akan membantu keluarga yang menyelenggarakan kegiatan atau pekerjaan, karena sebagai mahluk sosial yang berbudaya mereka adalah bagian dari masyarakat yang harus sating mempehatikan. Nilai kebersamaan ini mengikat para warga/ anggota masyarakat untuk tidak bertindak sendiri dalam menghadapi suatu pekerjaan atau masalah besar yang sebenarnya membutuhkan bantuan orang lain.

2. Nilai Kedisiplinan
Disiplin adalah suatu sikap mental yang mengarahkan manusia untuk senantiasa mentaati serta mematuhi tata tertib dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Disiplin sangat diperlukan dalam setiap aktivitas kehidupan, baik secara individual maupun dalam kelompok. Sebagai suatu sikap mental, disiplin dimanifestasikan dalam berbagai bentuk tindakan yang nyata sesuai dengan situasi dan kondisi. Disiplin terwujud dalam sikap dan perilaku manusia dalam kelompoknya serta lingkungannya.

Dalam mapalus yang bersifat formal dan terkoordinir, diberlakukan aturan aturan yang mengikat seluruh anggota yang terlibat di dalamnya. Mereka dituntut untuk bersedia dan rela mematuhi serta mentaati aturan yang telah disepakati bersama. Hal ini yang menunjukkan kedisiplinan mereka sebagai bagian dari suatu masyarakat dalam menjalankan kegiatan untuk kepentingan bersama.

Kedisiplinan dapat menjadi tolok ukur atas keberhasilan pelaksanaan suatu kegiatan. Dengan adanya pemahaman para anggota masyarakat terhadap arti pentingnya nilai kedisiplinan, dapat dipastikan kegiatan mapalus dapat berlangsung dengan baik dan lancar sesuai harapan bersama. Kondisi ini menjadi bukti nyata, bahwa kedisiplinan para peserta mapalus dalam memenuhi dan melaksanakan hak serta kewajiban masing-masing telah berjalan seimbang. Secara lahiriah mereka terikat pada hak dan kewajiban sebagai anggota mapalus yang harus patuh dan taat pada peraturan, sedangkan secara batiniah mereka juga terikat untuk saling mengerti, menghormati, dan menghargai satu sama lain.

Keterikatan para anggota dalam mapalus memberikan arah sekaligus menyatakan, bahwa mereka tidak dapat bertindak sembarangan tanpa persetujuan dan kesepakatan bersama. Lancar tidaknya suatu kegiatan tergantung pada kedisiplinan setiap anggota dalam menjalankan tugasnya.
Kedisiplinan patut dimiliki oleh setiap individu dalam menjalankan segala bentuk kegiatan, baik yang berhubungan dengan orang banyak, dalam lingkungan keluarga, maupun bagi dirinya sendiri.

3. Nilai Kepedulian
Sebagai sesama mahluk sosial, seseorang selayaknya memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap orang lain, apalagi bila orang tersebut sedang menghadapi kesulitan atau pekerjaan besar yang membutuhkan bantuan orang lain. Mereka yang secara spontan dan tanpa pamrih memberi bantuan dalam bentuk apa pun terhadap yang membutuhkan, berarti mereka memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesamanya.

Sikap peduli sangat dibutuhkan dalam kegiatan mapalus, oleh karena prinsip dari kegiatan ini adalah sosial ke¬masyarakatan tanpa imbalan atau upah. Apalagi pada peristiwa-peristiwa kedukaan, keluarga yang tertimpa kemalangan sangat membutuhkan bantuan orang lain (dalam arti bukan kerabat sendiri) untuk meringankan bebannya. Tanpa adanya kepedulian dari orang lain akan menambah beban kemalangan orang yang bersangkutan, sebab dia harus mengerjakan sendiri segala sesuatunya di tengah rasa kedukaannya.

Kepedulian sosial bukan hanya dibutuhkan dalam kehidupan suatu komunitas saja, juga dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimulai dengan sikap peduli terhadap sesama, akan menciptakan rasa solidaritas/ tenggang rasa serta kepekaar sosial. Nilai-nilai ini yang sebenarnya dapat menjadi langkah antisipasi untuk menghindari konflik antar individu dan kelompok. Dengan memahami dan menghayati nilai-nilai tersebut, dapat menjadi dasar untuk memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan.

4. Nilai Ekonomis
Manusia sebagai mahluk sosial memerlukan materi untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka upaya mempertahankan hidupnya. Sandang, pangan, serta papan merupakan kebutuhan hidup utama manusia, sedangkan komponen lain di luar kebutuhan primer tersebut merupakan kebutuhan sekunder. Komponen-komponen kebutuhan ini tidak terlepas dari nilai ekonomi, karena berkaitan dengan kebendaan atau materi. Mapalus sangat bernilai ekonomis bagi masyarakat Minahasa yang akan menyelenggarakan suatu kegiatan atau pekerjaan besar. Dalam hal ini, keluarga yang menye¬lenggarakan kegiatan tersebut dapat menghemat biaya, karena banyak warga lain yang membantu menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan, baik berupa uang, bahan, maupun makanan. Apalagi dalam peristiwa kedukaan, yang mana keluarga yang tertimpa kedukaan harus mengeluarkan cukup banyak biaya, bebannya akan terasa ringan dengan adanya bantuan dari warga-warga lain.

Oleh sebab itu, mapalus menjadi sangat penting artinya bagi kehidupan orang Minahasa pada umumnya. Nilai ekonomis yang terkandung dalam mapalus sangat membantu mereka, terutama dalam hal penghematan biaya, karena dengan demikian mereka dapat sekaligus memenuhi kebutuhan hidup lainnya yang muncul secara bersamaan.

Sumber :
Ernayanti Sriwigati Endang, dkk, 2004, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan, Asdep Urusan Hubungan Antar Budaya.

Budaya Mapalus : (Sistem Gotong-Royong Masyarakat Minahasa)

I. Negeri Minahasa
Lokasi dan Lingkungan Alam

Minahasa adalah salah satu suku bangsa yang berada di Propinsi Sulawesi Utara. Suku bangsa ini sering juga disebut orang " Manado " atau orang `Kawanua'. Domisili suku bangsa Minahasa dapat dikatakan meliputi seluruh Kabupaten Minahasa, termasuk pulau-pulau kecil sekitar Jasirah Sulawesi Utara seperti Bunaken, Mantahage, Talise, Bangka, dan Lembeh.

Tanah Negeri Minahasa terletak di ujung bagian utara Pulau Sulawesi. Bentang alam atau sanjana (sejauh mata memandang) wilayah Minahasa berupa hutan, rawa, danau, perkampungan dan perkotaan, Gunung-gunung dan pegunungan yang terkenal antara lain Kelabat, Dua Saudara, Lokon, Masarang, Tampusu, Manimporak, Soputan, Lolombulan, Lengkoan, dan pegunungan Lembean, serta pegunungan Wulur Mahatus. Selanjutnya sungai-sungai yang mengalir di wilayah Minahasa antara lain Tondano, Ranoyapo, Ranoako dan Piogor. Sungai-sungai ini di antaranya bermuara dibeberapa danau seperti Tondano, Tombalu, Moat, dan Linow.

Letak negeri Minahasa secara astronomis antara 0 ° 51' - 1° 51' 40 " lintang utara dan 142 ° 18' 40" - 125° 21' 30' 30 " bujur timur. Negeri Minahasa yarg identik dengan Kabupaten Minahasa berbatasan dengan Laut Sulawesi di sebelah utara, Laut Maluku dan Teluk Tomini di sebelah timur, Teluk Tomini di sebelah selatan, dan Kabupaten BolaangMangondow di sebelah barat. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Minahasa berbatasan dengan perairan.

Pemerintah Tradisional dan Pola Perkampungan
Kebanyakan masyarakat Minahasa berdiam di daerah pedesaan. Pada masa lalu, kesatuan hidup setempat terkecil di Minahasa disebut banua atau wanua (desa). Pemerintahan banua atau wanua ini dipimpin oleh hukumtua atau kepala desa, dalam menjalankan pemerintahannya Hukumtua dibantu oleh sejumlah petugas yang disebut pamong desa. Petugas atau pamong yang membantu Hukumtua antara lain juru tulis, mantri air, kepala jaga, meweteng, kepala jaga polisi, dan palakat.

Pembantu hukumtua selain bertugas di bidang pemerintahan juga bertugas pada kegiatan lain seperti pembangunan desa, gotong royong atau kerja bakti. Dalam kegiatan ini hukumtua juga dibantu oleh sejumlah orang yang biasa disebut Tua-tua Kampung. Mereka ini terdiri atas pimpinan agama setempat, para guru, dan mantan-mantan Hukumtua, pelaksanaan setiap kegiatan didahului dengan rapat yang dihadiri oleh pamong desa bersama tua-tua kampung.


Mapalus merupakan perilaku budaya masyarakat Minahasa

Setiap Banua atau wanua yang terdapat di Minahasa terbagi atas beberapa wilayah kecil yang disebut jaga,dan setiap jaga juga terbagi menjadi beberapa wilayah kecil yang terdiri atas sejumlah rumah. Wilayah jaga berada di bawah kekuasan Kepala jaga yang dibantu oleh meweteng. Selain pembagian tersebut, setiap desa bila ditinjau dari pembagian secara agama (protestan) terdiri atas kolom-kolom yang dipimpin oleh Panatua yang dibantu oleh samasit (wanita) dan atau samas (laki-laki). Sementara Pendeta tetap bertindak sebagai pemimpin agama.

Pelapisan sosial yang ada di Minahasa terutama di daerah pedesaan dapat dikelompokkan berdasar pangkat atau jabatan (Hukumtua,kepala jaga, Meweteng dan sebagainya), agama (Pendeta, Guru Jumat, Panatua), pendidikan (guru), dan materi atau kekayaan (tousiga = orang kaya, tou lengei orang = miskin, dan sebagainya). Hingga kini pelapisan sosial yang masih ada di tengah masyarakat berdasar pada pendidikan, pangkat, dan kekayaan.


Budaya Mapalus salah satunya diwujudkan dengan memotong hewan

Pada masa lalu, kampung-kampung di Minahasa dipagar rapat dan kuat dengan tiang-tiang kayu. Hal ini dimaksudkan untuk "benteng" pertahanan. Pada masa itu masih sering terjadi perang antar kelompok. Wale atau rumah-rumah pada masa itu berupa bangunan tempat tinggal yang berdiri di atas tiang-tiang yang cukup tinggi. Untuk naik atau masuk ke rumah menggunakan tangga. Tangga ini diangkat ke atas bila tidak digunakan sehingga musuh tidak mudah naik atau masuk ke rumah.

Seiring perkembangan zaman, konflik atau perang antar kelompok berangsur-angsur mulai hilang dan akhirnya hilang. Berkaitan dengan ini, bentuk rumah pun juga berubah. Tiang¬-tiang rumah tidak setinggi dulu lagi, bahkan ada yang merapat atau tapas tanah. Rumah tradisional orang Minahasa umumnya berbentuk rumah panggung yang berbahan kayu dan beratap rumbia dan ada pula dari seng. Kolong rumah berfungsi sebagai godong (gudang). Di samping rumah atau tempat tinggal, mereka juga membuat pondok-pondok di areal perladangan disebut sabuwa atau di areal persawahan disebut terung. Pondok ini digunakan untuk berteduh/beristirahat dari hujan dan panas sewaktu bekerja di ladang atau sawah.

Sebuah desa (kampung) biasanya terdiri atas bangunan rumah tempat tinggal, gereja, pasar atau warung, sekolah dan bangunan lainnya. Sebagai prasarana penghubung antar penduduk dibangun jalan desa dan lorong. Rumah penduduk biasanya menghadap ke jalan atau lorong. Jarak antara rumah masih lega sehingga dapat ditanami pohon buah-buahan, sayur-sayuran, rempah-rempah, dan bunga-bunga di dalam areal pekarangan.

Pola Mata Pencaharian
Penduduk Minahasa, terutama di pedesaan, umumnya mereka hidup bercocok tanam di ladang (uma atau kobong kering). Tanaman pokok di ladang jagung yang kadang diselingi padi ladang. Sementara itu di lokasi tertentu seperti di sekitar Danau Tondano, Pineleng, Tumpaan, dan Dimembe, penduduk menaman padi di sawah.

Sistem bercocok tanam di ladang (uma atau kobong kering) ada yang ditanami beberapa kali dan ada yang menetap, yang hanya bisa ditanami beberapa kali biasanya berada dilereng-lereng bukit atau gunung. Sementara itu tanah yang ditanami secara menetap biasanya tanah datar yang tidak banyak terkena erosi sehingga kesuburannya terjaga.

Tanaman utama yang ditanam di ladang adalah jagung. Tanaman jagung ini kadang diselingi dengan tanaman padi ladang, sayur-sayuran, dan rempah-rempah. Sementara itu tanaman yang ditanam di sawah tentu saja padi. Ada beberapa tahap dalam proses penanaman padi, mulai dari merendam padi sehari semalam sebelum disemai di sepetak tanah, membajak tanah, kemudian mengairinya agar tanah menjadi basah dan tidak keras sehingga mudah untuk ditanami. Sambil menunggu lahan slap ditanam, pemilik membersihkan pematang sawah. Setelah bibit padi umurnya cukup, sejumlah tenaga baik laki-laki maupun perempuan mencabut bibit tersebut. Selang beberapa saat kemudian bibit padi ditanam. Tanaman padi sedapat mungkin mendapat air yang cukup hingga saatnya untuk disiangi atau bahasa Minahasa rukutan (mencabut rumput). Setelah disiangi, si pemilik lahan tinggal menunggu padi dipanen. Dalam kegiatan memanen, biasanya memerlukan tenaga laki-laki dan perempuan.

Tanah pertanian biasanya milik perorangan atau dalam bahasa setempat disebut pasini. Pemilikan tanah pasini biasanya melalui warisan atau bell. Warisan ini seringkali menjadi sumber konflik antar kerabat bila tak ada ketetapan sebelumnya. Selain itu konflik juga sering terjadi antar tetangga karena batas lahan yang tidak jelas. Agar batas jelas biasanya batas lahan ditanami tanaman yang dikenal dengan nama tawaang. Selain tanah pasini, tanah pertanian dapat pula berupa kalakeran yakni tanah milik bersama dari satu kelompok kerabat. Tanah ini digarap bersama-sama oleh kerabat yang bersangkutan. Apabila tanah kalakeran tidak begitu luas, biasanya dikerjakan secara bergilir di antara anggota kerabat, yang disebut pataunen (setiap anggota mendapat giliran satu tahun).

Matapencaharian lain penduduk Minahasa adalah berprofesi sebagai tibo-tibo (pedagang kecil). Mereka menjual aneka bumbu dapur, sayuran, buah-buahan, ikan, dan keperluan dapur lain. Batibo (pekerjaan berdagang) biasanya dilakukan kaum perempuan, sedangkan kaum laki-lakinya ada yang bekerja sebagai bas (tukang) dengan keahlian masing¬masing seperti bas kayu, bas mesel (tukang batu). Profesi lainnya adalah buruh tani, sopir, dan kusir bendi. Penduduk yang tinggal di daerah pesisir dan sekitar Danau Tondano bermatapencaharian menangkap ikan.

Upacara berkaitan dengan Pertanian
Dalam kegiatan pertanian, penduduk Minahasa mengenal beberapa upacara kaipian atau disebut juga peanan yang artinya mencicipi. Upacara ini dilakukan sebelum panen. Padi dipanen sedikit untuk keperluan upacara ini. Hasil ini dinikmati dengan orang lain dan juga disajikan kepada opo (dewa-dewi), melalui upacara ini diharapkan panen berikutnya hasilnya lebih baik. Selain itu makna lain dibalik upacara ini yakni untuk menjalin ikatan keluarga di antara tetangga yang mengikuti upacara .

Upacara lainnya adalah pungutan, berasal dari kata pungut yang berarti mengambil suatu yang ada di tanah, terkadang juga upacara ini disebut pertengahan, Pada masa lalu ungkapan syukur yang ditujukan kepada Opo Wailan atau Opo Wana Kakenturan yakni Dewa yang bertahta di atas. Selain itu mereka juga mempercayai dewi Sri di Tanah Jawa Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan di sawah. Setelah masuk agama Kristen nama upacara ini lebih sering disebut "pengucapan syukur". Upacara ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang diperoleh. Sesuai dengan agama yang dianut pendukungnya, upacara ini dilakukan di gereja.

Upacara keagamaan lama (tradisional) di Minahasa dapat dikatakan tidak ada lagi. Pada masa lalu, kegiatan upacara dipimpin oleh walian dan tonaas (pemimpin upacara). Tempat upacara ada yang di dalam rumah dan tempat-tempat yang ada hubungannya dengan kepentingan upacara seperti naik rumah baru di dalam rumah, lelayaan/ perkawinan di rumah atau halaman rumah, dan menaman serta panen di sawah, ladang atau lapangan. Kini, upacara keagamaan dibebankan pada pemimpin agama setempat sesuai dengan keyakinan penduduk. Keyakinan penduduk Minahasa terdiri atas berbagai agama seperti (kristen Katolik, Protestan, Pantikosta, Advent, Sidang Jumat Allah) dan agama Islam. Demikian pula dengan waktu pelaksanaan upacara biasanya disesuaikan dengan kegiatan keagamaan yang dianut oleh masing-masing masyarakatnya.


Panen padi bergotong-royong untuk upacara Kaipian

Sebagaimana masyarakat tradisional lainnya, kehidupan masyarakat Minahasa dilandasi oleh semangat kebersamaan yang diwujudkan dalam adat bergotong-royong, terutama dalam kegiatan pertanian. Sebagaimana kita ketahui mayoritas masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris. Pertanian merupakan tumpuan hidup mereka yang tinggal di perdesaan. Berkaitan dengan semangat gotong — royong tersebut, orang Minahasa mengenal istilah mapalus, sebagai suatu sistem kerja sama berdasar pada tolong menolong antar sejumlah orang atau antar kelompok untuk kepentingan bersama.

Ungkapan Tradisional
Ungkapan tradisional merupakan karya budaya bangsa Indonesia, termasuk juga ungkapan tradisional daerah Minahasa. Biasanya, ungkapan tradisional (lisan atau tulisan) disusun dalam bahasa setempat (Minahasa) sehingga tidak semua pihak dapat memahaminya. Oleh karenanya, hasil karya budaya yang mulai ditinggalkan ini perlu "dikenalkan kembali" paling tidak kepada pendukung kebudayaan yang bersangkutan.

Terlalu banyak ungkapan dari Minahasa untuk ditulis dalam buku kecil ini. Oleh karenanya, dalam tulisan ini hanya diutarakan beberapa contoh yang berkaitan dengan nilai religi, kepemimpinan, etos kerja, etika pergaulan, dan rezeki atau kebahagiaan. Beberapa contoh ungkapan tradisional daerah Minahasa adalah sebagai berikut:

1. Tia kaliuran di masena umpalampangan yang artinya: jangan lupa kepada Dia yang memberi jalan terang. setiap insan selalu diingatkan agar jangan melupakan Dia (Tuhan) yang selalu menjaganya.

2. Katenturan tuun eh sera dai matowo-towo yang artinya, pemimpin atau orang yang berpendidikan tinggi seharusnya memberi contoh yang baik kepada bawahan atau yang berpendidikan rendah.

3. Salumampang, lumampango ya makanner yang artinya Kalau berjalan, berjalanlah ke dalam. Maksudnya, bila mengerjakan suatu pekerjaan, janganlah setengah¬setengah, tetapi dengan sungguh sampai tuntas.

4. Wolai tampalingitan taakan palewo-lewoon, Sa sia palewoon paparleknamo para yang artinya, kera yang jahat jangan diganggu, bila diganggu is akan memperlihatkan pantatnya. Maksudnya, dalam pergaulan antar sesama diharapkan jangan meremehkan atau melecehkan atau menghina seseorang karena bisa mengakibatkan kesulitan pada diri sendiri.

5. Kamang kinaayoan, kinombaan ne sumesena. Yang artinya, bahagian atau rezeki yang diperoleh ditentukan oleh bintang. Maksudnya, bahwa bahagia atau rezeki yang didapat ditentukan oleh yang Mahakuasa. (bersambung)

Mudik Lebaran dalam Tradisi Melayu


Oleh: Tasyriq Hifzhillah

Fenomena mudik yang ditandai dengan membludaknya penumpang kendaraan umum adalah budaya khas setiap tahun masyarakat muslim Indonesia dalam menyambut datangnya Idul Fitri, yang populer dengan sebutan lebaran. Di setiap terminal, pelabuhan, stasiun, bahkan bandara selalu tampak membludak manusia, seolah-olah mudik lebaran merupakan bagian ”ritual” puasa. Itulah kenapa mendiang Nurcholish Madjid dalam buku Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (1998) pernah berkomentar bahwa ”mudik lebaran adalah puncak pengalaman sosial-keagamaan umat Islam di Indonesia.”

Dengan semangat yang kurang lebih sama, Jalaluddin Rakhmat dalam buku Islam Aktual (1997) mengungkapkan, mudik lebaran merupakan corak manis tentang bagaimana idiom-idiom Islam diterjemahkan secara kreatif ke dalam budaya Indonesia, khususnya budaya Melayu. ”Hanya di Indonesia, kita akan menemukan arus mudik, penumpang yang berdesakan, wajah-wajah yang terseok kelelahan, tentengan yang berat, dan mata yang berbinar-binar karena kembali ke kampung halaman”. Menurut dia, lebaran tidak sama persis dengan Idul Fitri. Lebaran hanyalah sejenis Idul Fitri, di antara berbagai jenis Idul Fitri di dunia.

Karena itulah, bagi orang Melayu di perantauan, ”Idul Fitri” dan ”mudik” tidak dapat dipisahkan dari segi bahasa yang sama-sama bermakna ”kembali”. Kata Idul Fitri lebih banyak mengarah pada konteks ketuhanan. Menurut ahli tafsir, M Quraish Shihab dalam buku Wawasan Alquran (1999), Idul Fitri berarti kembalinya manusia pada keadaan suci atau keterbebasannya dari segala dosa dan noda. Sementara mudik, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), salah satunya berarti pulang (kembali) ke kampung halaman.

Dalam ranah sastra, misalnya, Mustofa W Hasyim pernah menulis cerpen berjudul Mudik (1997). Cerpen itu bercerita tentang kehidupan menjelang lebaran di perumahan kumuh di pinggiran rel kereta di Jakarta. Pengarang menggambarkan bagaimana penghuni rumah-rumah di sepanjang rel merasa gelisah setiap kereta melintas ke arah timur. Mereka seperti didorong-dorong demikian kuatnya untuk meninggalkan Jakarta menuju ke tempat asal yang lebih damai dan tenteram. Seakan ada yang bergerak-gerak dalam dada, dan seperti terdengar teriakan yang memberi peringatan bahwa mereka memiliki tanah asal, punya masa lampau, kerabat yang sedang menunggu.

Oleh karena itu, mudik lebaran, dalam tradisi Melayu, tak ubahnya laku ziarah atas ruang dan waktu, kembali pada roh masa lalu demi menemukan kesadaran tentang kefitrahan manusia, betapapun kaburnya konsep ”kefitrahan” itu. Mudik lebaran di kampung halaman hadir sebagai sesuatu yang berkaitan dengan asal usul setiap orang. Dalam masyarakat Melayu sendiri, ada sebuah tradisi Pulang Basamo (pulang bersama), yang biasanya digelar beberapa hari setelah lebaran. Selain digelar pertunjukan kesenian, dalam acara tersebut juga diadakan musyawarah besar para perantau dengan orang kampung dan yang terpenting pengumpulan dana untuk pembangunan kampung.

Dari sini, boleh dikata bahwa prosesi mudik lebaran adalah manifestasi dari keinginan diri untuk merenungkan dan menelusuri asal muasal diri, yang dibarengi dengan kesadaran akan nasib yang akan tiba di kemudian hari. Kampung halaman dengan demikian menyimpan berhampar makna simbolis bagi setiap orang yang hendak mencari dan menemukan kembali jejak-jejak awal sejarah dirinya.

Di kampung halaman inilah manusia dapat kembali bersahabat dengan ”ruang” dan ”waktu”. Ruang betul-betul menjadi lokus di mana manusia urban kembali menghayati waktu dalam bentuknya yang utuh dan komplit dalam tiga dimensi; masa lalu, masa kini, dan masa datang. Manusia urban dapat kembali menapaki tetapak masa silam yang telah terlewat dan yang telah membentuk sebagian besar kediriannya. Di titimangsa itulah kemudian masa kini hadir sebagai sebuah persambungan sejarah, di mana setiap orang dapat mengukur kembali segenap laku hidupnya: sudahkah cita-cita dan harapan yang dianyam sejak dahulu itu tercapai?

Simpul Kekerabatan
Bila kita simak kadar sosial dari mudik lebaran tahun ini, yang sangat terasa adalah masih kentalnya rasa kebersamaan masyarakat Melayu. Rasa kebersamaan inilah yang menyebabkan orang Melayu di perantauan, merasa perlu untuk pulang ke kampung, sekurangnya sekali setahun, dan momen yang paling ideal adalah pada hari lebaran. Pada hari lebaran ini semua sanak keluarga orang Melayu yang bertebaran di berbagai kota besar, berkumpul di kampung halaman dan saling mengisahkan perjalanan hidup mereka setelah setahun tidak bertemu.

Keterikatan dengan kerabat atau serumpun Melayu merupakan salah satu dorongan kuat yang membuat mereka bertekad untuk mudik saat lebaran. Selain bersilaturahmi, berkumpulnya kerabat di kampung halaman juga dapat dijadikan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik di kota. Barangkali ada kerabat yang dapat membantu mengangkat kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Bila itu terjadi, keterikatan dengan kerabat dan kampung halaman akan semakin kuat. Dan mudik lebaran yang menjadi tradisi orang Melayu menjadi tidak terelakkan.
Itulah sebabnya, prosesi mudik lebaran pasti ditingkahi kegiatan yang meleburkan para pemudik dengan sebuah himpunan bernama puak, semacam aktivitas mengumpulkan tulang yang terpisah; bertemu kerabat dan ramai-ramai ziarah ke makam leluhur. Hal ini menyiratkan bahwa mudik lebaran bagi orang Melayu merupakan sebuah upacara besar yang tidak hanya melibatkan semua orang yang masih hidup, tetapi juga mengikutsertakan semua elemen kemanusiaan; dari yang tampak maupun tidak, dari yang hidup hingga yang telah wafat.

Pada segi ini, mudik lebaran lebih condong menjadi peristiwa budaya masyarakat Melayu tradisional yang tidak ingin tercerabut dari akar budayanya. Meskipun peristiwa itu sendiri secara ritual dapat berbeda penghayatannya, namun pada prinsipnya sama saja, yakni ingin tetap berada pada akar budayanya, meskipun pada kesehariannya senantiasa bergesekan dengan budaya asing yang mungkin bertolak belakang dengan yang mereka inginkan.

Dari uraian di atas, kita dapat memetik makna sosial dari mudik lebaran, yakni tumbuhnya kesadaran orang Melayu akan ikatan tradisionalnya, seperti tidak melupakan begitu saja orang tua yang tinggal di kampung halaman. Selain itu, mudik lebaran juga dapat dijadikan sarana untuk mempererat tali persaudaraan orang Melayu yang mulai genting, akibat kehidupan kota yang individualistis. Bagaimanapun manusia tetap membutuhkan kekerabatan yang intim dan dapat saling mengisi. Karena dalam kehidupan di kota besar orang sering melupakan prinsip kekerabatan itu, maka ketika berkumpul di kampung halaman itulah simpul-simpul kekerabatan orang Melayu dapat dipererat kembali.

Sumber : www.batampos.co.id