Tampilkan postingan dengan label Seni Pertunjukan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seni Pertunjukan. Tampilkan semua postingan

Balap Kerbau Pantai Cipatujah Tasikmalaya


Balap kerbau merupakan budaya tradisional yang berkembang sejalan dengan potensi daerah Cipatujah sebagai daerah peternakan kerbau. Balap kerbau sebenarnya acara para peternak kerbau dalam mengisi kebutuhan rekreasi mereka disaat-saat senggang, diiringi kesenian rakyat seperti kendang penca, buncis dan dogdog.

Balap kerbau berkaitan dengan agrowisata kerbau seluas 40 hektar yang masih di dalam area Pantai Cipatujah, didalamnya kita bisa melihat dan mempelajari bagaimana cara-cara para peternak beternak kerbau dengan pendekatan secara tradisional. Para wisatawan yang berkunjung ke daerah ini juga bisa menikmati acara kumpul kebo, yaitu berkumpul bersama kerbau dan para peternak kerbau.

Atraksi lain yang bisa dilakukan di Pantai Cipatujah ini adalah menaiki kerbau yang dimiliki oleh para peternak, dan mencoba bertanding menjadi pembalap kerbau antar sesama wisatawan yang datang ke daerah ini. Atraksi ini sangat diminati oleh wisatawan yang datang, terutama dari wisatawan mancanegara. Atraksi ini merupakan atraksi langka di negara asal wisatawan, karena mungkin disana tidak ada kerbau yang bisa digunakan untuk balapan seperti di Pantai Cipatujah ini.

Sumber : http://khastasikmalaya.blogspot.com
Foto : http://www.kabarindonesia.com

Ayam Bangkok Jagoan dari Negeri Siam yang Ditakuti Lawan

Maloedyn Sitanggang.
Ayam bangkok impor, lihat tongkrongan ayam ini yang garang dan gagah.


JAKARTA – Ayam Bangkok amat terkenal di kalangan pehobi ayam petarung di Indonesia. Ayam yang berasal dari Thailand itu diakui punya kualitas yang bagus sebagai jagoan di arena. Jadi, jangan heran bila di pasaran ada banyak ayam bangkok yang dijual. Soal kualitas pun beragam, dari yang bermutu impor sampai hasil silangan lokal. Lantas bagaimana cara memilihnya?

Menurut Iwan Tanjung, peternak kawakan, ciri-ciri umum ayam bangkok dapat dilihat dari batok kepala dan tulang alis yang tebal, kepala berbentuk buah pinang, bulu mengilap dan kaku, kaki bersisik kasar, saat berdiri sikap badannya tegak, mata masuk ke dalam, pukulan keras dan akurat serta pandai memukul bagian vital lawan.

Iwan juga mengingatkan untuk berhati-hati waktu memilih ayam bangkok yang akan dijadikan jagoan. Jangan sampai Anda merasa kecewa lantaran ayam yang ditawarkan tak sesuai dengan harapan. Sebab saat ini ayam bangkok yang beredar di pasaran cukup banyak jenisnya. Ada yang beneran impor, anakan impor, dan ada pula yang lokal.

“Kualitas ayam bangkok impor biasanya 80% lebih unggul dibanding lokal. Itu bisa dilihat dari gaya bertarung, daya tahan tubuh, maupun kekuatan pukulannya,” jelas Iwan yang sudah hobi menyabung ayam sejak dari tanah kelahirannya, Tanjung Morawa, Sumatera Utara. Faktor-faktor krusial yang amat berpengaruh pada mutu ayam bangkok impor: kualitas bibit (genetik), perawatan yang tepat sejak usia dini, dan pemberian vitamin secara teratur.

Dr. Nisit Tangtrakarnpong dalam tulisannya pada Bangkok Post edisi Maret 2001 menyebutkan kriteria dan sosok ayam bangkok yang ideal untuk dijadikan ayam petarung. Ayam ini harus punya fisik yang kuat, mental bertanding yang baik dan berasal dari keturunan juara. Salah satu keturunan ayam bangkok berkualitas di Thailand berasal dari Kerajaan Ayutthaya. Raja Naresuan yang memerintah kerajaan itu punya kegemaran mengadu ayam.

“Seekor ayam aduan bisa mulai diadu jika umurnya sudah delapan bulan. Atau paling nggak sudah dapat latihan tarung sebanyak 2 sampai 3 kali dengan ayam yang sudah berpengalaman,” sebut Iwan, peternak kelahiran 15 November 1961. Tiap kali latihan dibutuhkan waktu bertahap dari 1 x 10-15 menit sampai 2 x 45 menit. Sebetulnya umur terbaik sebagai ayam petarung adalah 1,5 tahun atau setelah ayam mengalami rontok bulu pertama (mabung).

Sejarah Ayam Bangkok
Ayam bangkok pertama kali dikenal di Cina pada 1400 SM. Ayam jenis ini selalu dikaitkan dengan kegiatan sabung ayam (adu ayam). Lama-kelamaan kegiatan sabung ayam makin meluas pada pencarian bibit-bibit petarung yang andal. Pada masa itu, bangsa Cina berhasil mengawinsilangkan ayam kampung mereka dengan beragam jenis ayam jago dari India, Vietnam, Myanmar, Thailand dan Laos. Para pencari bibit itu berusaha mendapat ayam yang sanggup meng-KO lawan cuma dengan satu kali tendangan.

Menurut catatan, sekitar seabad lalu, orang-orang Thailand berhasil menemukan jagoan baru yang disebut king’s chicken. Ayam ini punya gerakan cepat, pukulan yang mematikan dan saat bertarung otaknya jalan. Para penyabung ayam dari Cina menyebut ayam ini: leung hang qhao. Kalau di negeri sendiri, ia dikenal sebagai ayam bangkok.

Asal tahu saja, jagoan baru itu sukses menumbangkan hampir semua ayam domestik di Cina. Inilah yang mendorong orang-orang di Cina menjelajahi hutan hanya untuk mencari ayam asli yang akan disilangkan dengan ayam bangkok tadi. Harapannya, ayam silangan ini sanggup menumbangkan keperkasaan jago dari Thailand itu.

Konon, pada era enam puluhan di Laos nongol sebuah strain baru ayam aduan yang sanggup menyaingi kedigdayaan ayam bangkok. Namun setelah terjadi kawin silang yang terus-menerus maka nyaris tak diketahui lagi perbedaan antara ayam aduan dari Laos dengan ayam bangkok dari Thailand.

Di Thailand dan Laos, ada beberapa nama penyabung patut dicatat, seperti Vaj Kub, Xiong Cha Is dan kolonel Ly Xab. Pada 1975, ayam bangkok milik Vaj Kub sempat merajai Nampang, arena adu ayam yang cukup bergengsi di negeri PM Thaksin Sinawatra itu. Ayam yang bernama Bay itu merupakan salah satu hasil tangan dingin Vaj Kub dalam melatih dan mencari bibit ayam aduan yang handal.

Kedigdayaan ayam-ayam hasil ternakan Vaj Kub berhasil disaingi rekan sejawatnya dari kota Socra, Malaysia. Mereka dari negeri jiran itu mampu menelurkan parent stock atau indukan unggul. Hanya saja, pada generasi berikutn ya, Mr. Thao Chai dari Thailand berhasil menumbangkan dominasi peternak dari Malaysia. Mr. Thao memberi nama jagoan baru itu, Diamond atau Van Phet.

Menurut Iwan, Thailand memang tak perlu diragukan lagi sebagai negara penghasil ayam bangkok unggul. Malahan sektor ini sudah diakui sebagai penambah devisa negeri gajah putih tersebut. Dari Thailand bisnis ayam aduan ini tak hanya merambah kawasan Asia Tenggara saja, namun meluas ke Meksiko, Inggris dan Amerika Serikat.

Ada kebiasaan yang berbeda antara sabung ayam di Thailand dan negara kita. Di Thailand, ayam yang bertarung tak diperbolehkan memakai taji atau jalu. Alhasil, ayam yang diadu itu jarang ada yang sampai mati. Kebalikannya di Indonesia, ayam aduan itu justru dibekali taji yang tajam. Taji justru menjadi senjata pembunuh lawan di arena.

Di Indonesia, hobi mengadu ayam sudah lama dikenal, kira-kira sejak dari zaman Kerajaan Majapahit. Kita juga mengenal beberapa cerita rakyat yang melegenda soal adu ayam ini, seperti cerita Ciung Wanara, Kamandaka dan Cindelaras. Cerita rakyat itu berkaitan erat dengan kisah sejarah dan petuah yang disampaikan secara turun-temurun.

Kota Tuban, Jawa Timur diyakini sebagai kota yang berperan dalam perkembangan ayam aduan. Di sini, ayam bangkok pertama kali diperkenalkan di negara kita. Tak ada keterangan yang bisa menyebutkan perihal siapa yang pertama kali mengintroduksi ayam bangkok dari Thailand.

Sebetulnya, jenis ayam aduan dari dalam negeri (lokal) tak kalah beragam, seperti ayam wareng (Madura) dan ayam kinantan (Sumatra). Namun ayam-ayam itu belum mampu untuk menyaingi kedigdayaan ayam bangkok.
(SH/bayu dwi mardana)

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id

Ayam Pelung Manambah Wibawa Sosial


Banyak alasan membuat orang tertarik memelihara ayam pelung, terutama pejantannya. Kekhasan pejantan lebih populer dibanding betinanya. Ada yang mengatakan, memelihara ayam pelung dapat membuat situasi keluarga jadi tentram dan bahagia. Suara kokok yang khas, keras, berirama lebih merdu dan panjang, memberikan kenikmatan. Memelihara ayam pelung, dipercaya menambah kewibawaan sosial di mata masyarakat.

Pun postur tubuh yang tinggi besar, serta bulu yang mengilat menawan. Oleh karena itu, ayam pelung dipelihara sebagai ayam hias. Ayam khas Cianjur ini menjadi ayam kontes. Dalam kontes diadu bobot, panjang suara kokok dan penampilan meliputi bulu, serta kesehatan.

Kenapa disebut pelung ? Menurut peternak, “pelung” berasal dari kata “melewung”(bahasa sunda) atau “melung”, yaitu suara besar mengalun panjang dan menggema. Ayam pelung jantan, bila berkokok lehernya terlihat melengkung ke bawah, bahkan ada yang sampai menyentuh tanah. Ayam ini jenis ayam bukan ras (buras) asli Indonesia.

Selain suara khas, membedakan ayam pelung dengan ayam biasa bisa dilihat dari ciri fisik. Ayam ini memiliki leher lebih panjang dengan posisi melengkung. Postur badan besar, kokoh, dan bobotnya jauh lebih berat dibanding ayam kampung biasa. Ayam pelung betina, termasuk petelur andal. Dalam satu periode produksi, mampu menghasilkan telur hingga 30 butir dengan bobot tiap telur 50,66 gram.

Ayam pelung jantan memiliki jengger besar, tebal, berwarna merah dan berbentuk tunggal. Posisinya bisa tegak, setengah miring, dan miring. Ukuran pialnya besar, bulat, dan memerah. Kemudian, bagian cakarnya lebih panjang dan besar. Warna bulunya tidak memiliki pola khas. Umumnya campuran merah dan hitam, kuning dan putih, atau campuran warna hijau mengilat.

Sekretaris Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Cianjur, Mahani mengatakan ayam pelung hasil persilangan ayam buras. Hasilnya, memiliki keunggulan pada suara dan bobot.

Keberadaan ayam ini lebih untuk hobi, dan harganya relatif mahal. Namun bagi penggemar, kalau sudah cocok tidak melihat harga. Apalagi yang sudah juara kontes, harganya makin mahal.

Penggemar ayam pelung bukan hanya dari Cianjur, tetapi sudah merambah ke berbagai daerah di Indonesia. Tidak sedikit dari mancanegara. “Pangeran dari Jepang pernah membeli ayam pelung. Informasinya sudah dikembangkan di Jepang,” katanya

Ketua Hippapi Cianjur, Agus Abdurahman mengatakan, semula masyarakat memelihara sekadar untuk menikmati suaranya. Namun kini sudah banyak yang memelihara untuk usaha komersil.

Mendapatkan ayam pelung jantan bersuara emas cukup sulit. Hasil satu tetasan yang berjumlah dua belas ekor anak ayam, setelah dewasa kadang yang punya suara emas hanya beberapa ekor.Bahkan, kadang kala tidak ada sama sekali.

Kualitas suara ditentukan faktor keturunan, sekaligus pemeliharaan. Lokasi yang baik untuk pemeliharaan di tempat agak dingin dan teduh, ketinggian 500 – 1.500 di atas permukaan laut (dpl).

Warna bulu, awalnya hitam merah, tapi kini berkembang ada putih blorok, wido (hijau), hitam, atau abu-abu. Merah kehitaman warna dominan. Warna itu keturunan ayam pelung asli, warna lain cuma hasil perkawinan silang.

Awal sejarahnya, ayam pelung hanya dimiliki kalangan tertentu, ajengan, orang kaya, juragan besar, atau pejabat. Sekarang berbeda, sudah tidak ada batasan, umumnya dimiliki para pehobi.

Menurut Agus, masyarakat Cianjur telah mengenal dan memelihara ayam pelung sejak tahun 1850. Secara turun-temurun, mereka memelihara dan membudidayakannya. “Ayam jenis ini dikatakan plasma nuftah Cianjur karena hanya ada di Cianjur. Sekitar tahun 1700 dipelihara oleh H. Zarkasih. Setelah itu, baru berkembang, dan dipelihara masyarakat umum,” katanya.

Asal usulnya, cerita di masyarakat ada dua versi. Ada yang menyebutkan ayam pelung berasal dari Kecamatan Warungkondang, mulai dipelihara dan dikembangkan sekitar tahun 1850 oleh bangsawan dan ulama.

Pertama kali ayam jenis itu dikembangkan seorang K.H. Zarkasih dikenal dengan panggilan Mama Acih, tinggal di Desa Buni Kasih, Warungkondang. Konon, penemuan ayam pelung dari mimpi, bertemu Eyang Suryakancana yang dalam sejarah Cianjur merupakan putra sulung Bupati Cianjur pertama, Wiratanu Datar yang disebut Dalem Cikundul.

Dalam mimpi, eyang menyuruh Mama Acih mengambil sepasang anak ayam di belakang rumah. Ternyata mimpi jadi kenyataan. Keesokan harinya Mama Acih menemukan sepasang anak ayam yang badannya tinggi besar dan bulunya jarang (terondol).

Tidak jelas dari mana induk sepasang ayam itu, tetapi setelah diperlihara memiliki banyak keistimewaan. Suara kokoknya enak didengar, besar, panjang, dan berirama. Banyak orang kagum terhadap kemerduan suara, dan menyebutnya ayam pelung.

Versi lain menyebutkan sekitar tahun 1940, H. Kosim, penduduk Desa Jambudipa, Warungkondang bertemu gurunya, Mama Ajengan Gudang. Di rumah gurunya, ia melihat seekor ayam betina yang berbeda dengan ayam lainnya. Bentuk badan ayam itu besar, tinggi, dan terondol. Saat itu, dia minta kepada Mama Ajengan Gudang bisa membeli sepasang ayam tersebut. Setelah dewasa, ayam ternyata kokoknya merdu. Lalu ayam tersebut dikembangbiakkan sehingga dikenal dengan nama ayam pelung.

Terlepas benar atau tidaknya sejarah itu, yang terpenting ayam pelung sekarang ada dan banyak digemari. Ayam pelung dipelihara lebih dari sebagai ayam hias untuk didengar suaranya saja. Karena kekhasan itu, ayam pelung kemudian dipatenkan sebagai maskot bagi Cianjur.(Yusuf Adji/”PR”)*** Sumber Pikiran Rakyat

Sumber : http://rivafauziah.wordpress.com

Adu Bagong : Babi Hutan VS Anjing


Pertandingan adu kekuatan hewan, memang telah lama dikenal di Indonesia, seperti karapan sapi, atau sabung ayam. Pertunjukan semacam ini, biasanya memang memperlombakan hewan sejenis.

Namun di beberapa daerah di Jawa Barat, dikenal pertandingan unik, adu kekuatan antara babi hutan dengan anjing, atau istilah masyarakat setempat, disebut dengan Adu Bagong.

Adu Bagong, atau pertandingan antara babi hutan dengan anjing, baik Anjing Kampung maupun Anjing Ras, telah lama dikenal di beberapa wilayah Jawa Barat, seperti Sumedang dan Majalengka. Namun tidak mudah menemukan pertandingan ini. Satwa yang akan diadu, seperti babi hutan, harus diburu terlebih dahulu.

Di daerah Majalengka, tepatnya disekitar Kaki Gunung Wilu, babi hutan masih banyak dijumpai. Hewan ini terus diburu, karena sering merusak tanaman milik warga, seperti padi dan jagung.

Walaupun telah berburu babi hutan lebih dari 20 tahun, bagi Jaja berburu babi hutan bukanlah perkara mudah. Banyak hal yang perlu dipersiapkan, termasuk anjing. Dengan penciumannya yang tajam, anjing dapat melacak dan memburu babi hutan. Karena itulah, anjing-anjing yang dipersiapkan untuk berburu babi hutan, diperlakukan khusus, baik makanannya, maupun perawatannya.

Peralatan inti lainnya saat berburu babi adalah perangkap, yang terbuat dari kawat yang dijalin menyerupai jaring, serta golok, untuk berjaga–jaga, seandainya babi hutan yang diburu menyerang mereka. Namun demikian semua persiapan akan sia–sia, jika faktor keberuntungan tidak berpihak kepada mereka.

Dalam perburuan kali ini, kurang lebih 30 orang pemburu, ditemani sekitar 20 ekor anjing, berangkat ke Kaki Gunung Wilu, untuk mencari buruannya. Mereka berharap dapat menangkap babi hutan hidup–hidup, agar dapat dipergunakan dalam Adu Bagong.

Sesampai di hutan, rombongan pemburu inipun segera menentukan dimana mereka akan meletakkan perangkap. Sementara sebagian lainnya, mencoba mendeteksi kehadiran babi hutan dari tempat pemantauan yang mereka buat, atau dari atas pohon.

Setelah sekian lama menunggu, tiba–tiba mereka mendengar suara lenguhan babi. Mereka pun bergegas menuju arah suara. Ternyata suara itu berasal dari seekor babi hutan, yang terjerat dalam perangkap mereka. Segera para pemburu memegangi sang babi hutan, agar kuatnya perangkap tidak melukai tubuh babi yang berusaha melapaskan diri tersebut.

Setelah mengikat erat keempat kaki dan moncongnya, babi hutan tersebut segera dipanggul menuruni kaki Gunung Wilu. Para pemburu seperti Jaja, lebih senang menangkap babi hutan hidup–hidup, untuk kemudian menjualnya ke tempat penjagalan hewan atau kepada pemilik arena Adu Bagong. Hasil penjualan babi hutan, mereka pergunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Namun dalam perburuan kali ini, Jaja dan para pemburu lainnya, berniat menjual babi hutan hasil tangkapan mereka, kepada pemilik arena Adu Bagong, keesokan harinya.

Hari adu Bagong-pun tiba. Babi hutan hasil tangkapan tersebut, dibawa ke arena, untuk selanjutnya dijual kepada pemilik arena pertandingan Adu Bagong.

Sementara para pemilik anjing, segera bergegas membawa binatang kesayangan mereka mendekati arena. Puluhan anjing dari berbagai jenis, baik Anjing Kampung maupun Anjing Ras yang mereka bawa, nampak tak sabar lagi ingin menunjukkan naluri hewani mereka, beradu kekuatan dengan sang babi hutan.

Sebelum anjing–anjing yang terlihat ganas ini memasuki arena pertandingan, para pemilik anjing terlebih dahulu harus membayar sejumlah uang kepada pemilik arena pertandingan. Nilainya bervariasi, untuk Anjing Ras yang besar, setiap kali masuk harus membayar 25 ribu rupiah, sedangkan Anjing Kampung yang lebih kecil, dikenakan biaya 10 hingga 15 ribu rupiah.

Begitu gerombolan anjing memasuki arena pertandingan, penonton sontak bersorak. Saatnya pertandingan hidup mati dimulai. Selama pertandingan berlangsung, babi hutan ini akan menghadapi serangan minimal 4 anjing sekaligus.

Tampak gigitan anjing membuat sang babi tak berdaya. Para pengawas pertandingan segera berusaha membebaskan babi hutan dari gigitan anjing. Setelah bebas, giliran kelompok anjing berikutnya memasuki arena untuk beradu kekuatan dengan sang babi.

Babi hutan ini tampak masih bertenaga, padahal sudah lebih dari satu jam melawan anjing-anjing ini. Dalam pertandingan itu, seekor anjing bernasib naas, tewas, menjadi korban ketajaman taring sang babi.

Memang tak ada yang tahu pasti kapan Adu Bagong ini mulai ada. Yang jelas, Adu Bagong sudah lama menjadi hobi para pemilik anjing. Beroleh kesenangan sembari melatih insting anjing piaran mereka.

Adu Bagong juga merupakan ajang menunjukkan gengsi diantara para pemilik anjing. Bila anjing mereka mampu menaklukkan babi, harga anjing akan naik. Selain itu, kebanggaan sang pemilik pun bertambah karena penonton akan memuji anjingnya.

Tak terasa sudah dua setengah jam pertandingan berlangsung. Sang babi hutan tampak kehabisan tenaga, dan menyerah pada ketajaman gigi anjing–anjing tersebut. Sang babi pun akhirnya meregang nyawa.

Usai sudah Adu Bagong. Kepuasan nampak tergambar di wajah para pemilik anjing. Anjing– anjing itu segera mereka bawa pulang, untuk dipersiapkan kembali menghadapi pertandingan serupa di lain hari.(Sup/Idh)

Sumber : http://www.indosiar.com
Foto : http://1.bp.blogspot.com

Atraksi Adu Domba Jawa Barat

Domba Aduan..


Adu domba merupakan salah satu kesenian khas rakyat jawa barat yang cukup digemari, terutama di kalangan tradisional. Kesenian ini merupakan peninggalan leluhur yang masih bertahan eksistensinya hingga saat ini.


Antrian domba menunggu giliran pertandingan..


Pada intinya adu domba ialah ajang pamer ketangkasan hewan ternak yang pada akhirnya akan menaikan gengsi suatu perkumpulan ternak tertentu. Para pesertanya ialah peternak-peternak domba yang tersebar hampir di seluruh jawa barat, terutama daerah garut, sumedang, bandung, majalengka dan lainya. Event adu domba dilaksanakan setiap tahun dengan sistim kompetisi, hampir setiap bulan kegiatan ini dilaksanakan bergilir di daerah-daerah. Di bandung arena adu domba salah satunya terletak di lebak siliwangi (di samping lapangan olah raga SABUGA ITB).


Suasana saat atraksi..


Setiap event adu domba selalu dipadati oleh penonton. Kegiatan ini juga memiliki gengsi yang cukup tinggi karena banyak tokoh-tokoh sunda yang juga merupakan penggemar sekaligus pemiliknya, seperti Kang Ibing, Dll.

Hadiah yang diperebutkan juga tidak sembarangan, sebuah mobil atau motor adalah hal yang sudah biasa. Ini tidaklah mengherankan karena harga seekor domba adu bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Seperti halnya pertandingan tinju, ajang ini juga dilengkapi oleh juri penilai, wasit dan pelatih domba yang ikut menari jaipongan setiap kali dombanya beraksi. Biasanya setiap pertandingan dibagi ke dalam dua ronde, dan masing-masing ronde terdiri dari sepuluh kali tumbukan kepala. Adu ketangkasan ini juga dibagi ke dalam kelas-kelas yang berbeda berdasarkan bobot domba petarung.


Salah satu jurus pencak silat sang jawara..


Ajang adu domba juga sering kali diselingi oleh atraksi pencak silat, juga musik tradisional. Ini menjadikan kegiatan sangat meriah dan menarik. Sayangnya peomosi yang masih bersifat internal di kalangan penggemar domba, menjadikan atraksi yang memiliki nilai wisata ini belum bisa menarik wisatawan asing dan mendatangkan devisa bagi daerah. (yogi, indotravelers.com)

Sumber : http://www.indotravelers.com

Ragam Budaya : Adu Domba, Adu Harga


Musik rancak khas Sunda, terdengar membahana di sebuah arena pertandingan, dengan nyawa taruhannya. Adu domba. Kepala dengan kepala saling beradu. Adu kekuatan menyingkirkan lawan. Jika perlu, memukul lawan hingga tewas bersimbah darah.

Domba Priangan atau orang kerap menyebutnya Domba Garut yang banyak dijumpai di tanah Pasundan ini, bagi kalangan peternak domba, punya arti besar. Berbeda dengan jenis domba umumnya, Domba Garut merupakan hasil persilangan 3 jenis domba.

Domba lokal, domba Merino dan domba ekor gemuk asal Afrika Selatan. Berbadan kekar, leher besar dan kuat. Ciri lain, tanduknya besar berbentuk spiral dengan pangkal tanduk hampir bersatu. Panjang bulunya hingga mencapai 10 centimeter. Warnanya putih, hitam, coklat, atau campuran ketiganya.

Khusus domba pejantan, punya naluri berkelahi yang tinggi. Karena itu, selain diternak domba pejantan, sesuai dengan postur tubuhnya yang besar dan kokoh, seringkali dijadikan pula domba aduan. Untuk mencetak keturunan domba kualitas unggul ini, bibit bobot dan bebet domba betina diperhatikan betul.

"Kalo untuk cari kambing unggulan, adu tangkasnya bagus, kita akan cari bibit yang baik. Bibit, bobot bebetnya harus betul-betul dikuasai. Jadi dikatakan ada 1 biang cetak".

Sejak usia muda, pejantan kualitas unggul, telah dipersiapkan sebagai domba aduan. Perawatannya sangat diperhatikan, seperti kebersihan, kesehatan fisik, serta pemberian makanannya. Minimal 2 kali seminggu dimandikan, serta dicukur bulunya. Ini untuk menghindari serangan penyakit kulit. Begitu pula dengan kukunya, dibentuk sesuai selera pemilik.

"Yang paling pokok persiapan fisik untuk bertanding ini karena mungkin lawan kita yang akan datang tidak sembarangan kambing. Sudah mempersiapkan kambing yang baik, yah minimal kita untuk mengimbangilah".

Sama halnya manusia, domba-domba ini juga dilatih lari dan berenang, untuk mendapatkan otot tubuh yang kuat. Secara rutin, domba aduan juga dilatih adu ketangkasan dalam berkelahi.

Sehari-harinya, domba yang dipersiapkan untuk aduan, asupan makanan yang diberikan, bervariasi. Mulai dari rumput, labu siam, wortel, ampas tahu, hingga singkong yang sangat bagus untuk tenaga. Beberapa hari menjelang adu domba, biasanya diberi telor mentah.

Sesungguhnya tak sulit merawat domba aduan, hanya dibutuhkan ketelatenan. Perawatan yang baik serta kontinyu, bisa menghasilkan domba pejantan siap adu dengan bobot bisa mencapai 140-an kilogram. Seperti domba-domba pejantan ini, setiap saat siap untuk diadu, mempertaruhkan nyawa di lapangan.

Lapangan bola di sebuah kawasan wisata Gunung Salak Endah, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pagi itu ramai dikunjungi orang. Mereka ingin menonton pertarungan seru yang akan digelar sesaat lagi. Adu domba, kesenian khas masyarakat Sunda yang sudah ada semenjak jaman kerajaan Sunda berdiri, ratusan tahun silam.

Di tempat yang sama, puluhan domba berasal dari Cianjur, Sukabumi, Garut, Tasikmalaya dan Kabupaten Bandung, lengkap dengan pakaian kebesaran masing-masing, tengah menanti saat-saat menegangkan. Beradu ketangkasan melawan domba lain yang sebanding berat tubuh dan usianya. Domba-domba ini sejak kecil memang telah dipersiapkan untuk menjadi domba aduan. Siap bertarung dilapangan sampai mati.

Hari itu sungguh istimewa. Tari-tarian tradisional khas Sunda dipertontonkan sebagai pembuka acara. Untuk memeriahkan suasana, sejumlah domba pilihan diarak keliling lapangan, unjuk kekuatan dan kegagahan tubuhnya. Mengawali pertandingan, dua ekor domba jantan tengah dipersiapkan. Begitu bertatap muka, secara naluri, mereka langsung berkelahi.

Kepala beradu dengan kepala. Disinilah harga diri domba dipertaruhkan. Domba yang keluar sebagai juara, harga jualnya akan melonjak tinggi, hingga 2-3 kali lipat dari harga awal. Jika harga awal sekitar 3 atau 5 juta rupiah, maka nantinya sang pemenang harga jualnya bisa mencapai 10 juta rupiah.

Domba-domba aduan ini terbagi dalam beberapa kategori. Kategori A, B dan C. Masing-masing kategori terbagi lagi dalam 3 kelas. Seperti kelas A, terdiri dari A utama atau raja, menengah dan kelas 3. Begitu pula dengan kategori B dan C terbagi lagi dalam 3 kelas. Domba yang masuk kategori A, memiliki berat badan lebih dari 100 kilogram. Sedang kelas B, berat badannya antara 60 sampai 70 kilogram. Kurang dari itu, termasuk kelas C.

Pertandingannya itu sendiri, ada 2 macam, berdasarkan berat badan atau usia. Untuk pertandingan antar kategori, domba kategori B utama, boleh melawan kategori A menengah atau A kelas 3, namun tidak diperbolehkan melawan domba raja, karena tak seimbang kekuatannya. Dari segi usia, domba yang siap diadu telah cukup umur, atau minimal giginya rontok 4 atau 6 buah.

Di ajang adu domba ini, ada seorang wasit yang memimpin jalannya pertandingan. Wasit tak boleh lengah sedikitpun, sebab wasitlah yang mengetahui dan menentukan sampai dimana kekuatan domba yang tengah beradu ini.

Seperti pertandingan tinju, benturan-benturan antar kepala domba dinilai sebagai pukulan baik, mematikan atau tidak. Begitu pula langkah maju mundur dan hentakan kakinya saat berlari menyerang lawan. Semakin jauh langkah mundur yang dibuat, semakin kuat benturan kepalanya. Ini akan mendapat nilai tinggi. Keberanian domba di arena bertandingan, juga dinilai. Disini juri berperan.

Selain wasit dan juri, juga ada 2 orang pendamping, yang akan mendampingi domba peserta selama pertarungan berlangsung. Tugas pendamping tak kalah penting. Bagai seorang montir, jika domba asuhannya mengalami luka atau letak tanduknya bergeser, dialah yang harus memperbaiki.

Pertandingan baru setengah jalan. Seekor domba milik Haji Maksum asal Sukabumi, tak berdaya lagi mengalahkan lawannya. Monster namanya. Padahal telah berulang kali menang dalam arena adu domba. Di kalangan peserta adu domba, beredar kepercayaan, bahwa setiap kali akan melaksanakan adu domba, sebaiknya diawali dengan penyembelihan seekor domba untuk selametan. Sayangnya, pertandingan kali ini, luput melaksanakan hal tersebut.

Namun diluar unsur kepercayaan yang beredar, berlaku peraturan, bagi domba yang kalah bertarung hingga di ujung maut, harus direlakan untuk disembelih.

Hampir setiap bulan,di wilayah Jawa Barat, dijumpai ajang serupa, adu domba. Di Kabupaten Bogor sendiri, adu domba ini sudah menjadi agenda pariwisata.

"Kegiatan ini dilaksanakan setiap bulan yah dan sudah masuk kalender pariwisata di Kabupaten Bogor. Sehingga dengan demikian, minat masyarakat terhadap pariwisata, juga disamping itu merupakan hiburan. Kegiatan ini bagian daripada seni budaya ktia di daerah sini. dan kegiatan ini tidak ada unsur judi, terus terang saja ini sifatnya hanya hiburan semata".

Penyelenggaraan acara seperti ini memang lebih bersifat mempererat hubungan antara sesama peternak domba, saling bertukar ilmu cara beternak domba yang baik dan sekedar menyalurkan hobi. Apapun tujuannya, kesenian khas Pasundan ini merupakan arena hiburan murah meriah bagi warga sekitar arena pertandingan.(Idh)

Sumber : http://cimag.multiply.com
Foto : http://halidahmed.files.wordpress.com

Karapan Sapi


Karapan sapi yang merupakan perlombaan pacuan sapi yang berasal dari Madura Jawa Timur, bagi kebanyakan masyarakat Madura karapan sapi tidak hanya sebuah pesta rakyat atau acara yang diselenggarakan tiap tahun yang diwarisi secara turun temurun. Tetapi karapan sapi bagi masyarakat Madura adalah bentuk symbol prestise yang dapat mengangkat harkat dan martabat masyarakat Madura, karena sapi yang digunakan untuk pertandingan merupakan sapi sapi yang berkualitas sangat baik tentu dengan perlakuan yang istimewa pula.



Pulau Madura tidak hanya dikenal sebagai penghasil garam, tetapi juga penghasil sapi sapi pacuan yang berkualitas sangat baik. Tidak jarang sang pemilik sapi mempersiapkan sapi pacuannya dengan memberikan pijatan khusus dan makanan tidak kurang dari 80 butir telur setiap harinya, agar stamina dan kekuatan sapi sapi tersebut terjaga. Bahkan perlakuan istimewa sapi sapi tersebut dibeberapa rumah terlihat ada yang menghiasi garasi bukan kendaraan mobil tetapi malah sapi tersebut yang berada digarasi rumah. Maklum saja karena untuk sapi yang memenangkan pertandingan dapat mencapai harga Rp 75juta per ekornya.



Dalam perayaan karapan sapi ini, harga diri para pemilik sapi dipertaruhkan. Kalau mereka dapat memenangkan pertandingan, selain hadiah uang didapat biasanya hadiah dari pertaruhan juga mereka dapatkan. Kalau merkea kalah dalam pertandingan ini, harga diri pemilik jatuh dan mereka habis uang yang tidak sedikit untuk karapan sapi ini. Karena perawatan sapi – sapi sebelum pertandingan mahal, dan biasanya mereka menyewa dukun agar menjaga sapinya selamat dari serangan jampi2 musuh mereka.

Perayaan besar karapan sapi ini diadakan 1x dalam setahun, tetapi untuk menuju final harus memenuhi beberapa tahapan terlebih dahulu. Ada dua macam perayaan karapan sapi dimadura, yang pertama adalah Presiden Cup dan Bupati Cup. Untuk Bupati cup biasanya diadakan 2x dalam setahun, para pemenang dari bupati cup ini biasanya akan melanjutkan pertandingannya ke Presiden cup, untuk para fotografer momen yang bagus adalah pada saat bupati cup. Karena bupati cup biasanya diadakan dipinggiran kota, garis pembatas hanya terbuat dari anyaman bamboo yang membuat acara ini semakin tradisional, tetapi faktor keamanan karapan sapi Bupati Cup ini sangat kurang jadi berhati hatilah pada saat mengambil momen foto. Yang meriah setelah bupati cup adalah Presiden Cup, acara ini sangat meriah dan ramai. Karena sebagian besar yang mengikuti Presiden Cup ini biasanya adalah para pemenang di Bupati Cup, acara besar ini diselenggarakan dikota bangkalan dan perayaannya antara bulan September atau oktober.



Dalam even karapan sapi para penonton tidak hanya disuguhi adu cepat sapi dan ketangkasan para jokinya, tetapi sebelum memulai para pemilik biasanya melakukan ritual arak-arakan sapi disekelilingi pacuan disertai alat musik seronen perpaduan alat musik khas Madura sehingga membuat acara ini menjadi semakin meriah.

Panjang rute lintasan karapan sapi tersebut antara 180 sampai dengan 200 meter, yang dapat ditempuh dalam waktu 14 sd 18 detik. Tentu sangat cepat kecepatan sapi – sapi tersebut, selain kelihaian joki terkadang bamboo yang digunakan untuk menginjak sang joki melayang diudara karena cepatnya kecepatan sapi sapi tersebut. Untuk memperoleh dan menambah kecepatan laju sapi tersebut sang joki, pangkal ekor sapi dipasangi sabuk yang terdapat penuh paku yang tajam dan sang joki melecutkan cambuknya yang juga diberi duri tajam kearah bokong sapi. Tentu saja luka ini akan membuat sapi berlari lebih kencang, tetapi juga menimbulkan luka disekitar pantat sapi. Setelah bertanding sapi tersebut diberikan beberapa waktu agar luka itu sembuh, tetapi sapi yang dipertandingan dikarapan ini hanya 2 sampai dengan 3 x saja diberikan pertandingan dan tidak boleh lebih.

Jarak pemenang terkadang selisih sangat tipis, bahkan tidak jarang hanya berjarak 1 sd 2 detik saja, dan hal ini terkadang membuat pihak yang kalah memprotes. Tetapi mereka diberikan kesempatan untuk bertanding lagi dengan yang kalah, dan saat yang membahagiakan bagi para pemenang. Selain mendapat hadiah, biasanya hadiah taruhan jg mereka dapatkan. Selain harga sapi pemenang dapat membumbung tinggi harganya.



Karapan Sapi dimadura merupakan pagelaran yang sangat unik, selain sudah diwarisi secara turun menurun tradisi ini juga terjaga sampai sekarang. Even ini dijadikan sebagai even pariwisata di Indonesia, dan tidak hanya turis local dari mancanegara pun banyak yang menyaksikan karapan sapi ini. Semoga kedepannya semakin meriah dan ajang taruhan yang menghiasi karapan sapi tersebut bisa hilang. Kalau anda mampir ke Surabaya, tidak ada salahnya melihat jadwal dan menonton karapan sapi tersebut.

Sumber : http://alambudaya.blogspot.com

Tradisi Pukul Sapu: Warisan Telukabessy di Negeri Seribu Bukit

Oleh: Agung Setyahadi

Sebanyak 40 pria berbadan kekar berjalan tegap memasuki arena di pelataran Masjid Besar Morella diiringi teriakan penonton. Mereka bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek dan ikat kepala merah serta menggenggam seikat lidi enau.

Mereka adalah petarung yang akan menghadirkan jejak perjuangan Kapitan Telukabessy melalui atraksi pukul sapu.

Tradisi pukul sapu digelar sekali setahun pada 7 Syawal. Tahun ini digelar pada 8 Oktober. Budaya yang telah bertahan ratusan tahun ini berakar pada perjuangan Kapitan Telukabessy yang memimpin perjuangan rakyat Maluku melawan VOC tahun 1636-1646. Setelah dikalahkan, Kapitan Telukabessy dihukum mati. Pasukannya kemudian membubarkan diri dengan acara pukul sapu.

Tradisi itu bertahan hingga kini di Desa Morella dan Mamala, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Para pemuda dan lelaki dewasa ikut dalam pukul sapu di Morella dan Mamala. Ikut pukul sapu merupakan kebanggaan dan ujian kejantanan sebagai seorang laki-laki.

Acara itu ditonton oleh ribuan warga Maluku dan beberapa wisatawan mancanegara. Peserta dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing terdiri dari 20 orang. Setiap petarung berdiri berhadapan dengan petarung dari kelompok lain di tengah arena seukuran lapangan bola kaki. Tiap orang memegang batang lidi enau untuk disabetkan. Lidi diganti baru jika rusak atau patah.
Kelompok yang mendapat giliran memukul, mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak sabetan lidi. Peserta dari kelompok lawan berdiri sambil mengangkat lidi di atas kepala dan membiarkan bagian tubuhnya untuk disabet lidi. Saat wasit meniup peluit, para peserta menyabetkan lidi ke tubuh lawan diiringi teriakan penggugah semangat.

Sabetan lidi meninggalkan bilur-bilur pada kulit pinggang, dada, dan punggung. Darah keluar dari kulit yang sobek. Kerenyitan menahan sakit tampak di wajah para peserta. Giliran memukul berganti setelah lawan mundur terpojok ke dekat penonton yang mengelilingi arena.

”Dalam tradisi ini tidak ada dendam, karena pukul sapu merupakan simbol persaudaraan. Para pejuang dari berbagai daerah di Maluku, Gowa (Sulawesi Selatan) dan Mataram (Jawa) pernah bersatu melawan penjajah di sini,” tutur Abdul Kadir Latukau, Raja Negeri Morella.

Luka-luka di tubuh peserta pukul sapu merupakan simbol untuk mengenang persatuan para pejuang di bawah pimpinan Kapitan Telukabessy.

Perang Kapahaha
Dalam buku acara dipaparkan, perang berawal dari pengepungan Benteng Kapahaha milik warga Maluku dan pendirian markas VOC di Teluk Sawatelu pada tahun 1636. Pada puncak perang yang terjadi tujuh hari tujuh malam, para pejuang terdesak karena diserang dari darat dan tembakan meriam kapal-kapal VOC. Benteng Kapahaha akhirnya dikuasai Belanda, tetapi Kapitan Telukabessy lolos.

Pejuang yang tertangkap ditawan di Teluk Sawatelu dan sebagian dibawa ke Batavia. Telukabessy diberi pilihan, menyerahkan diri atau para tawanan dibunuh. Pada 19 Agustus 1946, Telukabessy menyerahkan diri ke Komandan Verheijden. Ia dihukum gantung oleh Gubernur Amboina Gerard Demmer di Benteng Victoria Ambon pada 13 September 1946.

Para tawanan yang ditawan selama tiga bulan dibebaskan pada 27 Oktober 1946. Para pejuang kemudian pulang ke daerah asal masing-masing. Pada upacara pelepasan, selain tarian adat dan lagu-lagu daerah, juga dilakukan acara pukul sapu oleh para pemuda Kapahaha.

Atraksi budaya ini menarik wisatawan mancanegara. Dua wisatawan dari Inggris dan Belanda ikut dalam acara pukul sapu di Mamala. Mereka merasakan sabetan lidi enau dan diobati dengan minyak mamala.

”Rasanya tidak terlalu sakit. Ini luar biasa bisa ikut acara ini. Semoga minyak mamala bisa menyembuhkan luka-luka ini,” ujar Tom William (65) dari Inggris.

Menurut seorang pemuda Mamala, Hanfry (26), rasa sakitnya seperti terkena setrum listrik. Setelah diolesi minyak mamala, rasanya hangat walau sakitnya tetap terasa. Setelah tiga hari, luka akan kering dan sembuh.

Minyak mamala dibuat dari minyak kelapa yang diberi doa-doa secara Islam oleh para tetua adat dan pemuka agama di rumah Raja Mamala. Di Morella, luka sabetan diobati dengan getah jarak.

Tradisi pukul sapu penuh dengan petuah untuk saling menjaga persatuan dan persaudaraan. Petuah yang tercantum dalam kapata (syair) kuno di Mamala dan Morella itu diharapkan bisa menyatukan setiap anak negeri di wilayah penuh bukit itu. Kerukunan diharapkan akan memajukan daerah penghasil ikan, pala, cengkeh, cokelat, damar, rotan, dan sagu itu.

Sumber :http://cetak.kompas.com

Kuda Renggong Kesenian Sumedang Jawa Barat


Kuda Renggong merupakan salah satu seni pertunjukan rakyat yang berasal dari Sumedang. Kata "renggong" di dalam kesenian ini merupakan metatesis dari kata ronggeng yaitu kamonesan (bahasa Sunda untuk "ketrampilan") cara berjalan kuda yang telah dilatih untuk menari mengikuti irama musik terutama kendang, yang biasanya dipakai sebagai media tunggangan dalam arak-arakan anak sunat.

Sejarah
Berdasarkan cuplikan sejarah lahirnya kesenian Kuda Renggong di Kab. Sumedang, kesenian tradisional itu mulai muncul sekira tahun 1910. Awalnya, Kanjeng Pangeran Aria Suriaatmaja (1882-1919) pada masa pemerintahan berusaha untuk memajukan bidang peternakan. Pangeran Suriaatmaja sengaja mendatangkan bibit kuda yang dianggap unggul dari pulau Sumba dan Sumbawa. Kuda-kuda tersebut selain digunakan sebagai alat transportasi bangsawan, pada masa tersebut kuda juga sering difungsikan sebagai alat hiburan pacuan kuda.

Sementara kesenian kuda renggong menurut cuplikan sejarahnya, berawal dari prakarsa seorang abdi dalem bernama Sipan yang biasa mengurus kuda titipan dari para pamong praja saat itu. Sipan yang kelahiran tahun 1870 adalah anak dari Bidin, yang tinggal di Dusun Cikurubuk, Desa Cikurubuk Kec. Buahdua Sumedang.

Sejak kecil, Sipan yang kemudian banyak mendapat titipan kuda dari pamong praja, senang mengamati gerak-gerik dan tingkah laku kuda. Dari hasil pengamatannya, Sipan menyimpulkan, kuda bisa dilatih mengikuti gerakan yang diinginkan manusia. Ketika Sipan berusia sekira 40 tahun, ia mulai mencoba melatih kuda gerakan tari (ngarenggong).

Hal itu diawalinya, ketika suatu hari di tahun 1910 ia memandikan sejumlah kuda titipan pamong praja di suatu tempat pemandian. Sipan saat itu, melihat, seekor kuda di antaranya, bergoyang dengan gerakan melintang. Sipan pengiringinya dengan musik dogdog dan angklung. Eh gerakan kuda yang ngigel tadi semakin menjadi-jadi.

Dari pengamatan dan pelatihan-pelatihan kuda menari tersebut, Sipan menyimpulkan kuda bisa dilatih melakukan sejumlah gerakan tari. Masing-masing gerakan diberi nama, semacam Adean, yaitu gerakan lari kuda melintang atau gerakan kuda lari ke pingggir. Lalu Torolong, yaitu gerakan lari kuda dengan langkah kaki pendek-pendek, namun gerakannya cepat. Gerakan Derap/jorog adalah gerakan langkah kaki kuda jalan biasa, artinya lari dengan gerakan cepat. Sedangkan Congklang adalah gerakan lari cepat dengan kaki sama-sama ke arah depan, dan gerakan anjing minggat, yaitu gerakan kaki kuda setengah berlari.

Dengan dukungan Kanjeng Pangeran Aria Suriaatmaja, Sipan resmi melatih kuda dengan gerakan-gerakan tadi. Saat itulah menjadi awal lahirnya kesenian kuda renggong. Setelah Sipan meninggal dunia di usia 69 tahun (1939), keahliannya melatih kuda menari diturunkan kepada putranya bernama Sukria.

Selanjutnya, keahlian melatih kuda tersebut, secara turun temurun terus berlanjut dan berkembang hingga ke generasi-generasi pelatih kuda saat ini. Dengan berbagai tambahan kreasi hingga akhirnya lahir dan berkembangnya kuda silat.

Bentuk Kesenian
Sebagai seni pertunjukan rakyat yang berbentuk seni helaran (pawai, karnaval), Kuda Renggong telah berkembang dilihat dari pilihan bentuk kudanya yang tegap dan kuat, asesoris kuda dan perlengkapan musik pengiring, para penari, dll., dan semakin hari semakin semarak dengan pelbagai kreasi para senimannya. Hal ini tercatat dalam setiap festival Kuda Renggong yang diadakan setiap tahunnya. Akhirnya Kuda Renggong menjadi seni pertunjukan khas Kabupaten Sumedang. Kuda Renggong kini telah menjadi komoditi pariwisata yang dikenal secara nasional dan internasional.

Dalam pertunjukannya, Kuda Renggong memiliki dua kategori bentuk pertunjukan, antara lain meliputi pertunjukan Kuda Renggong di desa dan pada festival.

Pertunjukkan di Pemukiman
Pertunjukan Kuda Renggong dilaksanakan setelah anak sunat selesai diupacarai dan diberi doa, lalu dengan berpakaian wayang tokoh Gatotkaca, dinaikan ke atas kuda Renggong lalu diarak meninggalkan rumahnya berkeliling, mengelilingi desa.

Musik pengiring dengan penuh semangat mengiringi sambung menyambung dengan tembang-tembang yang dipilih, antara lain Kaleked, Mojang Geulis, Rayak-rayak, Ole-ole Bandung, Kembang Beureum, Kembang Gadung, Jisamsu, dll. Sepanjang jalan Kuda Renggong bergerak menari dikelilingi oleh sejumlah orang yang terdiri dari anak-anak, juga remaja desa, bahkan orang-orang tua mengikuti irama musik yang semakin lama semakin meriah. Panas dan terik matahari seakan-akan tak menyurutkan mereka untuk terus bergerak menari dan bersorak sorai memeriahkan anak sunat. Kadangkala diselingi dengan ekspose Kuda Renggong menari, semakin terampil Kuda Renggong tersebut penonton semakin bersorak dan bertepuk tangan. Seringkali juga para penonton yang akan kaul dipersilahkan ikut menari.

Setelah berkeliling desa, rombongan Kuda Renggong kembali ke rumah anak sunat, biasanya dengan lagu Pileuleuyan (perpisahan). Lagu tersebut dapat dilantunkan dalam bentuk instrumentalia atau dinyanyikan. Ketika anak sunat selesai diturunkan dari Kuda Renggong, biasanya dilanjutkan dengan acara saweran (menaburkan uang logam dan beras putih) yang menjadi acara yang ditunggu-tunggu, terutama oleh anak-anak desa.

Pertunjukan festival
Pertunjukan Kuda Renggong di Festival Kuda Renggong berbeda dengan pertunjukan keliling yang biasa dilakukan di desa-desa. Pertunjukan Kuda Renggong di festival Kuda Renggong, setiap tahunnya menunjukan peningkatan, baik jumlah peserta dari berbagai desa, juga peningkatan media pertunjukannya, asesorisnya, musiknya, dll. Sebagai catatan pengamatan, pertunjukan Kuda Renggong dalam sebuah festival biasanya para peserta lengkap dengan rombongannya masing-masing yang mewakili desa atau kecamatan se-Kabupaten Sumedang dikumpulkan di area awal keberangkatan, biasanya di jalan raya depan kantor Bupati, kemudian dilepas satu persatu mengelilingi rute jalan yang telah ditentukan panitia (Diparda Sumedang). Sementara pengamat yang bertindak sebagai Juri disiapkan menilai pada titik-titik jalan tertentu yang akan dilalui rombongan Kuda Renggong.

Dari beberapa pertunjukan yang ditampilkan nampak upaya kreasi masing-masing rombongan, yang paling menonjol adalah adanya penambahan jumlah Kuda Renggong (rata-rata dua bahkan empat), pakaian anak sunat tidak lagi hanya tokoh Wayang Gatotkaca, tetapi dilengkapi dengan anak putri yang berpakaian seperti putri Cinderella dalam dongeng-dongeng Barat. Penambahan asesoris Kuda, dengan berbagai warna dan payet-payet yang meriah keemasan, payung-payung kebesaran, tarian para pengiring yang ditata, musik pengiring yang berbeda-beda, tidak lagi Kendang Penca, tetapi Bajidoran, Tanjidor, Dangdutan, dll. Demikian juga dengan lagu-lagunya, selain yang biasa mereka bawakan di desanya masing-masing, sering ditambahkan dengan lagu-lagu dangdutan yang sedang popular, seperti Goyang Dombret, Pemuda Idaman, Mimpi Buruk, dll. Setelah berkeliling kembali ke titik keberangkatan.

Perkembangan
Dari dua bentuk pertunjukan Kuda Renggong, jelas muncul musik pengiring yang berbeda. Musik pengiring Kuda Renggong di desa-desa, biasanya cukup sederhana, karena umumnya keterbatasan kemampuan untuk memiliki alat-alat musik (waditra) yang baik. Umumnya terdiri dari kendang, bedug, goong, terompet, genjring kemprang, ketuk, dan kecrek. Ditambah dengan pembawa alat-alat suara (speakrer toa, ampli sederhana, mike sederhana). Sementara musik pengiring Kuda Renggong di dalam festival, biasanya berlomba lebih "canggih" dengan penambahan peralatan musik terompet Brass, keyboard organ, simbal, drum, tamtam, dll. Juga di dalam alat-alat suaranya.

Makna
Makna yang secara simbolis berdasarkan beberapa keterangan yang berhasil dihimpun, diantaranya

* Makna spiritual: semangat yang dimunculkan adalah merupakan rangkaian upacara inisiasi (pendewasaan) dari seorang anak laki-laki yang disunat. Kekuatan Kuda Renggong yang tampil akan membekas di sanubari anak sunat, juga pemakaian kostum tokoh wayang Gatotkaca yang dikenal sebagai figur pahlawan;

* Makna interaksi antar mahluk Tuhan: kesadaan para pelatih Kuda Renggong dalam memperlakukan kudanya, tidak semata-mata seperti layaknya pada binatang peliharaan, tetapi memiliki kecenderungan memanjakan bahkan memposisikan kuda sebagai mahluk Tuhan yang dimanjakan, baik dari pemilihan, makanannya, perawatannya, pakaiannya, dan lain-lain;

* Makna teatrikal: pada saat-saat tertentu di kala Kuda Renggong bergerak ke atas seperti berdiri lalu di bawahnya juru latih bermain silat, kemudian menari dan bersilat bersama. Nampak teatrikal karena posisi kuda yang lebih tampak berwibawa dan mempesona. Atraksi ini merupakan sajian yang langka, karena tidak semua Kuda Renggong, mampu melakukannya;

* Makna universal: sejak zaman manusia mengenal binatang kuda, telah menjadi bagian dalam hidup manusia di pelbagai bangsa di pelbagai tempat di dunia. Bahkan kuda banyak dijadikan simbol-simbol, kekuatan dan kejantanan, kepahlawanan, kewibawaan dan lain-lain.

Sumber :
http://id.wikipedia.org
http://www.mail-archive.com
Foto : http://sigesit.stsi-bdg.ac.id

Kesenian Reog Masih Bertahan Di Tanggamus Lampung


Keinginan untuk terus memajukan kesenian tradisional sebagai bagian dari kesenian nasional menjadikan kelompok seni Reog Krido Budoyo di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, tetap rutin menggelar latihan dalam keseharian aktivitas mereka.

Menurut Ketua Kelompok seni Krido Budoyo, Misno (45), di Desa Sukoharjo 1, Kecamatan Sukoharjo, Tanggamus, Provinsi Lampung, Minggu malam, tekadnya akan tetap mempertahankan kesenian tradisional itu di tengah serbuan berbagai kesenian dan kebudayaan modern saat ini .

"Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan terus melanjutkan kesenian tradisional ini," kata Misno pula.

Krido yang menurut Misno berarti `rido` atau `rela`, dan `budoyo` berarti `budaya` atau kebudayaan, disimpulkan sebagai rela untuk berkesenian sebagai dasar untuk mengembangkan kesenian yang diyakini sebagai kesenian asli daerah Ponorogo, Jawa Timur itu..

Kelompok seni ini berdiri sejak tahun 1994, dan memiliki 30 pemain yang berperan di antaranya enam orang sebagai penari jatilan (penari perempuan yang menggunakan kuda kepang), enam pemain laki-laki sebagai warok, klono sewandoro satu orang, bujang ganong (pemegang merak) dua orang, tari merak tiga orang, penabuh gamelan enam orang, dan sisanya sebagai pemain cadangan.

Latihan yang rutin dilakukan pada setiap hari Rabu dan Sabtu, dimulai pukul 20.00 WIB sampai dengan 23.00 WIB.

Misno mengungkapkan pula bahwa kendala yang dihadapi dalam memimpin kelompok kesenian ini, antara lain kurang dukungan dari pemerintah, terutama dana atau bantuan pengadaan alat-alat kesenian yang mereka perlukan.

Dia mencontohkan, seperti merak (hiasan besar dimainkan di atas kepala) yang sudah tidak bagus lagi, sedangkan harga sebuah merak itu berkisar tujuh sampai sepuluh juta rupiah.

Namun dengan keterbatasan peralatan yang ada, dia bersama anggota kelompok kesenian tradisional itu masih menyimpan semangat untuk terus berkembang.

Menurut salah satu pemain kelompok kesenian ini, Yudi (25), mereka dapat membuktikan prestasi dengan menyabet juara ke-2 festival reog se-Kabupaten Tanggamus yang disponsori oleh Sampoerna Hijau di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung beberapa waktu lalu.

"Saya memainkan kesenian ini, karena merasa senang dan sekaligus sebagai sarana hiburan," kata Yudi lagi.

Tarif yang dikenakan untuk menyewa kelompok seni reog ini, kata Misno, bervariasi tergantung dari jauh dekatnya jarak tempat penyewanya.

Tarif paling rendah yaitu Rp1 juta rupiah, dengan pertunjukan kesenian itu dimulai pukul 13.00 WIB sampai sore, atau sekitar pukul 17.30 WIB.

Kesenian rakyat ini, juga tetap diyakini mereka tidak akan kalah bersaing dengan hiburan modern di daerah perkotaan yang sekarang terus berkembang pula.

Minat masyarakat ini terlihat dari pesanan (order) yang datang ke kelompok seni reog ini masih terus berdatangan.

Bahkan pertunjukan seni reog ini pernah diminta untuk tampil di lintas kabupaten, yaitu Kabupaten Lampung Barat, dan juga mengikuti berbagai event yang diselenggarakan, seperti di Festival Krakatau, dan acara-acara peringatan kemerdekaan di sejumlah tempat di Lampung.

Sumber : http://vibizdaily.com

Tarian Cangget Ciri Khas Kesenian Lampung


Lampung adalah sebuah provinsi yang letaknya paling selatan di Pulau Sumatera. Suku bangsa Lampung sendiri terbagi menjadi dua bagian yaitu Lampung Pepadun dan Lampung Saibatin. Salah satu kesenian yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat Lampung, khususnya masyarakat pepadun, adalah jenis seni tari yang disebut “tari cangget”. Konon, sebelum tahun 1942 atau sebelum kedatangan bangsa Jepang ke Indonesia, tari cangget selalu ditampilkan pada setiap upacara yang berhubungan dengan gawi adat, seperti: upacara mendirikan rumah, panen raya, dan mengantar orang yang akan pergi menunaikan ibadah haji. Pada saat itu orang-orang akan berkumpul, baik tua, muda, laki-laki maupun perempuan dengan tujuan selain untuk mengikuti upacara, juga berkenalan dengan sesamanya. Jadi, pada waktu itu tari cangget dimainkan oleh para pemuda dan pemudi pada suatu desa atau kampung dan bukan oleh penari-penari khusus yang memang menggeluti seni tari tersebut. Tujuannya tidak hanya sekedar melihat gerak-gerik pemuda atau pemudi ketika sedang menarikan tari cangget, melainkan juga untuk melihat kehalusan budi, ketangkasan dan keindahan ketika mereka berdandan dan mengenakan pakaian adat Lampung.

Perkenalan
Bila seorang jejaka merasa tertarik pada seorang gadis maka si jejaka tersebut akan mencari cara agar dapat mendekati si gadis. Pada saat acara adatlah di jejaka tersebut bersama keluarganya melakukan nyubuk, yakni menilai apakah gadis tersebut memang sesuai dengan pilihannya. Apabila gadis tersebut berkenan di hati si jejaka maka keluarganya langsung menanyakan bibit, bobot, dan bebet si gadis atau disebut dengan beulih-ulihan.

Melamar
Setelah keduanya saling menyukai maka pihak orangtua pria datang untuk melamar yang disebut juga tahap nunang. Pada saat ini pihak mempelai pria juga membawa oleh-oleh berupa uang, dodol, dan sekapur sirih. Setelah lamaran diterima maka menjelang hari berikutnya rombongan pihak pria tersebut akan datang lagi untuk mengadakan nyeurik atau mengikat. Dewasa ini bisa dikatakan bahwa keduanya telah bertunangan.

Upacara Temu Pengantin
Pada saat pertemuan itu akan diadakan netak aping, kedua belah pihak rombongan memegang sepakat maka kain tersebut dipotong/dibelah tengahnya sebagai pemecah hambatan. Setelah itu pengantin wanita menuju rumah pengantin pria, sesampai di rumah pengantin pria lalu disambut dengan tabuhan talo balak dengan irama gembira dan tembakan meriam. Di depan rumah mempelai kedua orangtua dan kerabat terdekat mempelai pria telah menanti untuk menyambut kedatangan kedua mempelai, seorang ibu langsung menaburkan beras yang dicampur kunyit dan uang logam.

Kemudian siger mempelai wanita dibuka dan diganti dengan handuk liling, dilanjutkan dengan acara mosok dan makkuhken inai adek yakni pemberian gelar adat. Pada saat makkuhken inai adek, istri dari kepala adat memberikan gelar dengan menekan telunjuk tangan kiri di atas dahi kedua mempelai kemudian mengetuk kunci rumah di dahi kedua mempelai sebanyak tujuh kali hitungan lalu menyebutkan gelar apa yang didapatkan kedua mempelai. Acara musek dan makkuhken inai adek dilakukan oleh ibu atau nenek mempelai

Upacara Pernikahan dan Begawi
Upacara pernikahan diadakan di depan penghulu yang dilanjutkan dengan pesta pernikahan di rumah mempelai pria. Malam harinya keluarga mengadakan pesta menari antara bujang dan gadis perwakilan dari seluruh keluarga suttan dan calon suttan yang disebut upacara cangget atau begawi. Begawi adalah pesta adat Lampung pepadun, dengan memotong kerbau di rumah pihak calon pengantin pria atau bisa juga di rumah calon pengantin wanita. Pesta adat ini biasa diadakan oleh kaum bangsawan, disebut dengan munaek suttan berpangkat tinggi dalam adat.

Setelah para undangan berkumpul di sesat agung maka para gadis yang akan turun cangget atau disebut dengan mulei aghis berbaris bergantian memasuki pengejengannya, dan anak gadis dari keluarga calon suttan akan digendong masuk kedalam kutomaro pengejengan khusus bagi mulei ini. Pada saat gadis ini masuk semua orang yang ada didalam sesat diwajibkan berdiri dan mulei aghis yang lain akan menari ditempatnya masing-masing dengan diiringi tetabuh talo.Setelah itu, acara akan dibuka dan dipandu oleh pengetuho agung. Kemudian pengetuho agung bersama penglakue memeriksa seluruh mulei aghis apakah pakaian mereka telah memenuhi syarat. Setelah itu pengetuho agung akan membacakan gelar-gelar yang akan diberikan kepada keluarga besar yang berhajat. Kemudian tiba saatnya untuk menari cangget, beberapa mulei menari diatas kain putih sebagian dari mereka diperkenankan untuk menari diatas talam emas. Bersamaan dengan itu meghanai agis pun diharuskan untuk ngigel berpasangan. Seluruh mulei yang ikut dalam cangget agung pun akan diberi gelar seperti ; inten, indoman, pujian, pujaan, dll karena tidak sembarang orang mendapatkan kesempatan untuk menari cangget agung di acara sakral ini.

Saat tengah malam adalah saat untuk istirahat, ketika para undangan menikmati hidangan sepasang mulei meghanai membacakan pepaccugh, yaitu berupa pantun dalam bahasa lampung yang berisikan nasihat, namun biasanya disajikan dalam kalimat yang menghibur. Selain tari cangget, biasanya pepacugh adalah sesi yang paling ditunggu oleh para undangan.

Setelah istirahat acara kembali dilanjutkan dengan ngigel bagi mempelai pria yang baru saja menikah kemudian dilanjutkan dengan pidato penutup kemeghanaian. Acara begawi ini biasanya berlangsung selama 8 jam dan menjelang azan subuh acara ini baru selesai.

Di hari yang sama pada jam 9 pagi, akan diadakan acara turun mandei, dan acara mepadun. Di acara inilah keluarga tersebut sah naik tahta dan menjadi lebih terhormat dikalangan masyarakat.

Lirik Lagu Cangget Agung

Cangget Agung

Sessat Agung sai wawai
Talo bertabuh tari cangget
Gawi adat tano ejo cakak peppadun

Adat budayo lappung
Nayah temen ragom wawai no
Jepano garuda no rata sebatin

Cangget Agung 2x
Muli batangan
Dilem kutomaro 2x
Mejeng besanding

Gawi adat lappung 2x
Jak jaman toho
Lapah gham jamo jamo
Ngelestarikan adat lappung

Sumber :
http://uuuyeah.blogspot.com
http://www.seruit.com
Foto : http://id.88db.com

Bergoyang di Rumah Rakit Sungai Musi

Oleh: Soesetyowati

Udara mulai terasa panas meski belum menyengat. Arloji masih menunjukkan angka 09.00 WIB. Dan malam sebelumnya hujan mengguyur dengan derasnya membasahi kota Palembang Sumatera Selatan, tetapi di hari Minggu itu, sisa-sisa kesejukan malam hari tidak lagi tersisa. Meski demikian, tidak menyurutkan minat kami untuk mencoba merasakan sensasi, menikmati pemandangan alam dengan menyusuri aliran Sungai Musi, sebuah tempat yang namanya sangat internasional. Kami sebut sensasi, karena untuk menyusur sungai tersebut, kami berkesempatan naik Kapal Patroli Polisi, suatu yang barangkali langka bagi kami. Sebagai obyek wisata sebetulnya banyak perahu (ketek), rakit bahkan kapal yang disewakan. Ongkos sekali sewa Rp 50 ribu untuk 6 orang, sementara jika naik kapal per orang ditarik antara Rp 30 ribu hingga 70 ribu, tergantung jarak yang ditempuh. Berangkat dari Pos Sungai Lais, menyusur sungai sekitar 10 km, melewati Pasar 16 Ilir, Gudang garam pelabuhan rakyat, Dermaga Boom Baru, Pulau Kemaro, Sungai Gerong, Pulau Silahnama. Dari atas kapal kami bisa melihat pemukiman penduduk seperti Rumah Rakit, pabrik PT. Pusri, Pertamina, Daerah Bagus Kuning, Masjid Lawang Kidul, Masjid Ki Merogan, Banteng Kuto Besak dan Jembatan Ampera. Dengan laju cukup cepat, kapal melewati ’’ketek’’ (perahu kecil), serta rumah-rumah rakit yang bertebaran di Sungai dengan lebar sekitar satu kilometer dan panjang kurang lebih 460 km. Rumah-rumah rakit menutup sebagian aliran sungai, semakin ke daratan berdiri rumah berbentuk panggung yang diperkirakan menempati lahan satu km di kanan dan satu km di kiri sungai.


Di pinggir Sungai Musi
Sumber Foto: WeLcoME To mY L!Fe..

’Barangkali kalau diukur, lebar Sungai Musi tidak hanya satu kilometer tapi bisa 3 km. Siapa tahu rumah panggung itu dulu terma­suk pinggiran sungai’’, kata AKP Bam­bang Widarto, pemandu sekaligus kapten kapal.

Rumah - rumah rakit berjejar di pinggir aliran sungai. Bentuknya ada yang sederhana dan tua, ada pula yang masih baru dengan bangunan penuh ukir-ukiran khas Palembang. Rumah rakit yang sudah ada sejak zaman dahulu kala itu, ada yang ditempati keluarga dan digunakan sebagai tempat tinggal, tetapi ada pula yang dimiliki sebagai rumah istirahat. Pemiliknya bertempat tinggal di kota Palembang serta kota lain. Rumah hanya ditempati pada hari minggu atau libur bersama keluarga dan kolega.

Tertarik melihat rumah rakit, kami berhenti dan masuk ke dalam satu rumah yang tergolong baru. Rumah kosong milik keluarga Hanafi, berada di dekat jembatan Ampera. Luas rumah sekitar 40 meter persegi, dengan pembagian, ruang tamu, sebuah kamar tidur, sebuah dapur, sebuah kamar mandi, serta teras kecil di depan, samping dan di belakang rumah.

Rumah Rakit
Sumber Foto: Hedge Wind

Tidak ada furniture, baik di ruang tamu (ruang santai) atau ruang tidur, sebagai gantinya digelar lampit (tikar dari bahan bambu yang agak tebal) yang dipakai sebagai alas tempat duduk atau pun tidur. Ada meja kecil untuk ditempatkan televisi di pojok ruang santai, sebuah kulkas serta sebuah mesin cuci. Tinggi plafon sekitar 2 meteran, dan semua bangunan terbuat dari kayu. Yang menarik, meski berada di atas aliran sungai, udara terasa hangat, dan bergoyang-goyang. Untuk mandi dan minum keluarga tersebut membeli air bersih yang memang ditawarkan.

Berbeda dengan rumah rakit milik penduduk yang umumnya bekerja sebagai nelayan. Untuk aktivitas MCK serta minum sebagian mereka mengambilnya langsung dari sungai yang berada di bawahnya. Itu bisa dilihat daro akitivitas mulai anak-anak hingga orang dewasa. Sejumlah anak-anak bertelanjang dengan riangnya berenang dan bermain dalam air di samping rumah mereka.

Selain sebagai tempat tinggal ada pula yang difungsikan untuk warung makan, bahkan toko kelontong. Di pagi hari, para ibu yang enggan berbelanja ke pasar di darat, di sekitar rumah rakit terdapat rakit - rakit berisi pedagang sayuran dan ikan dan kebutuhan harian lainnya. Saat berbelanja pembeli juga naik rakit.

Anak-anak sedang bermain di Sungai Musi
Sumber Foto:
icung_swj

’’Siapa pun diperbolehkan mendirikan rumah rakit di pinggir Sungai Musi asal meminta izin terlebih dahulu ke Pemda. Saat ini diperkirakan terdapat lebih kurang 300 rumah rakit. Dan itu dilestarikan Pemda sebagai salah satu obyek wisata Sungai Musi yang dijual ke wisatawan’’, kata Bambang tentang banyaknya rumah rakit di pinggir aliran sungai itu.

Ketika ditanya, jika masyarakat dibiarkan semaunya mendirikan rumah di aliran sungai, nantinya menutup sungai Musi. Padahal aktivitas pelayaran masih jadi andalan, Bambang menyebut, barangkali ada perda yang mengatur.

”Saya kurang begitu paham aturan pemda, yang saya tahu rumah rakit dilestarikan dan dijual kepada wisatawan sebagai bagian kekayaan Sungai Musi’’, katanya.

Jembatan Ampera

Kurang lengkap rasanya tanpa membahas ’’kon’’ kota Palembang ’’Jembatan Ampera’’ . Jembatan ini menyatukan dua daratan di Kota Palembang ’’Seberang Ulu dan Seberang Ilir’’. Ide membuat jembatan sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya.

Jembatan Ampera di malam hari
Sumber Foto:
Raxzanema Photos

Jembatan dibangun mulai April 1962 dan selesai Mei 1965 dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, posisinya di pusat kota, terdapat boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu (sering digunakan untuk acara pergelaran musik terbuka). Biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200). Jembatan dengan konstruksi baja yang diperkuat kawat baja itu, memiliki panjang 1.100 meter dengan lebar 22 meter. Keenam kakinya, dipancang sedalam 75 meter. Bagian atasnya, terdapat dua menara setinggi 75 meter dengan jarak bentang antar-menara 71,5 meter. Ketinggian bentang jembatan dari air 11,5 meter saat air surut dan 8 meter saat pasang naik itu dapat diangkat ketika akan dilalui kapal. Ketika awal penggunaannya, jembatan bisa dibaikkan, saat bentang diangkat, ketinggiannya dari air mencapai 63 meter. Kapal yang dapat melaluinya berukuran tinggi 9 meter-44,5 meter dan lebar 60 meter. Untuk mengangkat bentang jembatan seberat 994 ton, ditempatkanlah bandul yang masing-masing seberat 450 ton di kedua menara. Kecepatan angkatnya mencapai 10 meter per detik. Namun pada perkembangannya, jembatan tidak bisa lagi diangkat, peralatannya sudah lama rusak.

Benteng Kuto Besak

Masih dari atas sungai, sebuah benteng peninggalan Belanda terlihat dengan megahnya. Benteng ini dibangun selama 17 tahun (1780-1797 M). Sebagaimana umumnya bangunan benteng pada masa lalu, tempat yang kemudian dikenal dengan nama ”Benteng Kuto Besak” (BKB) ini dulu diba­ngun di atas pulau. Lahan tempatnya berdiri dikelilingi sungai. Yaitu, Sungai Kapuran (kini, alirannya merupakan bagian Jl. Merdeka, setelah ditimbun Pemerintahan Belanda sekitar tahun 1930-an), Sungai Musi di bagian utara, Sungai Sekanak di bagian barat; dan Sungai Tengkuruk di bagian timur.

Bangunan ini menggunakan bahan batu dan semen (batu kapur serta bubuk tumbukan kulit kerang). Konon, sebagai bahan penguat tambahan, digunakan pula putih telur dan rebusan tulang serta kulit sapi dan kerbau. Benteng berbentuk persegi empat dengan ukuran panjang 290 meter, lebar 180 meter, dan tinggi 6,60 meter-7,20 meter. Di keempat sudutnya, terdapat empat bastion (buluarti) untuk menempatkan meriam. Sesuai dengan posisinya yang dikelilingi sungai, BKB memiliki empat pintu. Yaitu, pintu utama yang menghadap Sungai Musi dan tiga pintu lain, yang masing-masing menghadap Sungai Tengkuruk, Sungai Kapuran, dan Sungai Sekanak. Kekokohan dan kemegahan Benteng hanya bisa dilihat dari sungai, karena tempat itu kini dipakai seabgai asrama tentara.

Wisata Kuliner

Pempek, mie celok, pindang meranjat, adalah makanan khas kota tersebut. Sama seperti menyebut bandeng presto, lunpia, soto atau mie Jowo ketika orang berada di Semarang. Maka wisata kuliner pun kami lakukan, khususnya dalam rangka mencoba beberapa restoran dengan menu yang sama. Pindang meranjat, menjadi tujuan pertama karena merupakan hal baru bagi kami. Pindang berisi irisan ikan patin dengan kuah berwarna merah rasanya segar pedas, manis, dan asam. Ada restoran Sri Melayu, Bu Ucha dan warung Musi Rawas, ketiganya menawarkan pindang meranjat sebagai menu andalan.

Pindang Iga di warung Musi Rawas
Sumber Foto:
Martin Manurung

Cara penyajian di tiga restoran itu sama seperti ketika kita makan di restoran Padang. Semua lauk diatur di atas meja.

Palembang kota pempek, memang betul. Rumah makan, atau warung penjual pempek tersebar hampir di semua tempat. Persaingan yang ketat menjadikan para penjual ini sangat cerdik, terutama ketika melayani pesanan yang akan dikirim ke luar Palembang.

Mereka menciptakan bentukan dan kemasan yang bisa tahan berhari-hari. Pempek Noni misalnya, bulatan yang terbuat dari ikan ini lumayan besar, dibungkus tepung dan saos dibuat kering. Produk Tience lain lagi.

Dia membuat bulatan pempek yang kecil-kecil, dikemas dalam plastik sedang lengkap dengan bumbu kemudian dibungkus lagi dengan kertas koran yang tebal. Pak Raden atau Selamat, menjadi pilihan lain. Sama-sama enaknya, terutama campuran saosnya, yang Yummy.

Empek-empek asli Palembang
Sumber Foto:
Herman Saksono

Legenda Siti Fatimah-Tan Bun An

JIKA di Jawa ada kisah tentang cinta Roro Mendut -Pranacitra yang dirampas oleh Patih Wiraguna, maka Palembang memiliki legenda cinta Siti Fatimah anak Raja Palembang, Mahmud Bahanuddin II dengan Pangeran dari Negeri China, Tan Bun An. Menurut legenda, saat melamar Siti Fatimah Raja meminta Tan Bun An menyerahkan mas kawin, barang-barang berharga.

Tan Bun An pulang ke tanah leluhurnya untuk membawa kembali emas dan barang berharga lainnya ke tanah Palembang. Karena takut barangnya dirampok, dia meletakkannya dalam guci-guci yang di bagian atasnya ditutup sayur-mayur. Melihat yang dibawa sayur mayur, Raja murka dan Tan Bun An diusir dari Palembang, karena sedih pangeran ini menceburkan dirinya di Sungai Musi. Mendengar kekasihnya meninggal, Siti Fatimah menyusul menceburkan dirinya ke sungai itu pula. Keajaiban terjadi, di tengah sungai muncul dua gundukan tanah yang menonjol di antara gundukan lebar membentuk pulau. Gundukan yang menonjol itu diyakini penduduk sebagai jasad kedua sejoli yang muncul dari dasar sungai.

Pertunjukan yang mengisahkan Legenda cinta Siti Fatimah anak Raja Palembang, Mahmud Bahanuddin II dengan Pangeran dari Negeri China, Tan Bun An.
Sumber Foto:
ryo.esha

Pulau itu dinamakan Kemaro, berada di hilir Sungai Musi luasnya sekitar 5 ha. Di atasnya, kini berdiri sebuah kelenteng Hok Ceng Bio yang mulai dibangun tahun 1962. Sebelumnya, kelenteng ini hanya berupa bangunan gubuk. Bagi penganut Budha, Kong Hu Cu, dan Tridharma di Palembang, pulau ini memiliki makna ritual yang tinggi. Selain menjadi pusat kegiatan Cap Go Meh (Hari Raya yang diselenggarakan pada hari ke-15 setelah Sincia atau Tahun Baru Kalender Lunar) juga dipercaya sebagai lambang cinta sejati.

Pulau Kemaro dipadati penganut Tridharma yang merayakan Cap Go Meh. Bukan hanya berasal dari Indonesia, para penganut Tridharma, Budha, dan Kong Hu Cu yang berasal dari mancanegara pun hadir di pulau ini. Perayaan bulan purnama pada bulan Cia Gwee (bulan pertama tahun lunar) ini dilakukan semua marga Tionghoa, baik ia beragama Budha, Taoisme, atau Kong Hu Chu. Tetapi, untuk ritual sembahyang, hanya dilakukanoleh umat Tridharma. Hanya, perayaan di Pulau Kemaro sangat khas diban­ding­kan tempat lain. Saat ritual ber­lang­sung, sembahyang dilaksanakan di enam tempat, baik di luar maupun dalam kelenteng. Sekitar pukul 23.00 dilakukan sembahyang kepada Thien (Tuhan di langit) selama 15 menit. Ritual dilanjutkan dengan sembahyang bagi Hok Tek Cin Sin (Dewa Bumi) selama 15 menit.

Dua Aliran

Ketika berziarah ke makam kedua tokoh legenda itu cara berdoa untuk Tan Bun An dan Siti Fatimah berbeda. Saat masuk ke dalam sebuah bangunan kita dihadang sebuah cungkup yang diyakini makam Tan Bun An yang beragama Khong Hu Chu. Masuk ke dalam lagi (kepala gandeng) diyakini makam Siti Fatimah pemeluk agama Islam. Cara doa yang berbeda terlihat ketika juru kunci keturunan China bernama Linda memandu tamu yang datang. Saat berada di depan makam Tan, dia menggunakan hongsua yang dibakar, sementara saat berada di depan Siti dia mengucapkan Assalamualaikum diteruskan doa dengan cara Islam.

Bagi yang ingin mencoba mengetahui keberuntungan di tempat itu disediakan sebuah kayu panjang. Kayu dibentangkan, pada akhir jari tengah ditandai karet, kemudian kayu diputar-putarkan di atas makam, setelahnya diukur kembali. Kalau karet berpindah dan ukuran menjadi lebih panjang, maka keinginan disebut bakal terlaksana. Kalau berkurang, dikatakan keinginan tidak akan kesampaian.

Selain Sungai Musi serta beberapa bangunan kuno, sebagian obyek wisata Palembang yang ditawarkan adalah makam para raja, istri beserta panglimanya. Beberapa yang terkenal adalah Sabokingking

Kompleks Makam Sabokingking terdapat dalam kawasan PT Pusri. Tokoh yang dimakamkan di kompleks ini antara lain Pangeran Sido Ing Kenayan (1630-1642 M). Sido Ing Kenayan adalah Raja Palembang yang menggantikan pamannya, Pangeran Sido Ing Puro (1624-1630 M) dan kedudukannya kemudian digantikan oleh sepupunya, Pangeran Sido Ing Pasarean (1642-143 M). Makam ini berdampingan dengan makam istri Pangeran Sido Ing Kenayan, yaitu Ratu Sinuhun. Di samping itu, terdapat pula makam guru agama raja, Habib Muhammad Imam Alfasah yang berasal dari Arab.

Hingga kini, Ratu Sinuhun diyakini sebagai penulis kitab Simbur Cahaya. Kitab ini sering pula disebut Undang-undang Simbur Cahaya, yang isinya norma hukum adat. Dalam makam itu, lagi-lagi banyak penziarah yang meminta berkah dengan cara membentangkan kayu seperti yang ada di Pulau Kemaro.

”Banyak caleg dan calon pejabat yang datang ke sini”, kata juru kunci makam.

Tempat lain yang dikeramatkan Kawah Tekurep, serta Bukit Siguntang. Daerah ini terletak di atas 27 meter dari permukaan laut tepat di kelurahan Bukit lama. Tempat ini sampai sekarang masih tetap dikeramatkan karena disini terdapat beberapa makam di antaranya: Raja Si Gentar Alam, Putri Kembang Dadar, Putri Rambut Selako, Panglima Bagus Kuning, Panglima Bagus Karang, Panglima Tuan Junjungan, Panglima Raja Batu Api, Panglima Jago Lawang.