Ayam Pelung Manambah Wibawa Sosial


Banyak alasan membuat orang tertarik memelihara ayam pelung, terutama pejantannya. Kekhasan pejantan lebih populer dibanding betinanya. Ada yang mengatakan, memelihara ayam pelung dapat membuat situasi keluarga jadi tentram dan bahagia. Suara kokok yang khas, keras, berirama lebih merdu dan panjang, memberikan kenikmatan. Memelihara ayam pelung, dipercaya menambah kewibawaan sosial di mata masyarakat.

Pun postur tubuh yang tinggi besar, serta bulu yang mengilat menawan. Oleh karena itu, ayam pelung dipelihara sebagai ayam hias. Ayam khas Cianjur ini menjadi ayam kontes. Dalam kontes diadu bobot, panjang suara kokok dan penampilan meliputi bulu, serta kesehatan.

Kenapa disebut pelung ? Menurut peternak, “pelung” berasal dari kata “melewung”(bahasa sunda) atau “melung”, yaitu suara besar mengalun panjang dan menggema. Ayam pelung jantan, bila berkokok lehernya terlihat melengkung ke bawah, bahkan ada yang sampai menyentuh tanah. Ayam ini jenis ayam bukan ras (buras) asli Indonesia.

Selain suara khas, membedakan ayam pelung dengan ayam biasa bisa dilihat dari ciri fisik. Ayam ini memiliki leher lebih panjang dengan posisi melengkung. Postur badan besar, kokoh, dan bobotnya jauh lebih berat dibanding ayam kampung biasa. Ayam pelung betina, termasuk petelur andal. Dalam satu periode produksi, mampu menghasilkan telur hingga 30 butir dengan bobot tiap telur 50,66 gram.

Ayam pelung jantan memiliki jengger besar, tebal, berwarna merah dan berbentuk tunggal. Posisinya bisa tegak, setengah miring, dan miring. Ukuran pialnya besar, bulat, dan memerah. Kemudian, bagian cakarnya lebih panjang dan besar. Warna bulunya tidak memiliki pola khas. Umumnya campuran merah dan hitam, kuning dan putih, atau campuran warna hijau mengilat.

Sekretaris Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Cianjur, Mahani mengatakan ayam pelung hasil persilangan ayam buras. Hasilnya, memiliki keunggulan pada suara dan bobot.

Keberadaan ayam ini lebih untuk hobi, dan harganya relatif mahal. Namun bagi penggemar, kalau sudah cocok tidak melihat harga. Apalagi yang sudah juara kontes, harganya makin mahal.

Penggemar ayam pelung bukan hanya dari Cianjur, tetapi sudah merambah ke berbagai daerah di Indonesia. Tidak sedikit dari mancanegara. “Pangeran dari Jepang pernah membeli ayam pelung. Informasinya sudah dikembangkan di Jepang,” katanya

Ketua Hippapi Cianjur, Agus Abdurahman mengatakan, semula masyarakat memelihara sekadar untuk menikmati suaranya. Namun kini sudah banyak yang memelihara untuk usaha komersil.

Mendapatkan ayam pelung jantan bersuara emas cukup sulit. Hasil satu tetasan yang berjumlah dua belas ekor anak ayam, setelah dewasa kadang yang punya suara emas hanya beberapa ekor.Bahkan, kadang kala tidak ada sama sekali.

Kualitas suara ditentukan faktor keturunan, sekaligus pemeliharaan. Lokasi yang baik untuk pemeliharaan di tempat agak dingin dan teduh, ketinggian 500 – 1.500 di atas permukaan laut (dpl).

Warna bulu, awalnya hitam merah, tapi kini berkembang ada putih blorok, wido (hijau), hitam, atau abu-abu. Merah kehitaman warna dominan. Warna itu keturunan ayam pelung asli, warna lain cuma hasil perkawinan silang.

Awal sejarahnya, ayam pelung hanya dimiliki kalangan tertentu, ajengan, orang kaya, juragan besar, atau pejabat. Sekarang berbeda, sudah tidak ada batasan, umumnya dimiliki para pehobi.

Menurut Agus, masyarakat Cianjur telah mengenal dan memelihara ayam pelung sejak tahun 1850. Secara turun-temurun, mereka memelihara dan membudidayakannya. “Ayam jenis ini dikatakan plasma nuftah Cianjur karena hanya ada di Cianjur. Sekitar tahun 1700 dipelihara oleh H. Zarkasih. Setelah itu, baru berkembang, dan dipelihara masyarakat umum,” katanya.

Asal usulnya, cerita di masyarakat ada dua versi. Ada yang menyebutkan ayam pelung berasal dari Kecamatan Warungkondang, mulai dipelihara dan dikembangkan sekitar tahun 1850 oleh bangsawan dan ulama.

Pertama kali ayam jenis itu dikembangkan seorang K.H. Zarkasih dikenal dengan panggilan Mama Acih, tinggal di Desa Buni Kasih, Warungkondang. Konon, penemuan ayam pelung dari mimpi, bertemu Eyang Suryakancana yang dalam sejarah Cianjur merupakan putra sulung Bupati Cianjur pertama, Wiratanu Datar yang disebut Dalem Cikundul.

Dalam mimpi, eyang menyuruh Mama Acih mengambil sepasang anak ayam di belakang rumah. Ternyata mimpi jadi kenyataan. Keesokan harinya Mama Acih menemukan sepasang anak ayam yang badannya tinggi besar dan bulunya jarang (terondol).

Tidak jelas dari mana induk sepasang ayam itu, tetapi setelah diperlihara memiliki banyak keistimewaan. Suara kokoknya enak didengar, besar, panjang, dan berirama. Banyak orang kagum terhadap kemerduan suara, dan menyebutnya ayam pelung.

Versi lain menyebutkan sekitar tahun 1940, H. Kosim, penduduk Desa Jambudipa, Warungkondang bertemu gurunya, Mama Ajengan Gudang. Di rumah gurunya, ia melihat seekor ayam betina yang berbeda dengan ayam lainnya. Bentuk badan ayam itu besar, tinggi, dan terondol. Saat itu, dia minta kepada Mama Ajengan Gudang bisa membeli sepasang ayam tersebut. Setelah dewasa, ayam ternyata kokoknya merdu. Lalu ayam tersebut dikembangbiakkan sehingga dikenal dengan nama ayam pelung.

Terlepas benar atau tidaknya sejarah itu, yang terpenting ayam pelung sekarang ada dan banyak digemari. Ayam pelung dipelihara lebih dari sebagai ayam hias untuk didengar suaranya saja. Karena kekhasan itu, ayam pelung kemudian dipatenkan sebagai maskot bagi Cianjur.(Yusuf Adji/”PR”)*** Sumber Pikiran Rakyat

Sumber : http://rivafauziah.wordpress.com