Tampilkan postingan dengan label Taman Nasional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Taman Nasional. Tampilkan semua postingan

Kebun Raya "Eka Karya" Bali, Konservasi Dan Budaya Dalam Harmoni


Oleh : I Dewa Putu Darma
UPT. Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” LIPI Tabanan Bali 82191.

ABSTRACT
Botanical garden “ Eka Karya” Bali was established in 1959 as conservation institute which is part of LIPI Bogor Botanic Garden it is located at Candikuning village, Baturiti, Tabanan in 1250 – 1450 m high from sea-level. Its selfdevelopment as harmony conservation institute with its culture can collect many plants used in Hindus religion ceremony in Bali called Panca Yadnya park and the plants used for medicine is called usada park. The building was made according to Bali architecture styles which is full of philosophy value in conservation education. Key words; Botanic garden, conservation, culture.

Pendahuluan
Kompotensi inti kebun raya dikembangkan sesuai dengan karakteristik ekologi masing-masing kebun raya, yaitu Kebun Raya Bogor untuk tumbuhan dataran rendah basah, Kebun Raya Cibodas untuk tumbuhan pegunungan khususnya Kawasan Barat Indonesia, Kebun Raya Purwodadi untuk tumbuhan dataran rendah kering khususnya Kawasan Timur Indonesia dan Kebun Raya”Eka Karya“ Bali untuk tumbuhan pegunungan khususnya Kawasan Timur Indonesia (Sari dkk 2005).

Masyarakat Bali mempunyai budaya yang unik dan beragam didasari konsep Trihita Karana. Konsep Tri Hita Karana adalah suatu konsepsi yang mengintegrasikan secara selaras tiga komponen penyebab kesejahteraan dan kebahagian hidup. Ketiga komponen tersebut yaitu: Hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Suku Bangsa Bali merupakan salah satu suku dari berbagai suku yang berdiam di Indonesia. Suku ini merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaan. Baik kebudayaan daerah Bali maupun kebudayaan Nasional Indonesia.

Rasa kesadaran akan kesatuan kebudayaan masyarakat Bali diperkuat oleh adanya kesatuan bahasa dan kesatuan agama Hindu. Bahasa Bali memiliki tradisi sastra, tulisan dan lisan, serta didukung oleh sistem aksara tersendiri (Purnomohadi,1993). Usaha dalam pendidikan konservasi masyarakat dibuat menjadi sadar akan kepentingan untuk melestarikan warisan tumbuhan lokal, bekerja secara aktif dalam pelestariannya, dan dibuat merasakan keuntungan-keuntungan konservasi sepanjang waktu. Bekerja secara lokal dan berpikir secara global (J.E Hernandez Bormejo dalam Mursidawati, S. dkk, 1998). Gerakan lingkungan hidup dunia juga mendapat dukungan yang sangat kuat dari para ahli filsafat dan agamawan, yang mengendaki tidak sekedar reformasi, Mereka menghendaki diterapkannya filosofi ekologi baru yang menggunakan pendekatan ekologi, filosofi dan spritual (Alikondran, 2004).

Selanjutnya Wittmann, 1997, menyebutkan alasan-lasan perlindungan lingkungan adalah, (1) Alasan perlindungan karena kepentingan manusia seperti, perlindungan alam untuk kepentingan penggunaan alam jangka panjang, lingkungan sebagai media hiburan, perlindungan alam sebagai kewajiban solidaritas terhadap dunia ketiga dan perlindungan alam kerena tanggung jawab terhadap generasi yang akan datang. (2) Alasan-alasan dari perlindungan alam melalui peninjauan alam sebagai dirinya seperti; hak pribadi alam dari sisi ekologi dan evolusi, hak pribadi alam melalui penerapan tabu dan (3) Alasan dari upaya yang bersifat ekologis dari titik pandang ajaran agama.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi pada pengelolaan kebun raya yang berbasis pada budaya dan sebagai tempat pendidikan konservasi yang inovatif. Sudah seharusnya keripafan lokal perlu mendapat perhatian dalam pembangunan.

Kebun Raya "Eka Karya" Bali
Sejarah Kebun Raya “Eka Karya” Bali, pada awal tahun 1958 para pejabat yang berwenang di Bali telah menawarkan kepada Lembaga Pusat Penyelidikan Alam, Departemen Pertanian yang kini bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi di dalam lingkungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI), untuk mempertimbangkan pendirian sebuah kebun Botani di Bali. Berdasarkan penawaran tersebut direktur Lembaga Pusat Penyelidik Alam Prof. Ir. Kusnoto Setyodiwirjo disertai Kepala Kebun Raya Bogor, Kepala Penelitian Laut, Direktur Akademi Pertanian dan beberapa mahasiswa Akademi Pertanian mengadakan peninjauan ke Bali.

Hasil penijauan dengan beberapa pertimbangan dari sudut lokasi, potensi dan tujuan adalah 1) Sebagai tempat pengumpulan jenis-jenis tumbuhan Gymnospermae yang ada diseluruh dunia antara lai cemara pandak(Podokcarpus imbricatus); 2) Tempat pengumpulan jenis-jenis tumbuhan dari seluruh Bali dan Nusa tenggara yang tumbuh di dataran tinggi yang beriklim basah ; dan 3) Tempat rekreasi dan kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan (Hendarti, 1997) Keinginan tersebut terwujud dengan disetujuinya pemakaian 50 ha lahan hutan reboisasi yang terletak di bagian timur Bukit Tapak. Kebun Raya ini diresmikan pada tanggal 15 juli 1959 dan oleh I Made Taman diberi nama Kebun Raya”Eka Karya”. Sejalan dengan perkembanganya pada tanggal 30 April 1976 diresmikan perluasan Kebun Raya ”Eka Karya” menjadi 129,20 Ha oleh Ketua LIPI.

Setelah dilakukan pengukuran ulang pada tahun 1993 luasnya 154,50 Ha, berupa kawasan hutan reboisasi Bukit Tapak pada ketinggian 1250 - 1450 m dpl, dengan status pengeloaan “pinjam pakai” dari Departemen Kehutanan (Anonim, 1999). Kini kebun raya “Eka Karya” Bali mempunyai tugas pokok yaitu melaksanakan inventarisasi, eksplorasi, koleksi, pemeliharaan, re-introkduksi, pengembangan, pendataan, pendokumentasian, pelayanan jasa ilmiah, pemasyarakatan ilmu pengetahuan di bidang konservasi dan introduksi tumbuhan dataran tinggi kering yang mempunyai nilai ekonomi untuk dikoleksi dalam bentuk kebun botani(SK Kepala LIPI No.1019/M/2002). Untuk melaksanakan tugas tersebut di atas Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya”Eka Karya” Bali –LIPI mempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Melakukan inventarisasi berbagai jenis tumbuhan tropika yang berhabitat di dataran tinggi kering.

2. Membantu melaksanakan eksplorasi jenis-jenis tumbuhan tropika yang berhabitat di dataran tinggi kering.

3. Melakukan konservasi terhadap tumbuhan tropika yang berhabitat di dataran tinggi kering yang mempunyai nilai ilmu pengetahuan dan potensi ekonomi dalam rangka melestarikan sumberdaya nabati di bumi Indonesia.

4. Melakukan penelitian tumbuhan terutama dalam bidang biosistematik, propagasi, re-introkduksi, ekologi dan konservasi.

5. Melakukan jasa ilmiah di bidang arsitektur lansekap pertamanan, ragam tanaman hias(florikultura) introduksi daya guna flora yang berhabitat di dataran tinggi kering dan pelayanan jasa untuk menumbuhkan apresiasi masyarakat terhadap alam lingkungan tropika.

6. Melakukan kerjasama dibidang kebun raya tingkat Nasional dan Internasional.

7. Melakukan evaluasi hasil inventarisasi flora yang berhabitat di dataran tinggi kering serta menyusun laporan.

8. Melakukan urusan tata usaha.

Mengacu tugas pokok dan fungsi serta visi dan misi Pusat Konservasi TumbuhanKebun Raya Bogor LIPI sebagai instansi vertikal, maka kebun raya “Eka Karya” Bali menetapkan visi dan misinya sebagai berikut:

Visi
Menjadi kebun raya terbaik kelas dunia yang menjadi referensi nasional maupun internasional dalam bidang konservasi ex-situ tumbuhan pegunungan tropika dan pelayanan dalam aspek botani, pendidikan lingkungan, hortikultura, lansekap dan pariwisata.

Misi
Melestarikan, mendayagunakan dan mengembangkan potensi tumbuhan khususnya yang berasal dari Kawasan Timur Indonesia, melalui kegiatan konservasi, penelitian, pendidikan serta peningkatan apresiasi masyarakat terhadap kebun raya, tumbuhan dan lingkungan dalam upaya pemanfaatan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat.

Tanaman Koleksi
Tanaman koleksi lengkap dengan datanya menjadikan tugas inti sebuah kebun raya. Penanaman dan penataan tanaman koleksi di Kebun Raya “Eka Karya” Bali pada dasarnya dikelompokkan menjadi 2 yaitu koleksi umum dan koleksi tematik.

Koleksi umum adalah tanaman koleksi yang ditanam di petak-petak atas dasar kekerabatan (pengelompokan suku). Koleksi tematik adalah tanaman koleksi yang ditanam secara khusus dengan tema tertentu dikelompokan atas dasar manfaat, habitat dan kekerabatan. Koleksi tematik di Kebun Raya “Eka karya” Bali yaitu Taman Aquatik,Taman Kaktus dan sukulen, Taman Anggrek,Taman Cyathea, Taman Begonia , Taman Usada dan Taman Panca Yadnya. Koleksi tematik tersebut yang yang berbasis pada budaya yaitu :

Koleksi Tanaman obat
Koleksi tanaman obat di berinama Taman Usada yang diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti pengobatan. Taman usada berarti taman pengobatan, digunakan untuk mengkonservasi tumbuhan obat yang tercantum dalam lontar usada, seluas 2 Ha. dengan jumlah koleksi 231 jenis (Registrasi, Nopember 2007).

Koleksi tanaman yang digunakan dalam upacara Agama Hindu di Bali Koleksi ini diberi nama Taman Panca Yadnya yang berpungsi sebagai tempat mengkoleksi jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam upacara yadnya(Panca Yadnya). Pendirian taman ini didasari atas kebutuhan tanaman sebagai sarana upacara yadnya semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Jenis tumbuhan yang digunakan dalam upacara sebanyak 333 jenis (Dharmawan, 2002) dan selanjutnya Mustaid dkk 2003 mecatat 462 jenis dan baru terkoleksi sebanyak 161 jenis(Registrasi, Nopember 2007). Dari 462 jenis tersebut sebanyak 65 jenis (14,1%) sudah termasuk langka atau dilindungi.

Taman Panca Yadnya ditata berdasarkan atas konsep tataruang Tri Madala yaitu utama mandala, madia mandala dan nista mandala. Pada utama mandala dibuat bangunan berbentuk bajra/genta tempat dokumen kearifan lokal dan upacara yang sarat dengan pendidikan konservasi, pada madia mandala akan dibuat bangunan berbentuk pelataran sebagai tempat atraksi seni dan budaya sedangkan pada bagian nista mandala di gunakan untuk mengkonservasi tumbuhan yang digunakan dalam Upacara Agama Hindu di Bali.

Sarana Fisik
Kebun Raya “Eka Karya” Bali dalam upaya pengembangan sarana fisik yang berbasis pada budaya. Yang sarat dengan pendidikan konservasi antara lain Gerbang utama masuk Kebun Raya”Eka Karya” Bali dibuat dalam bentuk candi bentar yang biasa terdapat pada bangunan pura atau rumah penting di Bali. Secara harfiah candi bentar adalah candi yang terbelah. Pada bagian belahannya tersebut digunakan lorong untuk pintu masuk. Ukiran yang terdapat pada candi bentar memperliahatkan flora dan fauna yang didasari atas konsep Tri loka (Bur, Buah dan
Swah) yaitu (1) Pada bagian dasar candibentar dibuat ukiran yang bermotif lumut;(2) Pada bagian pertengahan candibentar dibuat ukiran bermotif tumbuhan tinggi dan binatang seperti gajah, singa dan kera; (3) pada bagian atas candibentar dibuat ukiran yang bermotif tumbuhan epifit(simbar) dan burung.

Parkir utama Kebun Raya” Eka Karya” Bali dibuat dua gerbang yang berlandasan konsep lingga dan yoni ( lanang dan wadon). Gerbang masuk parkir utama disebut candi wadon (perempuan) dan keluar candi lanang (laki). Gerbang juga dibuat pada tanaman koleksi tematik seperti Taman Cyathea (koleksi tanaman Paku) , Taman Usada dan Taman Anggrek.

Tembok di depan parkir utama dibuat dengan ukiran atau releap yang bertema carita Ni Diah Tanri. Tantri Carita termasuk dalam kelompok cerita Panca Tantra yang berasal dari India, tersebar bukan saja di Indonesia juga di negaranegara lain seperti di India Belakang. Di Bali cerita ini sudah merakyat karena sifatnya yang didaktis penuh berisi pendidikan moral dengan gaya cerita berbingkai (Warna, dkk. 1986)

Musium etnobotani Kebun Raya” Eka Karya”Bali dibagun dalam bentuk rumah adat Bali, dengan pembagian ruang berlandasan pada konsep Tri mandala (utama mandala, madia mandala dan nista mandala). Pada Utama mandala(Pemerajan) ditanami jenis tanaman bunga yang berubungan dengan upacara adat, Madia mandala(natah) ditanami dengan jenis tanaman yang berubungan obat, bumbu dan upacara. Sedangkan pada Nista mandala(tebe) ditanam jenis tanaman yang berbentuk pohon besar yang dapat menunjang kegiatan sehari-hari. Penataan bangunan pada utama mandala dibangun tempat suci berupa Padmasana. Pada madia mandala di bangun berupa rumah yaitu Balai dangin, Balai daje, Balai dauh, Balai tengah, Puwaregan, Jineng, Balai Aling-aling dan Balai begong. Sedang pada nista mandala di bangun Beji dan Wc. Jenis barang-barang etnobotani yang dikoleksi antaralain, alat pertanian(anggapan,bajak,lampit dll), penangkap ikan(bubu,seser dll), alat dapur ( sindok, sepit, cedok dll.), perlengkapan upacara adat( tamas, pancak, dulang dll), alat kesenian (suling, gerantang dll) (Hendarti.1997)

Boulevard Ramayana adalah jalan dari pintu gerbang utama menuju kantor dibuat dua jalur dijadikan sebuah boulevard di tata sebagai taman bunga dengan elmen keras patung yang menceritakan kisahnya Ramayana yaitu : (1)Rama dan Sinta, (2) Rama mengejar kijang mas, (3) Sinta diculik Rahwana, (4) Jetayu melawan Rahwana ( Sudah ada), (5) Jatayu sayapnya patah, (6) Anoman duta, (7) Kumbakarna laga(sudah ada), (8) Rawana gugur dan (9) Sita alabuh geni.
Epos Ramayana sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Bali. Orang Bali menyebutnya Rama adalah lambang Bapak/akasa/atmosfir. Sedangkan Sinta adalah ibu pertiwi atau bumi. Rama dan sinta merupakan pelambang kearmonisan bumi dengan atmosfir. Disamping itu Rama dipercayai sebagai awatara Wisnu sebagai penyelamat bumi. Banyak lagi filospis didalamya yang dapat diteladani dalam kehidupan.

Selain 9 patung tersebut di atas di depan pakir utama dibuat patung Tri Murti. Patung ini melambangkan ke Esaan Tuhan atas fungsinya. Masyarakat meyakini Tuhan Hanya Satu yaitu Ida Sanghyang Widi yang sifatNya Maha adalah besar dan Esa satu tapi ada dimana. Dalam menjalan fungsiNya disebut Tri Murti yaitu, Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Siwa sebagai pelebur. Brama sebagai Dewa pencipta memiliki Dewi Saraswati sebagai ilmu pengetahuan, Wisnu sebagai Dewa pemelihara memiliki Dewi Laksmi sebagai Dewi
keindahan/kelebutan dan Dewi Sri sebagai Dewi kemakmuran. Sedangkan Siwa memiliki Dewi Durga sebagai pelebur

Simpul dan Saran
Simpulan
Budaya dapat memberikan kerakter dari masing-masing daerah. Budaya juga merupakan komponen yang strategis sebagai landasan pembangunan. Dengan mengangkat nilai budaya dalam pembangunan adalah salah satu bentuk penghormatan kepada masyarakat lokal. Hal ini merupakan sebuah sepirit dan dapat memberikan karakter yang berbeda pada masing-masing kebun raya di daerah.

Saran
Perlu di gali budaya atau kearifan lokal yang sarat dengan pendidikan konservasi.

Daftar Pustaka
Anonim ,1999. Rencana Induk Pengembangan, Kebun Raya ”Eka Karya’ Bali –LIPI.

Alikondra. Hade, S. 2004. Agenda Lingkungan, Kepeloporan Legeslatif, Tropika, Hidup Harmonis Dengan Alam Indonesia h. 12

Sofy Mursidawati, dkk, 1998. Strategi Konservasi Kebun Raya, Kebun Raya Bogor-LIPI.

Mustaid, S. K. E. Undarta, W. Sumatera, D. Mudiana, D.P. Darma D. M. S. Putri, dan G.W. Setiadi, 2003. Konservasi Tumbuhan Upacara Agama Hindu Di Kebun Raya “ Eka Karya” Bali Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan.

Upacara Agama Hindu, UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI, Universitas Udayana dan Mahasarawati Denpasar Bali.

Sari, R. Sutrisno, Hendrian, D. M. Puspitaningtyas, Darwandi, R.S. Hidayat, Yuzammi, dan Suendar, 2005. Menanam Masa Depan PKT- Kebun Raya Bogor – LIPI

Warna, W. I. B.G. Murdha, I.B. Maka, I.B. Sunu, dan M. Lodmanata, 1986. Tantri.

Carita (Nandhaka Harana), Teks dan Terjemahan dalam Bahasa Bali, DinasPendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Purnomohadi, N.1993. Technical Excursion, The 5 Th IFLA, Bali Indonesia.

Hendarti L. dan E.Nugraha, 1997, Manual Untuk fasilitator, Program REPLING di Kebun Raya Bali. RMI, the Indonesia Inssitute forest & Environment, Bogor, Indonesia.

Wittmann, H. 1997. Materi Pendidikan Lingkungan Hidup, Hanns- Seidel – Foundatian.

Dharmawan, N S. 2002. Taman Gumi Banten. Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPM). Universitas Udayana, Denpasar.

Sumber : http://ejournal.unud.ac.id
Foto : http://alamendah.files.wordpress.com

Kaliklatak


Kaliklatak bukanlah nama sebuah kali atau sungai. Dia adalah nama sebuah perkebunan yang terletak di paling ujung timur Jawadwipa, alias Pulau Jawa. Perkebunan ini tepatnya terletak di Banyuwangi yang memperoleh kelimpahan rahmat Tuhan Yang Maha Esa dalam lingkungan alam dan bumi yang subur, indah, dan mempesona.

Perkebunan Kaliklatak terletak kurang lebih 15 km dari kota pelabuhan penyeberangan ferry Ketapang-Gilimanuk, menuju ke arah pedalaman. Dengan kendaraan umum atau mobil dari kota Banyuwangi, pengunjung dapat menelusuri jalan pedesaan pegunungan ke Perkebunan Kaliklatak.

Perkebunan Kaliklatak seluas 1013 hektar terletak di ketinggian 450 meter di atas permukaan laut. Di bagian yang tertinggi sekitar 850 m dpl yakni Hargosonyo, pengunjung dapat melihat pemandangan kota Banyuwangi, Selat Bali, Semenanjung Blambangan, dan Pulau Bali. Hawa di situ terasa nyaman di tengah rasa damai yang menyelimuti tanah pegunungan dengan panorama indah, berlatar belakang Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Ranti di Jawa Timur.
Perkebunan Kaliklatak mulanya milik perusahaan Belanda Mij. Moorman & Co. dengan pimpinan Administratur seorang Belanda. Pada tahun 1957 setelah diadakan perundingan dan perjanjian, kebun ini berpindah tangan ke R. Soehoed Prawiroatmodjo, seorang pengusaha pribumi yang memulai karirnya dari bawah.

Pada mulanya perkebunan ini ditanami kopi, karet, dan setelah itu kakao. Di tangan Bapak R. SOehoed Prawiroatmodjo, Kaliklatak dikembangkan dengan penambahan berbagai jenis tanaman ekonomis seperti lada, cengkeh, pala, vanili, kayu manis, keningar, kayu putih, kelapa, serta buah-buahan dari berbagai jenis seperti pisang, jeruk, dan kelengkeng.

Di tahun 1986, Perkebunan Kaliklatak sudah tumbuh pesat. Di bawah arahan 10 orang pimpinan, bekerja 70 karyawan bulanan dan 600 pekerja harian tetap. Di awal milenium III, struktur usaha perkebunan kini terdiri dari 8 bagian (afdeling), yaitu 3 afdeling kopi, 1 afdeling karet, 1 afdeling kakao, 1 afdeling hortikultura, 1 afdeling cengkeh, dan 1 afdeling pabrik. Dengan sistem pendekatan, kepedulian, pertemuan berkala bulanan, pimpinan afdeling duduk bersama karyawan untuk melakukan konsultasi pemecahan yang mengacu pada problem solving.

Sebagai fasilitas fisik, tersedia perumahan untuk karyawan, taman kanak-kanak, sekolah, gedung kesenian dan oleharga, tempat ibadah (mesjid dan gereja), dan pasar. Gedung kesenian dan olahraga dimanfaatkan untuk latihan menari, karawitan, senam, dan olahraga yang masing-masing digiatkan untuk menjaga kesehatan dan kebugaran fisik serta pemantapan budi pekerti.

R. Soehoed Prawiroatmodjo memiliki pandangan yang sangat jauh ke depan. Baginya, sejarah kehidupan manusia merupakan elemen peradaban manusia sendiri dari jaman ke jaman. Untuk itu beliau membangun gapura yang disebut Candi Catur Purwaning Dumadi dengan pagar sejarah dengan hiasan 36 relief yang menggambarkan sejarah manusia dari jaman purba, masa kini, sampai masa depan. Ini merupakan pesan kepada generasi muda agar jangan melupakan sejarah, selalu bersikap profesional apapun pilihan pekerjaannya, dan memperkenalkan kepada dunia internasional bahwa bangsa Indonesia cinta damai dan memahami hakekat hidup sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa.

Sebagai tanda syukur kepada karunia Tuhan berupa bumi, hutan dan perkebunan, setiap tanggal 17 April segenap keluarga perkebunan Kaliklatak mengadakan upacara sedekah bumi disertai doa Wanakretih.

Kecintaan Prawiroatmodjo kepada tanaman serta ketekunannya telah membawa perkembangan di perkebunan Kaliklatak. Setelah beliau berpulang pada tahun 1982, Kaliklatak dikelola oleh Irma Mieke Soehoed Prawiroatmodjo yang juga telah teruji dalam mendampingi suami mengembangkan Kaliklatak.

Sumber :http://www.wisatanesia.com
Foto : http://mw2.google.com

Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Banyuwangi


Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) terletak di pantai selatan Jawa Timur yaitu masuk dalam dua kabupaten yakni Jember dan ujung timurnya di Banyuwangi dengan luas mencapai 50.000 hektare. Namanya diambil dari gunung tertinggi yang terdapat di dalamnya Gunung (meru) Betiri (1.223 m). Selain dapat melihat lima jenis penyu yang kerap menyambangi pantai ini, di sana juga masih ada harimau Jawa (kabarnya). Selain itu juga bisa disaksikan banteng, macan tutul, kijang, dan berbagai jenis monyet. Dari jenis burung terdapat burung merak, berbagai elang dan rangkong. Selain itu, flora di sini mencakup Rafflesia zollingeriona dan Balanphora fungosa. Pemandangan indah dengan pantai menawan bisa dilakukan di Teluk Hijau. Bagi yang tidak puas dengan petualangan menyaksikan penyu bertelur dapat melakukan kegiatan lain, diantaranya. menjelajah hutan di seputar Bandealit dan Gunung Gendong. Juga bisa panjat tebing dan meniti tali turun tebing di tebing pantai Bandealit.

Kawasan ini dilestarikan dalam bentuk kawasan lindung sejak 1972. Hingga tahun 1979 telur penyu di Sukamade masih diburu oleh para pengumpulnya. Namun, sekarang pengumpulan, pemindahan anakan, dan penangkapan penyu dilarang keras, karena Penyu hijau termasuk satwa yang dilindungi. Menurut laporan penelitian WWF (World Wide Fund for Nature), Penyu hijau yang paling umum bersarang di Sukamade. Dan dari data kadang ada ada beberapa jenis yang absen bertelur selama beberapa tahun, namun kemudian kembali lagi.

Penyu akan menghindar pantai jika saat ia hendak mendarat untuk bertelur terdapat sorotan lampu. Ini sebabnya mengapa ditetapkan jarak yang jauh untuk mendekati pantai Sukamade yaitu dengan cara berjalan kaki. Bagi pemilik mobil jenis sedan, sebaiknya tidak usah melakukan penjelajahan di rimba Meru Betiri hingga Pantai Sukamade, karena setelah masuk pintu pos Meru Betiri, jalan tak lagi beraspal. Bukan lagi jalan makadam, tapi jalan penuh bebatuan runcing. Bahkan, untuk sampai ke Pantai Sukamade, mobil wisatawan akan melewati lima anak sungai yang airnya setinggi lutut orang dewasa, belum lagi kalau musim hujan bisa sampai setinggi mobil jeep.

Medan berat menuju ke lokasi Sukamade bisa dilalaui mobil jeep. Karena penuh petualangan, pemilik jeep sewaan membuka seluruh kap, dan menggantinya dengan atap terpal. Jadilah, wisata ke Teluk Hijau dan Pantai Sukamade sebagai wisata penuh tantangan.
Untuk akses menuju SUKAMADE dapat melalui kota Banyuwangi. Jarak antara Banyuwangi ke Sukamade sekitar 98 kilometer. Atau bisa baca di Cara Pencapaian Lokasi MeruBetiri.

Beberapa objek wisata yang sering di kunjungi antara lain ;
1. Gunung Sodung ; Turun tebing merupakan kegiatan yang disenangi oleh pencinta Alam. Bukit karang kecil setinggi 100 m yang sering dipakai oleh mereka dalam kegiatan olah raga petualangan itu, disebut Gunung Sodung. Di Puncak bukitnya terdapat menara yang dimanfaatkan untuk mengamati pemandangan disekelilingnya.

2. Goa Jepang ; Goa Jepang ini terletak di ketinggian 200 m. Didepan goa terdapat tumpukan batu yang merupakan benteng perlindungan tentara Jepang bila ada perlawanan dari musuh yang akan berlabuh di pantai Bandealit.

3. Muara Timur ; kegiatan yang dapat dilakukan di muara timur seperti berkano menelusuri muara, berenang, belajar selancar angin, dan belajar berlayar.

4. Teluk Meru ; Teluk Meru dapat dicapai dari Bandealit. Ditempat ini wisatawan dapat mengamati burung, memancing dan melihat sunset. Pemandangan pantai yang indah menjadi andalan lokasi ini dan kondisi alamnya yang belum tercemar menciptakan pemandangan mempesona. yang menarik. Aktivitas yang dapat dilakukan pengunjung antara lain : berkemah, memancing, berjemur, dan berenang.

5. Agrowisata ; Di dalam kawasan taman nasional terdapat perkebunan PT. Bandealit yang diantaranya menanam tanaman hortikultura seperti sirsak, durian, jeruk, rambutan. Komoditi ini dapat dijadikan obyek wisata-agro yang sangat menarik.

Rajegwesi ; Rajegwesi merupakan pintu gerbang masuk kawasan Taman Nasional Meru Betiri di Bagian Timur (Kabupaten Banyuwangi). Pantai Rajegwesi merupakan objek wisata pertama yang dapat dijumpai. Pantai yang berombak relatif kecil jika dibandingkan dengan pantai selatan lainnya ini, dipergunakan masyarakat sekitar kawasan untuk tempat pelabuhan kapal-kapal nelayan penangkap ikan dan sekaligus sebagai tempat pelelangan ikan.

Banyak kegiatan yang dapat dilakukan dipantai ini seperti memancing, berenang, berperahu, menyaksikan nelayan tradisional mancari ikan dan menjualnya pada tengkulak di Tempat Pelelangan ikan.

Fasilitas yang ada di pantai rajegwesi adalah Pos tiket masuk kawasan dan Informasiton centre.

Teluk Damai dan Teluk Hijau ; Sesuai dengan namanya air laut disini tidak berwarna biru seperti layaknya air laut tetapi berwarna hijau. Aktivitas yang dapat dilakukan di Teluk Hijau diantaranya yaitu berenang, memancing, dan menikmati keindahan pasir putih. Di dekat lokasi ini terapat Goa Jepang dan didepan Goa disediakan tempat parkir kendaraan .

Di sekitar Teluk Hijau dapat dijumpai pohon Aren. Buahnya bulat beruntai (bergerombol) dan dikenal dengan nama kolang-kaling. Ijuknya biasa dipakai untuk bahan pembuat sapu dan sikat lantai.

Pantai Sukamade ; Pantai Sukamade merupakan salah satu obyek wisata yang terdapat di zona pemanfaatan intensif taman nasional. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah pengamatan penyu bertelur, pelepasan tukik, pengamatan burung, pengamatan rafflesia, dan berkemah.

Penyu yang biasa mendarat dan bertelur di pantai Sukamade ada 4 jenis dari 6 jenis penyu yang ada di Indonesia, yaitu Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu Slengkrah (Lepidochelys olivaceae), dan Penyu Belimbing (Dermochelys coriaceae). Diantara penyu-penyu tersebut yang paling sering mendarat adalah penyu hijau.

Fasilitas yang terdapat di lokasi ini antara lain: Pondok Wisata, Camping Ground yang dilengkapi dengan pendopo untuk ruang pertemuan, Shelter, jalan trail wisata, information centre, laboratorium dan pondok kerja.

Obyek wisata lain yang ada di pantai sukamade adalah Hutan mangrove yang terletak di muara timur pantai Sukamade. Sungainya dapat dipakai untuk berkano sambil melakukan pengamatan burung. Burung-burung tersebut diantaranya burung Roko-Roko, Elang laut, Dara Laut dan masih banyak lagi burung burung yang dapat diamati. Pengamatan burung tersebut biasanya dilakukan sambil menunggu matahari terbenam.

Teluk Permisan ; Sukamade-Permisan merupakan jalur traking yang dapat ditempuh dalam waktu 4-5 jam. Berjalan kaki di jalan setapak ini dapat dilakukan sambil menikmati keindahan flora dan fauna yang terdapat disepanjang jalan. Pantai Permisan merupakan tempat istirahat para Pencinta Alam yang melakukan kegiatan Traking/ Lintas Meru Betiri dari Jember (Bandealit) Ke Banyuwangi (Pantai Sukamade). Aktifitas yang dilakukan : berkemah, memancing, dan pengamatan burung.

Demplot Agroforestry (7 Ha); Desa Andongrejo dan Curahnongko merupakan desa-desa yang berbatasan dengan kawasan TN Meru Betiri. Di dua desa ini terdapat kelompok TOGA yang mengolah tumbuhan obat menjadi produk jamu tradisional. Pemasaran produk jamu ini sudah merambah ke luar Jember. Di Desa Andongrejo (zona rehabilitasi) terdapat demplot agroforestry seluas 7 Ha dengan tanaman pakem, kedawung, kemiri, trembesi dan lain-lain. Demplot tersebut dibangun oleh kelompok binaan Konsorsium FAHUTAN IPB-LATIN.

Habitat Rafflesia ; Di tengah perjalanan dari pintu gerbang Andongrejo ke Bandealit terdapat habitat rafflesia (Rafflesia zolingeriana Kds.), tepatnya di Blok Krecek sekitar 8 km dari Pos Andongrejo. Lokasi ini mudah dicapai karena terletak di tepi jalan. Di lokasi ini pada waktu tertentu dapat dilakukan pengamatan proses mekarnya bunga rafflesia. Umumnya bunga rafflesia mekar sepanjang tahun dengan masa mekar selama 7 hari

Jungle track/ Tran Bandealit - Sukamade ;
Trans Bandealit-Sukamade merupakan track favorit kelompok pecinta alam untuk menjelajahi hutan hujan tropis dataran rendah. Panjang track kurang lebih 18 km dan biasa di tempuh berjalan kaki selama 3 hari dengan rute Bandealit - meru- permisan dan sukamade.

Peluang usaha yang dapat dikembangkan oleh masyarakat antara lain : pemandu wisata, kerajinan (souvenir), jasa wisata lainnya, usaha perdagangan, penyewaan sarana wisata bahari, penginapan, camping ground, cafetaria, dan lain-lain.

Cara mencapai lokasi
Menuju kawasan Taman Nasional Meru Betiri i dapat dicapai melalui 4 jalur jalan darat baik dari Jember maupun dari Banyuwangi yaitu :

1. Jalur Jember-Ambulu-Curahnongko-Bandealit (Pintu Gerbang ke Meru Betiri bagian Barat) sepanjang 64 km dapat ditempuh dalam waktu sekitar 1,5-2 jam dengan kendaraan roda dua maupun roda empat.

2. Jalur Jember-Glenmor-Sarongan-Sukamade (Pintu Gerbang ke Meru Betiri bagian Timur) sepanjang 103 km dapat ditempuh dalam waktu 3,5-4 jam dengan kendaraan roda dua maupun roda empat.

3. Jalur Jember-Genteng-Jajag-Pesanggaran-Saro-ngan-Sukamade se-panjang 109 km dapat ditempuh dalam waktu 3,5 - 4 jam dengan kendaraan roda dua maupun roda empat.

4. Jalur Banyuwangi-Jajag-Pesanggaran-Sarongan-Sukamade sepanjang 137 Km dapat ditempuh dalam waktu 5 jam dengan kendaraan bermotor.

Sumber : http://wisatasukamade.blogspot.com
Foto : http://demibumi.files.wordpress.com

Mencari Burung-burung Eksotik di Utara Minahasa

Oleh: Anton Gunawan

Belantara Tangkoko tak cuma menyimpan satwa eksotik nan unik, seperti tarsius (Tarsius spectrum) dan monyet yaki (Macaca nigra), tetapi juga dihuni beragam jenis burung indah. Beberapa jenis diantaranya, hanya bisa ditemui di wilayah Sulawesi. Selamat datang di surga burung Minahasa bagian utara.

Tempat ini memang jadi salah satu incaran turis asing yang punya hobi birdwatching, ujar David Kasegeran membuka obrolan. Para turis itu tak segan mengeluarkan bujet khusus untuk bisa mengamati burung di Tangkoko. Lantaran sering dikunjungi, para turis tak kesulitan mendapatkan pemandu berkualitas. Kabarnya, bila berhasil meneropong dan mengidentifikasi jenis langka uang tips bagi si pemandu bisa berlipat-lipat.

David berkata seperti itu karena sebelumnya, Sherly Ering " rekan kerja David di Wildlife Conservation Society " menjelaskan keinginan saya mengamati burung di kawasan yang punya nama resmi Cagar Alam Tangkoko-Duasudara. Kawasan lindung yang ini ada di ujung timur laut semenanjung utara kotamadya Bitung, Sulawesi Utara. Dari kota Manado, akses masuknya cukup mudah, meski perlu beberapa kali ganti angkutan umum lalu disambung jalan kaki ke stasiun riset milik WCS.

Kawasan lindung Tangkoko luasnya sekitar 3.196 km2. Letaknya yang gampang dicapai dari kota Manado membuat Tangkoko sering jadi agenda utama para pengamat burung dunia. Terutama, bagi mereka yang cuma punya waktu sedikit untuk bertualang di Sulawesi Utara.

Kalau mau mengintip burung, kita harus bangun pagi-pagi. Kita bisa mulai dengan pengamatan rangkong lalu kita lanjutkan dengan mencari raja udang, kata Moh. Taufiq Soleman " kepala suku stasiun riset WCS di Tangkoko, mengatur kegiatan. Sherly dan Bima Wijaya mengangguk setuju. Keduanya berjanji akan menemani saya.

Menghabiskan sisa malam bukan hal yang mudah. Rasanya sulit sekali memejamkan mata, sementara pikiran terus melayang sambil menyiapkan strategi pengamatan dan pemotretan burung. Maklum, ini kali pertama kunjungan saya ke Tangkoko.

Pengamatan Dimulai
Subuh menjelang. Langit di luar masih gelap. Saya terbangun tiba-tiba. Ingat dengan tujuan awal, saya keluar kamar. Ternyata, Vicky " sapaan akrab Moh. Taufiq Soleman " sudah bersiap diri. Ia juga sedang membangunkan Sherly dan Bima.

Sejurus kemudian, kami siap masuk hutan. Komando perjalanan dipegang Vicky. Paling belakang, ada Bima Wijaya. Rencana awal, mengintip tarsius lalu dilanjutkan mencari burung-burung eksotik. Sayang, seperti pernah diceritakan di harian ini sebelumnya, berjumpa tarsius bukan hal yang mudah.

Kata Vicky dan Bima, kalau mau ketemu julang Sulawesi paling bagus di dekat pohon Ara. Burung rangkong endemik Sulawesi ini paling doyan menyantap buah ara. Begitu masuk masa bertelur, julang Sulawesi membuat sarang yang unik di pohon tinggi. Pintu lubang sarang ditutup rapat. Benar saja, di dekat pohon Ara pencekik, kami sempat mengintip julang Sulawesi jantan yang bertengger di pucuk dahan tinggi. Beberapa kali, kami juga mendengar kepakan berat sayap burung berukuran badan 104 cm di tajuk atas hutan tropis ini.

Pada jenis jantan terdapat ciri menonjol: tanduk merah tua, kepala, leher dan dada bungalan merah-karat. Sedangkan yang betina kepala dan leher hitam serta tanduk kuning lebih kecil. Di tengah jalan, Vicky dan Bima berceloteh, Dengar itu, ada Ducula aenea (pergam hijau), srigunting jambul-rambut (Dicrurus hottentottus), pelatuk, malkoha dan jalak tunggir merah. Berawal dari suara, akhirnya kami sempat melihat raga srigunting jambul-rambut dan jalak tunggir merah (Scissirostrum dubium). Untuk jenis yang terakhir, datangnya tak sendirian.

Srigunting jambul-rambut dan jalak tunggir merah termasuk burung yang paling mudah dijumpai di hutan Tangkoko. Khusus untuk Srigunting jambul-rambut, burung ini punya ciri yang mudah dikenali warnanya hitam berkilat dengan ekor bercabang panjang serta suara bergema kasar. Burung ini dapat dilihat melesat dari dahan tempat bertenggernya untuk mencaplok serangga yang lewat. Srigunting tergolong agresif, suka bertarung dan sering memburu burung jenis lain yang lebih besar di kawasan pencarian makan.

Srigunting sering terbang mengikuti kawanan Yaki, kata Vicky. Usai buka catatan, terbukti sudah omongan itu. Dalam buku Sulawesi Utara: Sebuah Panduan Sejarah Alam, Margaret F. Kinnaird menjelaskan, srigunting bersama kadalan Sulawesi (Phaenicophaeus calyorhynchus) memanfaatkan keberadaan yaki untuk mencaplok serangga yang terhalau selagi monyet itu lewat di hutan.

Sulitnya Bersua Maleo
Di Tangkoko, jangan harap bisa bertemu Maleo. Susahnya setengah mati, kata Vicky. Pemilik nama ilmiah Macrochepalon maleo ini sulit dicari lantaran sering diburu manusia, entah itu telur-telurnya yang diambil atau daging untuk dikonsumsi. Telur maleo amat digemari orang. Maklum, ukurannya yang besar membuat orang sangat doyan menyantap sebagai sumber pangan. Akibat perburuan yang menggila, maleo dimasukkan ke dalam kelompok burung Sulawesi yang paling terancam kepunahan. Para ahli biologi telah berhasil mengembangkan teknik penetasan telur maleo dan melakukan penyelamatan terhadap anak-anak burung ini. Lagi-lagi, mereka pun harus beradu cepat dengan tekanan para pemburu tadi.

Kalau mau puas lihat maleo, main saja ke Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Di sana, kamu juga bisa foto-foto lokasi peneluran maleo. Tempatnya bagus, ajak Citto tanpa bermaksud membuat penasaran.

Tangkoko merupakan tempat yang bagus untuk mengamati tingkah laku burung raja udang. Burung-burung eksotik mudah ditemui di sini karena Tangkoko adalah pusat sebaran raja udang di Sulawesi. Kelompok burung raja udang dikenal sangat identik dengan perairan, namun beberapa jenis raja udang di Tangkoko hidup dalam hutan yang jauh dari perairan.

Menurut catatan peneliti, ada sepuluh jenis burung raja-udang yang menghuni kawasan mungil Tangkoko. Lima di antaranya adalah jenis endemik Sulawesi alias tidak ditemukan di daerah lain di dunia kecuali Sulawesi. Saking uniknya, salah satu jenis yang hidup di sana yaitu raja-udang pipi-ungu (Cittura cyanotis) bukan hanya jenisnya tapi bahkan marga/genus-nya endemik di Sulawesi. Dari ukurannya, sepuluh jenis rajaudang yang ada di Tangkoko sangat bervariasi. Ada udang-merah Sulawesi alias raja-udang kerdil Sulawesi (Ceyx fallax) yang mungil. Panjang total tubuhnya dari ujung paruh sampai ujung ekor hanya 12 cm. Kalau turis bisa lihat jenis ini, dia bisa royal kasih uang tips buat pemandunya, tukas David Kasegeran yang diangguki Vicky dan Bima. Maklum, burung ini amat susah ditemui dan endemik Sulawesi.
__________
Anton Gunawan salah satu penggemar wisata nusantara bekerja di Sapta Tours & Travel (www.saptatours.com)

Sumber :http://budpar.go.id

Kearifan Lokal Masyarakat di Sekitar Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Palu, Sulawesi Tengah, dalam Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Sumber Daya Ala


Oleh Taswirul Afiyatin Widjaya, dkk.

Pendahuluan
Secara ekologis Sulawesi Tengah memiliki bentang alam yang rentan bencana banjir dan erosi. Hampir 52% wilayah Sulawesi Tengah memiliki tingkat kemiringan di atas 40%, kondisi topografi daratan didominasi pegunungan dengan kontur lipatan bumi yang rumit serta lereng-lereng yang curam. Selain itu, wilayah ini memiliki tingkat curah hujan yang tinggi mencapai 800-3000 mm pertahun (April-September), serta 22 sungai besar dan sedang yang mengalir dari lipatan bumi (Yayasan Merah Putih, 2002). Namun, di antara kondisi alam yang seperti ini, hidup masyarakat adat yang mampu beradaptasi dan menjaga kelestarian ekosistem hutan. Mereka memiliki kearifan tradisional yang konservatif terhadap lingkungan hidup. Kearifan tradisional ini dapat dilihat pada masyarakat adat Ngata Toro, masyarakat adat Mataue, dan masyarakat adat Dataran Lindu, yang tinggal di dalam atau berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Kearifan tradisional adalah pengetahuan secara turun-temurun yang dimiliki oleh masyarakat untuk mengelola lingkungan hidupnya, yaitu pengetahuan yang melahirkan perilaku sebagai hasil dari adaptasi mereka terhadap lingkungan yang mempunyai implikasi positif terhadap kelestarian lingkungan (Purnomohadi, 1985). Bagi masyarakat adat, kearifan tradisional merupakan peraturan yang harus dipatuhi dan dijunjung tinggi. Kepatuhan ini ada karena kearifan tradisional berakar kuat dalam kebudayaan mereka dan mendarah daging dalam keseharian hidup mereka.

Masyarakat lokal yang hidup seimbang berdampingan dengan alam memiliki pengetahuan yang diwariskan turun-temurun tentang bagaimana memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa merusak alam. Hal ini didukung oleh pendapat Nygrin (1999) dalam Shohibuddin “A Local Community Who Lives in Ecological Balance with Nature, is Regarded as an Environmental Expert and The Keeper of The Wisdom of an Equitable and Sustainable Traditional Resource Management System”. Berdasarkan hal itu, apakah masyarakat adat Toro, Mataue, dan Dataran Lindu memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan hutan dan pemanfaatan sumber daya alam? Bagaimanakah kearifan lokal yang ada?

Kearifan Lokal Masyarakat Toro
Toro terletak sekitar 120°1` BT - 120°3`30” BT dan 1°29`30” LS - 1°32` LS, dengan luas wilayah 229,5 km2 (22.950 ha) dan ketinggian rata-rata 800 m di atas permukaan laut (dpl). Toro berada dalam wilayah kecamatan Kulawi, Donggala, Sulawesi Tengah, Masyarakatnya dikenal sebagai komunitas yang memiliki pranata sosial dan kelembagaan adat yang sangat kuat. Struktur masyarakatnya telah teratur sejak zaman nenek moyang mereka. Masyarakat Toro memiliki pemerintahan sendiri yang mengatur segala bentuk kehidupan mereka, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Dalam pemerintahannya ada tiga unsur yang sama tinggi, yaitu totua ngata, maradika, dan tina ngata. Ketiganya memiliki fungsi masing-masing tapi tidak berjalan sendiri-sendiri (Andrian, 2006).

Totua Ngata adalah dewan para totua kampung yang menjalankan kepemimpinan kolektif atas seganap urusan pemerintahan desa. Maradika adalah keturunan bangsawan yang dipilh oleh Totua Ngata dan berperan sebagai kepala suku dari masyarakat bersangkutan. Sedangkan Tina Ngata adalah ibu bagi masyarakat yang terbentuk atas dasar pengakuan masyarakat. Tina Ngata terbentuk karena peran perempuan yang penting bagi masyarakat, yaitu sebagai penyimpan adat dan pemilik otoritas pengeloaan warisan orang tua (Golar, 2007).

Sebelum adanya TNLL, masyarakat Toro sudah membagi alam menjadi zona-zona tertentu, di antaranya adalah:

Wana Ngkiki, merupakan zona inti atau hutan primer, dimana pada daerah ini tidak boleh dilakukan aktifitas eksploitasi hutan. Zona ini terletak pada ketinggian 1000 mdpl dengan luas 2300 Ha, didominasi oleh rerumputan, lumut, dan perdu. Zona ini dianggap sebagai sumber udara segar sehingga keberadaannya dianggap sangat penting.

Wana, merupakan hutan primer yang merupakan habitat bagi hewan, dan tumbuhan langka. Selain itu juga merupakan zona tangkapan air.di zona ini setiap orang dilarang membuka lahan pertanian. Zona ini dimanfaatkan untuk kegiatan mengambil getah dammar, wewangian, obat-obatan, dan rotan. Seluruh sumber daya di zona ini dikuasai secara kolektif. Kepemilikan pribadi hanya berlaku pada pohon damar yang diberikan kepada orang yang pertama kali mengambil dan mengolah getah damar itu. Kawasan wana merupakan hutan yang terluas di wilayah adat Ngata Toro dengan luas 11.290 Ha.

Pangale, merupakan hutan bekas tebang (5-15 tahun yang lalu) yang telah mengalami suksesi kembali atau yang sudah dijadikan kebun dan lahan pertanian oleh masyarakat. Zona Pangale biasanya juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan dan kayu untuk bahan bangunan dan keperluan rumah tangga, pandan hutan untuk membuat tikar dan bakul, bahan obat-obatan, getah damar dan wewangian. Kesemuanya harus berdasarkan izin dari lembaga adat atau pemerintah desa terlebih dahulu. Luas zona ini adalah 2950 Ha.

Pahawa Pongko, merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama 25 tahun ke atas, yang telah mengalami suksesi kembali atau yang sudah dijadikan kebun dan lahan pertanian oleh masyarakat.

Oma, merupakan hutan belukar yang terbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem peladangan bergilir. Di zona ini hak kepemilikan pribadi atas lahan diakui.

Pongata, merupakan wilayah pemukiman masyarakat, biasanya berada pada dataran yang lebih rendah.

Polidae, merupakan lahan usaha pertanian masyarakat, berupa sawah dan lahan pertanian kering.

Berdasarkan zona-zona tersebut masyarakat Toro membentuk sistem pengolahan tanah bergilir. Lahan hutan yang telah di buka disebut popangalea, orang yang membukanya pertama kali memiliki hak kepe milikan lahan. Lahan terbuka yang produktif disebut bone. Setelah beberapa kali masa tanam, kesuburan tanah akan menurun seiring dengan menurunnya nutrisi yang terkandung di dalam tanah, tanah jenis ini disebut balingkea. Apabila memungkinkan balingkea ditanami lagi untuk satu atau beberapa kali masa tanam (mobalingkea). Balingkea yang tidak ditanami lagi, dan ditinggalkan (1-25 tahun) untuk mengembalikan kesuburan tanah disebut Oma.

Selain itu, adat Toro juga melarang adanya perburuan terhadap Anoa (Anoa Quarlesi dan Anoa Deoressicornis), Babirusa (Babyrousa Babyrusa), Enggang (Alo/rangkong) (Rhyticeros Cassidix), Maleo (Macrochepalon Maleo). Hal ini dikarenakan Anoa merupakan hewan yang dilindungi dan dianggap sebagai hewan adat yang hanya boleh dimakan dalam upacara adat, Babirusa dilindungi karena bentuk fisiknya yang unik, Enggang dilindungi karena warnanya yang indah, sementara Maleo dilindungi karena telurnya yang unik.

Kearifan lokal masyarakat Toro dalam pemanfaatan sumber daya alam dapat terlihat dari kegiatan seperti dibawah ini:

Pembukaan Lahan.
Dalam aturan masyarakat adat Toro, lahan yang dapat dibuka adalah oma, terutama Oma Ngura (telah ditinggalkan 3-5 tahun), dan Oma Ntua (telah ditinggalkan 5-25 tahun) sedangkan lahan yang tidak diperkenankan untuk dibuka dengan alasan apapun adalah Pangale. Setiap yang ingin membuka lahan diwajibkan mengajukan permohonan kepada pemerintah desa melalui LMA (Lembaga Masyarakat Adat) disertai alasan, lokasi yang akan dimanfaatkan dan luasan yang dibutuhkan. Setelah izin diberikan, pembukaan lahan harus didahului dengan upacara adat ”Mohamele manu bula”.

Pengambilan Kayu.
Izin pengambilan kayu dikeluarkan apabila tujuan pemanfaatan semata-mata untuk kebutuhan domestik. Namun dalam perkembangannya, saat ini telah diperkenankan pula memanen kayu untuk bahan baku industri meubel dan kusen berskala lokal. setelah mendapatkan izin penebangan, terlebih dahulu harus dilakukan upacara adat ”Mowurera pu kau”. Selain itu perlu diperhatikan bahwa kayu yang ditebang berdiameter minimal 60 cm, dan tidak melakukan penebangan di daerah Taolo, yaitu lokasi yang bertopografi miring sepanjang daerah aliran sungai dan di tempat yang rawan longsor dan erosi.

Pemanenan Rotan (Calamus sp).
Rotan yang akan dipanen harus berumur lebih dari tiga tahun, dan penetapan lokasi ditentukan oleh hasil musyawarah lembaga adat dengan memperhatikan prinsip rotasi (ra ombo). Selain itu, terdapat larangan untuk menarik rotan sepanjang daerah aliran sungai pada saat tanaman padi di sawah ataupun ladang mulai berbulir.

Masyarakat Toro hingga kini masih menjalankan tradisinya. Perusak hutan dan pemburu hewan yang dilindungi akan dikenakan hukum adat. Pada mulanya, hukuman adat yang diberikan berupa satu kerbau, satu kain besa, dan 10 dulang. Namun saat ini hukuman yang diberikan berupa denda uang disesuaikan dengan kesalahan yang ada. Dari keseluruhan kondisi hutan Lore Lindu, hutan di Toro termasuk hutan yang paling terlindungi. Perekonomian masyarakat Toro dapat berkembang tanpa harus merusak hutan ataupun alam. Kehidupan masyarakat Toro yang selaras dengan alam dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat luas.

Kearifan Lokal Masyarakat Dataran Lindu
Enclave Lindu merupakan kawasan pemukiman yang terletak di dalam kawasan TNLL. Enclave Lindu yang terdiri dari empat desa, yaitu Puroo, Langko, Tomado, dan Anca, sering disebut sebagai dataran Lindu masih termasuk ke dalam Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala. Masyarakat dataran Lindu menyakini sebagai satu rumpun adat (etnik Lindu) yang mempunyai aturan terhadap lingkungan dataran kehidupannya. Seperti halnya dengan masyarakat Ngata Toro, masyarakat dataran Lindu telah membagi kawasan hutan di sekitar mereka ke dalam suaka-suaka/kawasan-kawasan, di antaranya adalah:

Suaka Maradika, merupakan zona inti hutan yang tidak diperbolehkan adanya eksploitasi.

Suaka Todea, merupakan zona hutan pemanfaatan, boleh dilakukan kegiatan pemanfaatan berdasarkan peraturan adat.

Suaka Tontonga, merupakan zona rimba yang pemanfaatannya sangat terbatas.

Suaka Lambara, merupakan daerah penggembalaan.

Suaka Parabata, merupakan zona khusus untuk pemanfaatan danau Lindu yaitu pengkaplingan pada lokasi ikan di tepi danau Lindu.

Selain dalam hal pengelolaan hutan, masyarakat adat Dataran Lindu pun memiliki kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya perairan. Masyarakat adat Dataran Lindu memberlakukan pelarangan (ombo) apabila ada salah satu tokoh masyarakat yang meningal dunia. Kearifan lokal ini harus tetap dilestarikan untuk mendukung upaya pengelolaan TNLL dalam menjaga dan melindungi kawasan agar tetap lestari dan berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu penguatan kelembagaan adat sangat penting untuk menjaga kearifan lokal masyarakat tetap eksis, sehingga dapat mengurangi tekanan masyarakat terhadap perubahan hutan.

Kearifan Lokal Masyarakat Mataue
Desa Mataue berbatasan langsung dengan kawasan TNLL, terletak di wilayah Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala. Mayoritas masyarakat desa Mataue berasal dari suku Kaili, yang merupakan suku asli Sulawesi Tengah. Desa ini memiliki potensi air yang sangat besar untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat baik untuk konsumsi rumah tangga, maupun irigasi. Sumber daya air yang ada di Mataue dimanfaatkan oleh masyarakat di empat desa, yaitu Desa Mataue, Desa Bolapapu, Desa Boladangko, dan Desa Sungku.

Masyarakat Desa Mataue memiliki kearifan lokal yang unik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air. Dalam hal pengelolaan sumber daya air masyarakat desa pengguna mempercayakannya kepada tokoh adat Desa Mataue yang merupakan desa terdekat dengan sumber mata air. Kegiatan pengelolaan yang dilakukan adalah kegiatan monitoring ke areal hulu yang hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Mataue. Selain itu dalam pengelolaan lahan pertanian yang berada di sepanjang aliran air tidak diperkenankan mengunakan pupuk kimia dan pestisida.

Bentuk partisipasi masyarakat desa sekitar Mataue yang memanfaatkan sumber daya air adalah dengan membayar sejumlah uang kepada pemerintahan Desa Mataue sebagai petugas pengelola. Untuk pemungutan jasa retribusi air sendiri pemerintahan Desa Mataue menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintahan desa masing-masing. Berdasarkan kesepakatan masing-masing desa, masyarakat yang konsumsi air untuk kebutuhan rumah tangga dikenakan biaya sebesar Rp 2000,-/bulan, sedangkan untuk irigasi sawah dikenakan biaya sebesar 1-1,5 blek gabah ketika masa panen.

Kearifan lokal lain yang terlihat adalah dalam hal pemanfaatan kulit kayu pohon beringin sebagai bahan baju adat (kain fuya). Untuk mendapatkan kulit kayu masyarakat tidak diperbolehkan menebang pohon beringin. Perubahan Lingkungan dan Respon Masyarakat Adat, Contoh Kasus Masyarakat Adat Toro Perubahan lingkungan yang disebabkan oleh faktor eksternal dan internal menimbulkan respon dari masyarakat yang berimplikasi terhadap kestabilan sumber daya alam. Pada contoh kasus masyarakat Toro, faktor-faktor tersebut adalah intervensi ekonomi pasar dan dinamika politik menyangkut ketidakseimbangan hak penguasaan lahan.

Intervensi ekonomi pasar berdampak pada perubahan intensitas pemanfaatan lahan di Toro. Permintaan pasar yang tinggi terhadap tanaman komersil seperti kakao, kopi, dan vanila berpengaruh terhadap preferensi ekonomi masyarakat yang berdampak pada konversi lahan unuk ditanami dengan tanaman komersil. Dinamika politik masyarakat Toro diwarnai oleh ketidakseimbangan hak penguasaan akan lahan. Ditetapkannya 80% wilayah Toro sebagai bagian TNLL (sesuai SK. Menteri Kehutanan No.593/Kpts-II/1993) berimplikasi pada melemahnya kontrol lembaga adat atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

Faktor-faktor di atas membuat masyarakat merespon dengan melakukan revitalisasi kelembagaan adat sebagai penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan. Gerakan revitalisasi di Toro diwarnai dengan pendokumentasian sejumlah pengetahuan lokal, sistem nilai, norma sosial, dan hukum adat yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Gerakan revitalisasi terus berlanjut hingga pembuatan peta partisipatif yang menggambarkan lokasi, batas-batas kawasan serta hak kepemilikan (bersama atau pribadi) dan restrukturisasi lembaga pemerintahan Desa Toro.

Implikasi Kearifan Lokal Adat bagi Zonasi Taman Nasional Lore Lindu
Dalam Undang-Undang No. 5 tahun1990 (tentang KSDAH dan Ekosistemnya terutama yang berkaitan dengan sistem zoning taman nasional) taman nasional terbagi ke dalam zona-zona sebagai berikut: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona pemanfaatan intensif (non budidaya), dan zona rehabilitasi. Berdasarkan konsep ini, maka zona-zona di atas diatur sedemikian rupa secara konsentris dengan bagian tengah zona inti. Pembagian zona bersifat eksklusif (tidak mengenal wilayah enclave di dalam kawasan taman nasional).

Sementara itu, pada dasarnya, sistem zonasi pada kearifan lokal dapat digunakan sebagai pendekatan untuk sistem zonasi taman nasional. Berdasarkan pendekatan ini zonasi tidak bersifat konsentris tetapi menyebar tergantung pada wilayah adat yang ada, serta bersifat inklusif (mengenal adanya wilayah enclave dalam kawasan taman nasional).

Kesimpulan
Masyarakat adat Desa Toro, Desa Mataue dan Dataran Lindu yang hidup di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu merupakan masyarakat lokal yang telah memiliki kearifan tradisional warisan nenek moyang mereka dalam mengelola lanskap hutan dan memanfaatkan sumber daya alam di sekitar tempat tinggal mereka. Kearifan masyarakat lokal ini telah ada sebelum ditetapkannya kawasan ini menjadi taman nasional.

Perubahan lingkungan adalah tantangan yang dapat melunturkan nilai-nilai kearifan tradisional yang berimplikasi negatif pada kestabilan sumber daya alam. Respon masyarakat Toro dalam mengatasi krisis perubahan lingkungan, yaitu dengan revitalisasi kelembagaan desa dapat menjadi contoh bagi masyarakat adat lain. Kearifan lokal masyarakat adat berimplikasi terhadap zonasi TNLL. Zonasi tradisional digunakan sebagai pendekatan pada zonasi TNLL. Berdasarkan pendekatan ini zonasi tidak bersifat konsentris tetapi menyebar dan inklusif.

Daftar Pustaka
-------. "Pendidikan Lingkungan Hidup Berbasis Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah 2002-2003". Yayasan Merah Putih. http://www.ymp.or.id.

Andrian, Handi. 2006. "Kearifan Suku Toro Menjaga Hutan". Tabloid Pesona Nusantara, Jum`at, 27 Oktober 2006. Media Indonesia.

Golar. 2007. Strategi Adaptasi Masyarakat Adat Toro, Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumber daya Hutan di Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah. Disertasi. Bogor: Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Purnomohadi, S. 1985. Sistem Pengetahuan Tradisional Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut, Kab. Pasir Provinsi Kalimantan Timur. Kajian: Pemanfaatan Tumbuhan. Skripsi. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Shohibuddin, M. Discursive Strategies and Local Power in the Politics of Natural Resource Management Case of Toro Community in Western Margin of Lore Lindu National Park, Central Sulawesi. Paper berdasarkan penelitian bersama STORMA. Bogor.
__________

Taswirul Afiyatin Widjaya, Febi Muryanto, Dian Oktaveni, Alifah Rohani, Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Konservasi Sumber daya Hutan, Teknologi Hasil Hutan, Ilmu Komputer, Institut Pertanian Bogor.

Sumber: http://images.muryanto.multiply.multiplycontent.com
Photo : http://www.bi.go.id

Taman Nasional Wasur


Ditunjuk sebagai taman nasional oleh Menteri Kehutanan tahun 1990 dengan luas ± 308.000 ha. Secara administratif pemerintahan berada pada wilayah Kabupaten Dati II Merauke, Propinsi Dati I Irian Jaya.

Potensi kawasan :
Topografi Taman Nasional Wasur terdiri dari datar bergelombang ringan dengan ketinggian tempat antara 0 - 90 m dpl. Curah hujan terkecil 10 mm dari bulan Juli s/d Nopember dan terbesar 264 mm pada bulan Januari, dengan suhu udara 22° - 30° C.

Sebagian besar berupa vegetasi savana dan sebagian kecil berupa hutan rawa, mangrove, hutan musim, hutan pantai, padang rumput. Tercatat tidak kurang dari 80 jenis mamalia (27 di antaranya endemik), 391 jenis burung.

Satwa yang ada antara lain : Kanguru (Walabia agillis), Dara mahkota (Coura cristata), Kasuari (Casuarius casuarius), Cincinnurus respublica, Petaurus breviceps, Antechinus melanurus, Darcopsis veterum, Hydromys chycogaster, Rhipidura maculipectus, Pordagus papuensis, Crocodylus novaeguineae dan lain-lain.

Taman Nasional Wasur merupakan perwakilan dari lahan basah yang paling luas di Papua/Irian Jaya dan sedikit mengalami gangguan oleh aktivitas manusia.

Sekitar 70 persen dari luas kawasan taman nasional berupa vegetasi savana, sedang lainnya berupa vegetasi hutan rawa, hutan musim, hutan pantai, hutan bambu, padang rumput dan hutan rawa sagu yang cukup luas. Jenis tumbuhan yang mendominasi hutan di kawasan taman nasional ini antara lain api-api (Avicennia sp.), tancang (Bruguiera sp.), ketapang (Terminalia sp.), dan kayu putih (Melaleuca sp.).

Jenis satwa yang umum dijumpai antara lain kanguru pohon (Dendrolagus spadix), kesturi raja (Psittrichus fulgidus), kasuari gelambir (Casuarius casuarius sclateri), dara mahkota/mambruk (Goura cristata), cendrawasih kuning besar (Paradisea apoda novaeguineae), cendrawasih raja (Cicinnurus regius rex), cendrawasih merah (Paradisea rubra), buaya air tawar (Crocodylus novaeguineae), dan buaya air asin (C. porosus).

Keanekaragaman hayati bernilai tinggi dan mengagumkan di Taman Nasional Wasur, menyebabkan kawasan ini lebih dikenal sebagai “Serengiti Papua”.

Lahan basah di taman nasional ini merupakan ekosistem yang paling produktif dalam menyediakan bahan pakan dan perlindungan bagi kehidupan berbagai jenis ikan, udang dan kepiting yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.

Berbagai jenis satwa seperti burung migran, walabi dan kasuari sering datang dan menghuni Danau Rawa Biru. Oleh karena itu, Danau Rawa Biru disebut “Tanah Air” karena ramainya berbagai kehidupan satwa. Lokasi ini sangat cocok untuk mengamati atraksi satwa yang menarik dan menakjubkan.

Kegiatan yang ditawarkan
Penjelajahan alam, hutan, satwa dan budaya suku Marind, Kanum dan beberapa suku lainnya yang unuk dan menarik.

Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi:
Danau Rawa Biru, Ukra, Maar, Kakania, Dikbob, Rawa Panjang, Pilmul. Pengamatan satwa, danau, menyelusuri sungai, berkuda dan wisata budaya.
Yanggandur, Soa, Ukra, Onggaya. Savana, pengamatan satwa, menyelusuri sungai, memancing, dan wisata budaya.

Informasi lainnya
Fasilitas yang tersedia : Pos jaga
Taman Nasional Wasur merupakan taman nasional yang berbatasan langsung dengan negara Papua New Guinea.
Taman Nasional Wasur lebih dikenal sebagai "serengti Irian Jaya".
Belum ada pengusahaan pariwisata alam.

Musim kunjungan terbaik: bulan Juli s/d Nopember setiap tahunnya.

Cara pencapaian lokasi:
Dari Jayapura ke Merauke (Plane) dengan waktu 1,5 jam, kemudian dari Merauke ke lokasi menggunakan kendaraan roda empat dalam waktu satu sampai dua jam melalui jalan trans Irian (Jayapura-Merauke).

Dinyatakan ---
Ditunjuk Menteri Kehutanan, SK No. 448/Menhut-VI/90
luas 413.810 hektar
Ditetapkan ---
Letak Kabupaten Merauke, Provinsi Papua
Temperatur udara 22° - 30° C
Curah hujan Rata-rata 2.400 mm/tahun
Ketinggian tempat 0 – 90 meter dpl.
Letak geografis 8°04’ - 9°07’ LS, 140°29’ - 141°00’ BT

Sumber : http://www.dephut.go.id

Taman Nasional Lorentz


Taman Nasional Lorentz merupakan perwakilan dari ekosistem terlengkap untuk keanekaragaman hayati di Asia Tenggara dan Pasifik. Kawasan ini juga merupakan salah satu diantara tiga kawasan di dunia yang mempunyai gletser di daerah tropis. Membentang dari puncak gunung yang diselimuti salju (5.030 meter dpl), hingga membujur ke perairan pesisir pantai dengan hutan bakau dan batas tepi perairan Laut Arafura. Dalam bentangan ini, terdapat spektrum ekologis menakjubkan dari kawasan vegetasi alpin, sub-alpin, montana, sub-montana, dataran rendah, dan lahan basah.

Selain memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, terdapat pula beberapa kekhasan dan keunikan adanya gletser di Puncak Jaya dan sungai yang menghilang beberapa kilometer ke dalam tanah di Lembah Balliem

Sebanyak 34 tipe vegetasi diantaranya hutan rawa, hutan tepi sungai, hutan sagu, hutan gambut, pantai pasir karang, hutan hujan lahan datar/lereng, hutan hujan pada bukit, hutan kerangas, hutan pegunungan, padang rumput, dan lumut kerak.

Jenis-jenis tumbuhan di taman nasional ini antara lain nipah (Nypa fruticans), bakau (Rhizophora apiculata), Pandanus julianettii, Colocasia esculenta, Avicennia marina, Podocarpus pilgeri, dan Nauclea coadunata.

Jenis-jenis satwa yang sudah diidentifikasi di Taman Nasional Lorentz sebanyak 630 jenis burung (± 70 % dari burung yang ada di Papua) dan 123 jenis mamalia. Jenis burung yang menjadi ciri khas taman nasional ini ada dua jenis kasuari, empat megapoda, 31 jenis dara/merpati, 30 jenis kakatua, 13 jenis burung udang, 29 jenis burung madu, dan 20 jenis endemik diantaranya cendrawasih ekor panjang (Paradigalla caruneulata) dan puyuh salju (Anurophasis monorthonyx).

Satwa mamalia tercatat antara lain babi duri moncong panjang (Zaglossus bruijnii), babi duri moncong pendek (Tachyglossus aculeatus), 4 jenis kuskus, walabi, kucing hutan, dan kanguru pohon.

Taman nasional ini memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan ditunjang keanekaragaman budaya yang mengagumkan. Diperkirakan kebudayaan tersebut berumur 30.000 tahun dan merupakan tempat kediaman suku Nduga, Dani Barat, Amungme, Sempan dan Asmat. Kemungkinan masih ada lagi masyarakat yang hidup terpencil di hutan belantara ini yang belum mengadakan hubungan dengan manusia modern.

Suku Asmat terkenal dengan keterampilan pahatan patungnya. Menurut kepercayaannya, suku tersebut identik dengan hutan atau pohon. Batang pohon dilambangkan sebagai tubuh manusia, dahan-dahannya sebagai lengan, dan buahnya sebagai kepala manusia. Pohon dianggap sebagai tempat hidup para arwah nenek moyang mereka. Sistem masyarakat Asmat yang menghormati pohon, ternyata berlaku juga untuk sungai, gunung dan lain-lain.

Lorentz ditunjuk sebagai taman nasional pada tahun 1997, sehingga fasilitas/sarana untuk kemudahan pengunjung masih sangat terbatas, dan belum semua obyek dan daya tarik wisata alam di taman nasional ini telah diidentifikasi dan dikembangkan.

Musim kunjungan terbaik: bulan Agustus s/d Desember setiap tahunnya.

Cara pencapaian lokasi:
Dari kota Timika ke bagian Utara kawasan menggunakan penerbangan perintis dan ke bagian Selatan menggunakan kapal laut melalui Pelabuhan Sawa Erma, dilanjutkan dengan jalan setapak ke beberapa lokasi.

Dinyatakan ---
Ditunjuk Menteri Kehutanan, SK No. 154/Kpts-II/1997
dengan luas 2.450.000 hektar
Ditetapkan ---
Letak Kab. Paniai, Kab. Fak-fak, dan Kab.
Merauke, Provinsi Papua/Irian Jaya
Temperatur udara 29° - 32° C di dataran rendah
Curah hujan 3.700 – 10.000 mm/tahun
Ketinggian tempat 0 – 5.000 meter dpl.
Letak geografis 3°41’ - 5°30’ LS, 136°56’ - 139°09’ BT

Sumber : http://www.dephut.go.id

Taman Nasional Teluk Cendrawasih

Taman Nasional Teluk Cendrawasih merupakan perwakilan ekosistem terumbu karang, pantai, mangrove dan hutan tropika daratan pulau di Papua/Irian Jaya.

Taman Nasional Teluk Cendrawasih merupakan taman nasional perairan laut terluas di Indonesia, terdiri dari daratan dan pesisir pantai (0,9%), daratan pulau-pulau (3,8%), terumbu karang (5,5%), dan perairan lautan (89,8%).

Potensi karang Taman Nasional Teluk Cendrawasih tercatat 150 jenis dari 15 famili, dan tersebar di tepian 18 pulau besar dan kecil. Persentase penutupan karang hidup bervariasi antara 30,40% sampai dengan 65,64%. Umumnya, ekosistem terumbu karang terbagi menjadi dua zona yaitu zona rataan terumbu (reef flat) dan zona lereng terumbu (reef slope). Jenis-jenis karang yang dapat dilihat antara lain koloni karang biru (Heliopora coerulea), karang hitam (Antiphates sp.), famili Faviidae dan Pectiniidae, serta berbagai jenis karang lunak.

Taman Nasional Teluk Cendrawasih terkenal kaya akan jenis ikan. Tercatat kurang lebih 209 jenis ikan penghuni kawasan ini diantaranya butterflyfish, angelfish, damselfish, parrotfish, rabbitfish, dan anemonefish.

Jenis moluska antara lain keong cowries (Cypraea spp.), keong strombidae (Lambis spp.), keong kerucut (Conus spp.), triton terompet (Charonia tritonis), dan kima raksasa (Tridacna gigas).

Terdapat empat jenis penyu yang sering mendarat di taman nasional ini yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu lekang (Lepidochelys olivaceae), dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Duyung (Dugong dugon), paus biru (Balaenoptera musculus), ketam kelapa (Birgus latro), lumba-lumba, dan hiu sering terlihat di perairan Taman Nasional Teluk Cendrawasih.

Terdapat goa alam yang merupakan peninggalan zaman purba, sumber air panas yang mengandung belerang tanpa kadar garam di Pulau Misowaar, goa dalam air dengan kedalaman 100 feet di Tanjung Mangguar. Sejumlah peninggalan dari abad 18 masih bisa dijumpai pada beberapa tempat seperti di Wendesi, Wasior, dan Yomber. Umat Kristiani banyak yang berkunjung ke gereja di desa Yende (Pulau Roon), hanya untuk melihat kitab suci terbitan tahun 1898.

Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi:
Pulau Rumberpon. Pengamatan satwa (burung), penangkaran rusa, wisata bahari, menyelam dan snorkeling, kerangka pesawat tempur Jepang yang jatuh di laut.
Pulau Nusrowi. Menyelam dan snorkeling, wisata bahari, pengamatan satwa.
Pulau Mioswaar. Sumber air panas, air terjun, menyelam dan snorkeling, pengamatan satwa dan wisata budaya.
Pulau Yoop dan perairan Windesi. Pengamatan ikan paus dan ikan lumba-lumba.
Pulau Roon. Pengamatan satwa burung, menyelam dan snorkeling, air terjun, wisata budaya, dan gereja tua.

Musim kunjungan terbaik: bulan Mei s/d Oktober setiap tahunnya.

Cara pencapaian lokasi:
Dari Jakarta, Surabaya, Denpasar, Ujung Pandang, Jayapura, Honolulu dan Darwin menggunakan pesawat ke Biak, selanjutnya dari Biak menggunakan pesawat ke Manokwari atau Nabire. Dari Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang dan Jayapura menggunakan kapal laut ke Manokwari atau Nabire. Dari Manokwari ke lokasi taman nasional (Pulau Rumberpon) menggunakan longboat dengan waktu 5,5 jam. Atau dari Manokwari ke kota kecamatan Ransiki dengan mobil sekitar tiga jam dan dilanjutkan dengan motorboat sekitar 2,5 jam.

Dinyatakan ---
Ditunjuk Menteri Kehutanan, SK No. 448/ Menhut-VI/90
luas 1.453.500 hektar
Ditetapkan Menteri Kehutanan, SK No. 8009/Kpts-II/2002
luas 1.453.500 hektar
Letak Kab. Manokwari dan Kab. Paniai,
Provinsi Papua/Irian Jaya
Temperatur udara 21° - 33° C
Curah hujan 1.200 – 3.700 mm/tahun
Kelembaban udara 82 - 83 %
Kecepatan angin 3,5 - 9,0 knot dan 22 - 23 knot
Musim Barat September s/d Maret
Musim Timur April s/d Juli
Musim peralihan Rata-rata Agustus
Letak geografis 1°43’ - 3°22’ LS, 134°06’ - 135°10’ BT

Sumber : http://www.dephut.go.id

Taman Nasional Aketajawe dan Lolobata, Halmahera


Pulau Halmahera terletak di bagian utara Provinsi Maluku Utara yang dikenal dengan bentuknya yang menyerupai huruf K, seperti halnya Pulau Sulawesi. Beberapa hasil penelitian mengidentifikasi Pulau Halmahera sebagai salah satu hotspot untuk keanekaragaman hayati, yang salah satu indikatornya diukur melalui keberadaan burung-burung endemiknya.

Daerah ini tercatat menjadi rumah bagi empat spesies burung endemik yaitu: Habroptila wallacii, Todiramphus diops, Coracina parvula, dan Oriolus pherochromus. Dari 213 jenis burung ditemukan hidup disana, 24 jenis diantaranya adalah jenis khas Maluku Utara seperti Bidadari Halmahera (Semioptera wallacei), Kakatua Putih (Cacatua alba), Nuri Ternate (Lorius garrulus), Si Cantik Pita (Pitta maxima) serta burung-burung khas lainnya. Delapan dari jenis-jenis tersebut bahkan teridentifikasi sebagai burung terancam punah.

Di sini juga hidup berbagai margasatwa lainnya diantaranya Kupu-kupu raja (Papilio heringi), Biawak air (Hydrosaurus werneri), Biawak darat (Varanus sp.), Kuskus Halmahera (Phalanger sp.), Babi hutan (Sus scrofa), Rusa (Cervus timorensis), dan berbagai jenis serangga serta avertebrata. Selain itu, Pulau Halmahera juga memiliki dua marga tumbuhan berbunga yang endemik dan berbagai jenis anggrek, rotan dan liana lainnya yang memanjat sampai ke tajuk-tajuk pepohonan.

Pada tahun 1995, berdasarkan hasil survey potensi keanekaragaman hayati dan tingkat kebutuhan konservasi di areal Aketajawe dan Lolobata, Departemen Kehutanan dan BirdLife International-Indonesia Programme mengusulkan perubahan status kawasan hutan Aketajawe dan Lolobata menjadi Taman Nasional. Lebih lanjut, pada tahun 1997, Pengkajian Sistem Kawasan Lindung bagi kawasan Indo-Malaya mencantumkan kedua areal tersebut sebagai kawasan proritas yang harus dikukuhkan sebagai kawasan lindung, sehingga penetapan kawasan-kawasan tersebut menjadi sebuah hal yang harus dilakukan.

Pada bulan Oktober 2004, atas dukungan pemerintah daerah melalui Bupati Halmahera Timur, Bupati Halmahera Tengah, Walikote Tidore Kepulauan dan Gubernur Maluku Utara, pemerintah melalui Departemen Kehutanan menunjuk areal Aketajawe dan Lolobata sebagai Taman Nasional, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 397/Menhut-II/2004. Kedua blok hutan tersebut mencakup areal sebanyak 167,300 ha.

Masyarakat desa di sekitar Taman Nasional ini umumnya mereka hidup di pesisir pantai dan bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan dengan kepadatan penduduk yang termasuk rendah. Selain mereka, terdapat juga beberapa kelompok komunitas masyarakat “asli� yang masih hidup secara semi nomaden -dikenal sebagai komunitas Suku Tobelo Dalam (Togutil)- dan beberapa pemukiman program transmigrasi yang kesemuanya menggantung sumber airnya dari keberadaan Taman Nasional ini. Tak hanya masyarakat, Taman Nasional ini pun berbatasan dengan beberapa perusahaan penebangan dan perusahaan tambang komersial, yang walaupun memiliki wilayah kegiatan yang berbeda, namun keberadaannya berpotensi menjadi ancaman bagi kelestarian Taman Nasional itu sendiri.

Semua pihak di atas menjadi bagian yang penting dalam mencapai tujuan kelestarian Taman Nasional Aketajawe dan Lolobata. Sebagaimana diketahui, kepentingan untuk melestarikan Taman Nasional dan keanekaragaman hayati di dalamnya juga haruslah sejalan dengan aspirasi dan kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitarnya. Karenanya, sebuah konsep pengelolaan kolaboratif antar pihak yang terkait sangatlah diperlukan, baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, perusahaan pertambangan dan kehutanan serta pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap keberadaan Taman Nasional itu sendiri.

Berkaitan dengan itu, sejak tahun 2005, BirdLife Indonesia memulai inisiatif untuk menjadi salah satu pihak yang aktif mendorong pelaksanaan konsep pengelolaan kolaboratif tersebut, selain berupaya untuk membantu peningkatan kapasitas pengelola Taman Nasional Aketajawe dan Lolobata. Inisiatif inipun akan mendorong pelaksanaan penataan batas Taman Nasional secara partisipatif yang dapat diterima semua pihak, untuk mengurangi potensi konflik kepentingan yang mungkin timbul (RP).

Taman Nasional Manusela


Taman Nasional Manusela merupakan kawasan konservasi yang ditetapkan dengan Surat Pernyataan Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 dengan luas 189.000 Ha, SK. Menhut No. 281/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 dan merupakan taman nasional tipe C sesuai SK. Menhut No. 6186/Kpts-IV/2002 tanggal 10 Juni 2002. Pada tanggal 1 Pebruari 2007 statusnya menjadi taman nasional tipe B berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007. Kawasan ini merupakan gabungan dari 2 cagar alam yaitu Cagar Alam Wae Nua dan Cagar Alam Wae Mual dan ditambah dengan perluasan wilayah Cagar Alam Wae Nua dan Cagar Alam Wae Mual. Taman Nasional Manusela (TNM) secara geografis terletak antara 129o9'3"- 129o46'14"BT dan 2o48'24"- 3o18'24"LS. Secara administratif kawasan TNM termasuk di wilayah Kecamatan Seram Utara yang berkedudukan di Wahai dan Kecamatan Seram Selatan di Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku.

Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmid dan Ferguson kawasan Taman Nasional Manusela termasuk dalam daerah dengan tipe iklim A dengan nilai Q 27,9 . Rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 1500-2500 mm dengan temperatur udara 25-35ºC dengan kelembaban udara rata-rata 82,90 - 93,50%.

Kawasan TNM berbatasan dengan :
Sebelah utara, berbatasan dengan garis pantai sebelah barat Desa Pasahari, Tanjung Mual sampai Labuhan menuju ke selatan Desa Soka menyusuri anak sungai Wai Teluarang menuju Desa Roho, Sawai dan mengikuti garis pantai ke arah barat menuju Desa Saleman.

Sebelah Timur, membentang mulai dari Desa Lairuku di Kawasan Seram Selatan ke utara menuju Desa Manusela, Maraina, Kanikeh kembali ke arah timur menuju Desa Hatuolo menyusuri sungai Wae Isal sampai ke Desa Pasahari.

Sebelah selatan, berbatasan dengan Desa Laimu, Manoaratu, Tehoru, Mosso, Yaputih sampai ke Desa Saunulu.

Sebelah barat, berbatasan dengan Desa Saunulu dan Tanjung Mual di sebelah selatan terus ke arah barat laut menyusuri Wae Kawa sampai Desa Saleman.

Taman Nasional Manusela secara ekologis memiliki tujuh tipe vegetasi, yaitu berturut-turut dari pantai ke puncak gunung Binaya adalah sebagai berikut:

Hutan mangrove (mangrove formation)
Vegetasi mangrove merupakan jalur sempit, letaknya tepat di belakang pantai berpasir yang agak tinggi di sepanjang pantai utara. Perkembangan terbaik terdapat di sepanjang Tanjung Mual dan Muara Wai Isal.
Jenis tumbuhan dominan antara lain Tancang (Sonneratia alba), Bakau-bakauan (Rhyzopora acuminata, Rhyzopora mucronata), Bruguiera sexangula, Api-api ( Avicenia sp) dan Nipah (Nypa fructicans).

Vegetasi pantai ( beach formation)
Vegetasi di Taman Nasional Manusela berkembang dengan baik di sepanjang pantai utara yang berpasir. Di daerah pesisir bagian selatan (walaupun di luar kawasan) sudah jarang ditemukan vegetasi pantai alami. Jenis-jenis tumbuhan yang dominan adalah Ipomea pescaprea, Svinivax litoralis, Terminalia cattapa, Pandanus sp, Casuarina equisetifolia .

Hutan rawa dataran rendah (lowland swamp forest)
Formasi ini merupakan kelompok-kelompok kecil yang perkembangannya kurang baik, letaknya di belakang hutan mangrove di pantai Utara. Jenis-jenis tumbuhan yang dominan adalah Nauclea sp, Ficus nodosa, Baringtonia racemosa, Eugenia sp, Callophyllum soulatri, Callophyllum inophyllum, Alstonia scholaris, Anthocephalus cadamba. Daerah ini, khususnya di sekitar Wai Isal dan Wai Mual. Pada musim kemarau yang berkepanjangan daerah ini sangat rawan kebakaran.

Vegetasi tebing sungai (riverbank vegetation)
Tipe vegetasi ini perkembangannya sangat baik di sepanjang sungai-sungai utama: Wai Mual dan lembah Wai Kawa. Jenis-jenis yang ditemukan di daerah ini antara lain: benuang ( Octomeles sumatrana), Ficus sp, Litsea sp, Eugenia spp, Diospyros sp, Vitex gofasus dan Alstonia spectabilis.

Hutan hujan dataran rendah (lowland rain forest)
Tipe vegetasi ini menutupi sebagian besar dataran rendah Wai Mual dan lembah wai Kawa di bagian utara sampai dengan ketinggian 500 meter dpl. Jenis-jenis penyusunnya antara lain meranti (Shorea seilanica, Shorea montigena), kayu kapur (Hopea spp), kayu raja (Koompassia malaccensis), kenari (Canarium spp), bintanggur (Callophyllum inophyllum), merbau (Intsia bijuga), pala hutan (Myristica succdaea, Myristica aromatea), dan Podocarpus spp.

Hutan hujan pegunungan (mountain rain forest)
Tipe vegetasi ini dijumpai di seluruh pegunungan Murkele, dan gunung Kobipoto, pada ketinggian antara 500 - 1.500 mdpl. Jenis-jenis yang ditemukan adalah Agathis alba, Agathis phillipinensis, Casuarina montana, Duabanga moluccana, Diospyros sp, Pterocarpus blumeii.

Hutan hujan pegunungan juga kaya akan jenis-jenis rotan dan liana, tetapi secara umum dapat dikatakan hutannya dengan tumbuhan bawahnya yang jarang. Pada tempat yang lebih tinggi tumbuhan bawahnya bertambah dengan perdu dari jenis Impatens sp, Dianella sp, Brumania sp, Dacrydium sp, Phyllocladus sp, dan Podocarpus sp.

Hutan lumut (alpine/moss forest)
Hutan lumut terletak di atas ketinggian 1.500 meter dpl, dan ditandai dengan pohon-pohonnya yang berukuran kecil dengan berbagai bentuk yang tertutup dengan lumut dan paku-pakuan yang biasanya tumbuh di atas tanah atau sebagai epifit. Tumbuhan utama antara lain Rhododendron sp dan Angiostris sp.

Potensi Flora
Kekayaan flora yang dimiliki TNM berupa 187 jenis/genus dari 55 famili diantaranya 97 jenis anggrek dan 598 jenis paku-pakuan (pakis), dimana terdapat jenis endemik paku binaya (Cyathea binayana).

Jenis vegetasi yang ada di TNM mPapua. Jenis flora zona Australia yang terdapat dalam kawasan ini antara lain Eucalyptus spp., sedangkan jenis flora khas Asia meliputi Shorea selanica (Dipterocarpacea) yaitu jenis meranti yang pertumbuhannya paling timur Indonesia, nyamplung (Calophyllum inophyllum), langsat hutan (Aglaia argentea), durian (Durio spp.) dan lain-lain.

Jenis-jenis vegetasi yang ada di TNM terdiri merupakan keturunan flora Asia/Sulawesi yang mempunyai beberapa unsur Australia-dari hutan mangrove dan hutan pantai (0-5 m dpl), hutan dataran rendah (5-100 m dpl), hutan hujan primer dataran rendah (100-500 m dpl), hutan hujan primer pegunungan (500-2.500 m dpl), lumut (2.500-2.600 m dpl).

Vegetasi hutan mangrove ditandai oleh jenis pedada (Sonneratia alba), bakau (Rhizophora apiculata), bidu (Bruguiera sexangula), api-api (Avicennia officianalis) dan nipah (Nypa fruticans). Vegetasi ini letaknya tepat di belakang pantai berpasir yang agak tinggi dan merupakan jalur sempit. Perkembangan terbaiknya berada di sekitar tanjung Wae Mual dan sungai Wae Isal. Dibelakang jalur mangrove pada rawa dataran rendah terdapat jenis-jenis butun darat (Barringtonia recemosa), beringin (Ficus nodosa) dan pulai (Alstonia scholaris).

Perkembangan terbaik vegetasi hutan pantai di sepanjang pantai bagian utara dengan jenis-jenis yang mendominir antara lain tapak kuda/katang-katang (Ipomoea pescaprae), rumput jara-jara (Spinifex littoralis), ketapang (Terminalia catappa), pandan (Pandanus sp.), dan cemara laut (Casuariana equisetifolia).

Potensi Fauna
Pulau Seram hanya memiliki delapan jenis mamalia terestrial yang asli Seram terdiri dari tiga jenis Marsupial, yaitu bandicoot/mapea (Rhyncomeles prattorum), Kusu/Kuskus (Spilocuscus maculatus dan Phalanger orientalis) dan lima jenis Rodensia, yaitu Melomys aerosus, Melomys fulgens, Melomys fraterculus, Rattus ceramicus dan Rattus feliceus.

Di Taman Nasional Manusela dapat dijumpai jenis mamalia yang lebih besar seperti Rusa (Cervus timorensis), babi hutan (Sus scrofa dan S. Celebebsis), anjing liar (Canis familiar), kucing liar (Felis catus) dan musang (Paradoxurus hermaphroditus, Vivera tangulunga).

Ada 26 jenis kelelawar di kawasan Taman Nasional Manusela antara lain Rousettus amplixicaudus, Pteropus melaopogon, Pteropus ocularis dan Macroglossus minimus (Macdenald et al., 1993).

Penelitian tentang burung di pulau Seram sudah dimulai sejak abad 17. Bowler dan Taylor (1993) menguraikan dengan jelas perkembangan penelitian tersebut. Pada saat ini kekayaan jenis burung Seram sudah diketahui sebanyak 196 species burung, 124 spesies diantaranya merupakan jenis menetap sedangkan 72 spesies adalah jenis burung migran. Sebanyak 13 jenis diantaranya merupakan jenis endemik Seram.

Birdlife International Indonesia Programme telah menetapkan Daerah Burung Endemik (DBE) Seram yang mencakup pulau Seram dan pulau-pulau kecil di sekitarnya (Ambon, Saparua, Boano, dan Haruku). 30 Jenis merupakan burung dengan sebaran terbatas, yakni burung yang penyebaran berbiaknya kurang dari 50.000 km², 14 diantaranya endemik (Sujatnika et al., 1995). Jenis burung sebaran terbatas di pulau Seram ada 28 jenis, dimana 8 jenis diantaranya adalah jenis burung endemik. Kasturi tengkuk ungu (Lorius domicella) dan Kakatua Maluku (Cacatua moluccensis) kondisinya sekarang terancam punah, karena adanya penangkapan untuk diperdagangkan (Shannaz et al., 1995). selain dua jenis di atas, terdapat jenis burung endemik lain seperti Diacrum vulneratum, raja udang (Halycon lazuli, H.sancta dan Alcedo atthis), Nuri Raja/Nuri Ambon (Alisterus amboinensis), Nuri Kepala Hitam (Lorius domicella), burung madu besar (Philemon subcorniculatus), serta Kasuari (Casuarius casuarius) .

Studi tentang reptilia di pulau Seram masih jarang. Penelitian yang dilakukan pada Ekspedisi Operation Raleigh di kawasan Taman Nasional Manusela menemukan 46 jenis reptilia, terdiri dari kura-kura air tawar (1 jenis), penyu laut (4 jenis), buaya (1 jenis), kadal (24 jenis) dan ular (17 jenis) (Edgar dan Lilley, 1993).

Tingkat endemisme reptil di pulau Seram termasuk rendah, hanya satu jenis kadal endemik Seram, yaitu Dibamus seramensis. Terdapat pula Soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), Dua jenis ular Calamaria ceramensis dan Thyphlops kraai walaupun sedikit ditemukan juga di pulau-pulau sekitarnya. Buaya (Crocodylus porousus) sering dijumpai di sungai Wae Toluarang dan Wae Mual.

Dalam kawasan Taman Nasional Manusela terdapat 8 jenis amphibia yang tergolong dalam famili Ranidae, Hylidae dan Microhylidae. Jenis-jenis yang termasuk dalam famili :

Ranidae adalah Platymantis papuensis, Rana modesta dan Rana grisea ceramensis
Hylidae adalah Litoria vagabunda, Litoria sp. (Bicolor group), Litoria amboinesis, Litoria infrafenate.

Microhylidae adalah Phrynomantis fusca

Jenis kupu-kupu yang terdapat dalam Taman Nasional Manusela diperkirakan sebanyak 90 jenis (FAO, 1981), antara lain famili :
  • Papilionidae yaitu Ornithoptera priamus, Ornithoptera goliathorocus, Papilio ulysses, Papilio fuscusfuscus, Grafthium stresemani.
  • Pieridae yaitu Si cantik Delias manuselensis, Delias sp., Hebomoia leucippe leucippe, Valeria jobaea eisa, Enaema candida candida.
  • Danidae yaitu Idea idea, Danaus chovsippus, Danaus hanata nigra, Eupolea ciimena melina, Eupolea sp.
Ada beberapa jenis kupu-kupu endemik Seram yaitu Epimastidia staudingeri dan Hypochrysops dolechallii

Potensi biota perairan baik di sungai maupun di air laut belum dilakukan penelitian secara mendetail, walaupun secara umum dapat dikatakan bahwa di sepanjang pantai utara antara Sasarata sampai dengan Pasahari maupun di Tanjung Sawai memiliki potensi yang sangat baik.

Dengan demikian maka perlu ditargetkan adanya suatu penelitian terpadu mengenai potensi perairan, sehingga dapat dilakukan suatu kajian secara lengkap.

Kondisi Topografi
Kawasan Taman Nasional Manusela yang mencakup 20% dari keseluruhan luas pulau Seram, keadaan topografinya sebagian besar bergelombang dan lahannya merupakan pegunungan kapur. Topografi yang ada ini mulai dari dataran(dataran Mual) di bagian utara, bergelombang sedang- berbukit sampai bergunung-gunung dengan ketinggian 0 - 3027 meter di atas permukaan laut.

Kemiringan berkisar antara 30 - 60 % mulai dari gunung Markele sampai gunung Binaya yang merupakan puncak tertinggi. Sebagian besar kawasan ini memiliki kelerengan yang sangat terjal dengan lembah-lembah yang dalam. Bagian yang relatif landai terletak di bagian utara sekitar Wahai dan Sasarata serta bagian selatan di daerah Hatumete, Hatu dan Woke.

Berdasarkan ketinggian tempat di atas permukaan laut, kawasan Taman Nasional Manusela dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu:

a. Dataran rendah di bawah ketinggian 500 meter dpl
b. Dataran tinggi antara 500 - 1500 meter dpl
c. Daerah pegunungan dengan ketinggian antara 1500-2500 meter dpl
d. Zona sub alpin dengan ketinggian antara 2500 - 3027 meter dpl

Potensi objek wisata
TNM dikenal sebagai objek wisata alam dengan daya tarik tersendiri dengan pemandangan alam yang indah dan menarik serta topografi berbukit-bukit di antaranya tepi Markele, lembah Manusela, tepi Kobipoto, dataran Mual sebelah utara dan lembah Wae Kawa di sebelah selatan. Atraksi yang bisa dinikmati adalah menjelajah hutan, panjat tebing, pengamatan satwa/tumbuhan. Kawasan TNM banyak memiliki keunikan dan kekhasan, seperti lembah Manusela dengan pemandangan alamnya yang menarik dan keadaan iklimnya yang segar dan menyenangkan, lembah Piliana yang kaya akan jenis kupu-kupu, Sawai dengan aneka karang lautnya yang indah sangat cocok untuk kegiatan snorkeling dan diving disamping itu di daerah Sawai dan sekitarnya juga dapat dinikmati pemandangan tebing sawai yang indah atau wisata tirta yang dapat dinikmati dengan menggunakan fasilitas kapal cepat dan longboat milik Balai TN. Manusela. Pusat informasi TN. Manusela juga terdapat di Negeri Sawai tepatnya di sekitar Dusun Masihulan. Pengelolaan wisata alam di Sawai dan sekitarnya melibatkan multipihak seperti LSM (Yayasan Wallacea yang mengelola PRS Masihulan), Pemerintahan Negeri Sawai sebagai perwakilan Pemerintahan Daerah Maluku dan pihak masyarakat atau pengusaha yang berperan aktif dalam mengembangkan kegiatan wisata alam di daerah Sawai dan sekitarnya , air panas di Tehoru serta kegiatan safari rusa di padang Pasahari.

Di kawasan TNM banyak ditemukan bunga anggrek, bunga bangkai (Rafflesia sp.), hutan yang khas dan indah, vegetasi alpin dan pakis endemik yang sangat disukai rusa karena merupakan pakan rusa yang enak. Selain itu, TNM dapat dimanfaatkan sebagai sarana/tempat penelitian lapangan karena keanekaragaman flora dan fauna langka dan endemik, penelitian farmasi (jenis tanaman obat-obatan) serta penelitian jenis tanaman yang merupakan makanan alternatif bagi masyarakat.

Selain itu, di luar kawasan TNM pada daerah penyangga pada beberapa objek wisata seperti penginapan terapung di Teluk Sawai, budi daya mutiara, sumber air panas (Geiser) di Tehoru, jembatan tali dan menara pengintai secara alam dan tali-temali hutan di Piliana dan Masihulan, serta wisata budaya berupa adat istiadat kebudayaan dan upacara suku asli Pulau Seram di sekitar TNM.

Musim kunjungan terbaik adalah bulan Mei s.d Oktober setiap tahunnya.

Aksesibilitas
Lokasi TNM dapat dicapai melalui Wahai dan Saleman dari arah pantai utara atau melalui Tehoru. Alternatif-alternatif rute perjalanan menuju TNM dapat diuraikan sebagai berikut:

Dari Ambon ke Saleman-Wahai dapat ditempuh dengan menggunakan kapal motor yang memakan waktu 24 jam. Kapal motor ini memiliki jadwal perjalanan 3 kali seminggu. Perjalanan dari Wahai ke lokasi taman nasional dapat ditempuh dengan jalan kaki.

Lewat pantai selatan, TNM ditempuh melalui kota Ambon ke Tehoru-Saunulu-Mosso dengan kapal motor yang memakan waktu 9 jam. Jadwal kapal motor berjalan adalah 4 kali dalam seminggu. Perjalanan selanjutnya ke lokasi taman nasional hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki.

Perjalanan lewat darat dapat dilakukan dari Ambon ke Tulehu dengan waktu tempuh 45 menit. Selanjutnya dari Tulehu ke Amahai dapat dicapai dengan long boat cepat yang memerlukan waktu 1 jam 45 menit. Perjalanan dari Amahai ke Tehoru dilakukan lewat jalan darat selama 3 jam selanjutnya diteruskan dengan speed boat ke Saunulu/Mosso selam 30-60 menit. Pengunjung dapat pula memilih rute perjalanan darat menuju taman nasional bagian utara. Rute ini ditempuh dari Amahai ke Saleman melewati Masohi yang membutuhkan waktu 3 jam dilanjutkan dengan speed boat menuju Wahai yang memakan waktu 2 jam.

Perjalanan memasuki TNM dari Saunulu/Mosso dilakukan dengan jalan kaki melalui jalan setapak dan mendaki tebing-tebing pegunungan sehingga pemandu dan pembawa barang sangat diperlukan.

Dari sisi utara, kawasan TNM dapat ditempuh melalui jalan trans-Seram dari Wahai ke Sasarata. Rute ini dapat dilalui roda empat. Selanjutnya dari Sasarata menuju kawasan taman nasional bagian tengah/selatan dapat ditempuh dengan jalan kaki menuju jalan setapak yang menghubungkan Kaloa-Hatuolo Maraina, dan Manusela. Perjalanan ini memerlukan waktu kurang lebih 2 hari.

Apabila pengunjung membawa kendaraan roda empat, perjalanan dilakukan dari Ambon ke Liang dengan waktu tempuh ± 1,5 jam. Selanjutnya dari Liang ke Kairatu ditempuh selama ± 2 jam dengan menggunakan ferry. Dari Kairatu ke Saka ditempuh dengan jalan darat selama ± 3,5 jam.

Rute terbaru untuk menuju Taman Nasional bagian utara yaitu dari Ambon bisa langsung menggunakan pesawat Merpati jenis twin otter Menuju ke Wahai, dari Wahai ke Sasarata dan selanjutnya perjalanan dilakukan dengan jalan kaki menuju kawasan.

Sumber : http://www.dephut.go.id