Tampilkan postingan dengan label Kesenian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kesenian. Tampilkan semua postingan

Sekilas Tentang Masyarakat Using

Oleh: Ayu Sutarto
Peneliti Tradisi, Universitas Jember Jawa Timur.

Pendahuluan
Secara administratif orang Using (Osing) bertempat tinggal di Kabupaten Banyuwangi, sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Timur. Beberapa abad yang lalu, wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Banyuwangi ini merupakan wilayah utama Kerajaan Blambangan. Wilayah pemukiman orang Using makin lama makin mengecil, dan jumlah desa yang bersikukuh mempertahankan adat-istiadat Using juga makin berkurang. Dari 21 kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, tercatat tinggal 9 kecamatan saja yang diduga masih menjadi kantong kebudayaan Using. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Banyuwangi, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring, dan Genteng (Sari, 1994:23).

Identitas budaya suatu masyarakat tertentu selalu menghadirkan pandangan stereotipe. Begitu pula halnya dengan identitas budaya Using. Orang Using diprasangkai sebagai sosok yang kasar (tidak punya tata krama), longgar dalam nilai, terutama yang terkait dengan hubungan antarlawan jenis, dan memiliki ilmu gaib destruktif yang disebut santet, pelet, sihir, dan sebangsanya (Subaharianto, 1996:3). Di samping citra negatif tersebut, orang Using juga dikenal memiliki citra positif yang membuatnya dikenal luas dan dianggap sebagai aset budaya yang produktif yaitu 1) ahli dalam bercocok tanam; 2) memiliki tradisi kesenian yang handal; 3) sangat egaliter, dan 4) terbuka terhadap perubahan (Sutarto, 2003).

Orang Using dikenal sangat kaya akan produk-produk kesenian. Dalam masyarakat Using, kesenian tradisional masih tetap terjaga kelestariannya, meskipun ada beberapa yang hampir punah. Kesenian pada masyarakat Using merupakan produk adat yang mempunyai relasi dengan nilai religi dan pola mata pencaharian di bidang pertanian. Laku hidup masyarakat Using yang masih menjaga adat serta.

pemahaman mereka terhadap pentingnya kesenian sebagai ungkapan syukur dan kegembiraan masyarakat petani telah menjadikan kesenian Using tetap terjaga hingga sekarang. Tulisan ini akan memaparkan produk-produk kesenian Using yang hingga sekarang masih memiliki pendukung yang kuat.

Produk-produk Kesenian Masyarakat Using
A. Seni Tari
Gandrung
Gandrung adalah seni tari khas masyarakat Using yang sekarang menjadi maskot Kabupaten Banyuwangi. Seorang penari gandrung identik dengan perempuan yang bergulu menjangan berkaki kijang, yang berarti lincah bagai rusa dan memiliki suara yang merdu. Struktur pementasan gandrung meliputi jejer, paju, dan seblang¬seblang. Musik iringan gending jejer yang semula rancak berganti menjadi lembut dan penari melantunkan gending Padha Nonton sebagai lagu wajib pembuka.

Gandrung merupakan salah satu jenis kesenian tradisional Using yang keberadaannya tetap diminati oleh masyarakat. Salah satu keunikan seni gandrung ialah terpadunya gerakan tari yang dinamis dengan suara instrumen yang beragam dan bersuara rancak bersahut-sahutan. Dalam pertunjukan gandrung seorang penari gandrung seringkali melantunkan pantun-pantun Using baik yang terdiri dari dua larik maupun empat larik. Pantun-pantun tersebut ada yang bernuansa agama dan ada pula yang bernuansa asmara.

Seblang
Seni tari seblang merupakan tarian sakral yang berkaitan dengan upacara magis untuk mendatangkan roh halus, roh leluhur atau Hyang. Jenis seni tari yang hanya terdapat di Desa Olehsari dan Bakungan, Kecamatan Galagah, Kabupaten Banyuwangi ini diperkirakan sebagai peninggalan kebudayaan pra-Hindu yang sampai sekarang masih hidup dan tetap dilestarikan. Tari seblang adalah tarian yang diiringi gamelan dan dilakukan oleh seseorang dalam keadaan kejiman atau tidak sadarkan diri (intrance) karena kerasukan atau keserupan roh halus, roh leluhur, atau Hyang. Tarian ini merupakan sarana pemujaan terhadap roh halus, baik roh yang bersifat baik maupun yang tidak baik. Jadi, gerakan-gerakan yang ada pada tari seblang merupakan gerakan tarian roh yang merasuk ke wadah penari. Ciri-ciri gerakannya yiatu dilakukan dengan ritme yang monoton.

Pementasan seni tari ini hanya dilaksanakan sekali dalam setahun, yaitu setiap tanggal 1 Suro bertepatan dengan dilaksanakannya upacara bersih desa atau selamatan desa. Bila pementasan tari seblang tidak diadakan diramalkan akan menimbulkan malapetaka bagi masyarakat desa Olehsari. Atas petunjuk roh halus, pada saat ini pementasan tari seblang dilaksanakan pada setiap Hari Raya Syawal, yaitu tiga atau empat hari sesudahnya. Pementasan tari Seblang dimulai pukul 13.00 sampai dengan pukul 16.00 selama satu minggu.

Barong
Kesenian barong merupakan teater rakyat yang memadukan unsur tari, musik, dan lagu serta cerita yang telah baku dan turun-temurun. Pada awalnya, seni ini merupakan seni pertunjukan yang bersifat sakral dan pementasannya dilaksanakan hanya pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat upacara bersih desa yang diselenggarakan pada minggu pertama bulan Haji (Besar). Tetapi, dewasa ini seni barong sudah menjadi pertunjukan yang bersifat hiburan sehingga bisa dipentaskan pada saat pesta perkawinan, khitanan, atau pergelaran-pergelaran seni lainnya.

Kesenian ini merupakan seni rakyat yang secara khusus mengandung ciri khas Using, baik yang menyangkut musik, tari, dialog, maupun ceritanya. Di Kabupaten Banyuwangi yang masih mempertahankan orisinilitas kesenian barong kurang lebih berjumlah empat kelompok, yaitu kelompok Seni Barong Kemiren, Mandalikan, Mangli, dan Jambersari. Akan tetapi, dari keempat kelompok itu hanya kelompok seni barong Kemiren saja yang masih utuh “keUsingannya” dan sering melakukan pementasan.

Seni Barong di desa Kemiren diciptakan oleh Eyang Buyut Tompo pada sekitar 1830-an. Pada saat itu di desa Kemiren ada pertunjukan Seblang yang dimainkan Embah Sapua. Ketika penari seblang kesurupan, terjadilah dialog dengan Eyang Buyut Tompo agar pementasan seblang dipindah ke desa Ole-Olean (Olehsari), sedangkan di desa Kemiren dipentaskan seni barong. Sejak saat itu ada ketentuan yang harus dipegang teguh oleh masyarakat, yakni masyarakat desa Kemiren tidak diperkenankan mementaskan seblang, dan sebaliknya masyarakat.

Olehsari tidak boleh mementaskan barong. Seni Barong yang diciptakan Buyut Tompo ini didasari oleh leluhur masyarakat Kemiren, Eyang Buyut Cili, yakni tokoh yang dimitoskan dan dianggap sebagai danyang atau penjaga desa Kemiren. Oleh karenanya setiap pementasan, yakni tatkala barong mengalami kesurupan yang masuk adalah Buyut Cili.

Hadrah Kuntulan
Kesenian hadrah kuntulan lahir tidak terlepas dari sejarah perkembangan Islam di Banyuwangi. Sebelumnya, hadrah kuntulan ini bernama seni hadrah barjanji. Menurut beberapa seniman kuntulan berasal dari kuntul, nama sejenis unggas berbulu putih, yang selanjutnya warna putih ini dijadikan sebagai warna busana yang dipakai para pemainnya. Sementara itu, beberapa seniman yang lainnya seperti Hasan Singodimayan, Andang CJ, dan Sudibjo Aries berpendapat bahwa nama kuntulan secara etimologis berasal dari kata arab kuntubil yang artinya terselenggara pada malam hari. Kata tersebut berkaitan dengan aktifitas santri setelah belajar mengaji, yaitu untuk melepaskan rasa jenuh pada malam hari mereka mengadakan kegiatan dengan melontarkan pujian-pujian yang berbentuk syair barjanji dengan diiringi rebana disertai gerakan-gerakan yang monoton.

Pementasan seni hadrah kuntulan berupa tarian rodat (penari laki-laki) yang diiringi dengan rebana ditingkahi vokal barjanjen atau asrokal. Pada awal kelahirannya, di saat pementasan semua penarinya adalah laki-laki karena masyarakat menganggap tabu dan melanggar ajaran agama Islam jika tarian tersebut diperagakan oleh perempuan. Gerakan yang digunakan juga sangat sederhana, yaitu gerakan yang menggambarkan orang shalat, wudu’ dan adzan. Dalam perkembangan selanjutnya, seni hadrah kuntulan mengalami berbagai pernyempurnaan, baik dalam instrumen musik, tarian, busana, maupun penampilan wanita dalam pementasan.

Padhang Ulan
Masyarakat Banyuwangi mempunyai sifat ceria, baik dalam permainan maupun dalam kesenian. Ketika bulan purnama (padhang ulan) antara tanggal 13–17 bulan Jawa, kaum muda mengadakan permainan di perkampungan-perkampungan maupun di pantai, baik secara berkelompok maupun berpasangan. Pada saat seperti ini dimanfaatkan untuk bersenang-senang saja atau untuk mencari jodoh. Situasi seperti inilah yang akhirnya memberikan inspirasi kepada para seniman Banyuwangi untuk menciptakan lagu-lagu, gending, dan tari padhang ulan (terang bulan). Sesuai dengan situasi yang melatarbelakanginya, maka tari padhang ulang mempunyai ciri khas lincah, gembira, dan agak erotis.

Sabuk Mangir
Tari sabuk mangir memiliki latar belakang yang bersifat magis. Istilah sabuk mangir merupakan perpaduan dari dua kata, yaitu sabuk berarti ikat pinggang dan mangir nama sebuah desa di Rogojampi. Sabuk mangir terkenal sebagai sabuk sakti orang Mangir. Berdasarkan kepercayaan bahwa ada kekuatan gaib yang berada dalam sabuk tersebut, orang Mangir berusaha melawan musuh-musuhnya, baik yang musuh yang fisik maupun non-fisik.

Puputan Bayu
Latar belakang tarian ini adalah sebuah ceritera perjuangan seorang wanita bernama Sayuwiwit yang berperang melawan Belanda (VOC). Sayuwiwit mengorganisir para pemudi di zamannya dalam sebuah pasukan wanita yang disegani kawan maupun lawan. Pasukan wanita yang dipimpin oleh srikandi Sayuwiwit ini yang melakukan perlawanan terhadap VOC dengan perang puputan. Perang puputan adalah perang habis-habisan yang menimbulkan banyak korban, baik di pihak lawan maupun di pihak Sayuwiwit. Perang puputan di desa Bayu inilah yang menjadi inspirasi terciptanya tari puputan bayu.

Pupus Widuri
Pupus widuri terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Using, yaitu pupus yang berarti daun muda dan widuri adalah nama sejenis makhluk cantik atau bidadari. Jadi, makna kata pupus widuri adalah gadis muda yang sangat cantik seperti bidadari. Oleh karena itu, tarian ini dilakukan oleh seorang gadis yang baru menanjak remaja. Tari pupus widuri merupakan gabungan dari beberapa gerak tari tradisional Banyuwangi, seperti tari seblang, tari gandrung, tari gridhoan, dan tari ngarak penganten. Gerakan tari-tarian tersebut digabung dan dikonstruksikan

sedemikian rupa sehingga menjadi suatu gerak yang harmonis dan bisa membuat penonton terpesona, baik oleh gerakan maupun kecantikan penarinya.

Keter Wadon
Keter wadon adalah sebuah tari yang diilhami oleh kegiatan burung-burung pipit yang lincah, bebas berkeliaran di udara, mencari makan di mana-mana tanpa ada yang menghalangi, kecuali si anak nakal. Mereka beterbangan di udara, hinggap di atas pohon, bermain di telaga bening, berjemur di panas matahari sambil bercengkerama. Namun, malang karena seekor dari mereka jatuh dipanah, disumpit atau ditembak oleh seseorang yang jahil sehingga ia ditinggal pergi oleh teman¬temannya yang lari ketakutan dan mencari dunia yang lebih bebas dan aman.

Walang Kadung
Tari walang kadung adalah salah satu seni tradisional daerah Banyuwangi yang penciptaannya berdasarkan pengalaman atau pengamatan terhadap kehidupan walang kadung di pohon-pohon atau dedaunan. Walang kadung merupakan jenis serangga yang biasa hidup di daun-daun muda pohon jambu kluthuk (jambu batu). Jika diperhatikan, gerakan binatang ini sangat menarik, terutama pada kaki depannya, kaki belakang yang panjang tidak pernah diam, kepalanya yang tidak pernah tunduk, serta matanya yang selalu terbelalak.

Jaranan Buto
Kesenian jaranan buto berasal dari desa Cemetuk Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi. Istilah jaranan buto mengadopsi nama tokoh legendaris Minakjinggo (terdapat anggapan bahwa Minakjinggo itu bukan berkepala manusia, melainkan berkepala raksasa). Instrumen musik jaranan buta terdiri atas seperangkat gamelan yang terdiri dari 2 bongan (musik perkusi), 2 gong (besar dan kecil) atau kencur, sompret (seruling), kecer (instrumen musik berbentuk seperti penutup gelas yang terbuat dari lempengan tembaga), dan 2 kendang. Sebagai isntrumen peraganya/utamanya adalah replika (penampang samping) kuda raksasa yang terbuat dari anyaman bambu. Wajah raksasa didominasi warna merah menyala, dengan kedua matanya yang besar sedang melotot. Dalam pementasannya masih dilengkapi dengan tiga jenis topeng buto (raksasa), celengan (babi hutan) dan kucingan (kucing)

yang kesemuanya terbuat dari kulit. Topeng-topeng ini ini harus digunakan secara bergantian oleh para pemainnya, baik pemain laki-laki maupun pemain perempuan.

Campursari
Kesenian campursari disebut juga mocoan pacul gowang (seni baca naskah), yang merupakan lahirnya seni pertunjukan yang kemudian dinamai seni campurcari. Pementasan diawali dengan mocoan pacul gowang berupa pembacaan naskah lontar berbahasa Jawa Kuna dan Jawa Pertengahan yang berisi riwayat Nabi Yusuf. Pembacaan naksah lontar ini dilakukan secara ritmis, dan tunduk terhadap aturan panjang pendek vokal (guru lagu), pupuh atau bait nama tembang (syair) yang dilagukan. Pada umumnya pupuh yang digunakan adalah pupuh macapat yang berasal dari tradisi Jawa, seperti Dandanggula, Kinanti, Pucung, Sinom, dan Asmaradana. Seusai pembacaan naskah lontar, acara dilanjutkan dengan atraksi penampilan jenis kesenian lain seperti, kuntulan, janger, gandrung, rengganis, jinggoan, tarian daerah, kendang kempul, lawak, dan dangdutan. Satu genre kesenian yang tidak masuk dalam paket campur sari adalah barongan.

B. Seni Musik
Kendang Kempul
Kesenian kendang kempul yang pada awalnya disebut kendang gong merupakan seni musik yang tumbuh bekembang dari tradisi seni gandrung dengan sentuhan-sentuhan modifikasi perpaduan dengan irama musik dangdut. Dalam hal penggunaan alat musik, selain menggunakan istrumen musik tradisional yang terdiri dari gamelan kempul (biasanya 2 buah), kendang banyuwangen (2 buah, besar dan kecil), dan gong (sekarang tidak dipakai), seni kendang kempul ini juga menggunakan instrumen musik modern.yang terdiri dari organ (keyboard atau syntheziser), gitar (lead maupun melodi), bass elektrik, dan seruling.

Lagu-lagu kendang kempul yang sudah terkenal antara lain, Gelang Alit (ciptaan Andang Cs), Kantru-kantru (“tercengang-cengang”, digubah dari lagu gandrung sekitar tahun 1976), Kembang Pethetan (lagu kendang kempul pertama). Selain lagu-lagu tersebut masih banyak lagi lagu-lagu lainnya, seperti yang dicipta oleh Sanusi, di antaranya yaitu Ibadah Haji, Lare Yatim, Payung, Godhong, Kwade, Gelang Alit, Tanah Kelahiran, Kembang Galengan, dan lain sebagainya.

Angklung Caruk
Seni angklung caruk berasal dari jenis kesenian legong Bali. Pengertian caruk di sini mengacu pada arti lomba, tanding, atau duel meet, yang dalam pementasan dipertandingkan sekurang-kurangnya dua group seni angklung caruk untuk memperebutkan gelar sebagai group kesenian yang terbaik. Kecepatan irama musik dan lagu-lagu yang dimainkannya sangat dipengaruhi oleh nuansa musik angklung ritmis dari bali. Namun dalam kesenian ini terdapat juga perpaduan antara nada dan gamelan slendro dari Jawa yang melahirkan kreativitas estetik.

Dalam pertunjukan seni angklung caruk juga disajikan beberapa tarian yang biasanya dimainkan oleh penari laki-laki. Jenis -jenis tarian tersebut antara lain tari jangeran, tari gandrungan, cakilan, tari kuntulan, dan tari daerah blambangan. Instrumen musik angklung caruk terdiri dari seperangkat angklung (dua unit angklung), kendang (dua buah), slenthem (dua buah), saron (dua buah), peking (dua buah), kethuk (dua buah), dan gong (dua buah).

Angklung Daerah
Seni angklung tumbuh dari tradisi masyarakat agraris, yakni menggunakan bunyi kotekan dari bambu yang pada awalnya dimaksudkan untuk mengusir burung di sawah ketika musim padi. Setelah melalui beberapa tahap penyempurnaan dan penambahan instrumen, akhirnya jenis seni musik ini disebut sebagai angklung daerah serta bisa dipakai untuk mengiringi lagu dan tari. Jenis angklung daerah:

angklung paglak, pementasannya dilakukan di atas paglak (gubuk kecil) di tengah sawah.

angklung caruk, pementasan dua grup angklung yang dilaksanakan di atas panggung untuk menunjukkan kemampuan dan keterampilan masing¬masing.

angklung tetak, pengembangan dari angklung paglak. Dilakukan perubahan bahan instrumen dan nada.

angklung dwi laras, merupakan hasil pengembangan dari angklung tetak. Disebut angklung dwi laras karena angklung jenis ini menggabungkan komposisi dua nada, yaitu laras pelog dan laras slendro.

angklung Blambangan, pengembangan terakhir angklung di daerah Banyuwangi.

Beberapa gending yang biasanya dimainkan dalam angklung daerah antara lain Jaran Ucul, Tetak-tetak, Gelang Alit, Mak Ucuk, Sing Duwe Rupo, Congoatang, Ulan Andung-andung, Mata Walangan, Ngetaki, Selendang Sutera, Padhang Ulan, dan sebagainya). Instrumen pengiring dalam kesenian jenis ini setidaknya terdiri dari angklung (2 set/unit) saron (4 rancak @ 10 buah anak saron), peking (2 rancak), slenthem (2 rancak), kethuk (2 biji), gong (2 rancak), gendang (2 rancak), biola, seruling, dan terompet. Dalam seni angklung daerah diperlukan 10 orang untuk memainkan alat musik, beberapa orang penari, dan satu orang tua atau pendamping. Pada umumnya dalam 1 group angklung daerah jumlah pemainnya berkisar antara 20 – 25 orang pemain.

C. Seni Teater Tradisional
Jinggoan
Istilah lain dari seni jinggoan adalah seni janger dan Damarwulan. Masyarakat Using lebih suka menggunakan istilah jinggoan yang diambil dari nama tokoh Prabu Minakjinggo sebagai pahlawan mereka, sedangkan nama janger dikaitkan dengan dominasi pengaruh unsur Bali pada gamelan, tari, dan tatabusana sebagai akibat terjadinya kontak budaya. Sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Krama. Ini menandakan kepandaian orang Using dalam melakukan adaptasi terhadap pengaruh budaya dari luar. Unsur-unsur Banyuwangi yang masuk ke dalam kesenian ini antara lain seni angklung dan lagu-lagu Banyuwangen.

Dilihat dari bentuk ceritanya, kesenian janger merupakan pengambilan bentuk kesenian langendriyan (ande-ande lumut) yang berasal dari Keraton Mataram Islam di Jogjakarta. Kesenian langendriyan ini pada akhirnya di daerah Banyuwangi berkembang menjadi bentuk dramatari yang dikenal dengan nama Damarwulan. Cerita yang yang sering dipentaskan adalah cerita Bali yaitu Calon Arang, Agung Jelantik, Sastra Dewa. Sedangkan cerita asli Banyuwangi adalah Sayu Wiwit, Wong

Agung Wilis (Minakjinggonya), dan Prabu Tawang Alun. Saat ini, ceritanya tidak lagi terikat oleh cerita kepahlawanan Damarwulan ataupun Minakjinggo (misalnya lakon Minakjinggo Diwisudo), tetapi dapat pula bercerita tentang kepahlawanan tokoh-tokoh kerajaan Jawa masa lampau, seperti Geger Tuban, Pangeran Wilis, dan Geger Majapahit, Babad Singosari, Babad Pajang, Babad Mataram, dan cerita wayang (seperti lakon Kresno Duta, Kongso Adu Jago, dan lain-lain).
Kesenian janger atau jinggoan ini merupakan kesenian yang lengkap, yaitu terdiri dari seni tari, seni drama, seni suara, seni lawak, dan seni lukis atau dekorasi. Dalam pertunjukkannya, kesenian ini sangat komunikatif. Hal ini bisa dilihat ketika penonton mengajukan permintaan kepada para pemain, terutama pelawak untuk membawakan lagu-lagu populer, tembang Jawa atau Banyuwangen, gending, pantun, atau tarian.

Praburoro
Praburoro berasal dari dua kata, yakni prabu yang berarti raja dan roro atau rara yang berarti perempuan. Jadi, praburoro berarti raja perempuan atau ratu (Jw. ratu wedok). Kesenian praburoro merupakan satu jenis seni dramatari dengan lakon yang dipentasakan bersumber pada Serat Menak yang bertolak dari hikayat Negeri Persia. Tokoh-tokoh dari seni dramatari ini antara lain Rengganis, Umar Moyo, Lamtanus, dan Suwongso.

Pusat cerita terletak pada tokoh Dewi Rengganis (seorang ratu, istri Suwongso, putra Jayengrono dari kerajaan Guparman) sehingga seni drama ini disebut praburoro yang berarti “ratu perempuan”. Diceritakan bahwa Dewi Rengganis adalah seorang perempuan yang tidak dapat digauli oleh laki-laki, termasuk suaminya. Rahasia ini diketahui oleh Umar Moyo sehingga Dewi Rengganis merasa sangat malu. Oleh karena itu, ia kemudian melarikan diri ke wilayah Nusantara. Di tanah Jawa ia mendirikan kerajaan dan sekaligus menjadi ratu.

Secara umum praburoro mengisahkan proses masuknya agama Islam ke tanah Jawa. Sebelum Islam masuk, di tanah Jawa sudah memiliki budaya Hindu. Salah satu seni budaya Hindu itu adalah wayang yang alur cerianya bersumber pada epos Ramayana dan Mahabarata, demikian pula tokoh-tokohnya.

Dalam seni drama praburoro terdapat kurang lebih 21 cerita, yaitu Imam Sejati, Umar Seketi, Menak Sopo Nyono, Mali Bari, Bedhahing Bangit, Praburoro, Putri Cino, Rengganis, Dandang Wincono, Umar Moyo Kembar, Umar Mantu, Subroto Kromo, Maktel Kembar, Subroto Rante, Cinde Kembang, Prabu Bantarangi, Joko Lelono, Suwongo Gugat, Angin Suseno, Samirono Sekso, dan Kusumo Maling.

Penutup
Masyarakat Using bukan hanya ulet dan mahir dalam bercocok tanam melainkan juga piawai dalam berkesenian. Eksistensinya bukan hanya membuat Kabupaten Banyuwangi menjadi gudang pangan, melainkan juga gudang produk¬produk kesenian tradisional yang menjadi kebanggaan Provinsi Jawa Timur. Produk¬produk kebudayaan Using memiliki peranan strategis, baik yang bermuatan kultural maupun ekonomi. Jika dikelola, dibina, dan dimanfaatkan dengan baik, produk¬produk kebudayaan Using dapat memberi kontribusi yang berarti bagi baik pembangunan daerah maupun pembangunan nasional.

Orang Using dikenal sebagai sosok yang adaptif, egaliter, terbuka, dan mencintai kesenian. Produk-produk kesenian Using bukan hanya menghibur tetapi juga banyak mengandung nilai perjuangan dan perlawanan terhadap kekuatan asing yang merugikan. Banyak sekali pesan-pesan mulia yang terkandung dalam syair¬syair baik yang dilantunkan dalam kendang kempul maupun hadrah kuntulan Using dan dalam seni tari tradisional Using, seperti Gandrung dan Seblang. Jelasnya, produk budaya Using memiliki dua warna, yaitu produk budaya yang bercitra agraris dan produk yang bercitra patriotik.

Orang Using, meskipun menjadi pemeluk agama Islam, telah memelihara tradisinya dengan baik dan tidak mempertentangkan nilai agama dengan tradisi. Dalam masyarakat Using, agama dan tradisi saling mengisi: agama seringkali sebagai kekuatan yang lebih dominan mewarnai tradisi. Akibatnya, tidak sedikit unsur-unsur agama maupun kepentingan agama mewarnai produk kesenian Using. Produk-produk kesenian Using yang bercitra agraris dapat dimanfaatkan sebagai perekat dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, sedangkan yang bercitra patriotik dapat dimanfaatkan untuk membangun nasionalisme.

Daftar Pustaka
Abal, Fatrah. 1993. “Gending-gending Perjuangan” dalam Gema Blambangan No. 28 dan 29. Banyuwangi.

Ali, Hasan. 1991. “Bahasa dan Sastra Using di Banyuwangi: Suatu Laporan”. Proseding Kongres Bahasa Jawa. Semarang. 15-20 Juli 1991.

. 1994. “Bahasa dan Sastra Using di Banyuwangi” dalam Gema Blambangan, No. 032

. 2002. Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia. Banyuwangi: Dewan Kesenian Blambangan.

Anoegrajekti, Novi. 2003. “Identitas dan Siasat Perempuan Gandrung” dalam Jurnal Srinthil. No. 3 Tahun 2003.

Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. Edisi 1. Cetakan 1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Daniel. 1992. “Seblang Bakungan, Sampai Kapan Bertahan?”. Mutiara No. 611 Tahun ke-15, Minggu I Juli 1992.

Murgiyanto, Sal. M. dan Munardi A.M. 1990. Seblang dan Gandrung: Dua Bentuk Tari Tradisi di Banyuwangi. Jakarta: Pembinaan Media Kebudayaan.

Ningsih, Sri dkk. 2000. Cerita Rakyat Using Banyuwangi. Surabaya: Balai Penelitian Bahasa.
Oetomo, Sri Adi. 1987. Kisah Perjuangan Menegakkan Kerajaan Blambangan. Surabaya: Sinar Wijaya.
______. 1993. Menelusuri dan Mencari “Hari Jadi Banyuwangi”. Pasuruan: Garoeda Buana Indah.

Sari, Dias Mustika. 1994. “Fungsi Wangsalan Dalam Interaksi Sosial: Kajian Sosiolinguistik terhadap Masyarakat Bahasa Using di Dusun Genitri Desa Gendoh Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi”. Skripsi, Fakultas Sastra Universitas Jember.

Singodimayan, Hasnan. 1999. “Sinkretisme, Ciri Khusus Masyarakat Adat Osing”. Dalam Banyuwangi Pos, Banyuwangi, 25-31 Juli 1999.

. 1999. “Sinkretisme, Ciri Khusus Masyarakat Adat Using”. Banyuwangi Pos,. 25-31 Juli 1999.

Soeyono, Bambang. 1998. “Gandrung Banyuwangi sebagai Identitas Budaya Masyarakat Osing di Jawa Timur”. Tesis S-2. Yogyakarta: Pascasarjana UGM.

Subaharianto, Andang. 1996. “Mitologi Buyut Cili Dalam Pandangan Orang Using di Desa Kemiren Kabupaten Banyuwangi”. Laporan Penelitian. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.

Sudjana, I Made. 2001. Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad XVIII. Bali: Larasan Sejarah.

Suprianto, Henricus. 1984. “Muatan Erotik Tembang Gandrung Banyuwangi: Unsur Sastra pada Seni Pertunjukan Gandrung di Banyuwangi”. Makalah Seminar Fakultas Sastra UI.

Suripto. 2000. “Angklung Paglak di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi”. Skripsi Program Studi Etnomusikologi Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta.

Sutarto. 2003. “Etnografi Masyarakat Using”. Laporan Penelitian. Surabaya: Dinas P dan K Provinsi Jawa Timur.

Zainuddin, Sodaqoh dkk. 1996. “Orientasi Nilai Budaya Using di Kabupaten Banyuwangi”. Laporan Penelitian. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember. 1

Sumber :
Makalah disampaikan pada acara pembekalan Jelajah Budaya 2006 yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 7 – 10 Agustus 2006.

Kesenian Tradisional Kabupaten Banyumas Jawa Tengah

Aksimudha
Aksimudha adalah kesenian bernafas islami yang tersaji dalam bentuk atraksi pencak silat yang dipadu dengan tari-tarian dengan iringan terbang/ genjring. Pertunjukkan aksimudha dilakukan oleh delapan penari pria. Aksimudha pernah berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas dan saat ini masih dapat ditemukan di wilayah Kecamatan Wangon.

Angguk
Angguk adalah kesenian bernafas islami yang tersaji dalam bentuk tari-tarian dengan iringan terbang/genjring. Pertunjukkan angguk dilakukan oleh delapan orang pria.

Aplang atau Dhaeng
Aplang atau dhaeng adalah kesenian bernafas islami serupa dengan angguk, pemainnya terdiri atas delapan penari wanita. Aplang masih berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas khususnya di wilayah Kecamatan Somagede.

Baritan

Baritan adalah upacara kesuburan dengan menggunakan kesenian sebagai media utamanya. Hingga saat ini ada dua macam baritan yaitu baritan yang digunakan untuk tujuan memanggil hujan dan baritan untuk keselamatan ternak. Untuk memangil hujan biasanya digunakan berbagai macam kesenian yang ada seperti Iengger, buncis, atau ebeg. Adapun baritan untuk keselamatan ternak biasanya menggunakan Iengger sebagai media upacara. Baritan biasanya dilaksanakan pada mangsa Kapat (sekitar bulan September). Baritan untuk memanggil hujan berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas, sedangkan baritan masih berkembang di wilayah Kecamatan Ajibarang.

Begalan
Begalan adalah seni tutur tradisional yang digunakan sebagai sarana upacara pernikahan. Begalan menggambarkan peristiwa perampokan terhadap barang bawaan dari besan (pihak mempelai pria) oleh seorang begal (perampok). Dalam falsafah orang Banyumas, yang dibegal (dirampok) bukanlah harta benda, melainkan bajang sawane kaki penganten nini penganten (segala macam kendala yang mungkin terjadi dalam kehidupan berumah tangga pada mempelai berdua).

Begalan dilakukan oleh dua orang pria dewasa yang merupakan sedulur pancer lanang (saudara garis laki-laki) dari pihak mempelai pria. Kedua pemain begalan menari di depan kedua mempelai dengan membawa properti yang disebut brenong kepang. Properti tersebut terdiri atas alat-alat dapur yang diberi makna simbolis yang berisi falsafah Jawa dan berguna bagi kedua mempelai yang akan menempuh hidup baru mengarungi kehidupan berumah tangga. Dalam pementasannya, kedua pemain begalan menari dengan diiringi gendhing-gendhing Banyumasan yang disajikan dengan menggunakan perangkat gamelan. Hingga saat ini begalan masih tumbuh subur di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas.

Bongkel
Bongkel adalah musik tradisional mirip angklung, hanya terdiri atas satu buah instrumen dengan empat buah bilah berlaras slendro dengan nada 2 (ro), 3 (1u), 5 (ma) dan 6 (nem). Dalam penyajiannya, bongkel memiliki gendhing-gendhing khusus. Bongkel hanyatumbuh dan berkembang di Desa Gerduren, Kecamatan Purwojati.

Buncis
Buncis adalah perpaduan antara musik dan tail yang dibawakan oleh delapan penari pria. Dalam pertunjukkannya, pemain buncis menari sambil bermain musik dan vokal dengan membawa alat musik angklung. Buncis merupakan kesenian khas desa Tanggeran, kecamatan Somagede, kabupaten Banyumas.

Calung
Calung adalah musik tradisional dengan perangkat mirip gamelan terbuat dari bambu wulung. Musik calung hidup di komunitas masyarakat pedesaan di wilayah sebaran budaya Banyumas. Menurut masyarakat setempat, kata "calung" merupakan jarwo dhosok (dua kata yang digabung menjadi kata bentukan baru) yang berarti carang pring wulung (pucuk bambu wulung) atau dicacah melung-melung (dipukul bersuaranyaring).

Spesifikasi musik calung adalah bentuk musik minimal, yaitu dengan perangkat yang sederhana (minimal), namun mampu menghasilkan aransemen musikal yang lengkap. Perangkat musik calung teridiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong dan kendhang. Perangkat musik ini berlaras slendro dengan nada-nada I (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma) dan 6 (nem).

Dalam penyajiannya, calung menyajikan gendhing-gendhing gaya Banyumas, Surakarta, Yogyakarta, Sunda, dan lagu-lagu pop yang diaransir ulang. Calung tumbuh subur di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas.

Cowongan
Cowongan adalah upacara minta hujan dengan menggunakan properti berupa siwur atau irus yang dihias menyerupai seorang putri. Pelaku cowongan terdiri atas wanita yang tengah dalam keadaan suci (tidak sedang haid, nifas, atau habis melakukan hubungan seksual). Dengan menyanyikan tembang-tembang tertentu yang sesungguhnya merupakan doa-doa itu. Cowongan dilaksanakan hanya pada saat terjadi kemarau panjang. Biasanya ritual ini dilaksanakan mulai pada akhir masa kapat (hitungan masa dalam kalender Jawa) atau sekitar bulan September. Pelaksanaannya pada tiap malam jumat dimulai pada malam jumat kliwon. Dalam tradisi masyarakat Banyumas, cowongan dilakukan dalam hitungan ganjil misalnya I kali, 3 kali, 5 kali atau 7 kali. Apabila sekali dilaksanakan cowongan belum turun hujan maka dilaksanakan 3 kali. Jika dilaksanakan 3 kali belum turun hujan maka dilaksanakan sebanyak 5 kali demikian seterusnya hingga turun hujan. Cowongan hingga saat ini masih dapat dijumpai di desa Plana, Kecamatan Somagede.

Ebeg
Di Banyumas kesenian kuda lumping lebih dikenal dengan sebutan "Ebeg". Tarian ebeg ini menggunakan kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu yang diiringi dengan alat musik gamelan dan dipimpin oleh seorang "Penimbul" atau dalang ebeg. Pada puncak aktifitasnya para penari akan kesurupan sambil makan bunga, pecahan kaca, dan biji padi sambil dicambuk oleh sang Penimbul. Dan para penari akan sadar kembali setelah dibacakan mantra oleh Penimbul atau dalang ebeg tadi.

Gumbeng
Gumbeng adalah permainan rakyat yang terdiri atas potongan ruas bambu yang dilaras dengan nada-nada tertentu, diletakkan di atas kaki yang sengaja di julurkan ke depan dalam posisi duduk. Gumbeng masih berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas.

Kaster
Kaster adalah musik tradisional dengan alat musik berupa siter, gong bumbung dan kendhang kotak sabun (terbuat dart kotak kayu sebagai resonator dengan sumber bunyi berupa tali !caret yang diikatkan di kedua sisi kotak). Dalam pertunjukannya disajikan gendhing-gendhing gaya Surakarta Yogyakarta dan gaya Banyumas. Kaster masih berkembang di kecamatan Purwojati.

Ujungan
Ritual tradisional minta hujan dengan cara adu manusia. Ujungan merupakan adu manusia dengan properti berupa sebatang rotan. Pelaku ujungan adalah laki-laki dewasa yang memiliki kekuatan untuk menahan benturan pukulan lawan. Sebelum beradu pukul, pemain ujungan menari-nari dengan iringan tepuk dan sorak-sorai penonton. Ritual ini hanya dilaksanakan pada saat terjadi kemarau panjang. Biasanya ujungan dilaksanakan pada akhir mangsa kapat (pranata mangsa Jawa) atau sekitar bulan September. Dalam tradisi masyarakat Banyumas, ujungan dilakukan dalam hitungan ganjil, misalnya I kali, 3 kali, 5 kali atau 7 kali.

Apabila sekali dilaksanakan ujungan belum turun hujan, maka dilaksanakan 3 kali. Jika dilaksanakan 3 kali belum turun hujan maka dilaksanakan sebanyak 5 kali. Demikian seterusnya hingga turun hujan. Hinggasaat ini ujungan masih berkembang di kecamatan Somagede.

Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
Wayang kulit gagrag Banyumasan adalah jenis pertunjukkan wayang kulit yang bernafas Banyumas. Lakon-lakon yang disajikan dalam pementasan tidak berbeda dengan wayang kulit purwo, yaitu bersumber dari kitab mahabarata dan Ramayana. Spesifikasi wayang kulit gagrag Banyumasan adalah terletak pada tehnik pembawaannya yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya masyarakat setempat yang memiliki pola kehidupan pola tradisional agraris. Spesifikasi tersebut dapat dilihat pada berbagai sisi seperti sulukan, tokoh-tokoh tertentu yang merupakan lokal genius lokal Banyumasan, sanggit cerita, iringan dan lain-lain. Wayang kulit gagrag Banyumasan memiliki dua versi yang berbeda, yaitu gagrag kidul gunung dan gaggrag lor gunung. Wayang kulit gagrag lor gunung adalah wayang kulit gagrag Banyumasan yang berkembang di sebelah selatan pegunungan kendeng. Adapun gagrag lorgunung adalah wayang kulit gagrag Banyumasan yang berkembang di sebelah Utara pegunungan kendeng. Wayang kulit gagrag Banyumasan masih tumbuh subur di seluruh wilayah kabupaten Banyumas.

Sumber : http://www.banyumaskab.go.id

Kesenian Tradisional Kota Banda Aceh

Seni Tari
Tari Ranup Lampuan
Tari Ranup Lampuan adalah salah satu tarian tradisional Aceh yang ditarikan oleh para wanita. Tarian ini biasanya ditarikan untuk penghormatan dan penyambutan tamu secara resmi. Ranup dalam bahasa Aceh yaitu Sirih, sedangkan Puan yaitu Tempat sirih khas Aceh. Ranup Lampuan bisa diartikan "Sirih dalam Puan". Sirih ini nantinya akan diberikan kepada para tamu sebagai tanda penghormatan atas kedatangannya.

Tari Liko Pulo
Tarian Likok Pulo ini lahir sekitar tahun 1949 yang diciptakan oleh seorang Ulama berasal dari Arab yang tinggal di Pulo Aceh, yaitu salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Besar. Tarian ini pada hakekatnya adalah zikir kepada Allah SWT dan selawat kepada Nabi Muhammad SAW. Gerakan tarian pada prinsipnya ialah gerakan olah tubuh, keterampilan, keseragaman atau kesetaraan dengan memfungsikan anggota tubuh bagian atas, tangan sama-sama ke depan, ke samping kiri atau kanan, dari depan ke belakang, keatas dan kebawah, dengan tempo yang lambat hingga cepat. Tarian ini membutuhkan energi yang tinggi.

Tari Tarek Pukat
Tarek Pukat ini menggambarkan aktifitas para nelayan yang menangkap ikan dilaut. Tarek yang berarti "Tarik", dan Pukat adalah alat sejenis jaring yang digunakan untuk menangkap ikan.

Tari Rapa'i Geleng
Rapa`i Geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di Pesisir Pantai Selatan. Nama Rapa`i diadopsi dari nama Syeik Ripa`i yaitu orang pertama yang mengembangkan alat musik pukul ini. Permainan Rapa`i Geleng juga disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap keseragaman dalam hal kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam lingkungan masyarakat. Tarian ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat dalam syair (lagu-lagu) yang dinyanyikan. Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial.

Tari Saman
Syair dalam tarian Saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh ataupun Gayo. Pada masa lalu, Tari Saman biasanya ditampilkan untuk merayakan peristiwa - peristiwa penting dalam adat dan masyarakat Aceh. Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada kenyataannya nama "Saman" diperoleh dari salah satu ulama besar Aceh, Syech Saman.

Tari Saman biasanya ditampilkan tidak menggunakan iringan alat musik, akan tetapi menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai arah. Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech. Karena keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam menampilkan tarian ini, maka para penari dituntut untuk memiliki konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna. Tarian ini khususnya ditarikan oleh para pria.

Tari Laweut
Sebelum sebutan Laweut dipakai, tarian ini mulanya disebut "Seudati Inong", karena tarian ini khusus ditarikan oleh para wanita. Gerak tarian ini, yaitu penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki pentas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.

Tari Pho
Perkataan pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan/sebutan penghormatan dari rakyat.hamba kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom. Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu biasanya dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja, yang didasarkan atas permohonan kepada Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-upacara adat.

Tari Seudati
Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan retoih, atau saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan disingkat menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang syahi berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu pimpinan group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik apapun. Irama dan tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo lagu yang dibawakan pada beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada serta hentakan kaki ke tanah. Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada sesuatu bahan logam di bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga bila dipukul mengeluarkan suara getar dan gema.

Alat Musik Tradisional
Serune Kalee
Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat ini terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise.

Serune ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tem­baga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai penga­manan dari kemungkinan retak/pecah badan serune terse­but. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan rapai dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.

Gendang (Geundrang)
Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gen­dang berfungsi sebagai alat musik tradisional, yang bersama-­sama dengan alat musik tiup seurune kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat maupun upacara iainnya.

Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang berbentuk selinder sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai bambam. Pada permukaan lingkarannya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing, yang sebelumnya telah dibuat ringnya dari rotan dengan ukuran persis seperti ukuran lingkaran gen­dangnya.

Sebagai alat penguat/pengencang permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat dari kulit. Tali ini menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri. Alat pemukul (stick) gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan pada ujungnya yaitu bagian yang dipukul ke kulit.

Rapai
Rapai merupakan sejenis alat instrumen musik tradisio­nal Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang nangka) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. (Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut sidak).

Rapai digunakan sebagai alat musik pukul pada upa­cara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagama­an, perkawinan, kelahiran dan permainan tradisional yaitu debus. Memainkan rapai dengan cara me­mukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin permainan rapai disebut syeh atau kalipah.

Sumber : http://www.bandaacehkota.go.id

Pembuatan Gamelan



Proses Pembuatan Gamelan
Dari seluruh perangkat yang didominasi oleh instrumen perkusi, kelompok perkusi logam yang terbanyak jenisnya selain gambang yang hanya satu¬'atunya di dalam kelompok perkusi.

Dengan demikian pembuatan gamelan ini sebagian besar dipusatkan kepada proses pembentukan logam yang akan dijadikan Gamelan, dengan cara mencapur beberapa jenis logam di dalam takaran yang tepat untuk memperoleh suara dan sonoritas yang bulat. Kata "Gamelan" di dalam bahasa wawa atau dengan kata lain "Gangsa" yang berarti logam campuran antara Tembaga dan Rejasa, atau juga berarti rumus pencampuran kedua logam tersebut di dalam perbandingan Tiga (3) dan Sedasa (10); yang bertati 3 untuk ukuran Timah dan 10 untuk ukuran. Tembaga.

Takaran perbandingan antara Tembaga dan Timah ini harus tepat sekali, dan Empu Gamelan sendiri yang akan meneliti dan menakar supaya memperoleh campuran murni yang disebut Perunggu.

Seluruh proses pembuatan Gamelan ini dibagi menjadi 5 phase :
1. Membesot : melebur campuran
2. Menyingi : mencetak
3. Menempa : membentuk dengan memukul dengan mempergunakan pemu¬kul tertentu.
4. Membabar : penyelesaian terakhir (finishing)
5. Melaras : menyesuaikan nada (tuning)

1). Membesot
Pada waktu 4 orang pandai ini menempa lem¬pengan Gamelan, maka Empu atau di dalam urutan dipersiapkan dahulu yang disebut "Kowi" ialah berbentuk mangkuk yang dibuat dari bahan tanah liat yang dicampur dengan kulit padi dengan cara tradisional yang masih dipergunakan sampai sekarang. Selain itu juga dipersiapkan "Prapen" atau tempat perapian yang dilengkapi dengan "Lamus" atau alat untuk menghembuskan angin supaya memperoleh suhu yang cukup panas.

Kowi yang sudah jadi kemudian diisi dengan campuran logam tersebut dan dipanaskan di atas Prapen sehingga mencapai 3000° C, sehingga menjadi semacam bubur besi yang berwarna keputihan dan menjadi bahan Perunggu yang disebut "Gasa".

Bahan Gasa yang sempurna akan berwarna hitam mengkilap dan apabila tidak demikian maka bahan ini dilebur kembali dengan diberi tambahan bekas kikiran dan kulit padi yang akan membersihkan kotoran¬-kotoran yang tidak diperlukan.

Kowi yang dipergunakan juga bermacam-macam menurut jumlah volume logam yang akan dicampur, sehingga satu kali peleburan dengan isi maksimal 2000 cc dapat membentuk satu atau beberapa bilah Gamelan.


Bermacam bentuk Kowi

2). Menyingi
Menyingi atau Mencetak leburan logam merupakan phase kedua yang akan membentuk bilah atau bulat dengan tiga bentuk cetakan ialah :
1. Bentuk Dawan atau bentuk bulat panjang yang akan membentuk bilah.
2. Bentuk Bundar dengan volume setengah bulatan untuk pembuatan pencon.
3. Bentuk Pasinngen atau Cebongan (Rerudu)
Dari bentuk-bentuk cetakan tersebut kemudian dituangkan leburan Gasa yang diproses kemudian untuk dibentuk lebih jelas lagi.

3). Menempa
Proses untuk pembentukan Gasa kemudian ialah dengan menempa menjadi bentuk yang dimaksudkan. Tukang tempa ini di dalam pembuatan gamelan disebut pandai (pande) dipimpin oleh seorang Empu dengan Pandai sejumlah 4 orang dengan 4 jenis palu yang besarnya berbeda.

Palu yang dipergunakan ini dengan nama-nama, yang terkecil ialah "Palu Ngajeng" yang dipegang oleh Pandai yang bernama "Wirun", kamudian palu yang lebih -besar disebut " Palu Tengah" oleh "Handaga" palu yang lebih besar lagi disebut "Palu Pengapit" dipegang oleh Kartala dan palu yang terbesar disebut "Palu Tepong" dipegang oleh Brajanta.

Penggemblengan logam ini dilakukan dengan ritme 4 berkesinambungan sampai Gasa menjadi tipis. Proses penggemblengan ini akan berhenti berturut-turut dimulai oleh Brajanata kemudian dengan irama "Tiga" dan sampai Kartala berhenti terakhir hanya tinggal Wirun saja yang masih menggembleng.

Logam Gasa yang sudah mulai membentuk kemudian disempurnakan oleh Empu sampai kepada bentuk yang dimaksudkan dengan sesekali memasukkan Gasa ini ke dalam Prapen, yang apabila sampai menjadi merah warnanya baru dilakukan penempaan lagi.

Sementara itu tukang "Lamus" ialah pembantu yang melayani peniupan angin dengan lamus akan tetap mengikuti isyarat Empu untuk mempercepat angin atau sebaliknya.


Berbagai peralatan menempa khusus untuk pembuatan Gamelan


Untuk pembuatan instrumen yang berbentuk bulat dengan pencon seperti Kenong, Gong atau Kempul ; penggemblengan ini dilakukan pada hasil cetakan yang berbentuk piring, yang ditempa dari dalam keluar sehingga menjadi bentuk melebar.

Proses kemudian setelah sampai pada diameter yang dimaksudkan pada pinggirnya dibentuk melengkung dengan pukulan dan palu tertentu. Bentuk bekas pukulan ini masih terlihat pada Gong dan Kempul selain bagian Pencon yang dihaluskan sampai mengkilat.

Pada waktu 4 orang pandai ini menempa lempengan Gamelan, maka Empu atau di dalam urutan ini dipanggil Panji Sepuh bertugas mengarahkan keempat Pandai dengan memegang sebatang besi panjang yang ujungnya berbentuk kait disebut "Penyukat"; dengan memutar dan menggerakkan lempengan Gasa pada posisi yang tepat.

Phase yang paling sulit ialah pada waktu menempa untuk membuat Pencon dan melipat pinggiran sebuah Gong. Dengan mempergunakan pelbagai palu yang khusus untuk maksud ini, Panji Ageng membuat gerakan dengan palu seperti gerakan memacul supaya mendapat pinggiran, sambil memutar lempengan Gasa.

Sedangkan untuk membuat Pencon juga dengan bermacam-macam cara, diantaranya memukul tengah lempengan Gasa dengan palu yang ujungnya berbentuk bulat telor, sampai memperoleh bentuk Pencon yang dimaksudkan; dan cara lain yang sudah tidak biasa dipergunakan ialah dengan meletakkan lempengan Gasa di atas batu yang berlubang sebesar Pencon dan kemudian memukulnya pada lempengan yang terletak di atas lubang batu tersebut.


Berbagai bentuk palu, Penyukat dan tirai penahan panas

Pada waktu pembuatan bilah-bilah seperti untuk bila Saron, bentuk hasil cetakan ditempa untuk dipadatkan sambil membentuk bilah yang dimaksudkan.

Ada sejumlah penampang bilah dengan gaya masing-masing seperti bilah Mataram atau bentuk-¬bentuk lain.

Bentuk penampang Bilah tersebut jugs dipergunakan untuk Bilah Gender, akan tetapi pada Gender biasanya mempergunakan bentuk "Kruwengan".

Dari bentuk-bentuk tersebut apabila dikem¬bangkan selanjutnya dapat memperoleh bentuk hasil gabungan antara beberapa gaya, seperti bentuk "Jayabaya", bentuk "Siyem", bangun "Mojopahit" dan bangun "Pajang".

Bentuk-bentuk bangunan ini berkembang terus yang merupakan gabungan variasi dari bangunan asli dengan gaya masing-masing pembuat Gamelan. Hasil tempaan untuk bilah-bilah ini secara umum mempunyai ukuran yang ditetapkan oleh masingzmasing Empu Gamelan, akan tetapi pada umumnya bilah-bilah ini mempunyai ukuran :

Bilah

Panjang

Lebar

Tebal

Saron Demung

26 cm

6,8 cm

1 cm

Saron Barung

19 cm

4,7 cm

1 cm

Saron Peking

14 cm

3,5 cm

3,3 cm

Slenthem

27 cm

7,5 cm

0,4 cm

Gender

14 cm

9 cm

0,6 cm





Akan tetapi ukuran-ukuran ini dapat berubah tergantung pada hasil terakhir setelah di "Laras" atau "tuning", oleh karena perbandingan tebal masa tidak sesuai dengan volume; sehingga mungkin saja panjang Bilah ini dikikir dan disesuaikan dengan pitch yang dimaksud.

4). Membabar
Phase selanjutnya menurut urutan pembuatan gamelan ini ialah Membabar atau menyelesaikan babak akhir atau di dalam bahasa asingnya "finishing". Dalam taraf ini bentuk-bentuk gamelan telah jadi akan tetapi masih dengan permukaan yang kasar. Oleh karena itu pada pekerjaan selanjutnya ialah penyelesaian dengan mengikir dan menghaluskan permukaan-permukaannya dengan sangat hati-hati, supaya tidak merubah nada terlalu banyak.

Di dalarn pekerjaan mengikir ini mula-mula dengan kikir kasar, kemudian dengan kikir halus dan terakhir dengan kertas ampelas halus sampai permukaannya menjadi mengkilat.

Pada Bilah-Bilah Saron, Gender, Slenthem; kemudian pada Kenong, Ketuk dan Bonang dan kelompoknya; semua permukaan instrumen ini dihaluskan sampai mengkilat. Hanya pada Gong Ageng atau Gong Besar biasanya yang digosok pengkilat hanya pada Penconnya saja, sedangkan pada perrnulaan lain dibiarkan dengan warna aslinya yang kehitam¬-hitaman.


Proses pembentuk sebuah Gong dan Pencong Gong yang dihaluskan.

Urutan cara melakukan pekerjaan finishing ialah :
1. Mengikir dengan kikir kasar
2. Mengikir dengan kikir halus
3. Mengikir (menggosok) dengan pasir halus.
4. Menghaluskan pataran
5. Menggosok dengan batu timbul untuk meng¬hilangkan guratan kikir
6. Menggosok dengan batu asahan untuk meng¬menghilangkan guratan bekas batu timbul
7. Menggosok dengan arang untuk mengilangkan bekas guratan batu asahan
8. Menggosok dengan serbuk bata
9. Menggosok dengan obat gosok atau polish yang pada waktu ini banyak dijual
Sebutan untuk pekerjaan menggosok ini untuk bagian tertentu untuk Gamelan yang memiliki Pencu ialah :

a. Pencunya yang mengkilat disebut Gambang Repetang.
b. Pencu dan Rai : Padang Rembulan
c. Pencu, Rai, Recep sampai Dudu disebut Bopongan
d. Seluruhnya mengkilap disebut Gilapan.

Nama bagian dari Gamelan yang ber Pencu:


a. Pencu
b. Rai
c. Recep
d. Dudu

Nama-nama ini juga berlaku untuk instrumen serupa sampai pada bentuk yang lebih besar seperti pada Gong. Sebuah instrumen Idiophone yang bukan dari logam ialah : Gambang. Gambang ini disusun dengan bilah sebanyak 3 oktaf dan dengan pemukul yang tangkainya dibuat dari kayu atau tanduk, sedangkan kepala pemukul dari kayu bulat pipih dengan pinggiran dilapisi dengan lilitan tali "lawe" atau benang katun. Dibuat dari kayu seluruhnya, Gambang tidak mempergunakan bambu sebagai resonator, akan tetapi grabagan atau badan Gambang itulah yang menjadi resonator. Bilah-bilah instrumen ini biasanya dibuat dari kayu Selangking, kayu Sembiri atau kayu Gembuk. Jenis kayu-kayu ini tidak merubah warnanya meskipun terjadi perubahan cuaca atau temperatur, tetapi masih memiliki bunyi yang cerah dan hampir tidak terdengar suara overtone.

5). Melaras
Taraf terakhir dari pembuatan Gamelan ialah "Melaras" atau menyesuaikan nada yang didalam instrumen Barat disebut "tuning".01eh karena sebagian besar perangkat Gamelan ini dengan laras yang tetap¬kecuali Rebab, maka pekerjaan melaras tidak selamanya dilakukan pada waktu sebelum pagelaran akan tetapi dilakukan kira-kira dua tahun sekali.

Pekerjaan melaras Gamelan ini bukan tugas yang mudah oleh karena Gamelan tidak memiliki standar pitch seperti pada instrumen diatonik, melainkan disesuaikan pitch Gamelan yang ada. Memang ada sejumlah Empu Gamelan yang mendapat pesanan dengan standart pitch seperti pada A= 440, akan tetapi pada umumnya perangkat Gamelan satu dan lainnya akan berbeda sedikit yang menjadi warna dan watak Gamelan itu sendiri.

Cara melaras untuk Bilah seperti pada Saron. Gambang, Slenthem dan jenis Bilah lainnya ialah dengan mengurangi ketebalan Bilah dibandingkan dengan panjang Bilah.

Melaras sebuah Bilah dapat dilakukan dengan menggantungkan Bilah tersebut pada tali yang direntangkan. Kemudian pada Bila ini dipukul sehingga menimbulkan getaran. Apabila nada ini ketinggian maka untuk merendahkan nada tersebut ialah dengan menipiskan bagian tengah Bilah dengan kikir atau kertas ampelas, sedangkan untuk menaikkan nada ialah dengan menipiskan tepi Bilah.

Untuk mengurangi suara overtone pada Gender dan Slenthem, pada bilah-bilah tersebut dibawahnya diletakkan bambu atau Bumbung yang selain untuk mengurangi overtone tersebut juga sebagai resonator sehingga bunyinya menjadi lebih keras dan berdengung.

Bumbung dari bambu ini dilaras urr, K mem¬peroleh dengung yang tepat dengan mempergunakan pasir atau air. Caranya ialah dengan meletakkan Bilah yang sudah ditala di atas Bumbung resonator pada ketinggian tertentu, sedangkan pada alas Bumbung ini diisi dengan pasir. Pada waktu bilah dipukul maka dengung ini akan terjadi lebih keras pada volume Bumbung dengan mengurangi atau menambah jumlah pasir. Cara lain yang lebih mudah ialah dengan memasukkan alas Bumbung pada permukaan air. Dengan memukul Bilah di atas Bumbung ini maka dengan menaikkan dan menurunkan Bumbung akan memperoleh dengung yang tepat yang kemudian diberi tanda untuk ditutup pada tanda tersebut. Pada waktu ini Bumbung resonator ini kadang-kadang dibuat dari logam atau seng yang dibentuk seperti silinser yang besar di,ameternya disesuaikan dengan nada Bilah. Dengan sendirinya Bumbung yang sebelah kiri - nada rendah, akan mempunyai diameter lebih besar dan kemudian mengecil sampai pada ujung sebelah kanan. Untuk memperoleh resonansi yang bagus yang menimbulkan sonoritas bulat, sebenarnya Bumbung ini yang paling baik dibuat dari Bambu Rampal, Bambu Petung atau Bambu Gading yang pada ujung atasnya ditutup dengan lempengan atau seng yang sesuai dan diberi lubang yang disebut "Suweg".

Gender dan Slenthem yang mempergunakan Bumbung sebagai resonator ini akan kelihatan ruasnya dengan ruas yang pendek pada nada tinggi dan merendah pada nada-nada yang menjadi lebih rendah pula.

Pada instrumen yang memiliki Pencu seperti Kenong, Kempul dan Gong, maka pekerjaan menala ini dilakukan pada Pencu dengan prinsip menipiskan untuk memperoleh nada lebih tinggi dan sebaliknya melebarkan Bau atau sayap pada Gong. Akan tetapi penalaan instrumen ini jarang sekali, oleh karena instrumen-instrumen tersebut jarang sekali berubah nadanya.

Untuk menala sebuah perangkat Gamelan akan memakan waktu dua minggu untuk seluruh instrumen, yang sudah tentu bukan pekerjaan ringan pekerjaan melaras atau menala kembali Gamelan ini.

Penutup
Demikianlah Proses pembuatan Gamelan ini yang sampai sekarang masih dilakukan secara tradisional, ditambah dengan upacara tertentu untuk pembuatan Gong. Seperti misalnya dengan "Lamus" yang biasanya dilakukan oleh tenaga manusia, alat ini juga tidak diganti dengan kipas listrik, dengan kepercayaan bahwa cara tradisional ini lebih sesuai untuk pembuatan Gamelan.

Hanya beberapa pembuat Garnelan yang diminta memproduksi perangkat Gamelan atas dasar pesanan, maka beberapa peralatan perlengkapan terpaksa diganti dengan yang lebih canggih supaya dapat mengejar waktu pembuatan.

Hiasan-hiasan "Prada" atau hiasan lain pada "Grobogan" atau badan Gamelan juga mempunyai nilai tertentu, oleh karena dengan hiasan-hiasan tersebut akan dilihat lebih indah dari pada Grobogan yang polos tanpa hiasan seperti pada gamelan yang dibuat dari besi. Jumlah instrumen ini juga bervariasi, seperti pada jumlah standar dengan 20 sampai 25 instrumen; pada waktu ini sudah ditambah dengan beberapa instrumen diatonik untuk memperoleh efek yang lain. Sampai pada waktu ini pembuat gamelan banyak dilakukan di daerah Bekonang, Sukoharjo Wilayah Surakarta, meskipun ada beberapa pembuat Gamelan di, daerah lain seperti di Bogor-Jawa Barat.

Kepustakaan
Dr. Mantle Hood "Patet in Javanese Music"

Jennifer Lindsay "Javan Gamelan". Tradisional Orchestra of Indonesia.

Jacobc Hasselt "De Gong- Fabricatee Te Semarang"

Wawancara dengan KRTMTH. Sundoro Widyodipuro Kepala Perpustakaan Istana Mangkunegaran (Mantan Kepala Pabrik Gamelan Pura Mangkunegaran)

Beberapa catatan "Pertukangan Membuat Gamelan" Akademi Seni Karawitan Surakarta (ASKI)

Pengamatan sendiri.

Rudi Badil/ Nurhadi Rangkuti “Rahasia di kaki Borobudur”

Musical Instrumen of The Wold Illustrated Encyclopedia Batam Book

G. Revesz Introduction to The Psycholology of Music

Sumber :
Prabowo Praharyawan, 1995/1996 “Proses Pembuatan Gamelan” Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan.

Proses Pembuatan Gamelan



Pendahuluan
Gamelan Jawa telah lahir sejak berabad abad yang lalu dan berkembang memulai pengajaran turun serta melewati pelbagai perubahan zaman. Akan tetapi meskipun demikian watak dan karakter Gamelan ini tidak banyak berubah berkat pemeliharaan kesenian tradisional yang yang berpusat di kerajaan-kerajaan yang hingga kini masih memiliki sifat sakralnya.

Instrumen Gamelan Jawa ini diperkirakan telah ada sejak tahun 230 yang pada waktu itu terdapat seperangkat Gamelan berupa 3. buah Gong 1), Kendang, Ketuk, Kenong dan Kemanak yang diketemukan sebagai warisan dari zaman tersebut.

Konsep yang menggambarkan hubungan antara musik dan keagamaan dan musik sebagai hiburan terdapat pada relief candi Borobudur yang melukiskan upacara agama dengan mempergunakan lonceng besar dan sekelompok pemain musik yang menghibur suatu keluarga kaya.

Gambaran relief ini sedikit banyak membuktikan bahwa pada waktu itu telah ada sistem tangga nada pentatonik "slendro" sebagai sebutan lain dari Raja Syailendra 2) yang berkuasa pada waktu itu; sedangkan sistem "pelog" diketernukan kemudian sebagai perkembangan sistem tangga nada yang bersifat keduniawiaan. Kehadiran sistem tangga nada diatonik dari Barat pada abad ke 16 tidak mempengaruhi sifat dan karakter Gamelan ini, karena sistem pentatonik yang asli masih dipertahankan meskipun ada beberapa perbedaan sedikit antara Gamelan Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pada abad ke-17 terjadilah suatu lembaran baru di dalam sejarah Gamelan dengan penyempurnaan kelompok inatrumen keras seperti : kempul, kenong, kempyang dan gong, gambang, celempung, suling dan rebab; yang melahirkan orkes Gamelan modern dan menjadi bentuk standar sampai sekarang.

Instrumen Gamelan didominasi oleh instrumen pukul-logam yang dibuat dari campuran logam tertentu sehingga memperoleh warna suara dan sonoritas yang bulat, meskipun ada juga beberapa perangkat yang dibuat dari logam besi yang sudah tentu biaya pembuatannya menjadi lebih murah.

Di sebelah barat Yogyakarta, tepatnya di pe¬gunungan Menoreh, akhir-akhir ini telah lahir sebuah bentuk perangkat Gamelan yang seluruhnya dibuat dari bahan bambu - kecuali kendang; yang produksi suaranya jauh berbeda dengan gamelan logam tetapi oleh pembuatnya sebagai alternatif pembuatan Gamelan yang jauh lebih murah. Rahasia pembuatan Gamelan logam ini masih dipegang teguh oleh para empu Gamelan yang jumlahnya pada waktu ini tidak banyak, oleh karena kepandaian pembuatan Gamelan ini biasanya diajarkan turun temurun disertai persyaratan khusus yang diperlukan oleh seorang "pande" atau empu Gamelan.

Oleh karena pembuatan Gamelan ini tidak mem¬pergunakan standart-pitch seperti pada instrumen Barat, maka masing-masing perangkat Gamelan akan berbeda pitchnya satu sama lain yang juga menjadi warna indentitas masing-masing.

Demikian Pembuatan intrumen Gamelan ini sampai sekarang belum dikerjakan secara masinal, tetapi hanya dengan keterampilan tangan yang hasilnya merupakan masterpiece yang dilindungi Undang¬undang serta harus memperoleh izin khusus untuk membawanya keluar negeri.

Catatan :
1). Gamelan tiga nada yang disebut Gamelan "Lokananta" yang terdiri dari tiga buah gong yang berbeda nadanya.
2). Raja Syailendra berkuasa di Jawa pada abad ke-9 yang mendirikan Candi Borobudur.

Sistem Tangga Nada
Pada Gamelan Jawa ada dua sistem tangga nada ialah : Slendro dengan 5-nada dan Pelog dengan 7- nadadi dalam satu oktaf. Slendro ini memiliki suasana yang cerah dan gembira sedângkan Pelog mempunyai warna yang melankolis dan sedih.

Di dalam performance Gamelan lengkap memiliki dua perangkat sistem tersebut, yang diletakkan menyamping pada masing-masing istrumen sehingga pemain dapat mengubah sikap duduknya saja pada waktu memainkan perangkat yang lain.

Ukuran cents ialah perhitungan skala diatonik dengan perbandingan 100-cents sama dengan "setengah nada" pada sistem diatonik.

Dari sistem Slendro dan Pelog ini dapat dilakukan Modus atau dalam istilah karawitan "patet" dengan merubah nada dasar pada gending dengan modus seperti pada Slendro dapat menjadi : Patet-enem, Patet sanga dan Patet Manyura; sedangkan pada pelog dapat menjadi : Patet lima, Patet enem dan Patet barang; yang masing-masing Patet memiliki warna dan suasana tersendiri.

Dasar perbandingan antara nada Slendro dan Pelod sudah jelas perbedaanya, tetapi pada Pelog dan Diatonis meskipun pembagiannya masing-masing menjadi 7-nada masih ada perbedaan jarak yang tidak mungkin disamakan.

Oleh karena itu usaha untuk menggabungkan istrumen Barat dengan Gamelan ini kemungkinan hanya bersifat exotis atau barangkali malah bersifat politis, dan bukan berdasarkan artistik semata-mata.

Di dalam mengiringi pagelaran wayang kulit, permainan Gamelan ini disesuaikan dengan waktu dan suasana atau ceritera wayang, dengan mempergunakan 3 Patet yang berbeda suasananya. Seperti pada Slendro yang memiliki watak kesedihan yang mendalam atau kegembiraan yang melimpah atau suasana sedih pada waktu berpisah. Sedangkan pada Pelog memiliki watak "moestoso" seperti pada "Pelog patet lima" memberikan suasana yang luhur dan anggun. Akan tetapi pada" Pelog barang" sebaliknya menimbulkan suasana emosionil, pedih yang dihubungkan dengan cinta.

Demikianlah sistem Pent'atonik pada Gamelan Jawa ini memberikan nuansa yang kaya, meskipun ada beberapa keterbatasan di dalam jumlah nada dan susunan harmoninya.

Intrumens Gamelan
Secara garis besar instrumen Gamelan dibagi menjadi beberapa keluarga, ialah
1. AEROPHONE : Suling
2. CHORDOPHONE : 1). Tali gesek : Rebab 2). Tali petik : Siter, Clempung
3. MEMBRANOPHONE : Kendang, bedug
4. IDIOPHONE: Saron, Gender, Slentem, Ketuk, Kempyang, Kenong, Gambang dan Gong.

Jumlah perangkat Gamelan lengkap dapat mencapai 25 sampai 30 instrumen setiap perangkat Slendro maupun Pelog.

Akhir-akhir ini ada beberapa instrumen diatonik seperti Trompet dan Trombone didalam pagelaran Gamelan untuk mengiringi wayang kulit sebagai suara efek seperti yang dirintis oleh Dalang Ki Nartosabdo, yang telah mengguncang dunia pewayangan beberapa tahun yang lalu.

Arah ini kemudian diikuti oleh beberapa dalang Sunda seperti Asep Sunarya, yang juga memper¬gunakan instrumen diatonik seperti gitar listrik di dalam pagelaran wayang golek dan bahkan sekarang telah berkembang dengan mempergunakan drum-set dan electronic keybord di dalam suatu pagelaran wayang kulit untuk mengiringi lagu-lagu yang dinyanyikan oleh para panakawan.

Penambahan instrumen-instrumen diatonik tersebut mendapat tantangan keras oleh penganut konservastif yang mengatakan telah merusak pakem wayang, meskipun secara meluas mulai digemari oleh peminat baru dari kalangan remaja.

Instrumen Gamelan dan Bahan Pembuatannya Instrumen Aerophone Suling
Dari keluarga jenis ini hanya ada satu instrumen aerophone ialah Suling, yang dimainkan secara vertikal yang bahan dasarnya dibuat dari bambu. Jenis bambu yang dipergunakan ialah bambu "Wuluh" yang dipotong sekitar bulan Juni-atau sebelum musim hujan¬sehingga tidak terdapat telor serangga pengerat yang disebut "bubuk". Jenis bambu ini banyak terdapat di lereng pegunungan yang apabila sudah kering warnanya menjadi kuning keputih-putihan dan sangat ringan.

Kelemahan istrumen ini ialah sangat terpengaruh oleh perubahan cuaca dan suhu ruangan, sehingga sedikit banyak mengakibatkan perubahan pitch dan warna suaranya.

Cara memotongnya ialah pada pangkalnya dipotong tepat pada ruas tertutup, sedang ujungnya dipotong pada ruas terbuka. Bambu ini kemudian dikeringkan untuk beberapa waktu sehingga tidak berubah porinya dan warnanya menjadi agak keputih¬putihan. Pada ruas tertutup kemudian ditakik menjadi seperti pada lubang peluit kemudian dililit dengan bambu tipis yang apabila ditiup akan menimbulkan produksi suara.

Lubang-lubang pada suling ini biasanya dibuat dengan besi panas supaya dapat memperoleh bulatan yang, tepat, dan dengan jarak yang ditentukan seperti pada suling Slendro dan Pelog yang jaraknya berbeda. Suling ini biasanya dengan ukuran panjang 45 cm dan garis tengah 2,5 cm, yang dapat bervariasi sedikit disesuaikan dengan "tuning" yang dimaksudkan, dan baru-baru ini ada inovasi baru di dalam pembuatan suling bukan dengan bahan bambu tetapi dengan bahan “pralon”

Instrumen Chordophone
Di dalam Gamelan ada dua jenis instrumen ini ialah tali yang digesek : Rebab dan tali yang dipetik : Clempung dan Siter. Rebab yang hanya bertali dua ini dianggap sebagai instrumen absolut seperti biola atau cello, yang tidak mempergunakan "fret" pada lehernya, sedangkan Clempung dan Siter ialah instrumen tali petik dengan 26 tali untuk 13 nada.

Rebab
Instrumen ini sejarahnya berasal dari Mesir yang dibawa melalui India, Thailand dan Semenanjung 'Malaka; sehingga daerah-daerah ini juga memiliki instrumen serupa yang aslinya bernama : Rebab. Tubuli Rebab ini dibuat dari "Galih Asam"- ialah biagian tengah dari kayu pohon Asam, yang ditakik dan dibentuk seperti daun. Mula-mula sebenarnya Rebab ini tubuhnya dibuat dari "batok kelapa" yang juga berbentuk daun yang lebarnya 19 cm dan panjang 20 cm. Sedangkan lehernya dengan panjang 70 cm dibuat dari "Galih Asem" dengan perbedaan bahwa untuk Rebab Slendro dengan leher yang diberi warna bahan kayu yang berwarna putih di sepanjang leher, sedangkan pada Pelog dengan wama aslinya-coklat tua.


Rebab

Sebagai instrumen absolut yang sulit me¬mainkannya, Rebab biasanya dimainkan pada introduksi Gending Gede yang kemudian disambut oleh Kendang dan instrumen-instrumen lainnya.

Rebab Slendro dan Pelog kedua Rebab duanya di "tune" pada nada 6 dan 2 atau jarak 5 (quint) yang dimainkan bersama pada waktu mengeseknya menjadi "paralel Quint" pada seluruh Gending, sedangkan ke tegangan rambut pada penggesek (bow) dapat diatur dengan tangan yang memegang penggesek tersebut.


Penggesek Rebab


Siter
Siter dan Clempung adalah jenis instrumen tali yang dipetik dengan perbedaan bahwa Siter bentuknya lebih kecil dan lebih sederhana, sedangkan Clempung merupakan Siter besar dengan kaki-kaki dan hiasan sehingga nampak anggun.
Dengan jumlah tali sebanyak 26 dan dengan 13 nada, maka satu nada ditala pada dua tali yang sama, maka Siter memiliki suara seperti petikan yang di "sustain" dengan warna cerah dan tajam.

Permainan Siter dan Clempung ini dilakukan seperti pada "moltoperpetuo" ialah dengan memainkan nada terus menerus di dalam rangkaian variasi dari Guru Lagu, yang mengisi nada-nada di antara Demung dan Gender.

Siter dapat dimainkan sebagai instrumen solo yang kadang-kadang digabung dengan Gender dan Suling yang merupakan ensemble lembut dan hangat, karena masing-masing dapat membuat variasi dari Guru Lagu. Tali atau string ini dibuat dari kawat kuningan. Tali atau string instrumen ini dibuat dari kawat kuningan pada ketebalan yang sama, sehingga pada nada-nada rendah condong menimbulkan getaran overtone apabila cara memetiknya terialu keras. Pada Clempung atau Siter besar ini dengan kaki-kaki dan hiasan yang panjangnya sampai 1 m, instrumen ini ditala dengan pitch lebih rendah dibandingkan dengan Siter.

Instrumen Membranophone
Dari keluarga jenis instrumen ini ada dua instrumen ialah Kendang dan Bedug. Kendang di dalam Gamelan ialah "Drum" yang ditutup dengan kulit kedua ujungnya (head) dan dipukul dengan telapak tangan dan jari, sedangkan Bedug ialah Kendang di dalam bentuk lebih besar dan cara memainkan ialah dengan pemukul. Kendang dapat dianggap sebagai pimpinan seluruh permainan Gamelan, karena Kendang dapat memberi aba untuk memulai, mempercepat, memperlambat dan mengakhiri seluruh permainan.

Ada tiga,Kendang yang biasa dipergunakan ialah Kendang Gending atau Kendang Ageng untuk permainan:Gending yang lembut, yang digabung dengan kendang Ketipung menjadi sepasang Kendang Kalih.

Kendang yang lebih kecil ialah Kendang Batangan atau Kendang Ciblon yang biasa dipergunakan untuk mengiringi pagelaran Wayang Kulit, dengan pukulan¬pukulan kendang yang disesuaikan dengan gerakan wayang atau tarian sehingga dapat menghidupkan gerakan wayang ini. Pukulan Kendang Ciblon ini ialah tiruan dari bunyi "ciblon" yang biasanya dimainkan di sungai yang cukup sulit untuk memainkan pada kendang.

Oleh karena Kendang dianggap sebagai pimpinan di dalam permainan di dalam orkes Gamelan, biasanya Kendang ini diletakkan di tengah kelompok berdekatan dengan Rebab, Gender dan Suling: sehingga isyarat¬isyarat musik dan dinamik dapat disambut dengan tepat oleh instrumen-instrumen lainnya.


Kendang

Instrumen Idiophone
Arti kata Gamelan ialah dari asal kata bahasa Jawa "Gamel" yang artinya suatu bentuk pemukul seperti pada tukang pandai besi. Jadi Gamelan berarti permainan instrumen yang dengan memukulnya atau di dalam istilahnya instrumen perkusi.

Dari seluruh orkes Gamelan yang terdiri dari 20 jenis instrumen perkusi ini, instrumen perkusi-logam yang mendominasi dari seluruh kelompok seperti : Saron, Kenong, Ketuk, Kempyang, Bonang, Gender, Slenthem dan Gong; sedangkan perkusi-kayu hanya ada satu ialah : Gambang.

Dari seluruh instrumen perkusi-logam tersebut umumnya dibuat dari bahan campuran tembaga dan timah yang dilebur bersama dan dibentuk menurut bentuk bilah atau bentuk lainnya.

Dari jenis Saron ada tiga Saron ialah : Saron Panerus, Saron Barung dan Saron Demung. Saron Penerus ialah Saron yang memeng Guru Lagu dengan pemukul yang dibuat dari tanduk kerbau dengan produksi suara yang keras dan tajam.

Saron Barung dengan bentuk yang lebih besar instrumen ini ditala pada nada yang lebih rendah dari pada Saron Panerus, hanya pemukulnya dibuat dari pada pemukul kayu.

Sedangkan yang terbesar dari keluarga Saron ialah Saron Demung yang ditala pada pitch terendah, yang biasanya memainkan Guru Lagu pada tekanan pokok dengan produksi suara yang dalam dan hangat.


Saron Panerus, Saron Barung dan Saron Demung.

Bonang
Instrumen Bonang terdiri dari dua baris berbentuk Kenong kecil berjumlah 12 buah. Dari keluarga Bonang ini ada tiga jenis : Bonang Penerus, Bonang Barung dan Bonang Panembung yang memiliki pitch terrendah.

Bonang dimainkan dengan pemukul panjang yang dililit dengan lilitan lawe (cotton string) merah, yang memainkan singkopasi pada Guru Lagu secara bergantian.

Di antara kelompok Bonang ini, Bonang Penerus yang memainkan sinkopasi sedangkan Bonang lain mengisi nada pokok pada Guru Lagu.


Bonang

Gender
Instrumen ini dimasukkan di dalam kelompok instrumen lembut dengan suara hangat, di dalam susunan dua oktaf dengan penambahan bambu sebagai resonator, Gender dapat menghasilkan suara yang lembut dan berdengung.

Cara memainkan Gender ialah dengan dua pemukul yang ujungnya berbentuk silinder pipih dengan lapisan kain tebal pada pinggir silinder. Gaya permainan Gender ini di dalam gerakan "counterponit" ialah nada bahwa bergerak berlawanan dengan nada atas, sedangkan pinggir telapak tangan pemain harus menekan untuk meredam bilah yang baru saja dipukul ; sehingga permainan Gender ini bergerak seperti menari dengan gerakan yang fleksibel pada pergelangan tangan.


Gender

Di dalam perangkat Gamelan lengkap Gender dipergunakan didalam Gending Gede atau didalam iringan pagelaran wayang, meskipun instrumen ini juga dapat dimainkan secara solo yang disebut "Genderan" atau digabung dengan instrumen lain seperti Suling, Siter, Kendang, Slenthem dan Gong atau Kempul; menjadi kelompok yang disebut "Cokekan" ialah kelompok ensemble sederbana yang biasa dimainkan di kampung-kampung yang sekarang sudah diangkat sebagai hiburan yang lebih elit. Dari instrumen ini ada juga yang disebut Gender Panerus dengan "pitch" yang lebih tinggi dari pada Gender biasa.

Slenthem
Dari keluarga Gender yang memiliki nada satu oktaf lebih rendah ialah Slenthem. Instrumen ini mempunyai bilah lebih lebar dibandingkan dengan Gender dengan jumlah satu oktaf saja, Slenthem memainkan nada-nada pada Guru Lagu seperti Saron pada permainan instrumen keras.

Gabungan antara Slenthem dan Gender merupa¬kan kombinasi yang saling mendukung, karena nada¬-nada pada tema Guru Lagu masih jelas yang disulam dengan permainan Gender pada variasi dari tema.

Di dalam permainan Gamelan lengkap Slenthem bertindak sebagai pemain nada pokok yang menjadi patokan untuk instrumen-instrumen lainnya. Bentuk Slenthem serupa dengan Gender akan tetapi dengan bilah lebih besar dan bambu resonator yang lebih besar pula.

Cara memainkan Slenthem ialah dengan satu pemukul serupa dengan pemukul untuk Gender, sedangkan tangan yang lain bergerak seiring untuk meredam bilah yang baru saja dipukul.

Gambang
Satu-satunya instrumen Idiophone yang bilahnya dibuat dari kayu ialah Gambang. Instrumen ini tidak mempergunakan bambu sebagai resonator dan sumpilan di bawah bilah, akan tetapi dipasang begitu saja pada badan Gambang seperti pada Xylophone, sehingga suaranya sangat terbatas dan dimasukkan di dalam kelompok instrumen lembut. Bilah-bilah kayu ini dibuat dari kayu "Selangkin" atau "Sembiri" atau kadang-kadang dibuat dari kayu "Gembuk" dan disusun pada jarak 3 oktaf. Suara Gembang ini tidak perlu diredarn oleh karena produksi suaranya yang idak keras.


Gambang

Permainan Gambang ini dilakukan di dalam gerakan "paraiel" dan campuran dengan "counterpoint", pemain Gambang mengikuti Guru Lagu yang dimainkan Slenthem sehingga permainan bersama menjadi lebih kaya disulam oleh Gender dan Siter.

Selain Gambang kayu ini sebelumnya juga pernah ada Gambang logam yang disebut "Gambang Gangsa" yang hanya dipergunakan pada pagelaran Gamelan untuk menghormat Raja.

Ketuk dan Kenong
Ketuk dan Kenong merupakan rangkaian instru¬men yang saling mendukung di dalam memainkan rit¬mis jarak pendek dan ritmis jarak panjang. Kedua ins¬trumen ini hampir serupa bentuknya hanya Ketuk lebih kecil dari pada Kenong dan nada Ketuk juga lebih tinggi dari pada Kenong.


Kenong

Permainan Ketuk dan Kenong ini digambarkan sebagai rangkaian beat pokok dan singkopasi, sedangkan di antara singkopasi ini masih ada pukulan singkopasi oleh Kempul.

Oleh karena aksen pada musik Gamelan ini pada beat terakhir, maka permainan singkopasi ini tidak menjadi aksen tertunda seperti pada musik Barat, sehingga cukup sulit bagi kelompok ini untuk tetap pada beat pada kalimat empat dan delapan birama di dalam gerakan yang cukup padat.

Kempul dan Gong
Dua instrumen ini bertindak sebagai titik aksen di dalam kalimat Gending. Pada Kempul ialah aksen kalimat pendek, sedangkan Gong merupakan penentu aksen kalimat besar.

Kedua instrumen ini penempatannya pada satu garis dan digantungkan pada Gayor-kayu penggantung Gong dan Kempul bersama-sama merupakan kelompok, Gong Ageng, Kempul dan Suwukan.

Seorang pemain Gong menggunakan dua pemukul, untuk Gong Ageng dengan pemukul yang berkepala besar dan untuk Kempul dan Gong lainnya dengan pemukul yang berkepala lebih kecil.

Sebuah Gong Ageng dapat berdiameter 90 cm sampai 1 m dan mempunyai berat sampai 190 kg sampai 100 kg. Gong Ageng memiliki sonoritas bulat dan memiliki sejumlah overtone, sehingga dapat digu¬nakan sebagai penutup-penutup kalimat beberapa patet.

Dengan frekquensi bawah mencapai 30 getaran, maka sebuah Gong dapat menutup kalimat-kalimat Gending dengan suara bulat dan getaran lebar sehingga pendengar dapat mengadaptasi overtone yang timbul untuk beberapa patet.

(bersambung)

Sumber :
Prabowo Praharyawan, 1995/1996 “Proses Pembuatan Gamelan” Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan.