Sistem Gotong-Royong Masyarakat Minahasa

II. Orang Minahasa
Minahasa merupakan suatu suku bangsa yang berada di wilayah asalnya daerah Sulawesi Utara. Biasa disebut juga dengan orang Menado atau Kawanua. Suku bangsa Minahasa ini tediri dari beberapa sub suku, yakni suku Tonsea, Tombulu, Tontemboan (Tompakewa), Toulour, Tonsawang (Tonsini), Pasan (Ratahan), Ponosakan, dan Bantik.

Selain sub suku tersebut ada pula kelompok peranakan Eropa, biasa disebut dengan orang Borgo, mereka mengidentifikasikan dirinya masuk dalam suku Tombulu, Tontemboan, dan Tonsea. Sub suku bangsa Tonsea, Tombulu, Toulour, dan Totemboan merupakan penduduk asli tanah Minahasa. Sub suku bangsa lainnya merupakan kelompok yang datang kemudian menempati wilayah Minahasa.

Kalau dilihat dari bahasanya, bahasa Minahasa yang digunakan terbagi pula ke dalam beberapa dialek. Seperti dialek Tonsea, Tombulu, Tontemboan, Toulour, Tonsawang. dialek Ratahan dan dialek Bantik banyak persamaannya dengan bahasa Sangir. Sedangkan dialek Ponosakan menunjukkan banyak persamaannya dengan bahasa Bolaang Mangondow. Walau demikian ketiga kelompok pemakai bahasa ini tetap mengaku dirinya sebagai orang Minahasa.

Dengan banyaknya sub suku bangsa, bahasa atau dialek pada orang Minahasa, maka untuk berkomunikasi antar sub suku bangsa mereka memakai bahasa Melayu Manado sebagai sarana komunikasinya. Bahasa Melayu Manado merupakan salah satu dialek lokal dari bahasa Melayu yang berpusat di Riau, pada masa lampau bahasa Melayu menyebar sebagai bahasa perdagangan di wilayah Indonesia. Pada dasarnya bahasa Melayu Manado dapat dibedakan menjadi dialek Melayu Pante, Melayu Gunung, dan Melayu Kota. Biasanya dialek Melayu Pante digunakan oleh orang Minahasa yang tinggal di pesisir, terutama orang nelayan Borgo. Sedangkan dialek Melayu Kota yang cukup mempunyai variasi digunakan oleh orang Minahasa lainnya, juga oleh orang Cina dan orang Arab.

Berdasarkan agama yang dianut, sebagian besar orang Minahasa adalah penganut agama Nasrani. Hanya sebagian kecil dari mereka yang menganut agama Islam. Besarnya jumlah orang Minahasa sebagai penganut agama Nasrani, tidak lepas dari sejarah Pendudukan bangsa Eropa di wilayah tersebut. Wilayah orang Minahasa dimana dalam pendudukan penjajah tersebut juga diikuti oleh para zending dan missionaris dari Eropa yang bertugas untuk menyebarkan agama Kristen. Sebagai penyiar agama Kristen Khatolik dan Kristen Protestan yang relatif lama di Minahasa, mereka cukup berhasil menanamkan nilai-nilai agama Nasrani kepada orang Minahasa yang sebelumnya penganut agama Animisme.

Sebagai penganut agama Nasrani, orang Minahasa dapat menjalankan kegiatan keagamaan dengan konsekuen dan konsisten. Kondisi ini biasa tercermin dari kegiatan keagamaan yang mereka lakukan. Dari kecil hingga dewasa mereka membiasakan diri untuk selalu ke Gereja, guna bersembahyang dan memanjatkan doa kepada Tuhan. Tidak hanya itu merekapun berusaha membaca alkitab agar dapat mewujudkan perilaku yang sesuai dengan ajaran agama Kristen.

Bersamaan masuknya orang Eropa ke wilayah Minahasa masuk pula budaya Eropa yang diadopsi oleh orang Minahasa. Antara lain tercermin dalam gaya dan sikap, atau kebiasaan-kebiasaan hidup mereka. Sebagian besar orang Minahasa mempunyai gaya dan sikap hidup yang berorientasi ke dunia barat atau Eropa. Seperti nampak dalam kehidupannya yang senantiasa melakukan pesta dalam suafii kegiatan. Pesta selalu dilakukan bila mereka merasa memperoleh berkah atau kemuliaan dalam hidup. Pesta menjadi wujud kebahagiaan yang telah mereka peroleh, sehingga bila tidak mengadakan pesta akan terasa kurang nyaman. Oleh karena itulah seringkali orang Minahasa dikenal sebagai penyenang dan pelaku pesta.

Gaya hidup dan sikap orang Minahasa yang dipengaruhi oleh budaya Eropa, juga nampak dalam pola berpakaiannya hingga saat ini. Terutama tercermin dalam pakaian adat perkawinan yang biasa mereka kenakan. Dalam adat perkawinan mereka biasa menggunakan pakaian gaya Eropa, seperti pengantin laki-laki mengenakan stelan jas dan pengantin perempuan mengerakan pakaian rok panjang berwarna putih dengan slayar.

Gaya, sikap atau kebiasaan hidup yang mereka wujudkan banyak mencerminkan adopsi dari kebudayaan Eropa itu, memunculkan nilai nilai atau aturan kehidupan yang bermakna dalam budaya orang Minahasa. Seperti salah satu konsep hidup yang mereka miliki, yakni "Rai Paar Katilau". Yang berarti jangan mau ketinggalan. Bagi orang Minahasa "Rai Paar Katilau" atau jangan mau ketinggalan ini merupakan nilai budaya yang menjadi pedoman kehidupan yang dijalankannya.

Dalam nnenjalani hidupnya, seseorang diharapkan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik. Untuk memperolehnya seseorang harus rajin bekerja, mempunyai cita-cita, merencanakan setiap langkah yang akan ditempuh, agar keinginannya dapat terwujud. Berkaitan dengan mewujudkan keinginan yang baik itu, orang-orang tua Minahasa senantiasa mengeluarkan kata atau ungkapan "Rai Paar Katilau" kepada anak-anaknya.

Kata atau ungkapan "Rai Paar Katilau" yang senantiasa diungkapkan itu, mengandung makna yang sangat dalam. Tidak hanya mengandung arti jangan mau ketinggalan, tetapi juga mengandung pengertian jangan hanya dapat melihat namun juga harus memiliki. Kata atau ungkapan ini bermaksud untuk memacu maju seseorang, agar menjalani hidupnya tidak bermalas-malasan dan mau berusaha untuk meraih apa yang diinginkannya. Tidak hanya itu seseorang juga harus berusaha untuk mengejar kemajuan yang telah dicapai oleh orang lain. Oleh karena itu setiap orang tua Minahasa selalu mengeluarkan kata atau ungkapan tersebut dalam mendidik dan mengarahkan masa depan anak¬anaknya.

Kondisi demikian dapat tercermin dalam kehidupan sehari-hari orang Minahasa. Misalkan pada satu keluarga petani bekerja mengolah tanah sawah dengan cangkul, ke depannya diibaratkan harus dapat mengolah tanah sawah atau membajak dengan menggunakan tenaga hewan. Dalam arti kemajuan itu akan dapat ia peroleh, dengan mereka harus berusaha dan memacu maju diri. Untuk itu kata atau ungkapan "Rai Paar Katilau" harus selalu diingat, yang dapat mendorong munculnya semangat untuk meraih sesuatu. Semangat untuk meraih sesuatu akan semakin muncul apabila tetangga sekitar tempat tinggalnya telah memiliki apa yang diinginkannya.

Kata atau ungkapan "Rai Paar Katilau" ini dapat dianggap sebagai ajakan untuk berkompetensi atau bersaing secara positif, sebagaimana layaknya manusia dalam menjalin hubungan sosial biasanya memiliki rasa persaingan. Rasa persaingan ini dalam kaitannya dengan kata atau ungkapan "Rai Paar Katilau" dapat dianggap sebagai persaingan yang bersifat positif. Karena dengan jangan mau ketinggalan sebagai arti dari kata atau ungkapan itu, memberi gambaran seseorang tidak boleh ketinggalan dengan yang lain dalam berbagai hal. Untuk itu ia harus mengejar ketinggalannya dari yang lain, yang menjadi wujud dari rasa berkompetensi itu.

Bagi orang Minahasa kata atau ungkapan "Rai Paar Katilau" tetap ada atau hidup hingga kini, dan masih sering diucapkan terutama oleh orang tua untuk memacu maju anak-anaknya. Namun demikian sebagian orang Minahasa tidak selalu memahami sepenuhnya makna sebenarnya kata atau ungkapan tersebut Oleh karena itu sering mereka mewujudkannya secara kurang tepat.

Biasanya bila ingin memperoleh sesuatu yang sudah diperoleh orang lain atau untuk menyaingi orang lain, sering mereka menjalankan prosedur yang kurang benar. Misalkan dalam mengadakan suatu pesta perkawinan untuk menyaingi atau melebihi orang lain, yang bersangkutan berusaha menampilkan pestanya lebih baik dan lebih meriah dengan biaya besar, meskipun biayanya berasal dari uang pinjaman. Sehingga terkesan mereka memaksakan diri untuk memperoleh suatu predikat menjadi orang yang sukses dimata orang lain. contoh seperti ini menunjukkan bahwa ungkapan "Rai Paar Katilau" itu, bagi sebagian orang Minahasa melenceng dari maknanya semula.

Namun terlepas dari kesalahan wujud maknanya itu, kata atau ungkapan "Rai Paar Katilau" sangat membangun dan dinamis. Hal ini memberi gambaran bahwa pada dasarnya sifat orang Minahasa sangat terbuka dunia luar. Mereka merupakan masyarakat yang ingin selalu maju tidak mau ketinggalan dengan yang lain. Kondisi demikian adalah positif dan dapat menjadi potensi dalam pembangunan.

Berkaitan dengan itu masih banyak kata atau ungkapan milik orang Minahasa yang terwujud pada kebiasaan¬kebiasaannya dalam berkehidupan sosial, yang selalu positif dan dapat menjadi potensi dalam pembangunan. Kata atau ungkapan itu memang masih sering terdengar dan diingat oleh orang Minahasa, sengaja atau tidak sengaja terwujud dalam perilakunya. Seperti kata atau ungkapan "Lama Asi Kakele Tow", "Maan, Matulengka Mokan Uleluwekan Taan Maleo-leosan", "Baya Papayangaen Satanu Toro Patuahlah". "Lama Asi Kakele Tow" merupakan kata atau ungkapan yang mengandung pengertian setia, taat dan mengasihi sesama manusia. Kata atau ungkapan tersebut mempunyai makna yang bersifat moral, bahwa manusia dalam kehidupannya harus mengasihi sesama manusia. Dalam arti manusia dalam berhubungan, baik dengan kerabat maupun di luar kerabat, atau masyarakat luas, harus dapat bersikap saling mengasihi. Apalagi dalam ajaran agama Kristen selalu ada kasih dalam kehidupan ini, baik kasih manusia maupun kasih Tuhan.

Oleh karena itulah orang Minahasa selalu mengingat kata dan ungkapan tersebut, agar perilaku yang mereka wujudkan tidak lepas dari makna yang terkandung dalam kata atau ungkapan yang ada. Seringkali kita melihat sebagian orang Minahasa dalam hubungan sosialnya cukup akrab atau bersahabat dengan orang yang dikenalnya. Mereka biasa ramah dan mau menyapa baik orang yang telah dikenal atau baru dikenal.

Kata atau ungkapan yang dimiliki dan senantiasa hidup dalam masyarakat Minahasa , pada dasarnya memang selalu menjadi pedoman dalam berperilaku. Mereka berusaha mewujudkan perilaku dalam bermasyarakat untuk selalu memelihara hubungan baik dengan sesamanya, sebagaimana makna ungkapan "Maan Matulengka Mokan Uleluwekan Taan Maleo-leosan", yang dalam Bahasa Indonesia berarti biar lesung padi sudah tidak terpakai lagi akibat paceklik tetapi tetap berbaik-baiklah.

Makna ungkapan tersebut, menunjukkan bahwa dalam keadaan apapun manusia harus saling memelihara hubungan baik diantara sesamanya, yaitu harus dapat menjaga hubungan balk dengan siapapun, walau dalam keadaan susah atau paceklik. Jadi bukan berarti hubungan akan berlangsung hanya dalam keadaan senang atau gembira saja, hubungan hendaknya tetap berlangsung dalam keadaaan susah sekalipun. Ungkapan ini seringkali diingatkan oleh orang tua kepada anaknya yang baru menikah. Dengan maksud menasehati anak agar berbaik¬baik dalam rumah tangga bukan hanya pada waktu senang saja, tetapi juga pada waktu sedang susah.

Ungkapan lain yang sering disampaikan oleh orang Minahasa secara turun temurun adalah "Baya Papayangaen Satanu Toro Patuhlah", ungkapan tersebut berarti semua usaha atau pekerjaan diharapkan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Makna yang terkandung dari ungkapan itu meng¬gambarkan bahwa setiap pekerjaan atau usaha hendaklah dikerjakan dengan sebenar-benarnya menurut ketentuan yang berlaku. Kalau dijabarkan makna tersebut memberi pejelasan bahwa semua pekerjaan haruslah dikerjakan secara orang dewasa (patuahlah), dan jangan hanya sebagai pekerjaan anak-anak. Pengertian patuahlah mempunyai arti yang luas, dimana seorang yang sudah dewasa mengerjakan sesuatu biasanya tidak semberono, penuh rencana dan bersikap wajar.

Istilah patuahlah (tuah), juga mengandung arti matang pemikiran yang biasa dimiliki oleh seseorang sesepuh yang menjadi pemimpin dalam lingkungannya. Sebagai pemimpin ia selalu bersikap patuahlah dalam menjalankan tugasnya, misal dalam kegiatan gotong-royong (mapalus diuraikan pada bagian tiga) ia akan melakukan musyawarah dan cara yang pantas dilakukan sebagai orang dewasa. Dengan demikian dapat diartikan kata atau ungkapan yang ada dalam kehidupan orang Minahasa itu, sebagai alat kontrol sosial bagi seseorang dalam manjalankan kehidupannya.

III. Budaya Mapalus
Salah satu bentuk dari wujud kebudayaan sistem sosial adalah gotong royong yang masih diaktifkan oleh banyak suku bangsa di Indonesia. Gotong royong adalah bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu, dengan azas timbal-balik yang mewujudkan adanya keteraturan sosial dalam masyarakat. Pada dasarnya, kegiatan gotong royong melibatkan banyak anggota suatu kelompok masyarakat.

Interaksi yang terjadi merupakan perwujudan salah satu hakekat hidup manusia, bahwa manusia sangat membutuhkan manusia yang lain sebagai sesama mahluk sosial. Dad sinilah tercipta berbagai aktivitas di antara mereka sebagai lembatan' untuk saling melengkapi dan berbagi rasa dalam menunjang kelangsungan hidup mereka, dan salah satunya adalah gotong royong.

Gotong royong sebagai salah satu bentuk aktivitas kebudayaan tercipta atas dasar rasa ingin saling membantu dalam kehidupan bermasyarakat. Aktivitas masyarakat yang berinteraksi dan bergaul dalam gotong royong akan menciptakan suasana keterbukaan dan saling percaya, sehingga pada akhirnya akan terjalin hubungan timbal-balik yang bersifat saling memberi dan menerima (reciprocity). Dengan demikian, gotong royong akan dirasa penting serta berharga bagi kehidupan manusia dan masyarakatnya, dalam membangun rasa kebersamaan dan sepenanggungan menghadapi berbagai masalah yang dihadapi.

Di kalangan masyarakat Minahasa, gotong royong dikenal dengan istilah mapalus, pada awalnya mapalus dilakukan khusus pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan bidang pertanian, mulai dari membuka lahan sampai memetik hasil atau panen. Kegiatan gotong royong semacam ini berlangsung sesuai permintaan atau sesuai giliran. Ketika seorang anggota masyarakat akan melakukan pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga kerja, maka hal tersebut disampaikan kepada kepala adat, yang selanjutnya akan mengerahkan warga masyarakat lainnya untuk ikut membantu. Bila di antara orang¬orang yang telah memberi bantuan tersebut menghadapi kondisi serupa pada suatu saat, maka orang yang telah dibantunya dulu akan balas membantunya.

Dengan mencermati mekanisme mapalus sedemikian itu, dapat dikemukakan bahwa tanpa mereka sadari telah tercipta azas timbal-balik dalam kegiatan gotong royong di kalangan orang Minahasa, yaitu melalui mapalus, Mapalus dapat berlangsung dengan baik serta memberi banyak manfaat bagi kehidupan orang Minahasa, kegiatan ini dilakukan tidak hanya terbatas di bidang pertanian, melainkan juga diterapkan dalam setiap kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan, dan hampir di segala bidang kehidupan, seperti dalam kegiatan-kegiatan upacara adat, mendirikan rumah, membuat perahu, perkawinan, kematian, dan sebagainya.

Dalam pelaksanaannya, mapalus dapat digolongkan dalam kegiatan yang bersifat spontan tanpa pamrih dan terorganisir. Mapalus yang bersifat spontan tanpa pamrih maksudnya segala sesuatu yang diberikan baik tenaga maupun mated (bahan dan uang) tidak diharapkan untuk dikembalikan atau dibalas. Sebagai contoh , misalnya ketika suatu keluarga akan membangun rumah atau membuka lahan persawahan, atau kegiatan-kegiatan lain yang bukan untuk kepentingan masyarakat umum, biasanya banyak orang yang akan membantu tanpa harus diminta. Begitu terlihat banyak orang yang sedang bekerja, secara spontan mereka akan melibatkan diri dalam pekerjaan tersebut.

Wujud mapalus yang terorganisir adalah yang dilakukan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, yaitu pihak yang telah menerima bantuan wajib mengembalikan atau membalas bantuan yang telah diterimanya dalam bentuk apa pun terhadap pihak yang telah memberi bantuan kepadanya. Gotong royong semacam ini biasanya berlaku pada kegiatan atau pekerjaan yang bersifat lebih formal, seperti dalam penyelenggaraan upacara adat, baik yang diselenggarakan oleh sebuah keluarga maupun yang menyangkut kepentingan masyarakat. Begitu pula mapalus dapat dibedakan atas yang bersifat umum dan khusus. Pada mapalus yang bersifat umum, individu-individu yang terlibat dalam kegiatan ini tidak dibedakan atas golongan atau status sosial tertentu, siapa saja boleh berpartisipasi. Mapalus yang sifatnya lebih khusus melibatkan hanya orang-orang yang terikat dalam suatu hubungan kekerabatan tertentu, atau merupakan anggota dari suatu perkumpulan tertentu.

Perkembangan selanjutnya dari budaya mapalus yaitu mulai adanya sistem upah atau pemberian baik berupa uang, bahan, atau makanan. Pihak yang membutuhkan bantuan tenaga orang lain akan memberi upah kepada orang-orang yang telah membantunya sebagai imbalan atas bantuan yang telah diberikan atau sebagai ungkapan rasa terima kasih. Mapalus dengan sistem upah ini jarang dilakukan. Orang Minahasa (terutama yang bermukin di pedesaan) lebih sering terlibat dalam mapalus secara spontan tanpa pamrih.

Mapalus dapat berlangsung tanpa adanya peran aktif para anggota masyarakat sebagai pelaksana kegiatan. Biasanya dalam setiap kegiatan mapalus akan ditunjuk seorang pemimpin agar kegiatan tersebut dapat berlangsung terarah dan tepat waktu. Pemimpin ditunjuk secara spontan dari kalangan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan. Siapa saja secara spontan dapat melibatkan did dalam kegiatan ini, dalam arti tidak terjadi pengerahan tenaga kerja secara paksa atau harus diminta dulu. Sebagai balas jasa atau ungkapan rasa terima kasih tidak diberikan upah dalam bentuk apa pun, tetapi di dalamnya terkandung maksud agar orang yang telah diberi bantuan suatu saat tenaganya akan dibutuhkan oleh orang lain yang mempunyai pekerjaan besar.

Saat ini, di kalangan orang Minahasa berkembang suatu bentuk mapalus yang lebih terorganisir seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Biasanya bentuk gotong royong seperti ini untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat lebih khusus dan formal dibanding mapalus yang bersifat spontan, seperti misalnya dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat baik yang berupa upacara daur hidup (life cycle) maupun acara adat lainnya.

Dalam pelaksanaan Mapalus yang terorganisir, para peserta yang terlibat dibedakan atas pembina, pengurus, dan anggota. Seorang pembina mempunyai tugas dan fungsi untuk membimbing serta mengarahkan anggota-anggota yang terlibat dalam mapalus, sekaligus terhadap pekerjaan atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Jabatan pembina tidak ditentukan oleh para anggota. Jika pekerjaan atau kegiatan tersebut dilakukan dalam sebuah desa, maka dengan sendirinya kepala desa akan berperan sebagai pembina.

Walaupun segala kewajiban dan tanggung jawab diserahkan sepenuhnya kepada setiap anggota yang terlibat dalam mapalus. Akan tetapi agar kegiatan atau pekerjaan dapat berlangsung dengan baik dan lancar, maka dipilih orang¬orang yang berperan sebagai pengurus. Biasanya dalam suatu kegiatan dipilih paling sedikit dua orang pengurus. Tugas pengurus adalah mengatur atau mengkoordinir pelaksanaan mapalus sehubungan dengan suatu kegiatan adat. Jabatan pengurus dipilih dan ditentukan oleh para anggota, walaupun para pengurus juga terdaftar sebagai anggota.

Anggota yang tergolong dalam mapalus adalah semua orang yang terlibat pada kegiatan tersebut. Pada umumnya yang menjadi anggota adalah keluarga inti yang akan menyelenggarakan pesta atau upacara adat, ditambah seluruh kerabat mereka, baik yang bermukim dalam satu daerah maupun di luar daerah. Anggota juga terdiri dari orang-orang yang ikut membantu walaupun mereka bukan kerabat dari keluarga yang menyelenggarakan kegiatan.

Pada setiap kegiatan mapalus yang bersifat formal biasanya diberlakukan aturan-aturan yang mengikat semua orang yang terlibat. Balk anggota, pengurus, maupun pembina harus disiplin mentaati peraturan yang berlaku selama melaksanakan mapalus. Bagi siapa saja yang melanggar peraturan, akan dikenakan sanksi sosial berupa pengucilan dari masyarakat dan semua kegiatan adat atau diharuskan membayar denda secara adat.

Pada perkembangan selanjutnya, bentuk-bentuk mapalus menjadi beragam, saat ini mapalus bukan saja merupakan kegiatan yang melibatkan perorangan secara spontanitas, akan tetapi dalam pelaksanaannya dibutuhkan suatu keteraturan yang tidak saja dapat dijalankan secara perorangan namun harus dilakukan secara bersama-sama. Oleh sebab itu, mapalus dianggap penting untuk dilaksanakan secara teratur dan terorganisir. Kesadaran masyarakat akan perlunya kegiatan mapalus dijalankan secara teratur dan terkendali, diwujudkan dengan terbentuknya banyak perkumpulan mapalus di Minahasa.

Perkumpulan atau kelompok mapalus dapat pula terbentuk di kalangan orang-orang yang sedaerah asal, tetapi juga mereka yang bermukim di luar daerah asal. Perkumpulan atau kelompok ini banyak dijumpai di kota Manado atau di kota-kota lain di luar wilayah Minahasa. Salah satu wujud dari perkumpulan tersebut dikenal dengan sebutan organisasi Kawanua, yang memiliki program saling tolong atau gotong royong bila salah satu anggotanya membutuhkan bantuan dalam berbagai kegiatan. Kegiatan tolong-menolong yang menonjol dari perkumpulan atau kelompok mapalus ini terutama berkaitan dengan peristiwa kedukaan, misalnya kematian, sakit, rtimpa musibah atau bencana, dan sebagainya.

Kegiatan gotong royong atau mapalus bukan hanya sekadar aktivitas masyarakat yang saling tolong demi tercapainya kebutuhan, atau hanya sebagai perwujudan dari interaksi antar-manusia sebagai mahluk sosial. Di balik kegiatan tersebut terkandung nilai-nilai luhur yang ditanamkan secara turun-temurun, yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup bagi orang Minahasa pada umumnya. Beberapa nilai budaya yang tersirat dalam mapalus, di antaranya:

1. Nilai kebersamaan
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup menyendiri dalam memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidupnya. Untuk itu dia akan bergaul dengan individu-individu lainnya dalam suatu masyarakat, baik di dalam maupun di luar keluarga. Dengan kata lain, dia akan berinteraksi dengan mahluk sosial lainnya. lnteraksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorangan serta antara kelompok-kelompok manusia.

Dalam berinteraksi atau bergaul akan muncul rasa saling membutuhkan, yang antara lain diwujudkan dengan saling menolong atau saling memberi dan menerima. Dengan adanya interaksi sosial yang demikian, akan memupuk dan menghidupkan rasa kebersamaan di antara anggota-anggota suatu kelompok masyarakat. Kegiatan gotong royong dalam bentuk apa pun merupakan wujud nyata dari interaksi sosial masyarakat yang memiliki rasa saling membutuhkan.

Kebersamaan di antara orang-orang yang terlibat dalam kegiatan mapalus merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan serta kelangsungan kegiatan tersebut. Rasa kebersamaan dan sepenanggungan akan muncul dengan sendirinya bila ada kesediaan dan kerelaan diri untuk dapat memberi dan menerima bantuan terhadap sesama. Keikutsertaan warga atau keluarga dalam mapalus menandakan suatu sikap yang bersedia dan rela untuk membantu warga atau keluarga lainnya secara bersama-sama.

Sebelum mapalus dilakukan berkaitan dengan suatu pekerjaan atau peristiwa tertentu, biasanya diadakan musyawarah untuk mengatasi permasalahan yang kemungkinan akan timbul. Sampai sejauh ini, pelaksanaan mapalus dapat berlangsung dengan baik karena ada unsur musyawarah untuk mencapai mufakat, yang secara tidak langsung menunjang rasa kebersamaan di antara warga yang terlibat dalam mapalus. Dengan penuh kesadaran anggota masyarakat yang lain akan membantu keluarga yang menyelenggarakan kegiatan atau pekerjaan, karena sebagai mahluk sosial yang berbudaya mereka adalah bagian dari masyarakat yang harus sating mempehatikan. Nilai kebersamaan ini mengikat para warga/ anggota masyarakat untuk tidak bertindak sendiri dalam menghadapi suatu pekerjaan atau masalah besar yang sebenarnya membutuhkan bantuan orang lain.

2. Nilai Kedisiplinan
Disiplin adalah suatu sikap mental yang mengarahkan manusia untuk senantiasa mentaati serta mematuhi tata tertib dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Disiplin sangat diperlukan dalam setiap aktivitas kehidupan, baik secara individual maupun dalam kelompok. Sebagai suatu sikap mental, disiplin dimanifestasikan dalam berbagai bentuk tindakan yang nyata sesuai dengan situasi dan kondisi. Disiplin terwujud dalam sikap dan perilaku manusia dalam kelompoknya serta lingkungannya.

Dalam mapalus yang bersifat formal dan terkoordinir, diberlakukan aturan aturan yang mengikat seluruh anggota yang terlibat di dalamnya. Mereka dituntut untuk bersedia dan rela mematuhi serta mentaati aturan yang telah disepakati bersama. Hal ini yang menunjukkan kedisiplinan mereka sebagai bagian dari suatu masyarakat dalam menjalankan kegiatan untuk kepentingan bersama.

Kedisiplinan dapat menjadi tolok ukur atas keberhasilan pelaksanaan suatu kegiatan. Dengan adanya pemahaman para anggota masyarakat terhadap arti pentingnya nilai kedisiplinan, dapat dipastikan kegiatan mapalus dapat berlangsung dengan baik dan lancar sesuai harapan bersama. Kondisi ini menjadi bukti nyata, bahwa kedisiplinan para peserta mapalus dalam memenuhi dan melaksanakan hak serta kewajiban masing-masing telah berjalan seimbang. Secara lahiriah mereka terikat pada hak dan kewajiban sebagai anggota mapalus yang harus patuh dan taat pada peraturan, sedangkan secara batiniah mereka juga terikat untuk saling mengerti, menghormati, dan menghargai satu sama lain.

Keterikatan para anggota dalam mapalus memberikan arah sekaligus menyatakan, bahwa mereka tidak dapat bertindak sembarangan tanpa persetujuan dan kesepakatan bersama. Lancar tidaknya suatu kegiatan tergantung pada kedisiplinan setiap anggota dalam menjalankan tugasnya.
Kedisiplinan patut dimiliki oleh setiap individu dalam menjalankan segala bentuk kegiatan, baik yang berhubungan dengan orang banyak, dalam lingkungan keluarga, maupun bagi dirinya sendiri.

3. Nilai Kepedulian
Sebagai sesama mahluk sosial, seseorang selayaknya memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap orang lain, apalagi bila orang tersebut sedang menghadapi kesulitan atau pekerjaan besar yang membutuhkan bantuan orang lain. Mereka yang secara spontan dan tanpa pamrih memberi bantuan dalam bentuk apa pun terhadap yang membutuhkan, berarti mereka memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesamanya.

Sikap peduli sangat dibutuhkan dalam kegiatan mapalus, oleh karena prinsip dari kegiatan ini adalah sosial ke¬masyarakatan tanpa imbalan atau upah. Apalagi pada peristiwa-peristiwa kedukaan, keluarga yang tertimpa kemalangan sangat membutuhkan bantuan orang lain (dalam arti bukan kerabat sendiri) untuk meringankan bebannya. Tanpa adanya kepedulian dari orang lain akan menambah beban kemalangan orang yang bersangkutan, sebab dia harus mengerjakan sendiri segala sesuatunya di tengah rasa kedukaannya.

Kepedulian sosial bukan hanya dibutuhkan dalam kehidupan suatu komunitas saja, juga dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimulai dengan sikap peduli terhadap sesama, akan menciptakan rasa solidaritas/ tenggang rasa serta kepekaar sosial. Nilai-nilai ini yang sebenarnya dapat menjadi langkah antisipasi untuk menghindari konflik antar individu dan kelompok. Dengan memahami dan menghayati nilai-nilai tersebut, dapat menjadi dasar untuk memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan.

4. Nilai Ekonomis
Manusia sebagai mahluk sosial memerlukan materi untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka upaya mempertahankan hidupnya. Sandang, pangan, serta papan merupakan kebutuhan hidup utama manusia, sedangkan komponen lain di luar kebutuhan primer tersebut merupakan kebutuhan sekunder. Komponen-komponen kebutuhan ini tidak terlepas dari nilai ekonomi, karena berkaitan dengan kebendaan atau materi. Mapalus sangat bernilai ekonomis bagi masyarakat Minahasa yang akan menyelenggarakan suatu kegiatan atau pekerjaan besar. Dalam hal ini, keluarga yang menye¬lenggarakan kegiatan tersebut dapat menghemat biaya, karena banyak warga lain yang membantu menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan, baik berupa uang, bahan, maupun makanan. Apalagi dalam peristiwa kedukaan, yang mana keluarga yang tertimpa kedukaan harus mengeluarkan cukup banyak biaya, bebannya akan terasa ringan dengan adanya bantuan dari warga-warga lain.

Oleh sebab itu, mapalus menjadi sangat penting artinya bagi kehidupan orang Minahasa pada umumnya. Nilai ekonomis yang terkandung dalam mapalus sangat membantu mereka, terutama dalam hal penghematan biaya, karena dengan demikian mereka dapat sekaligus memenuhi kebutuhan hidup lainnya yang muncul secara bersamaan.

Sumber :
Ernayanti Sriwigati Endang, dkk, 2004, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan, Asdep Urusan Hubungan Antar Budaya.