Oleh : Kornelis Kewa Ama
Tidak banyak orang yang tahu mengenai penyebaran suku Bajo di Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tengara Barat (NTB), Bali, Makassar sampai di Papua. Mereka adalah orang pelaut yang tidak bisa hidup di daerah gunung. Bajo identik dengan air laut, perahu, dan pemukiman di atas air laut.
“Kalau di Lembata ini kami tersebar dari Balauring, Wairiang, Waijarang, Lalaba, dan Lewoleba. Di Adonara suku ini ada di Meko, Sagu, dan sebagian di Waiwerang. Di Pulau Flores terpusat di Pulau Babi yang tenggelam tahun 1992 akibat tsunami, dan dapat ditemukan hampir di setiap pesisir pantai termasuk di Labuan Bajo, Manggarai," kata Jamali Lintang, Koordinator Kerukunan Suku Bajo di Lewoleba.
Ditemui di pinggir pantai Lewoleba saat air laut surut, Lintang sedang membakar lumut di bagian dasar perahu, yang panjangnya lima meter dan lebarnya satu meter. Perahu dibakar dengan daun kelapa kering dengan tujuan perahu lebih lincah bergerak menuju sasaran.
Lintang mengaku bersama sekitar 50 kepala keluarga suku Bajo menempati pesisir pantai Lewoleba tahun 1960, yang lainnya menyebar ke utara dan selatan Pulau Lembata. Sebelumnya mereka berada di Meko, Kecamatan Klubagolit, di Pulau Adonara mereka mengaku suku asli dari Meko.
Tetapi setelah ditelusuri, asal usul suku Bajo sesungguhnya dari Sulawesi. Buktinya, selain menguasai bahasa daerah setempat seperti Lamaholot (Lembata) mereka juga berkomunikasi dengan bahasa Bajo, serumpun dengan bahasa Bugis, Sulawesi Selatan. Suku Bajo di Lewoleba mengaku berasal dari suku Bone di Sulawesi Selatan.
Di mana dua atau tiga warga Bajo berkumpul, mereka diwajibkan menggunakan bahasa Bajo, kecuali mereka berada di tengah kebanyakan warga Lamaholot. Suku Lamaholot terdiri dari warga Pulau Adonara, Solor, Lembata, dan daratan Flores Timur.
Suku Bajo di Lewoleba mencari ikan di sekitar perairan Pulau Lembata, Adonara, dan Solor. Mereka tidak pergi jauh dari daerah itu karena saat ini hampir setiap perairan sudah dikapling oleh masing-masing nelayan. "Jangan percaya kepada mereka yang tinggal di pedalaman atau di gunung, tetapi mengaku suku Bajo. Bajo itu sendiri artinya mendayung perahu dengan alat yang disebut bajo. Orang Bajo tidak bisa tinggal di tanah daratan kecuali sudah terjadi proses perkawinan dari generasi ke generasi, yang menyebabkan perubahan budaya, pola pikir, dan adat istiadat Bajo," tutur Lintang.
Agama Islam menjadi pilihan satu-satunya bagi seluruh warga Bajo. Bukan warga Bajo kalau ia beragama lain karena agama itu diwariskan nenek moyang dari dahulu kala.
Paulus Bapa Muda Pue, mantan asisten tiga Sekda Flores Timur, menyebutkan, meski sudah ratusan tahun warga Bajo tinggal di antara warga Kristen, mereka tetap menjaga identitas diri mereka sebagai orang yang taat shalat lima waktu dan berpegang teguh pada keyakinan yang diwariskan nenek moyang. Suku Bajo sangat menghormati adat istiadat masyarakat setempat dan selalu menjaga kerukunan bersama.
Kebersamaan dan persatuan di antara warga suku Bajo sangat kuat. Mereka mampu bertahan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya karena persatuan dan kesatuan yang dibangun di antara mereka. Kerja sama paling nyata di antara warga Bajo sering terlihat dalam hal mata pencarian.
"Jika ada sesama warga Bajo kesulitan mendapatkan ikan di laut, warga Bajo lain menolong. Atau yang satu belum memiliki perahu untuk menangkap ikan, yang lain membantu menyumbangkan perahu cuma-cuma. Ini tidak ada satu wadah tertentu. Sikap membantu tersebut lahir secara spontanitas turun temurun," papar Bapa.
Suku Bajo menyebar di sejumlah provinsi di Indonesia, seperti di NTB, Bali, Maluku, Papua dan pesisir pantai Pulau Timor, NTT. Mereka dapat diidentifikasi dari bahasa daerah yang digunakan. Di daerah lain mereka tidak menyebut diri Bajo, tetapi suku Bugis atau Makassar atau Buton.
Keberadaan mereka di daerah itu pun sudah ratusan tahun silam. Sebagian dari mereka telah kawin dengan penduduk asli, dan membentuk pemukiman muslim di pesisir pantai.
Lapande, Ketua RT bagi suku Bajo di pantai Lewoleba menyebutkan, suku Bajo adalah suku pelaut. Mereka mewarisi jiwa dan tradisi melaut dari nenek moyang yang diyakini dari Makassar.
Wajo
Bajo dalam bahasa Lamaholot artinya mendayung perahu. Di beberapa tempat di Flores Timur kelompok ini disebut Wajo, Watan, Besidu. Wajo sama artinya dengan bajo, yakni mendayung, alat mendayung perahu. Watan artinya pantai, keseluruhan hidup di pesisir pantai. Besidu artinya rumah panggung di atas air, kehidupan di atas air laut, bertengger di atas air laut. Mata pencarian orang Bajo adalah nelayan.
Sampai tahun 1960-an orang Bajo tidak bisa menginjakkan kaki di tanah daratan sehingga hasil tangkapan dijual langsung di atas perahu. Mereka tidak boleh menginjak semut atau bersentuhan dengan semut.
Suku ini memproduksi ikan kering dalam jumlah besar kemudian dijual ke pasar bahkan ke pasar-pasar tradisional di Kupang. Dari 50 keluarga di pantai Lewoleba dihasilkan 100 ton ikan kering per tahun. Jenis ikan yang dihasilkan biasanya ikan tembang, cumi-cumi, atau ikan tongkol.
Nyaris tidak ada suku Bajo yang menyekolahkan anak sampai tingkat perguruan tinggi. "Kebanyakan orangtua berpikir, sekolah sampai sarjana pun tidak mendapat tempat yang layak di pemerintahan karena mereka berada di daerah yang dianggap sebagai warga pendatang. Kembali ke kampung asal di Sulawesi pun dianggap pendatang karena tidak memiliki kartu tanda penduduk setempat," ujar Lapande.
Permohonan mendapat bantuan kredit pengadaan perahu, pukat, dan fasilitas lain dari pemerintah daerah setempat pun sangat sulit. Padahal, mereka pun sudah tinggal di Lewoleba sejak 1960-an.
Menurut Lintang, warga Bajo jarang mendapatkan kartu keluarga miskin atau kartu pengobatan gratis. Padahal, mereka membayar pajak kepada pemerintah, termasuk retribusi usaha sebagai nelayan.
Mengenai Pulau Siput yang berada sekitar lima kilometer di depan perkampungan suku Bajo, Lintang menyebutkan, tahun 1960-an di pulau itu hidup penduduk asli sekitar tujuh keluarga. Akibat tsunami tahun 1968, pulau itu nyaris rata dengan permukaan air laut. Di sana tak ada lagi kehidupan kecuali hamparan pasir putih. Pulau yang sebelum tsunami luasnya 1 kilometer persegi, kini tersisa 500 meter persegi memanjang dari timur ke barat.
Disebut Pulau Siput karena di pulau itu terdapat jutaan siput setiap terang bulan. Saat air laut surut, tumpukan siput memenuhi pulau. Siput itu diambil penduduk suku Bajo dan diolah sebagai dendeng siput.
"Belakangan sudah sangat sulit mendapat siput di pulau itu. Orang harus menggunakan alat khusus untuk menggali atau menusuk pasir untuk mendapat siput. Dari ikan hingga siput, menjadi mata pencaharian suku Bajo. Semua yang dari laut adalah sumber nafkah mereka karena suku Bajo memang identik dengan laut.
Sumber : www.kompas.com
Tidak banyak orang yang tahu mengenai penyebaran suku Bajo di Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tengara Barat (NTB), Bali, Makassar sampai di Papua. Mereka adalah orang pelaut yang tidak bisa hidup di daerah gunung. Bajo identik dengan air laut, perahu, dan pemukiman di atas air laut.
“Kalau di Lembata ini kami tersebar dari Balauring, Wairiang, Waijarang, Lalaba, dan Lewoleba. Di Adonara suku ini ada di Meko, Sagu, dan sebagian di Waiwerang. Di Pulau Flores terpusat di Pulau Babi yang tenggelam tahun 1992 akibat tsunami, dan dapat ditemukan hampir di setiap pesisir pantai termasuk di Labuan Bajo, Manggarai," kata Jamali Lintang, Koordinator Kerukunan Suku Bajo di Lewoleba.
Ditemui di pinggir pantai Lewoleba saat air laut surut, Lintang sedang membakar lumut di bagian dasar perahu, yang panjangnya lima meter dan lebarnya satu meter. Perahu dibakar dengan daun kelapa kering dengan tujuan perahu lebih lincah bergerak menuju sasaran.
Lintang mengaku bersama sekitar 50 kepala keluarga suku Bajo menempati pesisir pantai Lewoleba tahun 1960, yang lainnya menyebar ke utara dan selatan Pulau Lembata. Sebelumnya mereka berada di Meko, Kecamatan Klubagolit, di Pulau Adonara mereka mengaku suku asli dari Meko.
Tetapi setelah ditelusuri, asal usul suku Bajo sesungguhnya dari Sulawesi. Buktinya, selain menguasai bahasa daerah setempat seperti Lamaholot (Lembata) mereka juga berkomunikasi dengan bahasa Bajo, serumpun dengan bahasa Bugis, Sulawesi Selatan. Suku Bajo di Lewoleba mengaku berasal dari suku Bone di Sulawesi Selatan.
Di mana dua atau tiga warga Bajo berkumpul, mereka diwajibkan menggunakan bahasa Bajo, kecuali mereka berada di tengah kebanyakan warga Lamaholot. Suku Lamaholot terdiri dari warga Pulau Adonara, Solor, Lembata, dan daratan Flores Timur.
Suku Bajo di Lewoleba mencari ikan di sekitar perairan Pulau Lembata, Adonara, dan Solor. Mereka tidak pergi jauh dari daerah itu karena saat ini hampir setiap perairan sudah dikapling oleh masing-masing nelayan. "Jangan percaya kepada mereka yang tinggal di pedalaman atau di gunung, tetapi mengaku suku Bajo. Bajo itu sendiri artinya mendayung perahu dengan alat yang disebut bajo. Orang Bajo tidak bisa tinggal di tanah daratan kecuali sudah terjadi proses perkawinan dari generasi ke generasi, yang menyebabkan perubahan budaya, pola pikir, dan adat istiadat Bajo," tutur Lintang.
Agama Islam menjadi pilihan satu-satunya bagi seluruh warga Bajo. Bukan warga Bajo kalau ia beragama lain karena agama itu diwariskan nenek moyang dari dahulu kala.
Paulus Bapa Muda Pue, mantan asisten tiga Sekda Flores Timur, menyebutkan, meski sudah ratusan tahun warga Bajo tinggal di antara warga Kristen, mereka tetap menjaga identitas diri mereka sebagai orang yang taat shalat lima waktu dan berpegang teguh pada keyakinan yang diwariskan nenek moyang. Suku Bajo sangat menghormati adat istiadat masyarakat setempat dan selalu menjaga kerukunan bersama.
Kebersamaan dan persatuan di antara warga suku Bajo sangat kuat. Mereka mampu bertahan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya karena persatuan dan kesatuan yang dibangun di antara mereka. Kerja sama paling nyata di antara warga Bajo sering terlihat dalam hal mata pencarian.
"Jika ada sesama warga Bajo kesulitan mendapatkan ikan di laut, warga Bajo lain menolong. Atau yang satu belum memiliki perahu untuk menangkap ikan, yang lain membantu menyumbangkan perahu cuma-cuma. Ini tidak ada satu wadah tertentu. Sikap membantu tersebut lahir secara spontanitas turun temurun," papar Bapa.
Suku Bajo menyebar di sejumlah provinsi di Indonesia, seperti di NTB, Bali, Maluku, Papua dan pesisir pantai Pulau Timor, NTT. Mereka dapat diidentifikasi dari bahasa daerah yang digunakan. Di daerah lain mereka tidak menyebut diri Bajo, tetapi suku Bugis atau Makassar atau Buton.
Keberadaan mereka di daerah itu pun sudah ratusan tahun silam. Sebagian dari mereka telah kawin dengan penduduk asli, dan membentuk pemukiman muslim di pesisir pantai.
Lapande, Ketua RT bagi suku Bajo di pantai Lewoleba menyebutkan, suku Bajo adalah suku pelaut. Mereka mewarisi jiwa dan tradisi melaut dari nenek moyang yang diyakini dari Makassar.
Wajo
Bajo dalam bahasa Lamaholot artinya mendayung perahu. Di beberapa tempat di Flores Timur kelompok ini disebut Wajo, Watan, Besidu. Wajo sama artinya dengan bajo, yakni mendayung, alat mendayung perahu. Watan artinya pantai, keseluruhan hidup di pesisir pantai. Besidu artinya rumah panggung di atas air, kehidupan di atas air laut, bertengger di atas air laut. Mata pencarian orang Bajo adalah nelayan.
Sampai tahun 1960-an orang Bajo tidak bisa menginjakkan kaki di tanah daratan sehingga hasil tangkapan dijual langsung di atas perahu. Mereka tidak boleh menginjak semut atau bersentuhan dengan semut.
Suku ini memproduksi ikan kering dalam jumlah besar kemudian dijual ke pasar bahkan ke pasar-pasar tradisional di Kupang. Dari 50 keluarga di pantai Lewoleba dihasilkan 100 ton ikan kering per tahun. Jenis ikan yang dihasilkan biasanya ikan tembang, cumi-cumi, atau ikan tongkol.
Nyaris tidak ada suku Bajo yang menyekolahkan anak sampai tingkat perguruan tinggi. "Kebanyakan orangtua berpikir, sekolah sampai sarjana pun tidak mendapat tempat yang layak di pemerintahan karena mereka berada di daerah yang dianggap sebagai warga pendatang. Kembali ke kampung asal di Sulawesi pun dianggap pendatang karena tidak memiliki kartu tanda penduduk setempat," ujar Lapande.
Permohonan mendapat bantuan kredit pengadaan perahu, pukat, dan fasilitas lain dari pemerintah daerah setempat pun sangat sulit. Padahal, mereka pun sudah tinggal di Lewoleba sejak 1960-an.
Menurut Lintang, warga Bajo jarang mendapatkan kartu keluarga miskin atau kartu pengobatan gratis. Padahal, mereka membayar pajak kepada pemerintah, termasuk retribusi usaha sebagai nelayan.
Mengenai Pulau Siput yang berada sekitar lima kilometer di depan perkampungan suku Bajo, Lintang menyebutkan, tahun 1960-an di pulau itu hidup penduduk asli sekitar tujuh keluarga. Akibat tsunami tahun 1968, pulau itu nyaris rata dengan permukaan air laut. Di sana tak ada lagi kehidupan kecuali hamparan pasir putih. Pulau yang sebelum tsunami luasnya 1 kilometer persegi, kini tersisa 500 meter persegi memanjang dari timur ke barat.
Disebut Pulau Siput karena di pulau itu terdapat jutaan siput setiap terang bulan. Saat air laut surut, tumpukan siput memenuhi pulau. Siput itu diambil penduduk suku Bajo dan diolah sebagai dendeng siput.
"Belakangan sudah sangat sulit mendapat siput di pulau itu. Orang harus menggunakan alat khusus untuk menggali atau menusuk pasir untuk mendapat siput. Dari ikan hingga siput, menjadi mata pencaharian suku Bajo. Semua yang dari laut adalah sumber nafkah mereka karena suku Bajo memang identik dengan laut.
Sumber : www.kompas.com