Ritual Turun-temurun Sejak 128 Tahun Silam
Bakar Tongkang, saat ini tidak lagi menjadi milik masyarakat Tionghoa melainkan sudah menjadi milik masyarakat secara keseluruhan. Terlebih even ini sudah ditetapkan sebagai kalender wisata di Riau. Dukungan penuh pun diberikan tidak saja oleh Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) juga oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau.
Acara ini dipusatkan pada satu kelenteng tertua di Rohil. Namanya Kelenteng Eng Hok King, tempat ibadah tertua umat Kong Hu Chu. Kelenteng itu dianggap paling sakral karena merupakan satu-satunya bangunan yang selamat dan tetap utuh saat terjadi kerusuhan pembakaran massal pada 15 September 1998 silam.
Sebagian besar masyarakat Tionghoa di Bagansiapi-api percaya, malam itu, kapal tongkang akan didatangi Dewa Ki Hu Ong Ya (Dewa Laut). Ki Hu Ong Ya dipercaya sebagai Dewa Penyelamat yang telah memberi petunjuk kepada nenek moyang mereka yang sempat tersesat di laut. Petunjuk itu mengarah pada Bagansiapi-api yang mereka sebut sebagai tanah harapan. Ritual ini merupakan salah satu cara berterima kasih yang ditunjukkan warga keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi. Ritual itu sudah dilakukan sejak 128 tahun silam, tetapi pelaksanaannya sempat tersendat pada era Orba.
Dalam pandangan budayawan Riau Yusmar Yusuf, tradisi ini merupakan sesuatu yang biasa dan dalam masyarakat Melayu tradisi-tradisi semacam ini sudah sering dilakukan, hanya saja tradisi-tradisi yang digelar itu tidaklah sebesar ritual Bakar Tongkang ini. "Ini tradisi biasa. Biasanya orang yang sedang dalam pelayaran dan apalah lagi namanya, bila ia menetap pada suatu tempat pastilah semuanya akan di bakar atau dibuang, ini dilakukan untuk menghindari dan melupakan daerah asalnya dahulu," ujarnya.
Hal ini pula terjadi pada kaum Fatimiah di Mesir 1.000 tahun lalu. Kaum ini dikejar-kejar oleh Bani Umayah, mereka lari dan bersembunyi di gua-gua. Untuk menghindari agar mereka tidak dikejar segala peralatan yang dimiliki mereka bakar.
"Kita tidak tahu apakah kedatangan masyarakat Tionghoa pada ketika itu karena adanya konflik di negerinya atau karena lain. Yang jelas kita, bila sampai pada satu tanah harapan akan melakukan pemusnahan barang-barang yang terkait dengan tanah sebelumnya," ujarnya.
Kaum Fatimiah ini, menurut Yusmar lagi, adalah kaum yang terpelajar dan memiliki ilmu pengetahuan yang cukup tinggi, ini dibuktikan dengan mereka mendirikan Universitas Al Azhar di Kairo Mesir. "Kaum Fatimiah ini adalah kaum terpelajar dan memiliki ilmu pengetahuan yang cukup tinggi. Universitas Al Azhar itu kaum ini yang mendirikan,’’ tuturnya.
Marga Ang
Terasa mistis memang, tapi begitulah cara warga Tionghoa Bagansiapiapi mewujudkan rasa terima kasih dan pengharapan yang lebih besar pada tahun-tahun mendatang. Dengan hio di tangan, mereka tumpah ruah di Kelenteng Eng Hok King. Menjalani berbagai ritual sembahyang, menggumamkan doa, hingga mengutarakan heguan atau nazar. Makna nazar hampir sama dengan keyakinan agama lain, kewajiban memenuhi niat atas pengharapan yang dikabulkan sang dewa.
Dari catatan yang ada, ritual itu bermula ketika 18 orang warga Tionghoa bermarga Ang menginjakkan kaki pertama kali di tanah Bagan pada 1826 Masehi. Masa itu, Bagan yang merupakan muara Sungai Rokan masih berupa rimba lebat tanpa penghuni. Ke-18 orang itu menggunakan tiga kapal kayu yang disebut wang kang atau tongkang. Konon, satu dari 18 orang itu adalah perempuan. Mereka orang Cina yang migrasi ke Desa Songkla di Thailand pada 1825 Masehi.
Masa migrasi di Thailand itu tidak berlangsung lama. Orang Cina pendatang dimusuhi penduduk asli hingga pecahlah kerusuhan. Karena sadar keberadaan mereka membawa pertikaian, para imigran itu pun pergi. Alkisah, mereka berlayar menggunakan tiga kapal mencari daerah baru bagi kehidupan. Di tengah perjalanan, dua tongkang tenggelam, satu selamat berlabuh di Bagan. Sebelum tiba di Bagan, mereka berlabuh terlebih dahulu di Kerajaan Kubu. Namun, karena merasa kurang aman, akhirnya pindah ke daratan Bagan.
Satu tongkang yang selamat dipercaya membawa patung Dewa Tai Sun di haluan tongkangnya dan Dewa Ki Ong Ya di rumah kapal. Dewa Tai Sun, menurut kepercayaan orang Tionghoa, merupakan dewa yang tidak memiliki rumah dan dikenal hidup sebagai pengembara. Dua dewa itulah yang menyertai keselamatan nenek moyang masyarakat Tionghoa yang merantau hingga ke Bagansiapiapi.
Nenek moyang warga Tionghoa Bagan mendarat di bumi penghasil ikan itu sekitar 1826 Masehi. Mereka hidup di muara Sungai Rokan dan menggantungkan nasib di laut. Kehidupan mereka berkembang dengan mendirikan bang liau (gudang penampungan ikan).
Satu abad setelah mendarat atau sekitar 1926, para keturunan Tionghoa itu melaksanakan ritual peringatan sejarah kedatangan nenek moyang. Ritual itu kemudian dilakukan teratur tiap tahun. Kota yang berada di barat daya Riau itu pernah mengalami masa jaya sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia. Namun, kejayaan perikanan di Bagansiapiapi lambat laun meredup.
Sumber : Riau Pos
Bakar Tongkang, saat ini tidak lagi menjadi milik masyarakat Tionghoa melainkan sudah menjadi milik masyarakat secara keseluruhan. Terlebih even ini sudah ditetapkan sebagai kalender wisata di Riau. Dukungan penuh pun diberikan tidak saja oleh Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) juga oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau.
Acara ini dipusatkan pada satu kelenteng tertua di Rohil. Namanya Kelenteng Eng Hok King, tempat ibadah tertua umat Kong Hu Chu. Kelenteng itu dianggap paling sakral karena merupakan satu-satunya bangunan yang selamat dan tetap utuh saat terjadi kerusuhan pembakaran massal pada 15 September 1998 silam.
Sebagian besar masyarakat Tionghoa di Bagansiapi-api percaya, malam itu, kapal tongkang akan didatangi Dewa Ki Hu Ong Ya (Dewa Laut). Ki Hu Ong Ya dipercaya sebagai Dewa Penyelamat yang telah memberi petunjuk kepada nenek moyang mereka yang sempat tersesat di laut. Petunjuk itu mengarah pada Bagansiapi-api yang mereka sebut sebagai tanah harapan. Ritual ini merupakan salah satu cara berterima kasih yang ditunjukkan warga keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi. Ritual itu sudah dilakukan sejak 128 tahun silam, tetapi pelaksanaannya sempat tersendat pada era Orba.
Dalam pandangan budayawan Riau Yusmar Yusuf, tradisi ini merupakan sesuatu yang biasa dan dalam masyarakat Melayu tradisi-tradisi semacam ini sudah sering dilakukan, hanya saja tradisi-tradisi yang digelar itu tidaklah sebesar ritual Bakar Tongkang ini. "Ini tradisi biasa. Biasanya orang yang sedang dalam pelayaran dan apalah lagi namanya, bila ia menetap pada suatu tempat pastilah semuanya akan di bakar atau dibuang, ini dilakukan untuk menghindari dan melupakan daerah asalnya dahulu," ujarnya.
Hal ini pula terjadi pada kaum Fatimiah di Mesir 1.000 tahun lalu. Kaum ini dikejar-kejar oleh Bani Umayah, mereka lari dan bersembunyi di gua-gua. Untuk menghindari agar mereka tidak dikejar segala peralatan yang dimiliki mereka bakar.
"Kita tidak tahu apakah kedatangan masyarakat Tionghoa pada ketika itu karena adanya konflik di negerinya atau karena lain. Yang jelas kita, bila sampai pada satu tanah harapan akan melakukan pemusnahan barang-barang yang terkait dengan tanah sebelumnya," ujarnya.
Kaum Fatimiah ini, menurut Yusmar lagi, adalah kaum yang terpelajar dan memiliki ilmu pengetahuan yang cukup tinggi, ini dibuktikan dengan mereka mendirikan Universitas Al Azhar di Kairo Mesir. "Kaum Fatimiah ini adalah kaum terpelajar dan memiliki ilmu pengetahuan yang cukup tinggi. Universitas Al Azhar itu kaum ini yang mendirikan,’’ tuturnya.
Marga Ang
Terasa mistis memang, tapi begitulah cara warga Tionghoa Bagansiapiapi mewujudkan rasa terima kasih dan pengharapan yang lebih besar pada tahun-tahun mendatang. Dengan hio di tangan, mereka tumpah ruah di Kelenteng Eng Hok King. Menjalani berbagai ritual sembahyang, menggumamkan doa, hingga mengutarakan heguan atau nazar. Makna nazar hampir sama dengan keyakinan agama lain, kewajiban memenuhi niat atas pengharapan yang dikabulkan sang dewa.
Dari catatan yang ada, ritual itu bermula ketika 18 orang warga Tionghoa bermarga Ang menginjakkan kaki pertama kali di tanah Bagan pada 1826 Masehi. Masa itu, Bagan yang merupakan muara Sungai Rokan masih berupa rimba lebat tanpa penghuni. Ke-18 orang itu menggunakan tiga kapal kayu yang disebut wang kang atau tongkang. Konon, satu dari 18 orang itu adalah perempuan. Mereka orang Cina yang migrasi ke Desa Songkla di Thailand pada 1825 Masehi.
Masa migrasi di Thailand itu tidak berlangsung lama. Orang Cina pendatang dimusuhi penduduk asli hingga pecahlah kerusuhan. Karena sadar keberadaan mereka membawa pertikaian, para imigran itu pun pergi. Alkisah, mereka berlayar menggunakan tiga kapal mencari daerah baru bagi kehidupan. Di tengah perjalanan, dua tongkang tenggelam, satu selamat berlabuh di Bagan. Sebelum tiba di Bagan, mereka berlabuh terlebih dahulu di Kerajaan Kubu. Namun, karena merasa kurang aman, akhirnya pindah ke daratan Bagan.
Satu tongkang yang selamat dipercaya membawa patung Dewa Tai Sun di haluan tongkangnya dan Dewa Ki Ong Ya di rumah kapal. Dewa Tai Sun, menurut kepercayaan orang Tionghoa, merupakan dewa yang tidak memiliki rumah dan dikenal hidup sebagai pengembara. Dua dewa itulah yang menyertai keselamatan nenek moyang masyarakat Tionghoa yang merantau hingga ke Bagansiapiapi.
Nenek moyang warga Tionghoa Bagan mendarat di bumi penghasil ikan itu sekitar 1826 Masehi. Mereka hidup di muara Sungai Rokan dan menggantungkan nasib di laut. Kehidupan mereka berkembang dengan mendirikan bang liau (gudang penampungan ikan).
Satu abad setelah mendarat atau sekitar 1926, para keturunan Tionghoa itu melaksanakan ritual peringatan sejarah kedatangan nenek moyang. Ritual itu kemudian dilakukan teratur tiap tahun. Kota yang berada di barat daya Riau itu pernah mengalami masa jaya sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia. Namun, kejayaan perikanan di Bagansiapiapi lambat laun meredup.
Sumber : Riau Pos