Ekspedisi pagai `Mugorok Elu` Tanah Mentawai

Oleh: Gesit Ariyanto

Tengah malam di sebuah pondok kayu, Kepala Dusun Lakau, Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Laurianus Salamanang (37) memetik dawai gitar. Dia melantunkan tembang ”Mugorok Elu”—dalam bahasa lokal berarti meneteskan air mata.

Lagu karya mendiang Victor Saogo itu berkisah tentang kerinduan anak kepada orangtua dan kampung nun jauh.

Meskipun diciptakan puluhan tahun lalu, kisah itu masih relevan menggambarkan kondisi warga pulau di gugusan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Meski Indonesia sudah 62 tahun merdeka, tetap sulit menjangkau Pagai Selatan. Hal itu dialami Kompas dan anggota tim Komando Langsung I Ekspedisi Garis Depan Nusantara-Wanadri yang bermaksud memasang prasasti batas wilayah terluar Indonesia, awal Juni lalu.

”Beginilah kami orang pulau, mau keluar dusun harus berhitung dengan kondisi laut. Namun, kami sudah terbiasa,” kata Laurianus, satu-satunya guru SD Filial Vincentius di bawah binaan Pastoran Sikakap.

Dusun Lakau, berpenghuni 18 keluarga, dan Dusun Limosua (38 keluarga) dicapai dengan waktu tempuh sekitar 5 jam dari Sikakap, ibu kota Kecamatan Pagai Utara, menggunakan kapal berkecepatan 8 knot.

Kisah klasik
Diayun ombak ganas dan disengat panas matahari dalam hitungan jam bukan hal biasa bagi anggota tim. Bagi orang pulau, hal itulah yang harus dihadapi untuk perjalanan antarpulau. Hingga kini jumlah pemilik perahu bermesin di Pulau Pagai Selatan masih terbatas.

Masih banyak generasi muda Pagai yang mengalami fase berhari-hari mendayung sampan dari dusunnya menuju Sikakap untuk keperluan sekolah atau ekonomi. Sejauh ini Sikakap merupakan tujuan utama mobilitas penduduk di pulau-pulau sekitar Pagai. Di sanalah pusat ekonomi dan pendidikan warga.

Umumnya, anak-anak pulau merantau ke Sikakap untuk melanjutkan sekolah di atas kelas III. Mereka ”dipaksa menjadi dewasa” karena harus berpisah dengan orangtua pada usia belia. Mereka indekos, menumpang, atau tinggal di asrama untuk menuntut ilmu. Mereka harus memasak sendiri.

Seperti yang dilihat Kompas saat berkunjung ke salah satu SD swasta di Sikakap, sejumlah siswa kelas V memanfaatkan ruangan bekas kepala sekolah sebagai penginapan mereka. Selama bertahun-tahun, anak-anak yang masih belia itu hidup mandiri jauh dari orangtua dan memecahkan persoalan sendiri.

Seperti diungkapkan Kepala Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Sikakap Joni Faldi (32) dan Pastor Kepala Gereja Katolik Paroki Sikakap Matheus Tatebburuks, siswa harus jauh dari orangtua dan memasak sendiri bukan akibat dililit kemiskinan. Namun infrastruktur yang terbatas, bahkan parah, menyebabkan jumlah sekolah terbatas. Mereka harus berjuang keras demi ilmu.

Sebagian besar penduduk asli Pagai mengandalkan hasil alam, seperti nilam, kakao, cengkeh, kopra, dan lobster. Awal Juni lalu harga minyak nilam mencapai Rp 800.000 per kilogram, lobster sekitar Rp 200.000 per kg.

Puluhan pengepul nilam dan lobster menampung hasil warga sebelum menjualnya ke Padang. Para pendatang menguasai sektor ekonomi sekaligus menentukan harga. Penduduk lokal nyaris tak berdaya.

Sebenarnya, banyak potensi hasil alam Pagai, seperti budidaya ikan hias, ikan laut, dan pariwisata serta peluang bisnis pendukungnya. Namun, peluang itu tidak bisa dimanfaatkan penduduk lokal yang akses ekonominya sangat terbatas.

Sementara setiap tahun ribuan turis asing menikmati kekayaan alam dan budaya Mentawai. Resor-resor mewah di pulau-pulau kecil dikelola warga negara asing dengan mempekerjakan sedikit tenaga lokal.

Kejuaraan selancar ombak digelar rutin, menghadirkan atlet profesional kelas dunia. Lagi-lagi penduduk lokal tidak bisa berbuat apa-apa.

Turis datang dan pergi seiring dengan musim. Warga lokal seperti menetap di atas ”peti harta karun”.

Sumber :

cetak.kompas.com