Oleh: Susilowati
Perjalanan jauh biasanya identik dengan letih dan menjemukan. Apalagi jika kondisi badan tidak fit atau punya kebiasaan mabuk perjalanan. Namun, jika sedang fit, trip dari Bandar Lampung ke Krui, Lampung Barat, bisa sangat mengesankan.
Jalur lintas barat Lampung saat ini tidak seperti lima tahun lalu. Dulu, jalur ini belum dilalui bus antarkota. Jasa bus yang tersedia baru dari Rajabasa-Kotaagung. Untuk sampai di Krui, dari Kotaagung masih harus disambung dengan mobil odong-odong atau jasa ojek. Itu pun hanya sampai di Pekon Wayheni, Kecamatan Bengkunat. Selanjutnya naik angkutan perdesaan yang ngetem di Pasar Wayheni.
Jadi, perjalanan Bandar Lampung-Krui via Kotaagung, jika lancar bisa ditempuh dalam sehari. Tapi, jika kehabisan angkutan, berarti perjalanan harus ditempuh satu hari setengah, ditambah bermalam di Pekon Wayheni.
Itu hitungan cuaca normal. Jika musim hujan, tidak jarang mobil odong-odong atau ojek harus dipasang rantai untuk bisa melintasi genangan jalan lumpur dan licin di tengah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Tak jarang penumpang terjebak seharian di tengah TNBBS.
Di tengah alasroban itu, timbul kekhawatiran kalau-kalau binatang buas, seperti gajah, ular, atau harimau mendatangi kami. Suara binatang itu bersautan di tengah hutan. Bekas kotoran gajah kerap berserakan di jalan, selain jejak mereka yang merusak tumbuhan di pinggir jalan. Monyet-monyet putih atau beruk yang berlompatan dari dahan ke dahan bisa menjadi hiburan. Mereka mengejek (dengan ekspersinya ala monyet) penumpang yang berdoa mengharap mobil cepat terangkat dari lumpur.
Menyusul dibukanya jalur lintas barat (Bandar Lampung-Krui via Kotaagung), tahun 2007, masyarakat Krui dan sekitarnya bisa bernapas lega. Kubangan lumpur yang hampir satu kilometer dengan kedalaman 1-2 meter tidak ada lagi. Meski masih sering ada jalan rusak, tidak separah sebelumnya. Jalur ini memang banyak didamba masyarakat yang punya akses di Bandar Lampung-Krui maupun Bengkulu.
Selain jarak tempuh lebih dekat, waktu yang dibutuhkan juga lebih sedikit (6-7 jam). Selain itu, ada hal yang lebih mengesankan, jalur lintas barat menawarkan pemandangan alam yang membuat para musafir termanjakan. Perjalanan menjadi menyenangkan dengan pemandangan di sepanjang perjalanan.
Keluar dari Bandar Lampung, kita akan disuguhi perkampungan yang bersih dan teratur. Ini bisa kita dapati di Pekon Negri Sakti. Jajaran rumah kokoh dengan halaman yang luas ditumbuhi tanaman buah-buahan, dengan beberapa rumah yang masih bercorak tradisional membuat kesan perdesaan yang penduduknya sejahtera. Jauh dari riuh perkotaan dengan rumah berimpit tanpa halaman, tapi tidak ada kesan udik seperti desa tertinggal. Mungkin ini gambaran Desaku Maju Sakai Sambayan yang pernah dicanangkan mantan Gubernur Oemarsono.
Belum bosan dengan pemandangan yang membuat hati tenteram, rimbun kebun karet menawarkan kesejukan yang membuat mata ingin menoleh sekadar untuk menikmati hamparan rumput di bawah rimbun kebun karet, atau beberapa penderes yang sibuk menadah getah karet.
Lepas dari keteduhan perkebunan karet, kita akan bertemu hiruk pikuk pasar tradisional yang di sebagian kota besar, termasuk Bandar Lampung, mulai digerus zaman. Menyusul hamparan persawahan yang menghijau di musim rendeng dan menguning di kala panen, lebih menandaskan varibel kedesaan dan kemakmuran masyarakat di sekitarnya. Andai tidak ada bangunan sarang burung walet, pemandangan ini lebih sempurna. Persawahan itu dikelilingi bukit dengan tanaman perkebunan yang bernuansa hijau. Sedangkan bagian paling tepi, laksana pagar penjaga; Bukit Barisan Selatan kebiruan dipeluk kabut.
Sayang, beberapa bagian telah coak, sedikit mengganggu kesan anggun dan wibawa paku semesta. Ini pemandangan yang mewakili hampir seluruh wilayah Gedongtataan-Pringsewu- sampai Pegelaran. Di antara ketiganya Pringsewu mempunyai tilas kuat sebagai daerah transmigrasi tertua di Lampung. Kalau ingin tahu lebih banyak tentang hal itu, di tempat ini telah dibangun Museum Transmigrasi, tidak jauh dari jalan utama.
Ketika melintasi tempat ini, memori terpelanting pada lukisan pemandangan yang (sebagian siswa SD) buat ketika guru menggambar mengintruksikan melukis pemandangan. Sebagian besar siswa akan melukis gunung dengan matahari di baliknya. Di bawahnya terhampar persawahan yang dibelah kelokan jalan dengan garis polisi. Ternyata, imajinasi pemandangan masa kecil, di kemudian hari ditemukan di wilayah ini.
Belum bosan dengan suguhan fantantis, tubuh kita akan merasakan pergantian suhu udara ketika memasuki wilayah Gisting. Gisting terkenal dengan daerah yang dingin. Kalau lewat di pagi hari, kita akan terpesona dengan menipisnya kabut disapu sinar surya. Di kejauhan, Gunung Tanggamus bermantel kabut tebal serupa perawan yang malu-malu merapatkan gaunnya.
Sedang di kanan kiri jalan, jajaran rumah yang sebagian permanen, sebagian lagi masih berbentuk rumah panggung dengan tersier di sekelilingnya. Gemercik air semakin membuat kesan asri, menggoda untuk sejenak singgah. Kolam ikan dan pemancingan lengkap dengan dangau di tengahnya hampir selalu kita dapati. Hati kita pun kebat-kebit "kapan bisa mampir".
Pemandangan lain yang tidak kalah menariknya, perkebunan kol yang terhampar luas di kiri kanan jalan mengantarai rumah-rumah penduduk. Bagi mereka yang tinggal di daerah tandus, bisa sangat cemburu dengan kesuburan Gisting. Dengan berbagai macam warna bunga yang menghiasi pekarangan rumah penduduk, semakin memanjakan mata untuk menikmati perjalanan.
Pesona Gisting belum pudar, tapi kita harus menarik napas; jalan menurun tajam berkelok menandai kita telah sampai di Kotaagung. Di sini, meski menggunakan kendaraan apa pun, harus ekstrahati-hati. Selain tikungnnya tajam, di kiri kanan jalan juga dipagari cadas dan bertepikan ngarai yang curam. Sekali lengah, jurang yang dalam siap merenggut nyawa. Tapi lanskap yang ditawarkan di depan mata sebanding dengan tingkat kesulitan. Nun jauh di sana, tampak Teluk Semaka melambai memanggil kita untuk bersantai.
Perjalanan terus menurun menuju pusat Kotaagung, dengan pemandangan yang semakin cantik dan risiko semakin santun. Lepas dari bahaya jurang, dari kiri jalan pemandangan persawahan dengan sistem sengkedan menyapa ramah. Pemandangan berhujung pada biru laut dan jauh langit membuat hati terus berdecak: subhanallah. Di kanan jalan pun kita dapati penjual buah durian, manggis, dan berbagai macam penganan menawarkan untuk singgah.
Sejurus kemudian, kita disambut pesona Pantai Terbaya. Tapi perjalanan ke Krui masih jauh. Keindahan Terbaya cukup menjadi daftar rencana liburan suatu hari nanti.
Angin Pantai Terbaya masih menyisakan angan, hiruk pikuk pusat Kotaagung telah menyambut. Kalau kita tidak ingin menyaksikan semrawutnya jasa ojek di tempat ini, bergegaslah melewatinya. Anda akan disambut keasrian Pekon Negara Batin dengan jajaran rumah-rumah adat yang hanya dapat dijumpai di pekon-pekon asli Lampung. Jajaran rumah panggung berbagai model dengan muli-muli manis duduk di serambi, menggambarkan orisinalitas sebuah wilayah yang disebut pekon.
Apalagi saat musim Gawi, kita dapat menyimak kesibukan penduduk bahu-membahu menjaga adat. Meski hanya sepintas akan menjadi catatan dalam benak kita, betapa guyupnya masyarakat adat di sekitar Pekon Negara Batin.
Bus terus melaju...kembali kita menikmati hamparan persawahan di sisi kiri dengan background Bukit Barisan. Tapi kali kita merasa lebih terlindung, karena Bukit Barisan semakin nyata di depan mata. Sedangkan di sebelah kanan jalan hamparan sawah dipagari kegagahan Gunung Tanggamus. Kesan sejuk dan nyaman terasa menyertai perjalanan. Membuat kita terlupa kalau hampir mencapai separo perjalanan. Dengan riang riak Way Semaka melengkapi kekayaan potensi alam yang dianugerahkan Sang Pancipta. Ini pemandangan umum di daerah Wonosobo dan Semaka.
Beberapa tombak kemudian, kita mulai menarik napas. Perjalan mulai naik, merayap merambati Bukit Barisan. Hamparan sawah dan ramah pesona rumah adat kita tinggalkan. Kendaraan mulai harus menambah gas, setelah lepas perempatan Sedayu, kita akan mendaki dan terus mendaki. Pesiapkan mental, bagi Anda yang takut ketinggian. Dan mulai petualangan bagi Anda yang suka tantangan.
Setelah melewati beberapa tanjakan yang curam dan berkelok, embuskan napas Anda. Tengokan dengan seksama leher Anda untuk melihat ke sebelah kiri. Anda akan terlupa jurang yang ada di bawah Anda. Lanskap alam dengan pesona luar biasa membetot seluruh perhatian. Hamparan sawah yang tertinggal terlihat kecil, dengan petak-petak yang hanya terlihat berupa garis. Rumah-rumah penduduk, hamparan kebun kelapa, perkebunan lada, dan kopi terlihat rata dan kecil seperti pemandangan mini yang kita dapati pada lanskap-lanskap foto udara.
Nun jauh di sana, Teluk Semaka serupa danau biru menyatu dengan langit. Kata tak cukup untuk menggambarkan kesempurnaan lanskap memesona ini. Selain ungkapan subhanallah yang refleks terucap, bagi pengguna kendaraan pribadi dengan sendirinya berhenti. Bagi yang membawa kamera, lanskap ini tak akan disia-siakan. Bagi yang lewat dengan tangan hampa, cukup berdiam, dan dengan seksama mengamati pemandangan yang sulit dicari tandingnya.
Bagi mereka yang lelah dan ingin istirahat, tak jauh dari posisi view banyak berjajar pondok kecil yang menjajakan buah khas daerah ini, durian.
Sumber : http://www.lampungpost.com
Perjalanan jauh biasanya identik dengan letih dan menjemukan. Apalagi jika kondisi badan tidak fit atau punya kebiasaan mabuk perjalanan. Namun, jika sedang fit, trip dari Bandar Lampung ke Krui, Lampung Barat, bisa sangat mengesankan.
Jalur lintas barat Lampung saat ini tidak seperti lima tahun lalu. Dulu, jalur ini belum dilalui bus antarkota. Jasa bus yang tersedia baru dari Rajabasa-Kotaagung. Untuk sampai di Krui, dari Kotaagung masih harus disambung dengan mobil odong-odong atau jasa ojek. Itu pun hanya sampai di Pekon Wayheni, Kecamatan Bengkunat. Selanjutnya naik angkutan perdesaan yang ngetem di Pasar Wayheni.
Jadi, perjalanan Bandar Lampung-Krui via Kotaagung, jika lancar bisa ditempuh dalam sehari. Tapi, jika kehabisan angkutan, berarti perjalanan harus ditempuh satu hari setengah, ditambah bermalam di Pekon Wayheni.
Itu hitungan cuaca normal. Jika musim hujan, tidak jarang mobil odong-odong atau ojek harus dipasang rantai untuk bisa melintasi genangan jalan lumpur dan licin di tengah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Tak jarang penumpang terjebak seharian di tengah TNBBS.
Di tengah alasroban itu, timbul kekhawatiran kalau-kalau binatang buas, seperti gajah, ular, atau harimau mendatangi kami. Suara binatang itu bersautan di tengah hutan. Bekas kotoran gajah kerap berserakan di jalan, selain jejak mereka yang merusak tumbuhan di pinggir jalan. Monyet-monyet putih atau beruk yang berlompatan dari dahan ke dahan bisa menjadi hiburan. Mereka mengejek (dengan ekspersinya ala monyet) penumpang yang berdoa mengharap mobil cepat terangkat dari lumpur.
Menyusul dibukanya jalur lintas barat (Bandar Lampung-Krui via Kotaagung), tahun 2007, masyarakat Krui dan sekitarnya bisa bernapas lega. Kubangan lumpur yang hampir satu kilometer dengan kedalaman 1-2 meter tidak ada lagi. Meski masih sering ada jalan rusak, tidak separah sebelumnya. Jalur ini memang banyak didamba masyarakat yang punya akses di Bandar Lampung-Krui maupun Bengkulu.
Selain jarak tempuh lebih dekat, waktu yang dibutuhkan juga lebih sedikit (6-7 jam). Selain itu, ada hal yang lebih mengesankan, jalur lintas barat menawarkan pemandangan alam yang membuat para musafir termanjakan. Perjalanan menjadi menyenangkan dengan pemandangan di sepanjang perjalanan.
Keluar dari Bandar Lampung, kita akan disuguhi perkampungan yang bersih dan teratur. Ini bisa kita dapati di Pekon Negri Sakti. Jajaran rumah kokoh dengan halaman yang luas ditumbuhi tanaman buah-buahan, dengan beberapa rumah yang masih bercorak tradisional membuat kesan perdesaan yang penduduknya sejahtera. Jauh dari riuh perkotaan dengan rumah berimpit tanpa halaman, tapi tidak ada kesan udik seperti desa tertinggal. Mungkin ini gambaran Desaku Maju Sakai Sambayan yang pernah dicanangkan mantan Gubernur Oemarsono.
Belum bosan dengan pemandangan yang membuat hati tenteram, rimbun kebun karet menawarkan kesejukan yang membuat mata ingin menoleh sekadar untuk menikmati hamparan rumput di bawah rimbun kebun karet, atau beberapa penderes yang sibuk menadah getah karet.
Lepas dari keteduhan perkebunan karet, kita akan bertemu hiruk pikuk pasar tradisional yang di sebagian kota besar, termasuk Bandar Lampung, mulai digerus zaman. Menyusul hamparan persawahan yang menghijau di musim rendeng dan menguning di kala panen, lebih menandaskan varibel kedesaan dan kemakmuran masyarakat di sekitarnya. Andai tidak ada bangunan sarang burung walet, pemandangan ini lebih sempurna. Persawahan itu dikelilingi bukit dengan tanaman perkebunan yang bernuansa hijau. Sedangkan bagian paling tepi, laksana pagar penjaga; Bukit Barisan Selatan kebiruan dipeluk kabut.
Sayang, beberapa bagian telah coak, sedikit mengganggu kesan anggun dan wibawa paku semesta. Ini pemandangan yang mewakili hampir seluruh wilayah Gedongtataan-Pringsewu- sampai Pegelaran. Di antara ketiganya Pringsewu mempunyai tilas kuat sebagai daerah transmigrasi tertua di Lampung. Kalau ingin tahu lebih banyak tentang hal itu, di tempat ini telah dibangun Museum Transmigrasi, tidak jauh dari jalan utama.
Ketika melintasi tempat ini, memori terpelanting pada lukisan pemandangan yang (sebagian siswa SD) buat ketika guru menggambar mengintruksikan melukis pemandangan. Sebagian besar siswa akan melukis gunung dengan matahari di baliknya. Di bawahnya terhampar persawahan yang dibelah kelokan jalan dengan garis polisi. Ternyata, imajinasi pemandangan masa kecil, di kemudian hari ditemukan di wilayah ini.
Belum bosan dengan suguhan fantantis, tubuh kita akan merasakan pergantian suhu udara ketika memasuki wilayah Gisting. Gisting terkenal dengan daerah yang dingin. Kalau lewat di pagi hari, kita akan terpesona dengan menipisnya kabut disapu sinar surya. Di kejauhan, Gunung Tanggamus bermantel kabut tebal serupa perawan yang malu-malu merapatkan gaunnya.
Sedang di kanan kiri jalan, jajaran rumah yang sebagian permanen, sebagian lagi masih berbentuk rumah panggung dengan tersier di sekelilingnya. Gemercik air semakin membuat kesan asri, menggoda untuk sejenak singgah. Kolam ikan dan pemancingan lengkap dengan dangau di tengahnya hampir selalu kita dapati. Hati kita pun kebat-kebit "kapan bisa mampir".
Pemandangan lain yang tidak kalah menariknya, perkebunan kol yang terhampar luas di kiri kanan jalan mengantarai rumah-rumah penduduk. Bagi mereka yang tinggal di daerah tandus, bisa sangat cemburu dengan kesuburan Gisting. Dengan berbagai macam warna bunga yang menghiasi pekarangan rumah penduduk, semakin memanjakan mata untuk menikmati perjalanan.
Pesona Gisting belum pudar, tapi kita harus menarik napas; jalan menurun tajam berkelok menandai kita telah sampai di Kotaagung. Di sini, meski menggunakan kendaraan apa pun, harus ekstrahati-hati. Selain tikungnnya tajam, di kiri kanan jalan juga dipagari cadas dan bertepikan ngarai yang curam. Sekali lengah, jurang yang dalam siap merenggut nyawa. Tapi lanskap yang ditawarkan di depan mata sebanding dengan tingkat kesulitan. Nun jauh di sana, tampak Teluk Semaka melambai memanggil kita untuk bersantai.
Perjalanan terus menurun menuju pusat Kotaagung, dengan pemandangan yang semakin cantik dan risiko semakin santun. Lepas dari bahaya jurang, dari kiri jalan pemandangan persawahan dengan sistem sengkedan menyapa ramah. Pemandangan berhujung pada biru laut dan jauh langit membuat hati terus berdecak: subhanallah. Di kanan jalan pun kita dapati penjual buah durian, manggis, dan berbagai macam penganan menawarkan untuk singgah.
Sejurus kemudian, kita disambut pesona Pantai Terbaya. Tapi perjalanan ke Krui masih jauh. Keindahan Terbaya cukup menjadi daftar rencana liburan suatu hari nanti.
Angin Pantai Terbaya masih menyisakan angan, hiruk pikuk pusat Kotaagung telah menyambut. Kalau kita tidak ingin menyaksikan semrawutnya jasa ojek di tempat ini, bergegaslah melewatinya. Anda akan disambut keasrian Pekon Negara Batin dengan jajaran rumah-rumah adat yang hanya dapat dijumpai di pekon-pekon asli Lampung. Jajaran rumah panggung berbagai model dengan muli-muli manis duduk di serambi, menggambarkan orisinalitas sebuah wilayah yang disebut pekon.
Apalagi saat musim Gawi, kita dapat menyimak kesibukan penduduk bahu-membahu menjaga adat. Meski hanya sepintas akan menjadi catatan dalam benak kita, betapa guyupnya masyarakat adat di sekitar Pekon Negara Batin.
Bus terus melaju...kembali kita menikmati hamparan persawahan di sisi kiri dengan background Bukit Barisan. Tapi kali kita merasa lebih terlindung, karena Bukit Barisan semakin nyata di depan mata. Sedangkan di sebelah kanan jalan hamparan sawah dipagari kegagahan Gunung Tanggamus. Kesan sejuk dan nyaman terasa menyertai perjalanan. Membuat kita terlupa kalau hampir mencapai separo perjalanan. Dengan riang riak Way Semaka melengkapi kekayaan potensi alam yang dianugerahkan Sang Pancipta. Ini pemandangan umum di daerah Wonosobo dan Semaka.
Beberapa tombak kemudian, kita mulai menarik napas. Perjalan mulai naik, merayap merambati Bukit Barisan. Hamparan sawah dan ramah pesona rumah adat kita tinggalkan. Kendaraan mulai harus menambah gas, setelah lepas perempatan Sedayu, kita akan mendaki dan terus mendaki. Pesiapkan mental, bagi Anda yang takut ketinggian. Dan mulai petualangan bagi Anda yang suka tantangan.
Setelah melewati beberapa tanjakan yang curam dan berkelok, embuskan napas Anda. Tengokan dengan seksama leher Anda untuk melihat ke sebelah kiri. Anda akan terlupa jurang yang ada di bawah Anda. Lanskap alam dengan pesona luar biasa membetot seluruh perhatian. Hamparan sawah yang tertinggal terlihat kecil, dengan petak-petak yang hanya terlihat berupa garis. Rumah-rumah penduduk, hamparan kebun kelapa, perkebunan lada, dan kopi terlihat rata dan kecil seperti pemandangan mini yang kita dapati pada lanskap-lanskap foto udara.
Nun jauh di sana, Teluk Semaka serupa danau biru menyatu dengan langit. Kata tak cukup untuk menggambarkan kesempurnaan lanskap memesona ini. Selain ungkapan subhanallah yang refleks terucap, bagi pengguna kendaraan pribadi dengan sendirinya berhenti. Bagi yang membawa kamera, lanskap ini tak akan disia-siakan. Bagi yang lewat dengan tangan hampa, cukup berdiam, dan dengan seksama mengamati pemandangan yang sulit dicari tandingnya.
Bagi mereka yang lelah dan ingin istirahat, tak jauh dari posisi view banyak berjajar pondok kecil yang menjajakan buah khas daerah ini, durian.
Sumber : http://www.lampungpost.com