Oleh: Bondan Winarno
Saya pernah menulis tentang sajian khas Melayu Deli yang diberi nama Sambal Janmuk alias Sambal Janda Mengamuk. Sajian ini berupa sambal goreng dengan isi berbagai sayur-mayur, seperti: jengkol, terong, bawang bombai, tomat, dan lain-lain. Endang bambang gulindang!
Mengamuk rupanya merupakan satu elemen penting dalam kuliner Melayu. Masakan Melayu Riau juga mengenal satu sajian bernama Laksamana Mengamuk. Yang satu ini bukan lauk, melainkan kudapan pencuci mulut. Bahan utamanya adalah buah embacang atau kuini yang dicacah, dicampur dengan santan dan gula merah, dihidangkan dengan es. Minuman segar dengan aroma kuini yang sungguh memukau.
Mengapa hidangan ini disebut Laksamana Mengamuk? Konon, kata sahibul hikayat, dulu ada seorang laksamana mengamuk di kebun kuini dengan menebas-nebaskan pedangnya ke sana ke mari. Kata orang, istrinya dibawa lari tuan tanah yang punya kebun kuini itu. Beberapa buah kuini hancur karena aksi kemarahan ini. Setelah sang laksamana pergi, orang mengambil puluhan buah kuini yang sudah tercincang dan terhampar di rumput.
Mau diapakan buah kuini yang sudah tersayat-sayat itu? Seorang ibu yang kreatif kemudian mencampurkan sayatan-sayatan buah kuini itu ke dalam campuran santan dan gula merah. Jadilah ia minuman segar yang dinikmati orang sekampung. Khususnya pada bulan Ramadhan, minuman segar Laksamana Mengamuk makin banyak diminati orang. Mungkin perlu dijadikan welcome drink di rumah Laksamana Sukardi. He he he ...
Ikan asin pedas
Kuliner Melayu Riau yang paling populer adalah masakan ikan asam pedas. Beberapa jenis ikan yang sering dipakai untuk masakan ini adalah ikan baung, patin, atau selais. Ketiganya adalah ikan sungai yang berkulit licin – tidak bersisik.
Baung dan patin malah memiliki kemiripan bentuk, yaitu mirip ikan lele. Keduanya memang termasuk jenis snakehead fish. Bedanya, daging ikan patin jauh lebih berlemak dan lembut. Sedangkan daging ikan baung lebih padat, flaky, dan bertekstur. Dibanding dengan baung dan patin, ikan selais lebih pipih bentuk badannya.
Bagi saya pribadi, ketiga ikan itu punya kecocokan masing-masing. Ikan baung lezat dimasak asam pedas atau gulai. Ikan patin lemak dibakar. Sedangkan ikan selais jadi “top markotop” bila digoreng balado.
Masakan asam pedas bila diencerkan menjadi pindang yang sangat mirip dengan masakan pindang di daerah Palembang. Tetapi, di Riau, selain pindang yang berwarna kekuningan, juga ada yang berwarna transparan dan disebut pindang putih. Seperti juga masakan asam pedas, kebanyakan pindang di Riau memakai bahan ikan. Padahal, di Palembang juga populer pindang iga sapi.
Di berbagai rumah makan, telur ikan patin juga disajikan dalam masakan asam pedas. Telur ikan patin biasanya dibungkus dengan daun kunyit berbentuk limas, kemudian dimasak dalam kuah asam pedas. Aroma dan citarasa daun kunyit menciptakan nuansa yang sangat indah untuk telur ikan patin yang gurih krenyes-krenyes.
Sebagai provinsi yang kaya sumber daya alam—minyak bumi, batubara, kelapa sawit, bahan untuk bubur kertas, dan lain-lain—Riau memang menarik sangat banyak pendatang. Orang Minang paling banyak merantau ke Riau karena mereka memang saling bertetangga. Jarak Pekanbaru-Padang hanya sekitar enam jam bermobil.
Tidak heran bila ciri-ciri kuliner Minang juga banyak memengaruhi kuliner Melayu Riau. Begitu provinsi tetangga Sulawesi Selatan yang menampilkan banyak unsur kulinernya dalam menu Melayu Riau.
Orang Jawa juga banyak mencari nafkah di Riau. Rumah makan yang menawarkan masakan Jawa—seperti pecel lele, soto—cukup mudah dijumpai di Pekanbaru. Bahkan rumah makan populer bernama “Pondok Gurih” sengaja memasang papan nama bertulisan “Hidangan Memija (Melayu-Minang-Jawa)” untuk menarik minat tamu.
Lucunya, ada juga rumah makan populer lain yang dari namanya--“Riau Kuring”-- dapat ditebak merupakan hidangan fusi Melayu-Sunda.
Di dekat perumahan Caltex di Rumbai, sekitar setengah jam dari Pekanbaru, ada sebuah warung makan terkenal yang ramai dikunjungi tamu. Padahal, warung ini letaknya sungguh di pelosok. Nama warungnya: “Mak Cuik”.
Untuk mencapai tempat itu bahkan harus melewati ruas jalan yang rusak dan berlubang-lubang. Tetapi, pada jam makan siang, warung sederhana ini langsung dipadati tamu. Mobil-mobil silih berganti datang. Tamu yang belum kebagian tempat, sabar menunggu di bawah pohon di tepi empang ikan yang mengitari warung.
Hidangan utama di warung “Mak Cuik” ini adalah gulai ikan baung yang sungguh mak nyuss! Di dapurnya, beberapa tungku dengan kayu api menyala. Belanga-belanga di atas api itu tampak gulai ikan menggelegak. Beberapa juru masak tampak sibuk menggoreng udang galah segar. Hanya dua jenis sajian itulah yang menjadi andalan “Mak Cuik”. Didampingi sambal blacan (trasi) yang dahsyat dengan pete goreng atau bakar.
Sekalipun hanya warung sederhana, yang datang termasuk para pejabat bersafari, eksekutif berdasi, dan para tauke dari Pekanbaru. Konon, warung ini sangat demokratis melayani pelanggannya. First come first served! Mereka tidak menerima pesanan tempat. Bahkan rombongan pejabat yang mau makan di sana pun harus antre bila datang terlambat. Kalau makanan habis pun mereka tidak bersedia memasak lagi.
Karena warung ini dekat pelabuhan Pertamina, tentu saja banyak pejabat Pertamina yang mengenal warung ini.
Ada lagi satu warung sederhana di dekat jembatan Pangkalan Kerinci, sekitar satu setengah jam dari Pekanbaru. Rumah makan “Minang Melayu” di tepi Sungai Kampar ini menyajikan berbagai jenis masakan asam pedas dari kepala ikan patin, baung, dan selais. Kepala ikan patin dan baungnya besar-besar. Satu porsi kepala ikan bisa dimakan oleh tiga sampai empat orang.
Tetapi, saya lebih menyukai kepala ikan selais asam pedas yang sungguh berlemak dan manis. Di warung ini udang galahnya juga besar-besar dan sangat segar. Langsung diambil dari Sungai Kampar yang mengalir di sisi warung.
Kalau di Palembang populer ikan seluang yang digoreng garing renyah, di Riau ada jenis ikan kecil yang juga mirip seluang. Ikan kecil itu bernama pantau. Hanya dibumbui sedikit garam, lalu digoreng.
Daerah Riau juga terkenal dengan ikan salai, yaitu ikan yang diasap agar dapat bertahan lama. Ikan salai ini sangat khas tekstur maupun aromanya. Berbagai macam ikam dapat disalai. Tetapi, yang paling populer adalah salai dari ikan selais. Ikan salai biasanya dimasak dalam kuah gulai dengan daun pakis atau daun singkong. Masakan ini juga sangat populer dalam kuliner Madina (Mandailing-Natal) di Sumatra Utara.
Jangan lupa, Riau juga terkenal karena kualitas duriannya. Riau mungkin adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang berani membuat klaim bahwa di sini durian tersedia sepanjang musim. Para insinyur pertanian mungkin perlu membudidayakan jenis durian ini agar juga hadir di berbagai provinsi Indonesia lainnya.
Banyak warung-warung penjual durian di Pekanbaru, mirip di Makassar. Orang bisa duduk nyaman di warung untuk menikmati durian. Bedanya, di Makassar warung durian muncul musiman. Sedangkan di Pekanbaru selalu ada sepanjang tahun.
Di sepanjang Jalan Sudirman Pekanbaru, pada sore hari tampak berjajar beberapa penjual lemang – ketan gurih yang dimasak dalam ruas bambu. Di Pekanbaru, lemang juga dimakan dengan tape ketan hitam seperti layaknya di Padang. Tetapi, juga dapat dimakan dengan durian.
Makan ketan dengan durian? Siapa takut?
Sumber : www.kompas.com
Saya pernah menulis tentang sajian khas Melayu Deli yang diberi nama Sambal Janmuk alias Sambal Janda Mengamuk. Sajian ini berupa sambal goreng dengan isi berbagai sayur-mayur, seperti: jengkol, terong, bawang bombai, tomat, dan lain-lain. Endang bambang gulindang!
Mengamuk rupanya merupakan satu elemen penting dalam kuliner Melayu. Masakan Melayu Riau juga mengenal satu sajian bernama Laksamana Mengamuk. Yang satu ini bukan lauk, melainkan kudapan pencuci mulut. Bahan utamanya adalah buah embacang atau kuini yang dicacah, dicampur dengan santan dan gula merah, dihidangkan dengan es. Minuman segar dengan aroma kuini yang sungguh memukau.
Mengapa hidangan ini disebut Laksamana Mengamuk? Konon, kata sahibul hikayat, dulu ada seorang laksamana mengamuk di kebun kuini dengan menebas-nebaskan pedangnya ke sana ke mari. Kata orang, istrinya dibawa lari tuan tanah yang punya kebun kuini itu. Beberapa buah kuini hancur karena aksi kemarahan ini. Setelah sang laksamana pergi, orang mengambil puluhan buah kuini yang sudah tercincang dan terhampar di rumput.
Mau diapakan buah kuini yang sudah tersayat-sayat itu? Seorang ibu yang kreatif kemudian mencampurkan sayatan-sayatan buah kuini itu ke dalam campuran santan dan gula merah. Jadilah ia minuman segar yang dinikmati orang sekampung. Khususnya pada bulan Ramadhan, minuman segar Laksamana Mengamuk makin banyak diminati orang. Mungkin perlu dijadikan welcome drink di rumah Laksamana Sukardi. He he he ...
Ikan asin pedas
Kuliner Melayu Riau yang paling populer adalah masakan ikan asam pedas. Beberapa jenis ikan yang sering dipakai untuk masakan ini adalah ikan baung, patin, atau selais. Ketiganya adalah ikan sungai yang berkulit licin – tidak bersisik.
Baung dan patin malah memiliki kemiripan bentuk, yaitu mirip ikan lele. Keduanya memang termasuk jenis snakehead fish. Bedanya, daging ikan patin jauh lebih berlemak dan lembut. Sedangkan daging ikan baung lebih padat, flaky, dan bertekstur. Dibanding dengan baung dan patin, ikan selais lebih pipih bentuk badannya.
Bagi saya pribadi, ketiga ikan itu punya kecocokan masing-masing. Ikan baung lezat dimasak asam pedas atau gulai. Ikan patin lemak dibakar. Sedangkan ikan selais jadi “top markotop” bila digoreng balado.
Masakan asam pedas bila diencerkan menjadi pindang yang sangat mirip dengan masakan pindang di daerah Palembang. Tetapi, di Riau, selain pindang yang berwarna kekuningan, juga ada yang berwarna transparan dan disebut pindang putih. Seperti juga masakan asam pedas, kebanyakan pindang di Riau memakai bahan ikan. Padahal, di Palembang juga populer pindang iga sapi.
Di berbagai rumah makan, telur ikan patin juga disajikan dalam masakan asam pedas. Telur ikan patin biasanya dibungkus dengan daun kunyit berbentuk limas, kemudian dimasak dalam kuah asam pedas. Aroma dan citarasa daun kunyit menciptakan nuansa yang sangat indah untuk telur ikan patin yang gurih krenyes-krenyes.
Sebagai provinsi yang kaya sumber daya alam—minyak bumi, batubara, kelapa sawit, bahan untuk bubur kertas, dan lain-lain—Riau memang menarik sangat banyak pendatang. Orang Minang paling banyak merantau ke Riau karena mereka memang saling bertetangga. Jarak Pekanbaru-Padang hanya sekitar enam jam bermobil.
Tidak heran bila ciri-ciri kuliner Minang juga banyak memengaruhi kuliner Melayu Riau. Begitu provinsi tetangga Sulawesi Selatan yang menampilkan banyak unsur kulinernya dalam menu Melayu Riau.
Orang Jawa juga banyak mencari nafkah di Riau. Rumah makan yang menawarkan masakan Jawa—seperti pecel lele, soto—cukup mudah dijumpai di Pekanbaru. Bahkan rumah makan populer bernama “Pondok Gurih” sengaja memasang papan nama bertulisan “Hidangan Memija (Melayu-Minang-Jawa)” untuk menarik minat tamu.
Lucunya, ada juga rumah makan populer lain yang dari namanya--“Riau Kuring”-- dapat ditebak merupakan hidangan fusi Melayu-Sunda.
Di dekat perumahan Caltex di Rumbai, sekitar setengah jam dari Pekanbaru, ada sebuah warung makan terkenal yang ramai dikunjungi tamu. Padahal, warung ini letaknya sungguh di pelosok. Nama warungnya: “Mak Cuik”.
Untuk mencapai tempat itu bahkan harus melewati ruas jalan yang rusak dan berlubang-lubang. Tetapi, pada jam makan siang, warung sederhana ini langsung dipadati tamu. Mobil-mobil silih berganti datang. Tamu yang belum kebagian tempat, sabar menunggu di bawah pohon di tepi empang ikan yang mengitari warung.
Hidangan utama di warung “Mak Cuik” ini adalah gulai ikan baung yang sungguh mak nyuss! Di dapurnya, beberapa tungku dengan kayu api menyala. Belanga-belanga di atas api itu tampak gulai ikan menggelegak. Beberapa juru masak tampak sibuk menggoreng udang galah segar. Hanya dua jenis sajian itulah yang menjadi andalan “Mak Cuik”. Didampingi sambal blacan (trasi) yang dahsyat dengan pete goreng atau bakar.
Sekalipun hanya warung sederhana, yang datang termasuk para pejabat bersafari, eksekutif berdasi, dan para tauke dari Pekanbaru. Konon, warung ini sangat demokratis melayani pelanggannya. First come first served! Mereka tidak menerima pesanan tempat. Bahkan rombongan pejabat yang mau makan di sana pun harus antre bila datang terlambat. Kalau makanan habis pun mereka tidak bersedia memasak lagi.
Karena warung ini dekat pelabuhan Pertamina, tentu saja banyak pejabat Pertamina yang mengenal warung ini.
Ada lagi satu warung sederhana di dekat jembatan Pangkalan Kerinci, sekitar satu setengah jam dari Pekanbaru. Rumah makan “Minang Melayu” di tepi Sungai Kampar ini menyajikan berbagai jenis masakan asam pedas dari kepala ikan patin, baung, dan selais. Kepala ikan patin dan baungnya besar-besar. Satu porsi kepala ikan bisa dimakan oleh tiga sampai empat orang.
Tetapi, saya lebih menyukai kepala ikan selais asam pedas yang sungguh berlemak dan manis. Di warung ini udang galahnya juga besar-besar dan sangat segar. Langsung diambil dari Sungai Kampar yang mengalir di sisi warung.
Kalau di Palembang populer ikan seluang yang digoreng garing renyah, di Riau ada jenis ikan kecil yang juga mirip seluang. Ikan kecil itu bernama pantau. Hanya dibumbui sedikit garam, lalu digoreng.
Daerah Riau juga terkenal dengan ikan salai, yaitu ikan yang diasap agar dapat bertahan lama. Ikan salai ini sangat khas tekstur maupun aromanya. Berbagai macam ikam dapat disalai. Tetapi, yang paling populer adalah salai dari ikan selais. Ikan salai biasanya dimasak dalam kuah gulai dengan daun pakis atau daun singkong. Masakan ini juga sangat populer dalam kuliner Madina (Mandailing-Natal) di Sumatra Utara.
Jangan lupa, Riau juga terkenal karena kualitas duriannya. Riau mungkin adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang berani membuat klaim bahwa di sini durian tersedia sepanjang musim. Para insinyur pertanian mungkin perlu membudidayakan jenis durian ini agar juga hadir di berbagai provinsi Indonesia lainnya.
Banyak warung-warung penjual durian di Pekanbaru, mirip di Makassar. Orang bisa duduk nyaman di warung untuk menikmati durian. Bedanya, di Makassar warung durian muncul musiman. Sedangkan di Pekanbaru selalu ada sepanjang tahun.
Di sepanjang Jalan Sudirman Pekanbaru, pada sore hari tampak berjajar beberapa penjual lemang – ketan gurih yang dimasak dalam ruas bambu. Di Pekanbaru, lemang juga dimakan dengan tape ketan hitam seperti layaknya di Padang. Tetapi, juga dapat dimakan dengan durian.
Makan ketan dengan durian? Siapa takut?
Sumber : www.kompas.com