Nilai-nilai Kepribadian dalam Elong Ugi, Salah Satu Aset Kesusastraan Masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan

Oleh : La Geddo

A. Pendahuluan
Masyarakat Bugis, khususnya ketika masih eksis kerajaan-kerajaan lokal (ethnic authority), mengenal tradisi berpantun atau bernyanyi yang disampaikan dengan pernyataan langsung atau dengan pengkhiasan (‘lecco-lecco ada) unik yang biasa disebut dengan elong, sekarang lebih populer dengan nama Elong Ugi. Keunikannya, terutama pada Elong Maliung Bettuanna, karena ungkapan yang disampaikan kadang berisi tebakan yang memerlukan interpretasi yang cukup teliti. Jadi, kalau seseorang tidak mengetahui kuncinya maka tak akan dapat mengetahuinya. Pantun-pantun itu juga sangat digemari oleh para pemuda dan pemudi yang sedang jatuh cinta, karena dapat mengungkapkan isi hatinya di tengah-tengah orang banyak kepada orang yang dicintainya tanpa harus diketahui maknanya oleh orang banyak. Bisa pula dengan pantun itu, seseorang mengungkapkan kebenciannya, ketidaksenangannya pada seseorang atau penguasa tapi tidak banyak orang yang bisa mengetahuinya.
“Adakalanya ketika bulan purnama, anak-anak turun bermain-main di pekarangan rumah. Mereka pun kembali mengulang-ulang nyanyian itu. Ibunya sedang duduk di serambi depan rumah bergembira bersama-sama dengan anak-anaknya ikut pula menyanyi (makkelong) seperti: “Baik kiranya menanang pohon pinang; batangnya dibuat ramuan rumah, akarnya dibuat obat demam, daunnya dibuat pembungkus kue, empelurnya dijadikan pembungkus tembakau” (Rahman Rahim, 1985).
Elong Ugi adalah aset kesusastraan regional Sulawesi Selatan yang dapat memperkaya khasanah kebudayaan nasional bangsa Indonesia. Karena itu, Elong-Kelong sangat penting untuk dikaji dan disebarluaskan agar dikenal dan dimengerti oleh generasi muda kita khususnya remaja Sulawesi Selatan yang hidup di tengah perubahan drastis budaya oleh pengaruh globalisasi.
B. Deskripsi Kesusastraan Elong Ugi
Lontarak adalah naskah yang berisi berbagai nilai budaya Bugis-Makassar. Bila mencermati Lontarak maka kita akan menemukan berbagai jenis lontarak di antaranya adalah lontarak attoriolong, lontarak bilang, lontarak berisi undang-undang dan peraturan, lontarak pappangaja, lontarak kutika, lontarak palakia, lontarak pabbura, lontarak elong yang berisi kesusastraan (syair Bugis) (Hamzah, 1984).
Lontara elong biasa juga dijadikan Elong-Kelong. Maksudnya bahwa puisi-puisi Bugis ini biasa dijadikan nyanyian oleh sebagian masyarakat, biasa juga dipergunakan dalam acara suasana tertentu, seperti pada acara prosesi pelamaran untuk menarik perhatian dan mengairahkan suasana yang sedang berlangsung, yang mengandung nilai-nilai kehormatan tersendiri di mata masyarakat Bugis. Biasa pula puisi ini dipakai oleh orang yang bersahabat akrab, atau muda-mudi yang berkasih-kasihan dan akan berpisah, seperti:

Senge’ka rimula wenni
Kubali senge’tokko
Rigiling tinroku
Artinya:
Kenanglah aku ketika malam mulai gelap
Niscaya akan kukenang pula dirimu
Ketika aku terjaga di pertengahan malam
Ada pula elong/syair yang mengungkapkan kebencian, penyesalan, kejengkelan yang melanda perasaan seseorang, seperti:

Pariajang soppengsai
Purae kado bekku
Nacoddo’ paimeng
Ungkapan ini termasuk jenis kiasan, yang dalam bahasa Bugis masih harus diperjelas artinya. Seperti kalimat ”pariajang soppengsai” berarti ”lebbi mui narekko matei” yang berarti sebuah keinginan seseorang supaya orang yang menyakitkan hatinya itu mati. Kemudian ”purae kado bekku” berarti ”adanna iya purae napuada” atau janji seorang. Ada pula ”nacoddo’ paimeng” yang berarti ”tenrupaenggi” yakni mengingkari, melanggar, melupakan janjinya, yang berarti: lebih baik mati saja orang yang telah mengikat janji denganku tapi kemudian mengingkarinya.
Di samping itu, ada juga elong yang mengandung nasihat, pemberi semangat, menegaskan prinsip-prinsip kepribadian yang harus dimiliki seseorang dalam mengarungi kehidupan ini. Misalnya:

Sompe’ki to pada sompe’
Tapada mamminanga
Tosilabuang
(Tapada malani laleng nasseddingie atitta tosilolongeng).
Artinya:
Marilah kita menempuh jalan yang dapat menyatukan hati kita.
Agar kita dapat mencapai sebuah kesepakatan.
Elong ditinjau dari jenis dan tujuannya dapat dibagi ke dalam bermacam jenis, di antaranya:
1. Elong Bawang, syair yang berisi kata-kata yang jelas dan terang artinya, sehingga mudah dipahami.
2. Elong Maliung Bettuanna, syair yang memiliki makna yang dalam dan memerlukan perhatian khusus untuk mengiterpretasinya.
3. Elong Osong, syair yang dipakai untuk memberikan semangat dalam peperangan.
4. Elong Tomalolo, temasuk di dalamnya Elong Assissengeng, Elong Sicanring-canring, Elong Sibokori, Elong Messebebbua, Elong Mapparere, Elong Mappaddicawa, Elong Toto.
5. Elong Eja-Eja, syair hiburan atau pantun jenaka.
6. Elong Pappangaja, yaitu syair atau nyanyian yang berisi nasihat-nasihat agar kita sadar dan mengikuti kebaikan.
7. Elong Topanrita, yaitu syair yang mengandung nasihat keagamaan, yang membimbing hidup selamat di dunia dan di akhirat.
C. Nilai-Nilai Kepribadian Moral dalam Elong Ugi
Pada masa Yunani Kuno, terkenallah nama Sokrates orang bijak, jujur dan hidup bersahaja. Sebagian penduduk Athena ketika itu amat tertarik untuk berguru padanya. Suatu hari berkumpul, baik laki-laki maupun perempuan, untuk belajar hikmah kepadanya. Sokrates melihat salah seorang muridnya yang masih muda sedang menatap dan menikmati wajah seorang perempuan bernama Opherchia, salah seorang murid perempuan, yang memiliki wajah cantik menawan. Sang guru mengetahui gejolak yang sedang menyala di dalam hati pemuda itu. Beliau dengan lembut menyapa sang pemuda. ”Anak muda, apa arti tatapan matamu yang lugu itu, dan keasyikanmu yang menghalangimu dari pemikiran dan perenungan?” Anak muda itu menjawab: ”Aku sedang mengagumi tilas-tilas indahnya penciptaan dan halusnya alam yang nampak di wajah itu.” Sokrates berkata: ”Janganlah engkau memerhatikan wajahnya tapi perhatikanlah akalnya. Niscaya engkau akan tahu keburukannya. Sudahkah engkau memahami keindahan citra akal yang tidak akan hancur, rusak, dan terhalang. Sesungguhnya keindahan alam menipu, sedangkan keindahan jiwa mengasyikkan.” (Kartanegara, 2005). Pernyataan Sokrates pada muridnya menjelaskan kepada kita bahwa keindahan yang hakiki pada diri seseorang terletak pada jiwanya. Keindahan jiwa yang mengasyikkan itu tersimpul dalam kepribadian yang dimilikinya. Bila pribadi seseorang memiliki sifat-sifat terpuji, maka ia akan memiliki keindahan yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Gibran (1988) sangat mencintai ibunya karena ibunya memiliki jiwa yang indah menawan, kepribadian yang luhur. Ibunya peramah, lembut, demawan, dan sangat mencintainya. Ketika ibunya meninggal dunia Gibran berduka cita, dan cuplikan surat kepada May Ziyadah: ” ... Tidak May, aku tidak termasuk keturunan nenek moyang keduniawianku. Bagiku, Ibu adalah ibu rohaniah. Aku sekarang justru merasakan kedekatannya, pengaruhnya, dan santunannya, dibandingkan sebelum ia wafat, dan sungguh kurasakan Ibu memang tiada bandingannya ....” Begitu pula Iqbal sangat terkesan kelembutan dan kearifan ayahnya sehingga mengabadikan sebagian nasihat ayahnya dalam puisi-puisinya (Iqbal, et al, 1992).
Kepribadian, personality (Inggris) atau persoonlijkheid (Belanda), adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh diri manusia, bisa pula disebut sebagai potret jiwa dan batin manusia yang terlahir dalam tingkah lakunya, yang membuat dia memiliki martabat atau kehinaan di antara sesamanya manusia. Jika kita mengatakan nilai-nilai kepribadian maka artinya disamakan dengan sifat-sifat atau karakter mulia, atau akhlak mulia, yang menjadikan seseorang memiliki martabat di tengah-tengah sesama.
Imam al-Gazali (Said, 1976) mengatakan bahwa kepribadian yang luhur diperoleh dari (1) karunia Tuhan, karena telah memberikan kepada kita pembawaan yang sempurna; kita dilahirkan dengan membawa fitrah, dilengkapi akal pikiran, dan kecenderungan kepada sifat-sifat yang baik. (2) Kemudian karunia Tuhan berupa sifat-sifat dasar itu dapat terwujudkan dengan jalan berlatih untuk membiasakan akhlak yang terpuji. Pembiasaan pada budi pekerti yang baik membuat jiwa mendapatkan kemerdekaannya, dari belenggu nafsu angkara murka, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Naraqi (1989): ”Sekarang setelah membuktikan keberadaan jiwa yang merdeka, marilah kita lihat penyebab-penyebab kesenangan jiwa dan hal-hal yang membuat menjadi duka. Jiwa akan sehat dan senang bila bila ia memahami hakikat wujud dan keadaan yang sesungguhnya. Hal ini dapat membebaskan jiwa dari penjara sempit hawa nafsu, keserakahan serta segala belenggu lainnya yang menghalanginya menuju kesempurnaan, yaitu dekat kepada Allah, Sang Maha Pencipta. Inilah tujuan kebijaksanaan pemikiran (al-hikmah al-nazhariyyah).”Dalam pada itu, jiwa manusia harus bersih dari kebiasaan-kebiasaan dan perangai-perangai buruk yang ada padanya, dan menggantinya dengan akhlak dan kebajikan dalam berpikir dan berperilaku. Inilah tujuan dari kebijaksanaan pengamalan (al-hikmah al-amaliyah). Kebijaksanaan pemikiran dan kebijaksanaan amaliah saling berkaitan, seperti materi dan bentuk; yang satu tidak mungkin ada tanpa adanya yang lain. Hamka (1978) mengatakan bahwa pribadi akan meningkat lebih tinggi dalam menuju kesempurnaannya, bila diisi dengan beberapa sifat utama, di antaranya: (1) pandangan hidup yang tercakup: sifat jujur (berterus-terang), bertanggung jawab, sabar, berkemauan keras, (2) ikhlas, (3) bersemangat, (4) halus budi dan perasaan.
Al-Hikmah an-Nadzariyyah, berdasarkan pokok pikiran Al-Naraqi, dapat kita temukan dalam syair-syair elong Bugis yang kaya dengan nasihat-nasihat, petuah-petuah untuk memberikan motivasi kepada kita, agar dapat memiliki kepribadian mulia. Berikut ini, dalam pengamatan sepintas kami, sebagian sifat-sifat yang dapat kita temukan dalam elong Bugis adalah:
a. Pengharapan kepada Tuhan
Salah satu ungkapan dalam elong yang mengandung pengharapan kepada Tuhan adalah: Mamasepi Dewata’e nalolongeng sitalleyang sipomenasae (Engkapa pammasena puwangnge namakulle siyala tau sipomenasa’e). Artinya: Hanya dengan adanya rahmat Allah yang dapat mensejodohkan kedua jenis manusia yang telah mengikat janji (perkawinan). Ini jelas menasihatkan kepada kita bahwa takdir Allah Yang Mahakuasa, kedua pasangan manusia yang bekasih-kasihan, saling memendam rindu akan dapat bertemu di pelaminan. Tapi jika Tuhan tidak mengizinkannya maka segala upaya yang diusahakan akan terhenti di tengah jalan dan akan menemui kegagalan. Buktinya telah banyak sejoli yang dimabuk cinta dan tak ingin berpisah tapi akhirnya tidak jadi juga membina rumah tangga disebabkan karena tidak sejodoh, bahkan ada mengakhiri hidupnya dengan menggenaskan seperti menggantung diri, minum racun, dll. Ada juga ungkapan amat populer lainnya yang menyandarkan sebuah usaha yang sungguh menjadi jembatan akan datangnya rahmat Allah, yaitu: Resopa tammangingngi naletei pammase dewata seuwwa’e (Rahmat Allah akan turun kepada orang-orang bekerja keras tanpa kenal sifat menyerah).
Ungkapan-ungkapan ini mengingatkan kita bahwa betapa pentingnya rahmat Allah bagi umat manusia. Rahmat Allah diperoleh dengan pengharapan dan doa kepada-Nya. Dialah yang mahakuasa atas keberhasilan segala cita-cita dan keinginan atau pekerjaan yang kita usahakan. Pengharapan kepada Tuhan merupakan sumber kekuatan dalam diri manusia, sehingga kita memeroleh spirit yang tangguh dalam menyelami kehidupan ini. Pengharapan kepada Tuhan tumbuh dari nilai-nilai keimanan yang kita miliki. Nilai-nilai ini bila kuat tertanam dalam jiwa, laksana akar pohon yang kokoh tak manpu digoyangkan oleh gelombang kehidupan yang kadangkala tidak bersahabat. William James (Syalabi, 1982) berkata: ”Gelombang laut yang mahabesar tak mampu menggerakkan air yang dalam. Begitu pula iman, bila dangkal permukaaannya, gampang disambar ombak dan terombang-ambingkan. Namun apabila iman terhujam dalam, gelombang macam apa pun tak akan mampu menggoyahkannya. Orang-orang yang benar-benar beragama, kebal terhadap segala macam cobaan dan tekanan, hidupnya seimbang sehingga manpu menghadapi hari-harinya dengan tenang.”
b. Kejujuran dan Kesucian
Elong yang terkenal mengenai kejujuran dan kesucian adalah: Duwami riala sappo unganna panasae belo kanuku’e (Duwami riyala sappo lempu’e sibawa paccing’e). Artinya: Dua yang dijadikan pagar adalah kejujuran dan kesucian. Pagar diri setiap orang sebenarnya sudah cukup bila ia memiliki keduanya, yaitu dapat memelihara sifat jujur dan perbuatannya bersih dari noda dan pelanggaran. Maksud Malempu adalah makkebolai ada tongenge ri alena naiyya sampoengngi ada tongengnge bellewe. Artinya: jujur itu terdapatnya perkataan yang benar dalam diri seseorang dan yang merusak kejujuran adalah pekataan dusta, atau sifat yang suka berkata bohong. Bahkan ada ungkapan yang lain tentang pengharapan tinggi atas berlangsungnya suasana kejujuran dalam sebuah masyarakat, yaitu: Tennapodo mannennungeng lempu’e tettong tungke tenri girangkirang. Artinya: Semoga kekal suasana kejujuran (dalam masyarakat), berdiri dengan kokoh tanpa ada yang menandinginya. Ini menandakan bahwa masyarakat Bugis sungguh menyukai kejujuran dan berharap akan berada di dalam suasana itu terus-menerus.
Ada pun suci (paccing) terdiri dari empat jenis, yaitu:(1) paccing pangkaukeng, yaitusuci dalam tindakan dan perbuatan;(2) paccing ateka’ (ati), yaitu suci hati dari niat-niat buruk;(3) paccing watakkale, yaitu bersih anggota badan dari kotoran dan bau yang tidak enak;(4) paccing lila, yaitu bersih lidahnya dari berkata buruk, perkataan menyakitkan dan kotor. Menurut Daeng Patunru dalam Rahim (1985): ”Ketika La Inca naik takhta pada Kerajaan Bone (1584-1595), beliau tertangkap basah menggagahi istri orang, diberi peringatan malah hendak pula membunuh si suami. Beberapa anak raja dan bangsawan Bone pergi menghadap ke Arung Mamajang, Nenek La Inca. Arung Matajang minta pendapat keponakannya Dammalaka. Rakyat berdemonstrasi dan membakar separuh Kota Bone. Semuanya sepakat agar La Inca turun tahta. Danmalaka menyampaikan keputusan ini kepada La Inca, tapi malang Danmalaka dibunuhnya seketika itu juga. Si nenek sendiri minta diusung dan mengatakan: ”Iyapa siuno La Inca’ ritu” (Sayalah yang akan baku bunuh dengan La Inca). Raja yang tidak mengindah lagi nilai kejujuran dan kesucian ini, terbunuh di tangan neneknya sendiri sembari bersandar di tangga istananya. Itulah sehingga ia disebut La Inca Matinro’e ri Addenenna.
c. Harga diri
Mengenai harga diri dapat kita jumpai elong dalam berikuti ini: Teppadaki makkatenning paccimang riawa bakkaweng nipa’e (Pada sitarongekki’ siri’, iyaregga ripada jagai siri’ta). Artinya: Kita harus saling menghargai, saling hormat menghormati, saling menjaga diri supaya tidak terjadi saling menyakiti dan saling mengumbar aib. Itulah pokok harga diri manusia yang biasa disebut sipakatau atau saling memanusiakan. Dengan begitu terjadi keharmonisan hidup di tengah-tengah masyarakat.
Harga diri seseorang juga dapat muncul ketika dia dapat membuktikan apa yang ia katakan. ’Seddie ada na gau’ (satu kata dengan perbuatan) dalam elong biasa didendangkan: Sagala-sagala tongeng iyapa nasagala tallepi mannessa’e (Macca-macca tongeng iayapa natentu amaccangenna engkapa maddupa rigau’na). Artinya: orang itu benar-benar pintar jika ia dapat membuktikan dengan kerja nyata atas kepintaran atau ilmu yang diketahuinya itu.
Jangalah pula kita mengangkat harga diri terlalu tinggi karena akan menimbulkan sifat tinggi hati, sombong, dan terlalu banyak gengsi, sebagaimana Imam Ali ra berkata: ”Sifat tinggi hati dan sombong menjauhkan seseorang dari kebenaran dan merupakan penyakit hati yang paling ganas.” Jangan pula harga diri itu kita pasang terlalu rendah karena bisa menimbulkan rasa rendah diri, bahkan dapat mengantar kita kepada perbuatan yang memalukan yang dapat menghilangkan haga diri. Oleh sebab itu, untuk memelihara harga diri agar tercapai harmonisasi pribadi kita di tengah masyarakat, maka ada sebuah pesan berbunyi: Taro’i siri’mu ri onrong sitinaja’e (Tempatkanlah siri’-mu [harga dirimu] pada tempat yang sepatutnya).
d. Kesetiaan
Ungkapan kesetiaan dalam elong dapat kita simak berikut: Upappada tinuluku rappe’ natuddu’solo’ temmappangewaku(De upangewai, kegi-kegi maelo natiwi, kuwana lao. Agi-agi maela napugau de’tona kupangewai apa pura uwerenni akkateppereng).Artinya: Aku tidak akan membatahnya, di mana aku dibawa di situlah kau berada. Apa pun yang dikerjakan, aku tidak memprotesnya karena aku telah memberikan kepercayaan kepadanya. Dari sini bisa kita mengerti bahwa kesetiaan yang kental akan diberikan kepada orang yang telah dipercayainya, dengan sepenuh hati. Kesetiaan orang Bugis dapat disimpulkan dalam sebuah ungkapan: Polo pang polo panni, rekko elo’ ajjoareng tempeddingngi tenripugau (Walau paha dan tangan terancam patah, jika itu merupakan kehendak pimpinan [panutan mereka)] pantang tidak dilaksanakan). Tapi tentunya ini didasari bahwa orang diberikan kepercaan itu memilki tanggung jawab, karena dalam elong yang lain berbunyi: Massimangnga nasompereng passompe’ tebbolai padoma na sompe (Massimangnga naparenta atau naatoro’ tau temmissengngengngi laleng ripoasalamakengnge). Artinya: Aku menyerah (tidak akan dapat menerima) diatur atau diperintah oleh orang yang bodoh tidak mengetahui jalan yang dapat menyelamatkan kita dari bencana dan bahaya. Jelasnya, loyalitas diberikan kepada orang yang berada dalam kebenaran dan memperjuangkan kebenaran. Janganlah memberikan loyalitas kepada orang yang salah dan memperjuangkan kesalahan, karena kita mengendarai lopi sebbo’ (perahu bocor), yang sudah jelas akan membinasakan kita di dunia maupun akhirat.
  1. Kecerdasan
Salah satu elong yang sangat berkesan mengenai kecerdasan adalah: Iyaro teppaja risappa buwaja buluede naunga panasa’e(Iyaro teppaja risappa tau macca namalempu’). Artinya: Orangyang selalu dicari adalah orang yang cerdas dan jujur. Ini amat menarik karena mempersandingkan kecerdasan dengan kejujuran, sebab orang cerdas tapi licik akan sangat berbahaya dan menakutkan. Itulah sebabnya sehingga ada elong lain yang berbunyi: Mauni buwaja bulu’ nalise’ ampeloi teyawa’ nalureng (Mauni tomacca namaja’ sipa’na teyawa naparenta). Artinya: Meski orang itu cerdas tapi tidak memilki sifat yang baik maka saya tidak ingin diperintah atau dituntun olehnya. Jadi kecerdasan harus bersanding dengan akhlak yang baik baru dapat diterima baik di tengah-tengah masyarakat. Siapa yang disebut orang cerdas (to macca), yaitu: Tau magello’ akkalengna de’na napaccaireng, saba sampoenggi akalengge iyanaritu sipa’ paccairengnge. Artinya: Orang cerdas adalah orang yang bagus akalnya (terarah pemikirannya), karena yang menutupi akal pikiran manusia adalah sifat suka marah. Jadi, orang cerdas adalah orang yang memiliki akal pikiran yang baik. Ia dapat bersabar dalam menghadapi persoalan genting, tahan banting terhadap ujian hidup, proaktif mencari solusi yang dapat menyelesaikan urusannya dengan baik.
  1. Keberanian
Dalam elong banyak ungkapan yang membicarakan tentang keberanian, salah satunya: Wennang pute mappesona eja’e mamminasa bali sipuppureng (Narekko gauk mapaccing muwa, iyamua ripujie ripugau, waranika mewako siamateng). Artinya: Jika perbuatanmu adalah perbuatan suci (benar), perbuatan baik, maka aku berani mati berjuang bersamamu. Jadi, syarat keberanian adalah bersanding dengan kebenaran dan kesucian perlakuan. Bila tidak maka keberanian itu adalah keberanian yang buta. Berani karena benar takut karena salah. Salah satu pesan orangtua dulu adalah: Narekko mateko rilalenna tongengnge, mate risantangikotu mbe (Jika kau mati dalam mempertahankan kebenaran, maka matimu berada dalam kelezatan [mati dalam santan]).
  1. Kesabaran
Kesabaran adalah sifat istimewa yang banyak ditemukan dalam elong. Ungkapan yang satu ini sungguh mengagumkan di mana kesabaran disandingkan dengan sifat syukur, yaitu: Sabbarakko musukkuru mugalung tokalola muwallongi-longi (Sabbarako mupakkessingi atimmu sukkuruki pammasena puwangnge, musogi mallongi-longi.) Artinya: Bersabarlah dan bersyukur (atas karunia Allah), niscaya suatu saat kau akan menjadi kaya raya. Sabar dan syukur adalah bagaikan sepasang sayap yang dipakai jiwa manusia terbang dalam mengarungi angkasa kehidupan ini, salah satu sayapnya rusak maka sang jiwa tak akan mengalami kehamonisan dalam mengarungi angin badai kehidupan. Sabar bukanlah menyerah kepada keadaan, melainkan bertahan di dalam getirnya perjuangan dan pertarungan. Itulah sebabnya Topanrita’e (ulama) membagi kesabaran menjadi tiga jenis: (1) Assabakeng tururi parentana Puang Dewata Seuwwa’e, (2) Assabbarakeng niniriwi pappesangkana, dan (3) Asabbarakeng pole ripeddi’e. Artinya: (1) Kesabaran dalam menuruti perintah Tuhan, (2) Kesabaran dalam menjauhi larangan-larangannya, dan (3) Kesabaran dalam menahan pedihnya musibah. Sedangkan Peddie (pedih) dibagi menjadi tiga pula, yaitu: (1) amatengeng, (2) abangkarukeng,dan (3) dooko. Artinya: (1) musibah kematian, (2) musibah kebangkrutan, dan (3) musibah penyakit yang menimpa diri. Kesemua musibah ini memerlukan kesabaran karena hidup di dunia ini pasti akan mengalami berbagai macam cobaan hidup. Kemudian syukur adalah perbuatan hati yang merasakan kenikmatan yang telah Tuhan berikan kepadanya berupa umur, kesehatan, ilmu, harta, pangkat, dan keturunan. Jelasnya, bila seseorang bersyukur pasti Allah akan menambahkan nikmatnya kepadanya (QS. 14:7). Inilah sebabnya elong ini menyatakan bahwa orang yang dapat bersabar dan bersyukur pada suatu saat nanti akan memeroleh kejayaan hidup di dunia dan di akhirat.
  1. Kasih sayang
Mewujudkan perasaan saling menyayangi adalah idaman setiap keluarga dan masyarakat. Ini dapat kita renungkan elong berikut ini: Iyasiya minasakku pattana waliengngi assimellerengnge(Iyasiya teppaja uwammenasai passibali-baliengngi assipojingnge). Artinya: Masalah yang tak pernah pupus dari idamanku adalah terwujudnya perasaan saling menyayangi di antara kita. Nabi Muhammad Saw bersabda: ”Barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak pula disayangi.” Kasih sayang adalah karunia paling beharga di dunia ini. Semua orang sangat merindukan untuk disayangi, tapi sungguh menyedihkan karena sebagaian besar mereka kikir memberikan kasih sayangnya kepada orang lain. Padahal seorang penyair menurut Al-Bashri (2004) berkata: ”Barang siapa yang menanam pohon kasih sayang, akan memetik buah keselamatan.” Kasih sayang seseorang bersumber dari cinta yang dimilikinya. Semakin kerdil cinta seseorang, semakin pelit untuk memberikan kasih sayang. Jika sesorang memahami hakikat keluasan cinta dan manfaatnya, maka akan mudah dia menanamnya ke segenap penjuru mata angin, agar alam ini teduh di bawah naungan kasih sayangnya. Al-Qarni (2004) berkata: ”Cinta ibarat muatan listrik dalam gelombang yang mengalir di kabel lalu memancarkan cahaya. Sungguh! cinta mengalir dalam tubuh lalu menciptakan kehangatan, kesegaran, dan semangat keriangan.”
Kasih sayang bisa berupa senyuman, tegur sapa yang lembut, pertolongan bagi yang membutuhkan, mendamaikan orang berseteru, menghentikan permusuhan, memaafkan kesalahan orang lain. Bisa pula berupa sumbangan, sedekah, hadiah, atau hanya dengan mengusap kepala sang anak yatim karena tidak mampu memberi apa-apa kepadanya.
  1. Rajin
Orang Bugis sangat memuji sifat rajin dan amat mencela orang malas. Mari kita perhatikan elong berikut ini:Engkako ritu sompereng deceng munawa-nawa lise’pa murewe (Mabelakotu lao sappa’i decengnge, iyapa mulisu mulolongeppi muwakkattaiyye). Artinya: Kau telah pergi jauh mencari kebaikan (keberuntungan), janganlah kembali sebelum dicapai apa yang dicita-citakan. Kemudian elong lainnya berbunyi: Massimangnga nasorei paddare sedde bola passiring dapureng (Massimangnga nalettuki tau makuttu namabuaja). Artinya: Saya benar-benar tidak dapat menerima lamaran seorang lelaki pemalas dan doyan makan.
Jadi, kedua ungkapan ini dapat disimpulkan bahwa perlunya berjuang sekuat tenaga mencapai apa yang dicita-citakan. Terlebih lagi jika berada di perantauan, jauh dari kampung halaman, rajin dan kerja keras harus menjadi kebiasaan hidup, agar memperoleh keberhasilan. Kemudian elong kedua mengisyaratkan bagi kita bahwa nasib pemalas sangat memalukan dan menyedihkan, apalagi doyan makan. Ia tidak akan mungkin mendapat tempat yang layak di tengah masyarakat. Bahkan cintanya pun tidak akan dapat berterima dari gadis yang mengenalnya.
  1. Kerjasama
Elong yang menyandarkan tentang kebaikan kerjasama dapat kita perhatikan berikut ini:Sipanrasa-rasa memeng jemma’e inappa’e siempe’ maberre’ (Pada resomemengpa tauwwe inappa’e silolongeng sitiwi lao rimadecengnge, rialebbirengnge).Artinya: Dengan kerjasama yang baik, orang-orang akan bersama-sama memeroleh kebaikan, keberuntungan dan kemuliaan). Kerjasama sangat disadari kebaikannya oleh masyarakat Bugis. Dengan kerjasama masyarakat akan bersama-sama meraih kesuksesan dan kemuliaan. Pada masyarakat Bugis Bone bagian utara dikenal salah satu jenis kerjasama dengan malleleng yaitu: beberapa orang kerjasama menanam padi di sawah atau membersihkan kebun masing-masing dengan cara bergiliran. Metode ini dapat mempererat persaudaraan di tengah masyarakat, juga mempercepat selesainya pekerjaan di sawah atau di ladang.
D. Kesimpulan
Elong Bugis merupakan warisan daerah Sulawesi Selatan yang sangat beharga, kaya dengan nasihat, prinsip hidup, dan motivasi positif yang dapat dijadikan pendorong dalam mencapai prestasi dan kemajuan anak bangsa. Elong Bugis sarat nilai-nilai kepribadian luhur, yang sangat kental dengan nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh orang mayoritas orang Bugis. Elong Bugis merupakan gambaran kecerdasan nenek moyang kita di masa lalu dalam membuat dan merangkai kalimat yang memiliki makna sangat indah dan seolah-olah mengalir dalam hati jika kita mau menganalisis dan merenunginya secara teliti dan saksama.
Kepustakaan
Al-Bashri, Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib. 2004. 14 Tips Gaul Agar Gaul Makin Asyik. Bandung: Pustaka Ulumuddin.
Al-Naraqi, Muhammad Mahdi bin Abu Dzar. 1989. Penghimpun Kebahagiaan. Bandung: Mizan.
Al-Qarny, Aid. 2004. Korban-korban Cinta. Jakarta Timur: Pustaka As-Sabil.
Dinas Kebudayaan. 1969. Gelorah Kebudayaan Daerah II. Pangkajenne Sidenreng.
Gibran, Kahlil. 1988. Surat-Surat Cinta kepada May Ziyadah. Bandung: Pustaka Jaya.
Hamka. 1978. Pribadi. Jakarta: Bulan Bintang.
Iqbal, Javid, et all, 1992. Sisi Manusiawi Iqbal. Bandung: Mizan.
Kartanegara, Mulyadhi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers. Bandung: Mizan.
Rahim, Rahman. 1985. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang: Lephas.
Said, Mohammad. 1976. Al-Gazali: Tentang Filsafat Akhlak. Bandung: Al-Ma’rif.
Salim, Muh. et all. 1989. Transliterasi dan Terjemahan Elong Ugi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Syalabi, Abdul Wadud. 1982. Bagaimana Aku Melihat Allah?. Surabaya: Al-Ikhlas.