Prabu Niskala Wastukancana (Raja Wastu) adalah putra Prabu Maharaja Lingga Bhuwana yang gugur di Perang Bubat pada 1357. Ketika terjadi Pasundan Bubat, usia Wastukancana baru 9 tahun dan ia adalah satu-satunya ahli waris Kerajaan Sunda yang hidup karena ketiga kakaknya meninggal di medan Bubat. Jadi, ia adalah adik lelaki dari Dyah Pitaloka yang “gagal” menjadi istri Hayam Wuruk.
Karena Wastukancana masih belia ketika ayahnya, Lingga Bhuwana, meninggal, pemerintahan di Kawali diwakili oleh pamannya, Mangkubhumi Suradipati. Setelah diangkat menjadi raja, Suradipati bergelar Prabu Bunisora. Ada juga yang menyebut Suradipati sebagai Prabu Kuda Lalean. Dalam Babad Panjalu ia disebut Prabu Borosngora. Suradipati pun dijuluki Bhatara Guru di Jampang karena menjadi pertapa dan resi yang ulung. Anak perempuannya yang bernama Mayangsari dinikahkan dengan Wastukancana. Setelah wafat, Suradipati dimakamkan di Geger Omas.
Setelah pemerintahan dijalankan pamannya yang sekaligus mertuanya, Wastukancana dinobatkan menjadi raja Sunda pada 1371 pada usia 23 tahun. Wastukancana menikah dua kali, yaitu dengan Nay Ratna Lara Sarkati,anak dari Resi Susuklampung, sebagai permaisuri pertama. Setelah itu, ia pun menikah dengan sepupunya (putri sulung Bunisora),Nay Ratna Mayangsari.Dari Lara Sarkati lahirlah Sang Haliwungan (Susuktunggal). Dari Mayangsari lahir Ningratkancana (Dewa Niskala).
Niskala Wastukancana memerintah dalam waktu yang panjang sekali dan hampir tak mungkin, yaitu selama 104 tahun, dari tahun 1371 hingga 1475. Wastukancana wafat pada 1475. Setelah itu, wilayah Kerajaan dipecah dua. Yang satu diserahkan kepada Susuktunggal (Pakuan), satu lagi kepada Dewa Niskala (Kawali). Keduanya berkedudukan sederajat.
Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Prabu Wastukancana disebut juga Prabu Wangisutah. Wastukancana setelah meninggal bergelar Sang Mokteng Nusalarang ring Giri Wanakusumah karena dikebumikan di Nusalarang di Gunung Wanakusumah.
Kelak, pada tahun 1482 cucu Wastukancana-lah akan akan mempersatukan kembali kedua wilayah ini, yaitu Sri Baduga Maharaja alias Jayadewata, putra Dewa Niskala. Jayadewata pun kemudian memperistri Kentring Manik Mayang Sunda, putri uwaknya, Prabu Susuktunggal. Jayadewata sendiri memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai “Susuhunan” karena ia telah lama tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya.
Keberadaan Wastukancana tertera jelas dalam Prasasti Kawali di Astana Gede, Kecamatan Kawali. Di prasasti yang merupakan peninggalan Prabu Raja Wastu ini pula nama Kawali terabadikan. Dalam prasasti itu ditegaskan “mangadeg di kuta Kawali” (bertakhta di kota Kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa yang dijelaskan sebagai “dalem sipawindu hurip” (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Belum ada keterangan pasti siapa sebenarnya raja Sunda yang pertama memerintah di Kawali. Sejak pemerintahan Prabu Lingga Dewata ini, pusat Kerajaan telah berpindah ke Kawali. Yang jelas, menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340), sudah berkedudukan di Kawali. Dengan begitu, sejak pertengahan abad ke-14 ini, pusat pemerintahan tak lagi berada Galuh atau Saunggalah atau pun Pakuan, melainkan di Kawali.
Kawali sendiri berarti “kuali” atau “belanga”. Lokasi Kawali cukup strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung-Saunggalah-Galuh. Sejak abad ke-14, Galuh selalu dikaitkan dengan Kawali karena ada dua orang raja Sunda-Galuh yang dipusarakan di Winduraja, dekat Kawali. Nama Kawali kini masih digunakan sebagai nama desa, yakni Desa Kawali di Kampung Indrayasa, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis.
Prabu Wastukancana-lah yang membuat Prasasti Kawali yang berjumlah 6 buah. Berikut adalah bunyi Prasasti Kawali I, II, III, IV, dan V.
Inilah tanda bekas beliau yang mulia Prabu Raja Wastu (yang) berkuasa di kota Kawali, yang memperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit (di) sekeliling ibukota, yang memakmurkan seluruh desa. Semoga ada penerus yang melaksanakan berbuat kebajikan agar lama jaya di dunia.
Prasasti Kawali ini dengan jelas menegaskan bahwa pusat pemerintahan berada di Kota Kawali (mangadeg di Kuta Kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa. Raja inilah yang memperindah keraton Surawisesa di Kawali dan membuat parit (buat pertahanan) di Kawali.
Oleh naskah Carita Ratu Pakuan yang ditulis oleh Ki Raga dari Srimanganti-Cikuray, Surawisesa disebut sebagai keraton yang memberikan ketenangan hidup (dalem sipawindu hurip). Oleh naskah Pustaka Nusantara, keterangan tentang Kawali dan Surawisesa ini diperkuat, malah ada tambahan bahwa ayahnya pun (berarti Lingga Bhuwana yang gugur di Bubat) bertakhta di Kawali.
Persemayaman Sang Prabu Wastukancana adalah keraton Surawisesa. Ibukota kerajaannya bernama Kawali. Pada masa sebelumnya, ayahnya pun bertahta sebagai maharaja di situ juga.
Membuat parit di sekeliling kota (marigi sakuriling dayeuh) adalah ide Wastukancana guna membuat pertahanan kota, untuk kepentingan militer, karena raja-raja Sunda sebelumnya seperti Banga dan Dharmasiksa pernah membuat hal serupa di Kota Pakuan. Wastukancana takut bila sewaktu-waktu negaranya diserang oleh bangsa atau kerajaan lain—mungkin oleh Majapahit yang pernah menghancurkan ayahandanya. Demikian pentingnya pembuatan parit itu, maka Raja Wastukancana merasa perlu mengabadikannya dalam prasasti. Karena penting “agar unggul dalam perang” dan juga mengerahkan rakyat-tentara yang jumlahnya pasti banyak, Wastukancana mengingatkan bahwa barang siapa yang mengganggu maka akan “hancur dan roboh”.
Perihal membuat parit ini, ternyata ditenggarai bahwa di sepanjang wilayah selatan dan timur-laut Kabupaten Bandung banyak terdapat bekas parit pertahanan. Bukan itu saja, naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630) banyak menyebutkan hal-hal yang menyangkut bidang kemiliteran atau peperangan. Simaklah sebagian bunyinya.
Bila ingin tahu tentang perilaku perang, seperti: makarabihwa, katrabihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, suci muka, braja panjara, asu maliput, merak simpir, gagak sangkur, luwak
maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngalingga manik, lemah mrewasa, adipati, prebu sakti, pake prajurit, tapak sawetrik, tanyailah panglima perang.
Juga, Kropak 632 atau Amanat Galunggung memuat hal-hal yang berkaitan dengan parit dan perang.
Tetaplah mengikuti orangtua, melaksanakan ajaran yang membuat parit (nyusuk) di Galunggung, agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya. Sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi (almarhum).
Pada masanya, kehidupannya sosial pun menjadi perhatian. Ia memperingatkan kepada rakyatnya yang gemar berjudi agar meninggalkan kebiasaan buruknya. Ini sesuai dengan bunyi Prasasti Kawali VI, yaitu:
Ini peninggalan dari (yang) kokoh (dari) rasa yang ada, yang menghuni kota ini jangan berjudi (karena) bisa sengsara.
Atja dan Edi S. Ekadjati. 1987. Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara I.1: Suntingan Naskah dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sumber : http://www.wacananusantara.org