Suatu Pola Pertanian Tradisional di Jawa Barat : Tinjauan Sejarah
Abstrak
Ngahuma (berladang) adalah suatu sistem/pola pertanian yang mengubah hutan alam menjadi hutan garapan, dengan tujuan menghasilkan kebutuhan pangan yang direncanakan. Proses itu berlangsung secara perputaran (siklus). Dari segi sejarah munculnya sistem/pola pertanian, ngahuma merupakan suatu tahapan dalam evolusi budaya manusia dari budaya berburu dan meramu ke budaya bercocok tanam.
Ngahuma dikenal sejak manusia memahami proses alamiah tumbuhnya tanaman. Masyarakat Jawa Barat, khususnya masyarakat Sunda sebagai masyarakat pedalaman, telah mengenal sistem ngahuma sejak beberapa abad yang lampau, paling tidak sejak zaman Neolitikum. Oleh karena itu, masyarakat Sunda di Jawa Barat semula adalah masyarakat peladang. Sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk yang cepat, pada satu sisi, dan berkembangnya pengetahuan manusia mengenai bercocok tanam pada sisi lain, di daerah Jawa Barat, kecuali di Badui, sistem ngahuma berangsur-angsur ditinggalkan. Sistem ngahuma berubah menjadi sistem pertanian sawah dan/atau tumpang sari.
Abstract
Ngahuma (shifting cultivation or slash and burn agriculture) is agricultural system that changes the jungle to be agricultural area, so that brought results of crops for human life. That process is progress in cycles. From historical perspective, ngahuma is a phase of cultural evolution of human being, from the hunter behavior and meramu (to collect some foods) to plantation behavior.
Ngahuma was well known since the human know the natural process of the growing plants. West Java societies, especially Sunda society as the hinterland society had been known ngahuma system since some centuries ago, at least since Neolithic age. It can be said; at the first time Sunda society was a farm’s society. As the result of growing inhabitant rapidly and the improving of knowledge of plantation system, in West Java, except in Badui, the ngahuma system has been left behind gradually. That system changed to be field agriculture and /or tumpang sari (multiple planting).
Pendahuluan
Pertanian sebagai mata pencaharian utama dalam kehidupan manusia di beberapa bagian dunia telah mengalami proses perkembangan yang cukup panjang dalam sejarah kebudayaan manusia. Hal itu sejalan dengan tahap perkembangan pengetahuan manusia tentang jenis-jenis tanaman pangan dan cara penanamannya.
Pada tahap awal, usaha manusia untuk mempertahankan dan memenuhi kebutuhan hidupnya ialah dengan berusaha mengumpulkan hasil bumi dan berburu binatang di sekitar tempat hidup mereka. Kegiatan manusia pada masa lalu seperti itu dikenal dengan istilah sistem mata pencaharian "berburu dan meramu". Dalam kehidupan selanjutnya, ke dalam sistem mata pencaharian tersebut termasuk pula kegiatan menangkap ikan. Ketiga sistem mata pencaharian itu kemudian dikenal dengan istilah “ekonomi pengumpul pangan” (food gathering economics).
Sejak akhir abad ke-19, sistem mata pencaharian itu mulai lenyap. Sementara itu muncul suatu tingkat perkembangan lain dari kegiatan manusia untuk mempertahankan hidupnya, yaitu mata pencaharian bercocok tanam di ladang. Kegiatan ini di Jawa Barat dikenal dengan sebutan ngahuma. Proses perubahan sistem mata pencaharian berburu dan meramu menjadi sistem mata pencaharian bercocok tanam itu merupakan suatu peristiwa besar dalam proses perkembangan kebudayaan manusia. Para ahli menyebut peristiwa itu sebagai suatu “revolusi” dalam peradaban manusia.
Kapan sesungguhnya terjadi perubahan dalam sistem pertanian? Hal itu masih sulit ditentukan dan hingga kini hal itu masih bersifat spekulatif. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas, Kuntjaraningrat memberikan asumsi tentang asal mula timbulnya sistem mata pencaharian bercocok tanam, bahwa sistem mata pencaharian/pertanian itu terjadi secara berangsur-angsur di berbagai tempat di dunia.
... Soal asal mula bercocok tanam hanya bisa menjadi lapangan untuk berbagai dugaan dan spekulasi yang sebenarnya sukar dapat dibuktikan dengan nyata. Rupa-rupanya bercocok tanam tidak terjadi dengan sekonyong-konyong, tetapi kepandaian itu timbul dengan berangsur-angsur di berbagai tempat di dunia. Mungkin usaha bercocok tanam yang pertama mulai dengan aktivitas mempertahankan tumbuh-tumbuhan di tempat-tempat tertentu terhadap serangan dari binatang atau burung atau membersihkan tumbuh-tumbuhan untuk makanan terhadap rumput-rumputan yang merusak. Dalam pekerjaan ini manusia tentu mudah dapat mengobservasi bagaimana misalnya biji yang jatuh dapat tumbuh lagi, atau mendapatkan bagaimana potongan batang singkong misalnya kalau ditancapkan dapat menjadi tumbuh-tumbuhan baru, dst. Demikianlah dapat dibuat berbagai teori yang mencoba menjawab soal bagaimanakah manusia itu untukpertama kalinya dapat mulai bercocok tanam, tanpa dapat dibuktikan. Hanya ada suatu hal yang penting yang perlu disadari, apabila kita mulai berspekulasi tentang asal mula cocok tanam, hal itu adalah bahwa masalah permulaan bercocok tanam itu tak bisa dilepaskan dari masalah apakah yang ditanam (Kuntjaraningrat, 1967: 31-32).
Uraian tersebut menunjukkan bahwa bercocok tanam merupakan pola pertanian yang sudah dikenal oleh manusia sejak dahulu kala. Bagaimana hal itu terjadi di Jawa Barat?
Nngahuma di Jawa Barat
Pola pertanian berladang yang di daerah Jawa Barat dikenal dengan istilah ngahuma rupanya sudah dikenal sejak zaman Neolitihicum, ketika manusia masih menggunakan alat/perkakas untuk keperluan hidupnya terbuat dari batu yang telah diasah. Perkakas itu umumnya berupa kapak batu dan sejenisnya.
Menurut laporan FAO (Food Agriculture Organizations) tahun 1957, di seluruh dunia tanah yang diolah dengan cara berladang meliputi luas kira-kira 14.000.000 mil persegi, tersebar di daerah tropis dan subtropis di Afrika, Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia), Oceania, dan Amerika. Kelompok masyarakat yang memiliki kecenderungan ke arah bercocok tanam biasanya tinggal dalam lingkungan alam yang memiliki curah hujan cukup banyak, sehingga pertumbuhan tanaman terus terjamin. Oleh karena itu, daerah yang didiami oleh tipe masyarakat tersebut terdiri dari areal hutan lebat, tanahnya basah dan mungkin pula berawa-rawa.
Daerah Jawa Barat yang beriklim antara tropis dan subtropis merupakan daerah agraris yang subur. Dahulu daerah ini, terutama daerah pedalaman, memiliki banyak hutan lebat serta daerah rawa. Keadaan ini memungkinkan timbulnya cara-cara bercocok tanam yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman berupa pertanian di ladang yang disebut ngahuma dan pola pertanian menetap, yaitu bersawah. Hingga sekarang pola pertanian sawah merupakan mata pencaharian utama bagi masyarakat Jawa Barat, khususnya di daerah pedesaan.
Dalam hubungan dengan masalah mata pencaharian masyarakat di Indonesia, Wertheim membagi masyarakat Indonesia ke dalam tiga pola mata pencaharian utama, yaitu masyarakat pantai, masyarakat ladang, dan masyarakat sawah. Contoh umum masyarakat ladang ialah masyarakat di daerah pedalaman Sumatra dan daerah pedalaman Jawa Barat, sedangkan masyarakat pedalaman Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali oleh Wertheim dimasukkan ke dalam pola masyarakat sawah.
Bahwa di Jawa Barat sejak dulu sudah dikenal sistem bercocok tanam dengan pola pertanian ngahuma (berladang) dan bersawah, ditunjukkan oleh naskah-naskah lama tentang Jawa Barat. Dalam naskah Carita Parahyangan dijumpai istilah-istilah yang menunjukkan pekerjaan di ladang. Naskah ini menyebutkan lahirnya lima orang titisan Panca Kusika, yaitu Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba, dan Sang Wretikandayun.
“... Sang Mangukuhan njieun maneh pa(ng)huma, Sang Karungkalah njieun maneh panggerek, Sang Katu(ng)maralah njieun maneh panjadap, Sang Sandanggreba njieun maneh padagang” (Atja, 1968 :17, 43).
Terjemahannya :
“... Sang Mangukuhan menjadi tukang ngahuma (peladang), Sang Karungkalah menjadi tukang berburu (pemburu), Sang Katungmaralah menjadi tukang sadap (pembuat gula merah dari nira enau), Sang Sandanggreba menjadi pedagang.”
Kutipan ini menunjukkan, bahwa ngahuma, berburu, dan nyadap adalah jenis-jenis pekerjaan di ladang.
Wawacan Sulanjana yang muncul lebih kemudian juga mengungkapkan bahwa di Jawa Barat sejak dulu telah ada pertanian berladang. Hal itu tercermin dari cerita dalam wawacan tersebut. Diceritakan bahwa pada kuburan Pohaci (Dewi Padi) lambat-laun tumbuh berbagai jenis pohon/tanaman. Dari bagian kepalanya tumbuh nyiur dengan buah berwarna hijau dan kuning. Dari bagian telinganya tumbuh berbagai jenis jamur. Dari bagian matanya tumbuh tanaman padi yang berbuah lima butir dengan warna berbeda-beda, yaitu merah, kuning, hitam, putih, dan hijau. Ada padi berbulu dan ada pula yang tidak berbulu. Padi bewarna putih keluar dari bagian putih matanya. Padi bewarna hitam keluar dari rambutnya. Dari bagian jantungnya keluar padi ketan lima butir dalam berbagai warna pula. Dari jari-jari Pohaci tumbuh berbagai jenis bambu besar dan kecil dan berbagai jenis kacang yang tumbuh menjalar ke atas. Dari buah dadanya tumbuh berbagai macam buah-buahan.
Semua tumbuhan yang keluar dari badan Pohaci itu dicatat dengan cermat oleh Ki Bagawat, kemudian dilaporkannya kepada Dewa Guru. Dari cerita-cerita dalam naskah tersebut dapatlah diperkirakan, bahwa ngahuma di Jawa Barat sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, paling tidak sejak zaman neolithicum. Bercocok tanam di ladang ini kemudian berkembang sejalan dengan pengenalan manusia akan berbagai jenis tumbuhan dari bijibijian yang dapat dimakan manusia. Dalam hal ini, Kuntjaraningrat menyatakan, bahwa perkembangan pengetahuan tentang bercocok tanam itu terjadi sebagai akibat observasi manusia terhadap biji atau batang yang jatuh ke tanah dan proses tumbuhnya batang-batang pepohonan yang ditancapkan di tanah. Peningkatan dalam mengolah tanah ladang terjadi sebagai akibat perkembangan pengetahuan manusia akan alat/perkakas untuk keperluan mempertahankan dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Terhadap bercocok tanam di ladang para ahli menyebutnya dengan berbagai macam istilah, antara lain shipting cultivation, slash and burn agriculture, dan ada pula yang menyebut swidden agriculture. Istilah-istilah itu semuanya menunjukkan tentang teknik/cara manusia melakukan bercocok tanam di ladang. Cara bercocok tanam di ladang ternyata terdapat perbedaan di kalangan masyarakat peladang di daerah sabana dan daerah tropis. Demikian pula alat-alat/ perkakas yang digunakannya.
Sampai kini di Indonesia bercocok tanam di ladang masih dilakukan, antara lain di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, sekitar Kepulauan Nusa Tenggara sebelah timur Lombok, beberapa daerah di Irian Jawa dan di beberapa bagian Pulau Jawa.
Di Jawa Barat pola pertanian ngahuma masih dapat kita lihat di daerah Banten dan di beberapa daerah Jawa Barat bagian selatan. Ciri-ciri yang masih jelas dari pola kehidupan ngahuma dapat kita saksikan pada masyarakat Badui di Banten Selatan. Bentuk rumah yang sederhana terbuat dari bambu dan kayu, beratap ijuk atau alang-alang dan hanya diperkuat dengan ikatan tali bambu atau ijuk, menunjukkan bahwa pahuma (peladang) sering berpindah-pindah mengikuti pindahnya huma (ladang) mereka.
Secara umum dan garis besar, tahapan kerja bercocok tanam di lading adalah sebagai berikut:
Pertama, suatu areal hutan yang akan dibuka terlebih dahulu dibersihkan semak belukarnya. Di Jawa Barat pekerjaan ini disebut nyacar dan biasanya dilakukan oleh laki-laki dewasa dengan menggunakan alat, antara lain golok dan parang. Pekerjaan itu ada kalanya dibantu pula oleh wanita dewasa.
Kedua, setelah hutan dibersihkan, kemudian dilakukan penebangan pohon-pohon besar dengan menggunakan kapak, patik atau baliung (sejenis kapak besar). Selanjutnya ranting-ranting kayu dibakar. Pembakaran hutan yang sudah ditebang pada dasarnya adalah cara untuk mempercepat proses pembusukan dan sekaligus mengarahkan proses itu sedemikian rupa sehingga zat makanan yang dilepaskan tersalur sebanyak mungkin ke dalam tanaman penghasil pangan yang sudah dipilih. Proporsi yang cukup besar dari energi mineral yang menghidupi tanaman ladang itu, khususnya padi-padian, lebih banyak berasal dari abu hutan yang dibakar, sehingga sempurnanya pembakaran itu merupakan faktor penting untuk menentukan hasil panen kelak, suatu kenyataan yang barangkali memang disadari oleh semua peladang. Setelah areal hutan dibakar biasanya tidak langsung digarap, tetapi dibiarkan beberapa waktu lamanya sehingga tanah menjadi dingin.
Ketiga, tahap berikutnya adalah penanaman benih berupa padi-padian dan biji-bijian lainnya. Kegiatan ini dilakukan oleh laki-laki dan wanita. Di Jawa Barat pekerjaan ini disebut ngaseuk, yaitu melobangi tanah untuk menanam benih dengan aseuk (tongkat kayu dengan panjang kira-kira satu setengah meter yang ujungnya dibuat agak runcing). Selain padi, di tanah huma ditanam pula kacang-kacangan dan biji-bijian, misalnya jagung, bahkan di daerah Banten orang mulai menanam tanaman keras, seperti kelapa dan buah-buahan.
Keempat, selama menunggu masa panen (3-4 bulan), huma perlu dibersihkan dari rumput-rumputan yang tumbuh di sekitar tanaman. Pekerjaan ini di Jawa Barat disebut ngoyos (menyiangi). Pada perkembangan selanjutnya, dalam pekerjaan ngaseuk dan ngoyos digunakan peralatan berupa cangkul dan kored (sejenis cangkul kecil).
Tahap kelima adalah masa panen. Pekerjaan panen biasanya dilakukan oleh wanita secara gotong-royong, sedangkan laki-laki bertugas mengangkut hasil panen ke rumah masing-masing. Pada setiap tahap dari kegiatan tersebut di atas, terutama kegiatan panen selalu disertai dengan upacara selamatan agar usaha pertanian itu tidak mengalami ganggguan atau diserang hama. Upacara itu merupakan perwujudan dari kepercayaan terhadap alam gaib dalam kehidupan manusia, sebagai bagian dari budaya animisme dan dinamisme.
Dalam hubungan ini masyarakat Badui di Banten Selatan tetap mempertahankan mata pencaharian ngahuma, karena hingga kini mereka masih tetap tabu/pamali (dilarang secara adat) untuk mengolah tanah pertanian mereka dengan pola pertanian sawah. Bila dianalisis lebih jauh, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, tanah pertanian masyarakat Badui terletak diperbukitan sehingga sulit dibuatkan irigasi. Kedua, di balik tabu itu terkandung makna, bahwa mereka--mungkin secara tidak disadari--sebenarnya telah merasakan manfaat ekosistem. Itulah sebabnya huma di daerah Badui ditanami pula dengan tanaman keras sebagai pelindung tanah, sehingga tanah pertanian mereka tetap subur. Ketiga, mereka sangat percaya terhadap alam/kekuatan gaib.
Suatu areal huma biasanya diolah selama satu sampai tiga tahun. Setelah itu huma dibiarkan menjadi hutan kembali. Di Jawa Barat, khususnya di daerah Banten, huma yang telah menjadi hutan kembali disebut leuweung. Tanah huma yang dibiarkan dan ditumbuhi dengan semak belukar disebut reuma atau reuma kolot. Pembukaan kembali huma baru tidak langsung ditanami, melainkan dibiarkan selama satu tahun. Proses tenggang waktu itu disebut ngajami dan pembukaan reuma menjadi huma disebut ngareuma. Pada masyarakat huma biasanya bentuk hak milik atas tanah huma bersifat longgar dan tidak ada tradisi huma diwarsikan. Dengan demikian, hak milik menjadi samar-samar (kabur). Meski pun di daerah Badui dikenal istilah guriang (semacam tuan tanah), tetapi hal itu bukan menunjukkan adanya hak milik tanah, melainkan penguasaan tanah secara berlebihan akibat sistem ngahuma yang berpindah-pindah dan karena pertumbuhan penduduk terus meningkat, sehingga timbul kekhawatiran akan kehabisan tanah.
Perubahan secara drastis dari sistem pertanian ngahuma menjadi sistem pertanian sawah pada masyarakat Jawa Barat terjadi sekitar abad ke-17 hingga abad ke-18. Hal itu terjadi oleh beberapa faktor penyebab. Pertama, masuknya pengaruh budaya Jawa (Mataram) ke daerah Jawa Barat, khususnya ke wilayah Priangan. Hal itu sejalan dengan penanaman pengaruh politik Mataram sejak akhir abad ke-16 di daerah Galuh dan sejak dekade kedua abad ke-17 di daerah Priangan di luar Galuh. Sejumlah orang Mataram yang tinggal di daerah Jawa Barat memperkenalkan budaya bertani di sawah. Hal itu menyebabkan budaya sawah yang sudah dikenal oleh sejumlah petani Jawa Barat sebelum abad ke- 17 1), menjadi berkembang luas menggeser budaya ladang. Kedua, Kompeni (VOC) yang berangsur-angsur menguasai seluruh daerah Jawa Barat, memerintahkan rakyat setempat (melalui kepala-kepala pribumi) untuk menanam tanaman dagang/ekspor, terutama kopi, yang hasilnya harus diserahkan kepada Kompeni. Kedua faktor tersebut telah menyebabkan masyarakat pedalaman harus tinggal secara tetap. Hal itu berarti mereka harus mengubah pola hidupnya. Dengan kata lain, kedua pengaruh tersebut telah memberi warna baru dalam perkembangan budaya masyarakat Jawa Barat selanjutnya, khususnya dalam budaya bercocok tanam/bertani.
Sejak terjadinya perubahan tersebut, pola pertanian ngahuma di daerah Jawa Barat berangsur-angsur ditinggalkan. Hal itu disebabkan pula oleh kondisi tanah huma semakin kurang potensial, akibat cara mengolah tanah yang kurang tepat (terlalu cepat mengolah kembali), sehingga tanah mudah rusak dan jatuh ke suatu proses kemorosotan ekologi yang sukar dipulihkan kembali. Oleh karena itu, pemerintah menggalakan program penghijauan (reboisasi). Sementara itu, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, banyak lahan yang digunakan sebagai sarana kehidupan manusia, bahkan kini daerah perbukitan di sekitar kota pun banyak yang dijadikan daerah pemukiman baru.
Tingkat kepadatan penduduk Jawa Barat sekarang, secara teoritis tidak memungkinkan lagi masyarakat setempat melakukan bercocok tanam dengan cara ngahuma seperti semula. Kegiatan ngahuma hanya mungkin dilakukan di daerah yang masih jarang penduduknya. Menurut para ahli, tingkat kepadatan penduduk yang memungkinkan dilakukannya pola pertanian ngahuma (berladang) adalah sekitar 50 orang untuk tiap kilometer persegi. Sekarang di Jawa Barat tingkat kepadatan penduduk di daerah yang paling jarang pun, yaitu di daerah bagian selatan, sudah mencapai rata-rata 200 orang tiap kilometer persegi. Oleh karena itu, di daerah Jawa Barat bagian selatan, pola pertanian ngahuma bergeser ke arah pola pertanian tumpang sari. Sistem pertanian yang disebut terakhir adalah bentuk pertanian yang dikerjakan masyarakat di atas tanah milik kehutanan yang sedang direboisasi. Sistem pertanian tumpang sari berlangsung pula di daerah Bandung Utara, Cianjur, dan Sukabumi Selatan. Di daerah Garut, sistem pertanian tersebut dikenal dengan istilah “ngultur”2).
Setiap orang yang mengolah tanah kehutanan dengan sistem tumpang sari diwajibkan untuk memelihara tanaman kayu yang baru tumbuh sampai menjadi besar. Bilamana pohon kayu telah besar, Jawatan Kehutanan melarang melakukan tanaman tumpang sari. Para petani tumpang sari kemudian mencari tanah kehutanan lain untuk diolah. Dengan demikian, pola pertanian tumpang sari pun merupakan sistem pertanian berpindah-pindah, tetapi perpindahan itu disesuaikan dengan rencana reboisasi Jawatan Kehutanan. Kebijakan itu diambil oleh pemerinah agar tidak terjadi lagi penebangan hutan secra liar, sehingga ekosistem dan kelestarian lingkungan tetap terpelihara.
Penutup
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa ngahuma (berladang) merupakan suatu tahapan dalam evolusi budaya manusia, dari berburu dan meramu ke budaya bercocok tanam dengan sifat menyebarkan penduduk (berpindah-pindah). Ngahuma merupakan suatu sistem/pola pertanian di mana hutan alam diubah menjadi hutan yang dapat menghaslkan kebutuhan pangan bagi manusia secara direncanakan yang berlangsung secara perputaran.
Dilihat dari sehingga ekologi, ciri yang paling positif dari ngahuma ialah bahwa sistem pertanian itu lebih berintegrasi ke dalam struktur umum dari ekosistem alami yang sudah ada sebelum sistem pertanian itu direncanakan. Ngahuma (berladang) dikenal sejak manusia memahami proses alamiah tumbuhnya tanaman. Masyarakat Jawa Barat, khususnya masyarakat pedalaman (masyarakat Sunda), telah mengenal pertanian di huma sejak beberapa abad yang lalu. Dengan kata lain, masyarakat Sunda di Jawa Barat semula adalah masyarakat peladang.
Di Jawa Barat khususnya dan di Indonesia umumnya, ngahuma merupakan suatu sistem pertanian yang sangat penting, di samping sawah. Kedua sistem pertanian itu merupakan kerangka di mana ekonomi pertanian umum berkembang di negeri ini, sehingga Indonesia disebut negara agraris. Dari segi sejarah, ngahuma merupakan bagian dari sejarah pertanian di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Dapat dikatakan budaya itu merupakan awal dari sejarah pertanian di Jawa Barat.
Dalam perjalanan sejarah Jawa Barat, budaya ngahuma berangsur-angsur lenyap, kecuali pada masyarakat yang tetap berbudaya tradisional, seperti masyarakat Badui. Lenyapnya budaya ngahuma terjadi akibat perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial, sejalan dengan perkembangan pengetahun dan teknologi peranian khususnya dan kemajuan zaman pada umumnya.
1) Berdasarkan sebaran penduduk pada tahap awal dari daerah Tonkin (Asia Tenggara) ke Pulau Jawa zaman Neolitikum, boleh jadi penduduk asli Jawa Barat termasuk ras Proto Melayu yang telah memiliki budaya bersawah.
2) Mungkin istilah itu merupakan pengaruh sekaligus warisan dari masa berlangsungnya Cultuurstelsel yang lebih dikenal dengan sebutan “Tanam Paksa” (1830-1870).
Kepustakaan
Adimihardja, Kusnaka. 1980. “Pertanian; Mata Pencaharian Hidup Masyarakat Sunda”. Dalam Edi S. Ekadjati (ed.). Masyarakat dan Kebudayaan Sunda. Bandung: PIPR: 137-167.
Atja. 1968. Tjarita Parahijangan Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka-16 Masehi. Bandung: Jajasan Kabudajaan Nusalarang.
Burling, Robbins. (n.d.). Hill Farms and Padi Fields Life in Mainland Southeast Asia. Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.
FAO. 1957. “Shifting Cultivitation”. Dalam Tropical Agriculture, XXXIV: 159-164.
Geertz, Clifford. 1971. Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia. Berkeley, L.A.: University of California Press.
de Haan, F. 1912. Priangan; De Preanger Regentschappen Onder het Nederlandsch Bestuur Tot 1811. Deel III. Batavia: BGKW.
Kuntjaraningrat. 1967. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Anonnim. 1976. Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Barat). Jakarta: Arsip Nasional.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius.
Soepomo. 1967. Hukum Perdana Adat Jawa Barat. Jakarta: Djambatan.
Suryadi, Didi. 1974. Sekitar Kehidupan Musik Masyarakat Baduy. Bandung: Lembaga Kebudayaan Unpad.
Wertheim, W.F. 1954. Indonesian Society in Transition. Bandung: Sumur Bandung.
Sumber: http://resources.unpad.ac.id