1. Latar Belakang Masalah
Seperti diungkapkan orang-orang bijak yang mengatakan, “bangsa besar adalah bangsa yang tidak hanya melihat masa kini dan masa mendatang, tetapi mau berpaling ke masa lampau untuk menyimak perjalanan yang telah dilaluinya.” Bahkan filsuf August Comte, mengatakan: “Savoir Pour Prevoir”, yang diartikan mempelajari masa lalu, melihat masa kini, untuk menentukan masa depan.
Benda cagar budaya merupakan bagian dari warisan budaya yang jikalau kita berbicara tentangnya juga akan sampai pada aspek sosio-antro yang mencakup pola-pola perilaku serta pandangan hidup atau sistem nilai masyarakat pendukungdan yang memanfaatkan benda cagar budaya tesebu (Arwan dan Heddy,2004:37). Sebagai sebuah sistem, upaya pelestarian benda cagar budaya (BCB) berupa bangunan gedung merupakan suatu langkah strategis di dalam kerangka kerja pembangunan sebuah kota. Hal ini tentu dikarenakan bahwa upaya pelestarian tersebut akan dapat menjamin mewariskan kaidah atau nilai-nilai yang terkandung di dalam bangunan itu beserta lingkungannya secara berkesinambungan. Itu sebabnya, sebagai bagian dari sejarah perkembangan kota, diperlukan rasa memiliki dari berbagai perspektif, ilmiah, cita seni maupun budaya dalam satu skenario besar peradaban. Oleh karena itu dalam menyikapi keberadaan bangunan peninggalan bersejarah, terlebih yang masuk dalam kategori BCB sebagai salah satu mata rantai dalam kebijakan pembangunan kota, adalah apakah pelestarian yang dilakukan terhadap bangunan cagar budaya tersebut telah mempertimbangkan kaidah pelestariannya, baik secara kultural, ilmiah maupun konstitusional.
Pelestarian bangunan cagar budaya sebagai aset bangsa, pada dasarnya dapat mengarahkan daya kreatif masyarakat pengguna ke arah terbukanya wawasan intelektual. Dalam membumikan nilai-nilai edukatif inilah, maka dapat terlihat bahwa mengapa perlunya dilestarikan dengan mempertahankan keaslian bentuk, bahan baku, pengerjaan, tata letak dan nilai sejarah serta konteksnya. Pentingnya keberadaan bangunan lama di kawasan suatu kota terletak pada kontribusi memorialnya dalam membentuk karakter lingkungan binaan di sekitarnya, namun bukan menuju pada romantisme belaka. Pelestarian BCB dapat dilakukan dengan 3 cara yang berkaitan dengan perlakuan teknis, yaitu : Perlindungan, Pemeliharaan, Pemugaran.
Dalam pelestarian bangunan lama, sejarah bangunan tetaplah menjadi sumber penting, namun bukan berarti tidak harus menjadi sejarah an sich yang rigid, sehingga dalam perkembangan bagi kepentingan masa kini sangat dimungkinkan terjadinya peluang bagi penafsiran secara kretaif kepada makna baru. Hal ini tentu mensyaratkan korelasi positif pengetahuan mengenai keberadaan bangunan tersebut dari sisi historis, arkeologis, geografis, arsitektur dengan eksistensi komunitas masyarakat dari sisi sosio-antropologis, sehingga keberadaan bangunan tua cagar budaya seharusnya menjadi investasi kegiatan lain yang mampu memberi perspektif kehidupan baru komunitasnya.
Maka berdasar pada argumen ini, sudah selayaknya dan seharusnya pemanfaatan bangunan cagar budaya dalam pemfungsiannya di masa kini juga bagi masa mendatang yang kritis dalam bentuk kegiatan baru yang lebih relevan selain terbuka kemungkinan pula pengalihan kegiatan lama oleh aktivitas baru tanpa harus merubah, menambah dan mengurangi elemen-elemen yang tidak kontekstual, atau bahkan menghancurkannya. Sebagai bagian penting dari kebijakan pembangunan sebuah kota, upaya pelestarian bangunan berlanggam arsitektur kolonial, kembali tidak saja memfokuskan pada pembangunan budaya dan peradaban, tetapi secara kritis harus tanggap terhadap persoalan ekonomi lokal dan segala aspeknya.
Oleh karena itu kriteria sebagai bangunan cagar budaya pun harus punya dasar yang kuat jika dikatakan sebagian masyarakat sebagai ”aset budaya” seperti estetika, kejamakan, kelangkaan, peranan sejarah, dan lain sebagainya, yang di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dicakup menjadi nilai pentingnya terhadap sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di samping itu faktor lain yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa pelestarian harus dilandasi atas penghargaan atas keadan semula dengan bentuk, skala, warna, tekstur, dan bahan pembangunan harus terjaga semuanya pada kondisi yang belum mengalami perubahan sama sekali.
Itu sebabnya dalam upaya pelestarian dengan perlindungan dan pemugaran seperti yang diamanatkan oleh konstitusi harus didahului dengan studi kelayakan. Karena bila tanpa melalui kajian yang jelas, maka aspek sebagai ”aset budaya” belum dapat digunakan dalam konteks pelestarian. Ini dikarenakan tujuan utama dari sebuah upaya pelestarian dengan tetap mempertahankan keberadaan bangunan harus dilihat dari sisi makna kulturalnya (terhadap dunia pendidikan) yang dapat memberikan citra kawasan dan meningkatkan lingkungan sebaiknya dapat dijadikan pertimbangan termasuk pada manfaat ekonomi dan sosiologisnya. Pelestarian tidak hanya penting bagi masyarakat untuk memperoleh pemahaman tentang sejarah, tradisi dan budaya bangsanya, mereka memperlengkapi dasar-dasar di atas yang mana budaya masa mendatang akan dibangun.
Sebagai langkah awal dari kajian tersebut, perlu adanya inventarisasi yang didasarkan dengan kajian sejarah dan arsitektur untuk memperjelas nilai-nilai keunikan gaya arsitektur yang terdapat pada bangunan kuno tersebut. Baik ditinjau dari usia, bentuk, ornamen, relief, tata ruang, dan lain sebagainya. Semuanya digunakan sebagai landasan utama menentukan kriteria dipertahankan atau dilestarikannya bangunan itu.
Begitu pun dalam upaya pemanfaatan bangunan cagar budaya selain telah terangkum dalam UURI No 5 tahun 1992 juga termaktub dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, sehingga keterkejutan diri menyaksikan bentuk fisik benteng di Kota Gombong saat ini, yang jika ditinjau dari perspektif pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya berupa bangunan kolonial adalah awal perjalanan pemaknaan. Betapa tidak, dari kejauhan benteng itu telah mencolok mata dengan warna merahnya, secara harfiah. Begitupun akses jalan menuju benteng yang dipenuhi oleh berbagai fasilitas dan ornamen yang jauh dari kesan wisata sejarah seperti yang ditunjukkan dalam brosur : Taman Wisata Sejarah, Rekreasi Keluarga & Dunia Mainan Anak Benteng Van Der Wijck Gombong Kabupaten Kebumen, nampaknya sejalan dengan pemugaran benteng yang dimulai pada tanggal 5 Oktober tahun 2000 dan peresmian awal pemugarannya dilakukan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI Tyasno Sudarto.
Pengelolaan bangunan kolonial yang masuk ke dalam cagar budaya di Indonesia akhir-akhir ini memang banyak menyalahi prinsip-prinsip dasar dalam keletakan bangunan maupun ketataruangannya. Kecenderungan ini terlihat dengan adanya pergeseran eksistensi ruang publik menjadi ruang yang kompleks. Bangunan-bangunan baru muncul dengan memakan sempadan jalan, penempatan ornamen yang tidak kontekstual, pemanfaatan ruang situs yang tidak sesuai, menambah panjang daftar kesewenang-wenangan terhadap bangunan cagar budaya.
Secara implisit nampak bahwa sebenarnya yang ingin ditampilkan dalam brosur tersebut adalah dunia mainan anaknya sebagai stressing point, bukan wisata sejarahnya. Terbukti pada narasi kesejarahan benteng ini, yang tidak akurat secara ilmiah mengindikasikan bahwa tidak pernah ada pelibatan tenaga ahli dalam rangkaian kerja pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya. Terlebih materi narasi kesejarahannya yang terkesan “coba-coba”, dikhawatirkan cenderung merupakan upaya pembohongan kepada publik konsumennya (Brosur Taman Wisata Sejarah Benteng Van Der Wijck Gombong, PT. Indo Power MS, tanpa tahun). Ironis karena ternyata keinginan “memodernkan” diri tidak menyisakan relung jiwa bangunan benteng yang sebenarnya memiliki peran penting sebagai jati diri dan ikon Kota Gombong.
2. Permasalahan
Dari uraian di atas, tampak dengan jelas bahwa ada miss-manajemen dalam pengelolaan benteng Gombong ini sebagai aset pusaka warisan budaya arkeologi, sejarah dan arsitektur. Berdasar itulah maka permasalahan yang dapat diangkat dalam penulisan ini adalah sebagai berikut, (1) Apa yang sebenarnya menimpa benteng Gombong sebagai bangunan bersejarah cagar budaya ? (2) Sesuai dengan peraturan dan perundangan yang ada, institusi militer, yang biasanya selalu tunduk kepada konstitusi, sebagai pemrakarsa pemugaran benteng dengan sengaja melanggar sehingga merubah warna, menambah fasilitas dan ornamen-ornamen yang tidak kontekstual ? (3) Dengan kondisi benteng yang sekarang, apa yang harus dilakukan terhadap benteng itu bagi kelestariannya sebagai identitas kota Gombong ?
3. Tujuan
Tentu perubahan fisik dan lingkungan situs benteng Gombong ini didasari dengan alasan perkembangan kota yang menuntut efisiensi ruang, dan berujung pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Apabila kita melihat dari fungsional ruang, pola kegiatan, sirkulasi, konstruksi, dan berbagai bangunan lainnya di situs ini, maka berdasar kualitas dan kuantitas bangunan dan ornamen baru, peningkatan PAD dapat dengan mudah tercapai. Dan tentu saja bentuk bangunan lama dirasa tidak bisa memfasilitasi kebutuhan baru yang tidak memiliki daya jual.
Penulisan ini bertujuan untuk dapat mengungkapkan perubahan-perubahan yang terjadi pada benteng Gombong sejak pertama yang pernah terdokumentasikan hingga saat ini, untuk kemudian dikaji makna dari perubahan tersebut. Begitu pula penulisan ini juga bertujuan mengurai alternatif pilihan yang dapat dilakukan pada benteng ini bagi pengelolaan di masa depan.
4. Kerangka Teori
Ian Hogg (1981) menyatakan bahwa benteng yang pada prinsipnya adalah sebagai pembatas antara mereka yang bertahan dari penyerangan, biasanya terletak pada tempat beragam agar dapat melihat mendekatnya bahaya sehingga memiliki waktu untuk persiapan untuk membalas, dan juga untuk melindungi diri ketika menduduki daerah musuh yang khusus. Sebagai hasil dari perwujudan ide dalam upaya mempertahankan diri tersebut maka benteng menjadi salah satu bangunan yang didirikan selain bangunan pendukung lainnya, sehingga selain dapat merekonstruksikan gagasan manusia pembuatnya, maka aspek-aspek kesejarahan mengenai latar belakang terbentuk dan pemfungsian benteng tersebut menjadi kajian penting untuk diketahui.
Pengelolaan warisan budaya arkeologi di dunia modern yang masuk dalam cultural resource management (CRM) dan heritage manajemen seperti yang diungkapkan oleh Francis P. Mc.Manamon dan Alf Hatton (1999) mensyaratkan keaslian, sebagai konsep dasarnya, dan merupakan hal yang sangat penting dalam setiap perdebatan mengenai heritage. Ini dikarenakan masa lalu di dunia modern tidak hanya satu subyek saja, melainkan juga terkait dengan persepektif lain baik dari perspektif arkeologi, antropologi, pengelolaan museum, konservasi dan sebagainya sejak Perang Dunia II. Dalam skala yang lebih luas pada pemanfaatan, yakni kunjungan situs-situs budaya dan bangunan bersejarah, sedangkan pada skala yang lebih kecil seperti akses informasi merupakan aspek dalam pengelolaan manajemen yang efektif. Dan juga didukung oleh sistem perundang-undangan, peraturan dan kebijakan nasional. Termasuk di dalamnya adalah penghargaan, pengertian dan mengamanatkan situasi lokal, termasuk kebutuhan pengendalian populasi. Pendekatan dan pengembangan baru metode, teknik dan konsep adalah hal mendasar bagi perbaikan demi keefektifan dan efisiensi CRM.
Namun yang tidak dapat ditinggalkan adalah pendidikan dan keterjangkauan masyarakat sebagai tujuan terpenting dalam pembenaran untuk mengembangkan dan memajukan CRM. Beberapa kegiatan perlu dilaksanakan untuk menjamin bahwa generasi masa kini dan masa mendatang menyadari pentingnya sumber-sumber budaya dalam memahami warisan pusaka, sejarah dan mengenal jati diri.
Peter Howard (2003) menunjukkan bahwa dalam pengelolaan bagi interpretasi warisan pusaka arkeologi maka terdapat dimensi ketiga yang utama yaitu identitas, dengan banyak level atau tingkatnya. Warisan pusaka arkeologi dapat menguatkan rasa identitas kita yang tidak hanya terbatasi oleh letak geografis semata. Pengelolaan warisan arkeologi yang baik menuntut pemahaman akan identitas yang akan menguatkan atau justru sebagai tantangan bagi interpretasi. Laurajane Smith (2004) menyebutkan bahwa wacana ilmiah dan pengetahuan mungkin dapat menggerakkan teknologi kepemerintahan menentukan isu disekitar masalah sosial. Di sinilah arkeologi berguna bagi pemerintah dan mesin birokrasinya dalam membantu menetapkan, memahami dan mengatur dengan tegas masalah-masalah sosial yang muncul dalam negara.
Kriteria bangunan dapat diklasifikasikan minta tiga digolongkan, yang menurut pakar arsitektur Antariksa, Ir., MEng., PhD (2007) pada situs www.google.com. Bangunan Bersejarah Makin Memprihatinkan, diakses pada 09-10-2007, pukul 00:33, terdiri dari Golongan A, adalah bangunan-bangunan yang bernilai sejarah dan arsitektur yang sangat tinggi, secara fisik bangunan ini tidak diperkenankan ditambah, diubah bahkan dibongkar atau dibangun baru. Golongan B, adalah bangunan-bangunan yang bernilai atau mempunyai ciri tertentu dari suatu masa, dengan struktur yang masih baik. Secara fisik dari bangunan-bangunan ini tidak diperkenankan diubah badan utama, struktur utama, atap, ataupun pola tampak depannya (fasade). Perubahan terhadap susunan ruang dalam, bagian belakang, serta penggantian elemen-elemen yang rusak diperbolehkan asal tidak merusak keserasian lingkungan maupun melanggar peraturan tata bangunan yang telah di tetapkan. Golongan C, adalah bangunan-bangunan yang secara fisik sudah banyak berubah, kondisinya sudah rusak, dianggap membahayakan, sulit dipertahankan dan perlu dikembangkan secara lain. Bangunan-bangunan ini boleh diubah wajah dan bentuk dalamnya atau dibangun baru, tetapi harus disesuaikan dengan pola tampak bangunan di sekitarnya, sehingga terbentuk lingkungan yang baik dan serasi.
Sebagai landasan hukum dalam pengelolaan cagar budaya maka Indonesia memiliki beberapa pijakan baik yang langsung dengan peninggalan sejarah budaya yang penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, yaitu Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : Kep-06 /KP/ 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Kebudayaan dan Pariwisata.
5. Analisis Data
Sebagai dasar perlindungan pelestarian, perlu adanya kesamaan motivasi dan persepsi baik dari pihak pemerintah kota maupun masyarakat, bahwa Kota Gombong memiliki bangunan dan kawasan bersejarah. Agar upaya pelestarian dapat lebih simultan antara preservasi dan pengembangan yang terintegrasi dan terpelihara kualitas fisik dan kesinambungan historis-kultural-sosial-ekonominya. Dan hal tersebut harus didasarkan dalam bentuk rekomendasi dan strategi implementasi yang berlandaskan pada prinsip-prinsip pelestarian.
Benteng di Gombong merupakan salah satu elemen pendukung sarana militer pada jamannya ini dikenal dengan benteng Cochius, yaitu nama seorang Letnan Jenderal pasukan Hindia-Belanda di tahun 1835, Frans David Cochius, dan terletak di desa Sidayu, Gombong dengan bentuk segi delapan (Novida Abbas,2001:53) ini didirikan di tahun 1833 yang sebelumnya berupa pos militer (Novie Hari Putranto,2002:21-32) yang pada perkembangan kini telah banyak bertambah dengan ornamen-ornamen yang tidak perlu, seperti patung binatang purba, peralatan tempur militer masa kini termasuk penggantian warna tembok menjadi merah, dan ada nama lain dari benteng ini yaitu Van Der Wijck (foto 1,2,3). Dengan desain bangunan segi delapan, maka menyisakan sebidang tanah di tengahnya yang dulunya berlantai dari batu bata yang disusun berdiri (Novie Hari Putranto,idem:32), namun kini telah tiada dan lapangan tersebut terakhir kali digunakan sebagai tempat latihan jamaah haji dari daerah ini yang akan melakukan ibadah haji di Arab Saudi, dengan miniatur Ka’bah (foto 4).
Sejak tahun 1856 benteng yang awalnya sebagai benteng logistik, berubah menjadi Pupillen School (Sekolah Calon Militer) (Novie Hari Putranto, idem, 23). Fungsi sebagai sekolah militer ini tidak mengalami perubahan hingga tahun 1913, sehingga jika dilihat dati fisik atap benteng, yaitu
Benteng yang terdiri dari dua lantai ini memiliki ruangan yang bervariasi besar dan luasnya dengan kait besi bergantungan (foto 5 dan 6), yang fungsi dari masing-masing ruangan ini pada tahun 1833-1856 tidak dapat diketahui (Novie Hari Putranto,idem, 32), namun patut diduga bahwa fungsi dari masing-masing kait besi di atap ruangan tersebut sebagai tempat bergantungnya rel kelambu (gordyn) sekat dalam ruangan. Dan antar ruangan itu sendiri dihubungkan oleh koridor. Begitu pula antara lantai satu dan lantai dua dihubungkan oleh tangga sempit (foto 7). Atap benteng Gombong ini kokoh jika dilihat bahan baku penyusunnya, yaitu batu bata yang disusun rebah dan batu bata susun berdiri di sisi tepinya (foto 8). Penambahan ekstrim tampak pada bagian atas benteng, yaitu pada rampart-nya ditambahi dengan rel untuk fasilitas kereta api mini (foto 9). Jika dilihat dari bagian koridor, langit-langit koridor berupa struktur dalam kubah lengkungan membentuk perpaduan ritmis pada setiap pertemuan antar persimpangan siku koridor (foto 10). Pada titik pertemuannya diberi penguat berupa besi silang yang terikat.
Dari hasil pengamatan di lapangan terhadap benteng Cochius atau Van Der Wijck di Gombong, mengindikasikan bahwa kecil kemungkinan bangunan ini di masa lalu sejak dari pertama pendiriannya difungsikan sebagai benteng pertahanan militer secara langsung. Hal ini dikarenakan beberapa elemen benteng pertahanan berupa embrasure maupun merlon tidak terdapat di benteng ini (foto 11). Namun demikian penulis lain menyatakan memang selain berfungsi sebagai pertahanan, pada beberapa tempat digunakan sebagai penyimpanan logistik bahan kebutuhan, tempat pelatihan, tempat penahanan atau penjara dan lain sebagainya (Novida Abbas, 2001: 35). Adapun parit di sekeliling benteng yang pernah ada di benteng ini, sangat dimungkinkan sebagai wilayah pembatas antara benteng dengan area sekitarnya dan sebagai penahan gerak laju jika ada yang berniat memasuki benteng dengan tujuan yang tidak diharapkan oleh komunitas benteng Cochius.
Jika dilihat kondisi fisik benteng Gombong saat ini, setidaknya beberapa kerja pelestarian pada bangunan ini yang dapat dikaji kembali adalah evaluasi terhadap langkah-langkah yang telah diambil. Evaluasi tersebut berdasar pada amatan terhadap bangunan yang dalam perspektif CRM, terutama pada konflik kepentingan antara ilmu pengetahuan dan pragmatis ekonomis.
6. Kendala Yang Dihadapi
Pelestarian dan pemanfaatan bangunan bersejarah bukannya tanpa kendala. Begitu pula dalam CRM di benteng Cochius Gombong ini, terdapat kendala mulai dari yang kasat mata hingga yang “tersembunyi”. Beberapa kendala tersebut dapat dijabarkan yaitu,
6.1. Lemahnya law enforcement
Dengan adanya UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, tidak menjamin upaya pelestarian bangunan-bangunan pusaka, terutama yang memiliki nilai sejarah dan budaya serta arsitektur yang khas. Sering karena dalih pembangunan, suatu bangunan atau kawasan pusaka berubah fungsi dan rupa, bahkan dihancurkan. Padahal pembangunan tetap dapat dilaksanakan tanpa harus mengorbankan nilai-nilai pusaka suatu bangunan atau kawasan. Ketiadaan kesamaan di hadapan hukum di negeri ini semakin manjadi-jadi terlebih jika harus berhadapan dengan institusi militer.
6.2. Ekonomi
Isu ini memang seakan menjadi dilema, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia. Di satu sisi, kita dihadapkan pada kenyataan harus membangun, di sisi lain juga memiliki kewajiban moral untuk melestarikan aset pusaka kota dan negara.
Bagi kebanyakan pemerintah (termasuk militer) dan sektor industri, isunya adalah apakah pelestarian bangunan pusaka menjadi hal yang penting, bila kenyataannya bangunan-bangunan tersebut tidak menghasilkan keuntungan secara ekonomis? Daripada memelihara bangunan lama yang tidak produktif (ditambah pemikiran bahwa merawat bangunan lama lebih mahal dibanding membangun yang baru), lebih baik membangun yang baru dan bisa memberi keuntungan ekonomis (baca: mal, ruko, dan lain sebagainya).
6.3. Pendidikan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh sebuah lembaga pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah di Amerika Serikat, terdapat hubungan antara latar belakang pendidikan dan motivasi pelaku wisata pusaka. Mayoritas pelaku wisata pusaka di negeri itu adalah para baby boomer (generasi yang lahir akhir 1940-an hingga 1950-an), yang tumbuh pada saat ekonomi AS membaik. Akibatnya, banyak dari generasi ini yang mengenyam pendidikan lebih baik dan lebih tinggi, dan sukses secara karier ketika memasuki usia produktif.
Hasilnya pada saat generasi ini memasuki usia mapan (tahun 1990-an), mereka menginginkan suatu pengalaman wisata yang tidak lagi bersifat rekreatif semata, namun juga bermuatan pendidikan dan budaya, seperti pariwisata pusaka. Jadi pada dekade 1990-an lah pariwisata pusaka mulai menjadi tren di negeri tersebut, walaupun isu pelestarian sudah muncul beberapa dekade sebelumnya. Dengan semakin baiknya mutu dan tingkat pendidikan seseorang umumnya akan lebih merangsang keingintahuannya.
Hal yang sama setidaknya juga diidealkan pada masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Gombong sekitarnya pada khususnya, ketika di masa yang akan datang mereka telah mengalami pendidikan yang lebih baik. Pada masa itulah masyarakat didikan tersebut akan menuntut pengalaman baru dalam wisata pendidikan pada tempat-tempat warisan budaya Benteng Cochius ini. Perkembangan inilah yang seharusnya ditangkap oleh pemimpin negeri Gombong, yaitu perkembangan pendidikan di kotanya yang mengarah kepada tingkat kekritisan masyarakatnya yang semakin meningkat. Sehingga tidak begitu saja masyarakat Kota Gombong dan sekitarnya sebagai konsumen wisata budaya Benteng Cochius ini mau begitu saja dibohongi mentah-mentah oleh upaya rekayasa picik dalam pemugaran benteng.
6.4. Peran militer
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran militer dalam hal ini TNI-AD dengan jelas tergambar pada foto-foto informasi maupun di media massa yang beredar. Peran mereka inilah yang dapat dikatakan sebagai kendala tersembunyi dalam pelestarian dan pemanfaatan benteng Cochius. Hal ini pula yang sejajar dengan hidden agenda TNI dalam upayanya “membersihkan diri” dari peran dwi fungsi TNI, suatu jualan murahan TNI dalam memosisikan diri pada kehidupan sipil. Indikasi tersebut sangat kuat terbaca pada berita di Harian Umum Bernas yang beredar di situs internet www.google.com. menyebutkan bahwa Benteng di komplek Secata (Sekolah Calon Tamtama) TNI AD itu, direhabilitasi investor swasta dengan dana Rp 600 - 700 juta. Investor tersebut, kelak akan mengelola benteng tersebut bersama Primkopad (Primer Koperasi AD) dengan sistem bagi hasil.
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa pelestarian bangunan tua sepertinya selalu bertentangan dengan kepentingan ekonomi. Sulit sekali mencari titik temu diantara keduanya. Masalah ini selalu muncul akibat tidak adanya saling pengertian di antara para stakeholder bangunan tua bersejarah, pengusaha pemodal, dan pemerintah (yang terkadang militer ada di dalamnya) (foto 12). Pengusaha hanya memikirkan aspek ekonomi, sedangkan pecinta bangunan tua berpikiran bahwa bangunan-bangunan itu harus dilestarikan dan dirawat, pihak pemerintah berpikiran bahwa selama izin lengkap semua bisa berjalan. Padahal pelestarian terhadap hal tersebut berkaitan erat dengan wawasan identitas yang terbentuk dari sosok arsitektur dan lingkungan budaya yang beraneka ragam, seperti warisan arsitektur tradisional, peninggalan kolonial, arsitektur modern dan pasca modern. Menjadi pertanyaan adakah institusi militer dengan garis komando yang jelas (penghalusan kata untuk totalitarian, pen.) telah memproduksi dan memperlakukan warisan budaya sebagai idetintitas tersebut dalam kebijakan yang disengaja. Karena terkadang justru mereka dengan sengaja merusak warisan budaya.
Jika militer dengan lapang dada mau menggandeng stakeholders yang berkompeten maka tentunya akan pula dilakukan tahapan kerja konservasi yang merupakan tahapan kegiatan pelestarian bangunan, yaitu segala bentuk intervensi fisik yang perlu dilakukan untuk menjaga ketahanan atau keutuhan struktur mulai yang paling mudah hingga perlakukan yang paling radikal (Historic Preservation). Termasuk berlapang dada pula membuka diri terhadap kehadiran stakeholders bangunan tua bersejarah yang masuk dalam kategori cagar budaya yang sebagian digunakan sebagai markas atau kantor militer.
Hal ini tentu saja juga mensyaratkan adanya pendidikan kepada tentara secara institusional, untuk memberikan satu pemahaman bahwa pelestarian bangunan kuno juga menjamin variasi dalam bangunan kota. Walaupun demikian, pelestarian tetap terkait oleh berbagai pertimbangan yang bersifat estetis, strategis, ekonomis dan simbolis, serta beberapa kriteria pelestarian dalam perencanaan kota, yaitu berdasarkan nilai estetika, kejamakan, kelangkaan, peranan sejarah, memperkuat kawasan di dekatnya, serta keistimewaan karena merupakan bangunan berpredikat paling (paling tua, paling besar, paling panjang dan lainnya). Namun sering terjadi, pertimbangan ekonomis dan berdalih pada 'kebutuhan' masyarakat perkotaan, bangunan-bangunan kuno tersebut berubah atau musnah secara mengenaskan.
Pada akhirnya, selain kepada institusi militer juga kepada masyarakat secara luas perlu disosialisasikan bahwa pemugaran dalam konteks pelestarian bagi pemanfaatan situs bukanlah untuk membangkitkan sentimentalitas masa lalu semata. Bukan juga untuk mengagung-agungkan sebuah masa, tau bahkan mengagungkan sebuah institusi (militer).
7. Rekomendasi
Tidak sedikit warisan arsitektural berupa bangunan kolonial di Indonesia yang menawarkan berbagai keunggulan dalam hal teknik dan seni bangunan. Terlepas dari rendahnya kesadaran publik, disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UUBG) membuka peluang bagi perlindungan dan pemanfaatan bangunan bersejarah, sekalipun dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomis, yaitu peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan melihat fisik benteng Cochius di Gombong saat ini, sebenarnya masih terdapat peluang yang dapat dijadikan pilihan strategis. Pilihan strategis tersebut yaitu museum pendidikan.
Bangunan tua, bukan sekadar monumen, pendapat semacam itu memang sah. Perkembangan kondisi kota menuju ke arah modernitas secara tidak langsung berdampak pada pola pikir yang pragmatis dan cenderung praktis. Keberadaan bangunan kuno tidak saja dipandang sebagai “sampah” kota, arkeologi, sejarah atau arsitektur, namun juga penyakit yang harus dihilangkan. Pertimbangan kualitas bangunan menyangkut nilai ekonomi serta fungsional bangunan memaksa kita harus membuka bangunan baru dengan efisiensi tinggi berdasar kebutuhan ruang.
Namun paradigma baru telah mengubah cara pandang masyarakat kita dalam menyikapi keberadaan bangunan kuno tersebut. Nilai historis, budaya maupun estetika yang terdapat pada bangunan-bangunan tersebut, memberikan kesadaran kita untuk berfikir bahwasannya warisan nenek moyang tersebut harus dipertahankan. Pelestarian bangunan (cagar budaya) sebenarnya sudah menjadi wacana internasional selama beberapa dasawarsa yang lalu. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa piagam pelestarian, diantaranya The Venice Charter (1964-1965), The Burra Charter (1979), Rekomendasi UNESCO (1976), Piagam Washington (1987), serta The World Herritage Cities Management Guide (1991). Di Indonesia sendiri telah ada Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia yang dideklarasikan tahun lalu.
Dalam menyikapi berbagai fenomena mengenai keberadaan bangunan-bangunan tua maka diperlukan ruang dalam pemfungsian baru sesuai kebutuhan tanpa harus mengorbankan nilai-nilai tersebut di atas. Benteng Cochius dengan fasilitas ruang yang bervariasi luasnya, sangat dimungkinkan jika digunakan sebagai museum bagi pendidikan masyarakat umum, khususnya pendidikan yang memanusiakan manusia dan tunduk pada penghargaan terhadap nilai-nilai etika dan estetika, sejarah, budaya. Tidak hanya pajangan foto-foto pada 2 (dua) seperti tampak pada ruangan benteng di lantai satu saat ini, yang tidak mendeskripsikan benteng Cochius/Van Der Wijck secara utuh. Hal ini dilakukan dalam rangka merespon fenomena kemunculan kelompok-kelompok penggemar bangunan-bangunan tua, yang sebagian besar peminatnya adalah orang-orang muda yang dengan sadar rela mengorbankan waktu dan uangnya untuk melakukan kegiatan wisata dengan tujuan kebanyakan adalah menambah wawasan dan pengetahuan tentang sejarah dan budaya sendiri. Hal ini menunjukkan adanya peluang bagi pengembangan pariwisata sejarah atau yang dalam dunia kepariwisataan dikenal sebagai wisata minat khusus.
Maka dalam mengakomodir dua kepentingan tersebut, pengetahuan dan ekonomis, dalam satu media desain dengan pendekatan yang lebih humanis. Infill design adalah salah satu metoda yang bisa digunakan sebagai jembatan untuk meningkatkan nilai bangunan sekaligus sebagai media konservasi bangunan yang bersangkutan. Memfungsikan bangunan dengan kegiatan baru tanpa harus menghancurkan bangunan yang telah ada merupakan salah satu solusi yang realistis. Infill design dapat dilakukan dengan cara membuat fungsi baru pada bangunan lama (eksisting) tanpa merubah kondisi bangunan dan site.
Cara semacam ini lebih menitikberatkan pada pengolahan interior menyangkut denah dan program keruangan yang disesuaikan dengan fungsi barunya. Memberikan makna baru pada bangunan lama di antara banyaknya bangunan modern memang memerlukan usaha keras. Namun kejenuhan publik terhadap bangunan baru yang cenderung memiliki tipologi sama dan membuat kepadatan tersendiri terhadap sebuah kawasan justru bisa dijadikan alasan yang tepat untuk menyegarkan visualisasi publik terhadap ruang dan bangunan. Pengelolaan bangunan dilakukan dengan tetap memunculkan detial seperti tembok benteng, pintu, koridor, masing-masing ruang serta ornamen penyerta lain dengan tetap mempertahankan warna dan perlakukan finishing lainnya. Selanjutnya dengan keunikan bangunan karena berbeda adalah keuntungan tersendiri, baik dari segi kualitas bangunan maupun pemasukan ekonomis.
Penambahan massa bangunan baru pada situs benteng Cochius bisa saja dilakukan, namun perlu kehati-hatian dalam melakukannya, karena penciptaan sinergi baru pada kondisi eksisting bukanlah perkara mudah. Keberadaan bangunan baru yang memungkinkan terjadinya gaya bangunan yang kontras tidak boleh mendominasi keadaan sekitar bangunan yang sudah ada. Bangunan baru tersebut haruslah menguatkan keberadaan bangunan lama dan memposisikan diri sebagai bangunan tambahan. Namun bagaimana tetap mempertahankan setting sesuai fungsi masa lalu yang erkaitan dengan potensi-potensi kawasan benteng Cochius, kondisi lokasi dan bangunan yang ada serta nilai “jual” dari fungsi tidak berarti merubah seluruh tatanan lama, yang berakibat hilangnya nilai hitoris yang ada. Melalui kajian pelestarian bangunan perlu adanya kelayakan fungsi-ekonomi tanpa menghilangkan potensi historisnya.
Dengan demikian, pelestarian lebih mengarah pada nilai historis-politis dan fisik bangunan, yaitu memelihara sebanyak mungkin secara utuh bangunan benteng yang mempunyai nilai sejarah tertentu dan dapat dipertahankan di situs tersebut. Sehingga, rekomendasi yang berkaitan dengan alih fungsi, program, aktivitas, dan konsep perancangannya berdasarkan pada fungsi baru. Sedangkan evaluasi historisnya haruslah menjadi pertimbangan utama dalam menentukan batas-batas perubahan bangunan atas tuntutan fungsi baru tersebut. Tidak hanya sekedar menempatkan kereta mini di atas bangunan tanpa kajian terlebih dahulu karena akan berpengaruh kepada kekuatan tembok benteng. Perlu untuk menghilangkan ornamen kereta mini tersebut dari benteng secara langsung, dengan kata lain tempatkan kereta mini namun tidak di dalam benteng.
Namun dalam tahap pelaksanaan pelestarian dan pemanfaatan bangunan tua bersejarah yang masuk dalam kategori benda cagar budaya, peran serta masyarakat adalah hal mutlak yang tidak dapat diabaikan. Hal ini mengingat bahwa benda cagar budaya yang dilindungi pemerintah melalui peraturan perundangannya merupakan milik negara, di mana masyarakat adalah salah satu unsur terbentuknya negara. Peran serta masyarakat dimungkinkan karena adanya intervensi kebijakan dari pemerintah daerah setempat dengan segala peraturannya yang mengakibatkan ruang publik berubah. Saat ini, moral tata ruang kota sedang dilanda tragedi besar dengan adanya perubahan tata guna lahan, seperti yang ditunjukkan dalam kasus benteng Cochius ini.
Kenyataannya yang sekarang ini tampak pada situs benteng Cochius adalah terjadinya diskomposisi dalam pergeseran ruang akibat keserakahan dalam meng”invasi” ruang publik yang masih mempunyai nilai-nilai tatanan budaya dengan ciri tradisionalistiknya pun berubah menjadi ruang urban yang modernis. Ruang publik menjadi ajang permainan ekonomi bagi penguasa dan pengusaha, dan kejadian tersebut sama sekali tidak bisa dikendalikan lagi, cepat atau lambat akan menggeser fungsi ruang publik. Hal ini dikarena di dalam melakukan upaya pelestarian (mempertahankan) ruang publik merupakan suatu usaha pembangunan yang berbasis budaya-ekologi-masyarakat secara menyeluruh dan berkelanjutan. Secara gamblang bentuk asli benteng Cochius sebelum terjadi “pemugaran” oleh institusi militer nampak pada foto 13, 14, 15.
Seperti diuraikan di depan, inti permasalahan sebenarnya CRM di benteng Cochius adalah adanya persaingan antara tujuan pelestarian dan hasrat modernisasi yang muncul. Aset historis dan budaya nampaknya akan tergeser oleh kepentingan ekonomi dan jasa yang sangat cepat atau lambat akan berkembang di situs itu. Perubahan pemanfaatan di dalam benteng adalah contoh tegas, ketika selama di lokasi, beberapa pasangan remaja laki-laki dan perempuan berasyik masyuk memadu cinta kasihnya di ruangan. Jika dibiarkan terus menerus akan berdampak tidak baik terhadap eksistensi benteng itu sendiri yang bisa saja sebagai “terminal” tempat memadu hasrat purba manusia. Dengan adanya pengelolaan yang yang arif bijaksana sajalah diharapkan dapat memperkuat peran sejarah dan memperkuat kawasan yang bermakna untuk meningkatkan citra lingkungan. Bukan malah sebaliknya. Pelestarian memerlukan proteksi yang sangat tinggi, termasuk keberadaan ruang publik benteng Cochius yang memiliki dinamika kehidupan yang progresif.
Tidak kalah pentingnya dari sisi ekonomis, sumber daya arkeologis dapat dijadikan daya tarik utama pariwisata dengan bentuk lingkungan yang memiliki identitas, keunikan, karakter, dan kesejarahan tersendiri. Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari hasil kajian lapangan dan pustaka, maka perlu disampaikan rekomendasi sebagai berikut :
a. Bila revitalisasi menyangkut benda cagar budaya, maka diharapkan mulai dari tingkat koordinasi, bantuan teknis, dan pelaksanaan fisiknya dapat melibatkan instansi kebudayaan, yang menangani upaya pelestarian benda cagar budaya, sehingga aspek otentisitas sebagai acuan sesuai dengan UU 5/1992 tidak terjadi pelanggaran.
b. Mengupayakan pemahaman yang sama dalam melakukan kegiatan yang berkaitan dengan upaya pelestarian benda cagar budaya, situs dan kawasan cagar budaya antara pelaksana revitalisasi dan instansi yang menangani pelestarian benda cagar budaya.
c. Meningkatkan sosialiasi mengenai konsep dan metode pelestarian benda cagar budaya khususnya terhadap perencana dan pelaksana kegiatan revitalisasi, pemilik benda cagar budaya
d. Meningkatkan koordinasi secara berkelanjutan antara instansi yang menangani benda cagar budaya dan seluruh stake holders.
e. Penanganan pada bangunan yang memiliki nilai benda cagar budaya hendaknya mengikuti kaidah-kaidah pelestarian yang telah ditetapkan.
f. Perekaman data verbal, gambar dan visual baik sebelum, selama maupun sesudah kegiatan disesuaikan dengan kaidah perekaman data untuk pelestarian benda purbakala.
g. Perlunya menyampaikan objek-objek sejarah dan tinggalan arkeologi yang dilindungi dengan UU Nomor 5/1992 kepada instansi lainnya, sehingga dalam pengelolaannya dan pemanfaatannya mengacu pada UU Nomor 5/1992.
h. Untuk pelaksanaan revitalisasi berikutnya yang menyangkut objek benda cagar budaya agar Dinas Kimpraswil Provinsi lebih berkoordinasi dengan UPT Pusat dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, sehingga pelaksanaan revitalisasi dapat selaras dengan upaya pelestarian benda cagar budaya dan lingkungannya dan tidak bertentangan dengan perundangan yang berlaku (UU, PP, maupun Kepmen). Itu sebabnya peraturan perundangan yang berlaku dengan segera memerlukan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) sebagai acuan secara simultan, bahkan kalau perlu tiap daerah memiliki Peraturan Daerah (perda) yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan bangunan bersejarah yang masuk dalam kategori benda cagar budaya.
i. Menggalakkan penggunaan teknologi mutakhir bagi perencanaan dan pengendalian pembangunan gedung di daerah. Salah satu caranya adalah menerapkan GIS (Geographic Information System) yang dapat mengelola data dan informasi tentang bangunan gedung dan lingkungan secara digital. Melalui penerapan sistem informasi yang ditunjang dengan foto udara (aerial photo) dan data lapangan terkini, maka instansi terkait di daerah akan dapat melakukan pendataan, monitoring dan pengawasan bangunan-bangunan di lapangan secara cepat dan akurat.
8. Kesimpulan
Pada akhirnya pola pembangunan menyangkut konservasi terhadap pusaka budaya benda cagar budaya Benteng Cochius di Gombong, berpulang kepada para pembuat keputusan. Ruang dialog antara pemerintah, investor, masyarakat dan pelaku budaya harus ada sehingga identitas sebuah kawasan bisa dipertahankan. Arogansi stake holders pembuat kebijakan (ditambah dengan kehadiran militer sebagai institusi) dan para investor pengembang yang tidak mau melihat kondisi bangunan awalnya beserta lingkungan bawaannya telah menimbulkan sebuah krisis jati diri menyangkut hilangnya nilai-nilai budaya Benteng Cochius ini serta arah perkembangan kota Gombong yang semakin jauh dari patron sejarah, sosial, dan budaya.
Untuk itu pelestarian benteng Cochius di Gombong bagi keberagaman seharusnya sesuai dengan kaidah sejarah, seni dan budaya dan arsitektur. Sudah barang tentu upaya mempertahankan suasana kebhinekaan daerah Gombong dengan memunculkan identitas budaya masing-masing, termasuk identitas masyarakat asli Gombong, identitas budaya hasil persentuhan dengan budaya luar, kolonial misalnya yang direpresentasikan dengan tinggalan arkeologi Benteng Cochius ini. Hal penting yang seharusnya diperhatikan pemerintah daerah Gombong dan menjadi rambu-rambu pelestarian jika ingin eksistensi Benteng Cochius ini berhasil adalah kritik diri yang terwujud dalam pertanyaan-pertanyaan (1) apa yang perlu dilestarikan? (2) mengapa harus dilestarikan? (3) dan untuk siapa melakukan pelestarian? Kalau ketiga hal tersebut belum terjawab, jangan diharap pelestarian bangunan atau kawasan cagar budaya di daerah ini berhasil dengan baik. Sehingga dalam upayanya mempertahankan peninggalan arkeologi Benteng Cochius ini, penekanan utamanya adalah asas kebermanfaatan dari tindakan yang komprehensif yaitu pelestarian terhadap tinggalan benteng dan lingkungan masyarakatnya.
Benteng Cochius di Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah sudah sedemikian rusaknya dari perspektif arkeologi, sejarah dan arsitektural. Hal ini pada awal pelaksanaan pemugaran dapat diinterpretasikan tidak melibatkan pihak-pihak yang berkompeten dalam pelestarian bangunan bersejarah, sehingga kesewenang-wenangan oleh institusi militer sebagai lembaga yang dibenarkan oleh pucuk pimpinan teratasnya, menyebabkan ketercerabutan sejarah dan budaya benteng ini dari lingkungan sekitar dan masyarakatnya. Dari sisi ini dapat kita lihat bahwa secara nasional, militer dalam kasus benteng Gombong dilakukan oleh TNI-AD masih enggan untuk melepas kepentingan bisnisnya. Dengan kata lain militer masih terlibat dalam ranah kehidupan sipil, dan ini berarti reformasi TNI yang digemakan oleh militer sendiri, gagal. Padahal, seperti diketahui bersama, dalam upayanya mereformasi diri, militer menggariskan untuk kembali ke barak. Benteng Cochius di Gombong secara lugas menggambarkan kepada kita, bahwa sejak awal berdirinya hingga kini selalu digunakan oleh militer. Jika pada awalnya adalah sebagai bangunan pendukung pertahanan militer, sekarang pun juga sebagai pendukung pertahanan ekonomi militer.
9. Saran
Seperti yang kita sadari bahwa hasil pelestarian akan memberikan gambaran tentang perjalanan suatu bangsa, hakekat apa yang tersandang dari perjalanan itu, dan tentu saja identitas budaya bangsanya. Hal ini dimaksud agar wajah kota kelak dapat menceriterakan dan menyajikan kepada anak cucu kita, mengenai perjalanan sejarah bangsanya melalui bangunan atau gedungnya.
Di tengah keprihatinan melihat kondisi dan keadaan benteng Cochius di Gombong saat ini, masih ada yang dapat dilakukan oleh para stake holders yaitu setidaknya mengkaji kembali inventarisasi dan studi kelayakan yang pernah muncul pada saat pemugaran di tahun 2000, meski kecil kemungkinan studi kelayakan itu ada atau didapatkan. Dari hasil pengkajian kembali setidaknya dapat diketahui bagian-bagian mana yang selayaknya dipertahankan dan bagian atau ornamen-ornamen mana yang tidak kontekstual dengan keberadaan benteng yang layak untuk dihilangkan atau dipindahkan.
Sumber : http://arkeologi.web.id
Seperti diungkapkan orang-orang bijak yang mengatakan, “bangsa besar adalah bangsa yang tidak hanya melihat masa kini dan masa mendatang, tetapi mau berpaling ke masa lampau untuk menyimak perjalanan yang telah dilaluinya.” Bahkan filsuf August Comte, mengatakan: “Savoir Pour Prevoir”, yang diartikan mempelajari masa lalu, melihat masa kini, untuk menentukan masa depan.
Benda cagar budaya merupakan bagian dari warisan budaya yang jikalau kita berbicara tentangnya juga akan sampai pada aspek sosio-antro yang mencakup pola-pola perilaku serta pandangan hidup atau sistem nilai masyarakat pendukungdan yang memanfaatkan benda cagar budaya tesebu (Arwan dan Heddy,2004:37). Sebagai sebuah sistem, upaya pelestarian benda cagar budaya (BCB) berupa bangunan gedung merupakan suatu langkah strategis di dalam kerangka kerja pembangunan sebuah kota. Hal ini tentu dikarenakan bahwa upaya pelestarian tersebut akan dapat menjamin mewariskan kaidah atau nilai-nilai yang terkandung di dalam bangunan itu beserta lingkungannya secara berkesinambungan. Itu sebabnya, sebagai bagian dari sejarah perkembangan kota, diperlukan rasa memiliki dari berbagai perspektif, ilmiah, cita seni maupun budaya dalam satu skenario besar peradaban. Oleh karena itu dalam menyikapi keberadaan bangunan peninggalan bersejarah, terlebih yang masuk dalam kategori BCB sebagai salah satu mata rantai dalam kebijakan pembangunan kota, adalah apakah pelestarian yang dilakukan terhadap bangunan cagar budaya tersebut telah mempertimbangkan kaidah pelestariannya, baik secara kultural, ilmiah maupun konstitusional.
Pelestarian bangunan cagar budaya sebagai aset bangsa, pada dasarnya dapat mengarahkan daya kreatif masyarakat pengguna ke arah terbukanya wawasan intelektual. Dalam membumikan nilai-nilai edukatif inilah, maka dapat terlihat bahwa mengapa perlunya dilestarikan dengan mempertahankan keaslian bentuk, bahan baku, pengerjaan, tata letak dan nilai sejarah serta konteksnya. Pentingnya keberadaan bangunan lama di kawasan suatu kota terletak pada kontribusi memorialnya dalam membentuk karakter lingkungan binaan di sekitarnya, namun bukan menuju pada romantisme belaka. Pelestarian BCB dapat dilakukan dengan 3 cara yang berkaitan dengan perlakuan teknis, yaitu : Perlindungan, Pemeliharaan, Pemugaran.
Dalam pelestarian bangunan lama, sejarah bangunan tetaplah menjadi sumber penting, namun bukan berarti tidak harus menjadi sejarah an sich yang rigid, sehingga dalam perkembangan bagi kepentingan masa kini sangat dimungkinkan terjadinya peluang bagi penafsiran secara kretaif kepada makna baru. Hal ini tentu mensyaratkan korelasi positif pengetahuan mengenai keberadaan bangunan tersebut dari sisi historis, arkeologis, geografis, arsitektur dengan eksistensi komunitas masyarakat dari sisi sosio-antropologis, sehingga keberadaan bangunan tua cagar budaya seharusnya menjadi investasi kegiatan lain yang mampu memberi perspektif kehidupan baru komunitasnya.
Maka berdasar pada argumen ini, sudah selayaknya dan seharusnya pemanfaatan bangunan cagar budaya dalam pemfungsiannya di masa kini juga bagi masa mendatang yang kritis dalam bentuk kegiatan baru yang lebih relevan selain terbuka kemungkinan pula pengalihan kegiatan lama oleh aktivitas baru tanpa harus merubah, menambah dan mengurangi elemen-elemen yang tidak kontekstual, atau bahkan menghancurkannya. Sebagai bagian penting dari kebijakan pembangunan sebuah kota, upaya pelestarian bangunan berlanggam arsitektur kolonial, kembali tidak saja memfokuskan pada pembangunan budaya dan peradaban, tetapi secara kritis harus tanggap terhadap persoalan ekonomi lokal dan segala aspeknya.
Oleh karena itu kriteria sebagai bangunan cagar budaya pun harus punya dasar yang kuat jika dikatakan sebagian masyarakat sebagai ”aset budaya” seperti estetika, kejamakan, kelangkaan, peranan sejarah, dan lain sebagainya, yang di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dicakup menjadi nilai pentingnya terhadap sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di samping itu faktor lain yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa pelestarian harus dilandasi atas penghargaan atas keadan semula dengan bentuk, skala, warna, tekstur, dan bahan pembangunan harus terjaga semuanya pada kondisi yang belum mengalami perubahan sama sekali.
Itu sebabnya dalam upaya pelestarian dengan perlindungan dan pemugaran seperti yang diamanatkan oleh konstitusi harus didahului dengan studi kelayakan. Karena bila tanpa melalui kajian yang jelas, maka aspek sebagai ”aset budaya” belum dapat digunakan dalam konteks pelestarian. Ini dikarenakan tujuan utama dari sebuah upaya pelestarian dengan tetap mempertahankan keberadaan bangunan harus dilihat dari sisi makna kulturalnya (terhadap dunia pendidikan) yang dapat memberikan citra kawasan dan meningkatkan lingkungan sebaiknya dapat dijadikan pertimbangan termasuk pada manfaat ekonomi dan sosiologisnya. Pelestarian tidak hanya penting bagi masyarakat untuk memperoleh pemahaman tentang sejarah, tradisi dan budaya bangsanya, mereka memperlengkapi dasar-dasar di atas yang mana budaya masa mendatang akan dibangun.
Sebagai langkah awal dari kajian tersebut, perlu adanya inventarisasi yang didasarkan dengan kajian sejarah dan arsitektur untuk memperjelas nilai-nilai keunikan gaya arsitektur yang terdapat pada bangunan kuno tersebut. Baik ditinjau dari usia, bentuk, ornamen, relief, tata ruang, dan lain sebagainya. Semuanya digunakan sebagai landasan utama menentukan kriteria dipertahankan atau dilestarikannya bangunan itu.
Begitu pun dalam upaya pemanfaatan bangunan cagar budaya selain telah terangkum dalam UURI No 5 tahun 1992 juga termaktub dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, sehingga keterkejutan diri menyaksikan bentuk fisik benteng di Kota Gombong saat ini, yang jika ditinjau dari perspektif pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya berupa bangunan kolonial adalah awal perjalanan pemaknaan. Betapa tidak, dari kejauhan benteng itu telah mencolok mata dengan warna merahnya, secara harfiah. Begitupun akses jalan menuju benteng yang dipenuhi oleh berbagai fasilitas dan ornamen yang jauh dari kesan wisata sejarah seperti yang ditunjukkan dalam brosur : Taman Wisata Sejarah, Rekreasi Keluarga & Dunia Mainan Anak Benteng Van Der Wijck Gombong Kabupaten Kebumen, nampaknya sejalan dengan pemugaran benteng yang dimulai pada tanggal 5 Oktober tahun 2000 dan peresmian awal pemugarannya dilakukan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI Tyasno Sudarto.
Pengelolaan bangunan kolonial yang masuk ke dalam cagar budaya di Indonesia akhir-akhir ini memang banyak menyalahi prinsip-prinsip dasar dalam keletakan bangunan maupun ketataruangannya. Kecenderungan ini terlihat dengan adanya pergeseran eksistensi ruang publik menjadi ruang yang kompleks. Bangunan-bangunan baru muncul dengan memakan sempadan jalan, penempatan ornamen yang tidak kontekstual, pemanfaatan ruang situs yang tidak sesuai, menambah panjang daftar kesewenang-wenangan terhadap bangunan cagar budaya.
Secara implisit nampak bahwa sebenarnya yang ingin ditampilkan dalam brosur tersebut adalah dunia mainan anaknya sebagai stressing point, bukan wisata sejarahnya. Terbukti pada narasi kesejarahan benteng ini, yang tidak akurat secara ilmiah mengindikasikan bahwa tidak pernah ada pelibatan tenaga ahli dalam rangkaian kerja pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya. Terlebih materi narasi kesejarahannya yang terkesan “coba-coba”, dikhawatirkan cenderung merupakan upaya pembohongan kepada publik konsumennya (Brosur Taman Wisata Sejarah Benteng Van Der Wijck Gombong, PT. Indo Power MS, tanpa tahun). Ironis karena ternyata keinginan “memodernkan” diri tidak menyisakan relung jiwa bangunan benteng yang sebenarnya memiliki peran penting sebagai jati diri dan ikon Kota Gombong.
2. Permasalahan
Dari uraian di atas, tampak dengan jelas bahwa ada miss-manajemen dalam pengelolaan benteng Gombong ini sebagai aset pusaka warisan budaya arkeologi, sejarah dan arsitektur. Berdasar itulah maka permasalahan yang dapat diangkat dalam penulisan ini adalah sebagai berikut, (1) Apa yang sebenarnya menimpa benteng Gombong sebagai bangunan bersejarah cagar budaya ? (2) Sesuai dengan peraturan dan perundangan yang ada, institusi militer, yang biasanya selalu tunduk kepada konstitusi, sebagai pemrakarsa pemugaran benteng dengan sengaja melanggar sehingga merubah warna, menambah fasilitas dan ornamen-ornamen yang tidak kontekstual ? (3) Dengan kondisi benteng yang sekarang, apa yang harus dilakukan terhadap benteng itu bagi kelestariannya sebagai identitas kota Gombong ?
3. Tujuan
Tentu perubahan fisik dan lingkungan situs benteng Gombong ini didasari dengan alasan perkembangan kota yang menuntut efisiensi ruang, dan berujung pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Apabila kita melihat dari fungsional ruang, pola kegiatan, sirkulasi, konstruksi, dan berbagai bangunan lainnya di situs ini, maka berdasar kualitas dan kuantitas bangunan dan ornamen baru, peningkatan PAD dapat dengan mudah tercapai. Dan tentu saja bentuk bangunan lama dirasa tidak bisa memfasilitasi kebutuhan baru yang tidak memiliki daya jual.
Penulisan ini bertujuan untuk dapat mengungkapkan perubahan-perubahan yang terjadi pada benteng Gombong sejak pertama yang pernah terdokumentasikan hingga saat ini, untuk kemudian dikaji makna dari perubahan tersebut. Begitu pula penulisan ini juga bertujuan mengurai alternatif pilihan yang dapat dilakukan pada benteng ini bagi pengelolaan di masa depan.
4. Kerangka Teori
Ian Hogg (1981) menyatakan bahwa benteng yang pada prinsipnya adalah sebagai pembatas antara mereka yang bertahan dari penyerangan, biasanya terletak pada tempat beragam agar dapat melihat mendekatnya bahaya sehingga memiliki waktu untuk persiapan untuk membalas, dan juga untuk melindungi diri ketika menduduki daerah musuh yang khusus. Sebagai hasil dari perwujudan ide dalam upaya mempertahankan diri tersebut maka benteng menjadi salah satu bangunan yang didirikan selain bangunan pendukung lainnya, sehingga selain dapat merekonstruksikan gagasan manusia pembuatnya, maka aspek-aspek kesejarahan mengenai latar belakang terbentuk dan pemfungsian benteng tersebut menjadi kajian penting untuk diketahui.
Pengelolaan warisan budaya arkeologi di dunia modern yang masuk dalam cultural resource management (CRM) dan heritage manajemen seperti yang diungkapkan oleh Francis P. Mc.Manamon dan Alf Hatton (1999) mensyaratkan keaslian, sebagai konsep dasarnya, dan merupakan hal yang sangat penting dalam setiap perdebatan mengenai heritage. Ini dikarenakan masa lalu di dunia modern tidak hanya satu subyek saja, melainkan juga terkait dengan persepektif lain baik dari perspektif arkeologi, antropologi, pengelolaan museum, konservasi dan sebagainya sejak Perang Dunia II. Dalam skala yang lebih luas pada pemanfaatan, yakni kunjungan situs-situs budaya dan bangunan bersejarah, sedangkan pada skala yang lebih kecil seperti akses informasi merupakan aspek dalam pengelolaan manajemen yang efektif. Dan juga didukung oleh sistem perundang-undangan, peraturan dan kebijakan nasional. Termasuk di dalamnya adalah penghargaan, pengertian dan mengamanatkan situasi lokal, termasuk kebutuhan pengendalian populasi. Pendekatan dan pengembangan baru metode, teknik dan konsep adalah hal mendasar bagi perbaikan demi keefektifan dan efisiensi CRM.
Namun yang tidak dapat ditinggalkan adalah pendidikan dan keterjangkauan masyarakat sebagai tujuan terpenting dalam pembenaran untuk mengembangkan dan memajukan CRM. Beberapa kegiatan perlu dilaksanakan untuk menjamin bahwa generasi masa kini dan masa mendatang menyadari pentingnya sumber-sumber budaya dalam memahami warisan pusaka, sejarah dan mengenal jati diri.
Peter Howard (2003) menunjukkan bahwa dalam pengelolaan bagi interpretasi warisan pusaka arkeologi maka terdapat dimensi ketiga yang utama yaitu identitas, dengan banyak level atau tingkatnya. Warisan pusaka arkeologi dapat menguatkan rasa identitas kita yang tidak hanya terbatasi oleh letak geografis semata. Pengelolaan warisan arkeologi yang baik menuntut pemahaman akan identitas yang akan menguatkan atau justru sebagai tantangan bagi interpretasi. Laurajane Smith (2004) menyebutkan bahwa wacana ilmiah dan pengetahuan mungkin dapat menggerakkan teknologi kepemerintahan menentukan isu disekitar masalah sosial. Di sinilah arkeologi berguna bagi pemerintah dan mesin birokrasinya dalam membantu menetapkan, memahami dan mengatur dengan tegas masalah-masalah sosial yang muncul dalam negara.
Kriteria bangunan dapat diklasifikasikan minta tiga digolongkan, yang menurut pakar arsitektur Antariksa, Ir., MEng., PhD (2007) pada situs www.google.com. Bangunan Bersejarah Makin Memprihatinkan, diakses pada 09-10-2007, pukul 00:33, terdiri dari Golongan A, adalah bangunan-bangunan yang bernilai sejarah dan arsitektur yang sangat tinggi, secara fisik bangunan ini tidak diperkenankan ditambah, diubah bahkan dibongkar atau dibangun baru. Golongan B, adalah bangunan-bangunan yang bernilai atau mempunyai ciri tertentu dari suatu masa, dengan struktur yang masih baik. Secara fisik dari bangunan-bangunan ini tidak diperkenankan diubah badan utama, struktur utama, atap, ataupun pola tampak depannya (fasade). Perubahan terhadap susunan ruang dalam, bagian belakang, serta penggantian elemen-elemen yang rusak diperbolehkan asal tidak merusak keserasian lingkungan maupun melanggar peraturan tata bangunan yang telah di tetapkan. Golongan C, adalah bangunan-bangunan yang secara fisik sudah banyak berubah, kondisinya sudah rusak, dianggap membahayakan, sulit dipertahankan dan perlu dikembangkan secara lain. Bangunan-bangunan ini boleh diubah wajah dan bentuk dalamnya atau dibangun baru, tetapi harus disesuaikan dengan pola tampak bangunan di sekitarnya, sehingga terbentuk lingkungan yang baik dan serasi.
Sebagai landasan hukum dalam pengelolaan cagar budaya maka Indonesia memiliki beberapa pijakan baik yang langsung dengan peninggalan sejarah budaya yang penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, yaitu Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : Kep-06 /KP/ 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Kebudayaan dan Pariwisata.
5. Analisis Data
Sebagai dasar perlindungan pelestarian, perlu adanya kesamaan motivasi dan persepsi baik dari pihak pemerintah kota maupun masyarakat, bahwa Kota Gombong memiliki bangunan dan kawasan bersejarah. Agar upaya pelestarian dapat lebih simultan antara preservasi dan pengembangan yang terintegrasi dan terpelihara kualitas fisik dan kesinambungan historis-kultural-sosial-ekonominya. Dan hal tersebut harus didasarkan dalam bentuk rekomendasi dan strategi implementasi yang berlandaskan pada prinsip-prinsip pelestarian.
Benteng di Gombong merupakan salah satu elemen pendukung sarana militer pada jamannya ini dikenal dengan benteng Cochius, yaitu nama seorang Letnan Jenderal pasukan Hindia-Belanda di tahun 1835, Frans David Cochius, dan terletak di desa Sidayu, Gombong dengan bentuk segi delapan (Novida Abbas,2001:53) ini didirikan di tahun 1833 yang sebelumnya berupa pos militer (Novie Hari Putranto,2002:21-32) yang pada perkembangan kini telah banyak bertambah dengan ornamen-ornamen yang tidak perlu, seperti patung binatang purba, peralatan tempur militer masa kini termasuk penggantian warna tembok menjadi merah, dan ada nama lain dari benteng ini yaitu Van Der Wijck (foto 1,2,3). Dengan desain bangunan segi delapan, maka menyisakan sebidang tanah di tengahnya yang dulunya berlantai dari batu bata yang disusun berdiri (Novie Hari Putranto,idem:32), namun kini telah tiada dan lapangan tersebut terakhir kali digunakan sebagai tempat latihan jamaah haji dari daerah ini yang akan melakukan ibadah haji di Arab Saudi, dengan miniatur Ka’bah (foto 4).
Sejak tahun 1856 benteng yang awalnya sebagai benteng logistik, berubah menjadi Pupillen School (Sekolah Calon Militer) (Novie Hari Putranto, idem, 23). Fungsi sebagai sekolah militer ini tidak mengalami perubahan hingga tahun 1913, sehingga jika dilihat dati fisik atap benteng, yaitu
Benteng yang terdiri dari dua lantai ini memiliki ruangan yang bervariasi besar dan luasnya dengan kait besi bergantungan (foto 5 dan 6), yang fungsi dari masing-masing ruangan ini pada tahun 1833-1856 tidak dapat diketahui (Novie Hari Putranto,idem, 32), namun patut diduga bahwa fungsi dari masing-masing kait besi di atap ruangan tersebut sebagai tempat bergantungnya rel kelambu (gordyn) sekat dalam ruangan. Dan antar ruangan itu sendiri dihubungkan oleh koridor. Begitu pula antara lantai satu dan lantai dua dihubungkan oleh tangga sempit (foto 7). Atap benteng Gombong ini kokoh jika dilihat bahan baku penyusunnya, yaitu batu bata yang disusun rebah dan batu bata susun berdiri di sisi tepinya (foto 8). Penambahan ekstrim tampak pada bagian atas benteng, yaitu pada rampart-nya ditambahi dengan rel untuk fasilitas kereta api mini (foto 9). Jika dilihat dari bagian koridor, langit-langit koridor berupa struktur dalam kubah lengkungan membentuk perpaduan ritmis pada setiap pertemuan antar persimpangan siku koridor (foto 10). Pada titik pertemuannya diberi penguat berupa besi silang yang terikat.
Dari hasil pengamatan di lapangan terhadap benteng Cochius atau Van Der Wijck di Gombong, mengindikasikan bahwa kecil kemungkinan bangunan ini di masa lalu sejak dari pertama pendiriannya difungsikan sebagai benteng pertahanan militer secara langsung. Hal ini dikarenakan beberapa elemen benteng pertahanan berupa embrasure maupun merlon tidak terdapat di benteng ini (foto 11). Namun demikian penulis lain menyatakan memang selain berfungsi sebagai pertahanan, pada beberapa tempat digunakan sebagai penyimpanan logistik bahan kebutuhan, tempat pelatihan, tempat penahanan atau penjara dan lain sebagainya (Novida Abbas, 2001: 35). Adapun parit di sekeliling benteng yang pernah ada di benteng ini, sangat dimungkinkan sebagai wilayah pembatas antara benteng dengan area sekitarnya dan sebagai penahan gerak laju jika ada yang berniat memasuki benteng dengan tujuan yang tidak diharapkan oleh komunitas benteng Cochius.
Jika dilihat kondisi fisik benteng Gombong saat ini, setidaknya beberapa kerja pelestarian pada bangunan ini yang dapat dikaji kembali adalah evaluasi terhadap langkah-langkah yang telah diambil. Evaluasi tersebut berdasar pada amatan terhadap bangunan yang dalam perspektif CRM, terutama pada konflik kepentingan antara ilmu pengetahuan dan pragmatis ekonomis.
6. Kendala Yang Dihadapi
Pelestarian dan pemanfaatan bangunan bersejarah bukannya tanpa kendala. Begitu pula dalam CRM di benteng Cochius Gombong ini, terdapat kendala mulai dari yang kasat mata hingga yang “tersembunyi”. Beberapa kendala tersebut dapat dijabarkan yaitu,
6.1. Lemahnya law enforcement
Dengan adanya UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, tidak menjamin upaya pelestarian bangunan-bangunan pusaka, terutama yang memiliki nilai sejarah dan budaya serta arsitektur yang khas. Sering karena dalih pembangunan, suatu bangunan atau kawasan pusaka berubah fungsi dan rupa, bahkan dihancurkan. Padahal pembangunan tetap dapat dilaksanakan tanpa harus mengorbankan nilai-nilai pusaka suatu bangunan atau kawasan. Ketiadaan kesamaan di hadapan hukum di negeri ini semakin manjadi-jadi terlebih jika harus berhadapan dengan institusi militer.
6.2. Ekonomi
Isu ini memang seakan menjadi dilema, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia. Di satu sisi, kita dihadapkan pada kenyataan harus membangun, di sisi lain juga memiliki kewajiban moral untuk melestarikan aset pusaka kota dan negara.
Bagi kebanyakan pemerintah (termasuk militer) dan sektor industri, isunya adalah apakah pelestarian bangunan pusaka menjadi hal yang penting, bila kenyataannya bangunan-bangunan tersebut tidak menghasilkan keuntungan secara ekonomis? Daripada memelihara bangunan lama yang tidak produktif (ditambah pemikiran bahwa merawat bangunan lama lebih mahal dibanding membangun yang baru), lebih baik membangun yang baru dan bisa memberi keuntungan ekonomis (baca: mal, ruko, dan lain sebagainya).
6.3. Pendidikan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh sebuah lembaga pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah di Amerika Serikat, terdapat hubungan antara latar belakang pendidikan dan motivasi pelaku wisata pusaka. Mayoritas pelaku wisata pusaka di negeri itu adalah para baby boomer (generasi yang lahir akhir 1940-an hingga 1950-an), yang tumbuh pada saat ekonomi AS membaik. Akibatnya, banyak dari generasi ini yang mengenyam pendidikan lebih baik dan lebih tinggi, dan sukses secara karier ketika memasuki usia produktif.
Hasilnya pada saat generasi ini memasuki usia mapan (tahun 1990-an), mereka menginginkan suatu pengalaman wisata yang tidak lagi bersifat rekreatif semata, namun juga bermuatan pendidikan dan budaya, seperti pariwisata pusaka. Jadi pada dekade 1990-an lah pariwisata pusaka mulai menjadi tren di negeri tersebut, walaupun isu pelestarian sudah muncul beberapa dekade sebelumnya. Dengan semakin baiknya mutu dan tingkat pendidikan seseorang umumnya akan lebih merangsang keingintahuannya.
Hal yang sama setidaknya juga diidealkan pada masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Gombong sekitarnya pada khususnya, ketika di masa yang akan datang mereka telah mengalami pendidikan yang lebih baik. Pada masa itulah masyarakat didikan tersebut akan menuntut pengalaman baru dalam wisata pendidikan pada tempat-tempat warisan budaya Benteng Cochius ini. Perkembangan inilah yang seharusnya ditangkap oleh pemimpin negeri Gombong, yaitu perkembangan pendidikan di kotanya yang mengarah kepada tingkat kekritisan masyarakatnya yang semakin meningkat. Sehingga tidak begitu saja masyarakat Kota Gombong dan sekitarnya sebagai konsumen wisata budaya Benteng Cochius ini mau begitu saja dibohongi mentah-mentah oleh upaya rekayasa picik dalam pemugaran benteng.
6.4. Peran militer
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran militer dalam hal ini TNI-AD dengan jelas tergambar pada foto-foto informasi maupun di media massa yang beredar. Peran mereka inilah yang dapat dikatakan sebagai kendala tersembunyi dalam pelestarian dan pemanfaatan benteng Cochius. Hal ini pula yang sejajar dengan hidden agenda TNI dalam upayanya “membersihkan diri” dari peran dwi fungsi TNI, suatu jualan murahan TNI dalam memosisikan diri pada kehidupan sipil. Indikasi tersebut sangat kuat terbaca pada berita di Harian Umum Bernas yang beredar di situs internet www.google.com. menyebutkan bahwa Benteng di komplek Secata (Sekolah Calon Tamtama) TNI AD itu, direhabilitasi investor swasta dengan dana Rp 600 - 700 juta. Investor tersebut, kelak akan mengelola benteng tersebut bersama Primkopad (Primer Koperasi AD) dengan sistem bagi hasil.
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa pelestarian bangunan tua sepertinya selalu bertentangan dengan kepentingan ekonomi. Sulit sekali mencari titik temu diantara keduanya. Masalah ini selalu muncul akibat tidak adanya saling pengertian di antara para stakeholder bangunan tua bersejarah, pengusaha pemodal, dan pemerintah (yang terkadang militer ada di dalamnya) (foto 12). Pengusaha hanya memikirkan aspek ekonomi, sedangkan pecinta bangunan tua berpikiran bahwa bangunan-bangunan itu harus dilestarikan dan dirawat, pihak pemerintah berpikiran bahwa selama izin lengkap semua bisa berjalan. Padahal pelestarian terhadap hal tersebut berkaitan erat dengan wawasan identitas yang terbentuk dari sosok arsitektur dan lingkungan budaya yang beraneka ragam, seperti warisan arsitektur tradisional, peninggalan kolonial, arsitektur modern dan pasca modern. Menjadi pertanyaan adakah institusi militer dengan garis komando yang jelas (penghalusan kata untuk totalitarian, pen.) telah memproduksi dan memperlakukan warisan budaya sebagai idetintitas tersebut dalam kebijakan yang disengaja. Karena terkadang justru mereka dengan sengaja merusak warisan budaya.
Jika militer dengan lapang dada mau menggandeng stakeholders yang berkompeten maka tentunya akan pula dilakukan tahapan kerja konservasi yang merupakan tahapan kegiatan pelestarian bangunan, yaitu segala bentuk intervensi fisik yang perlu dilakukan untuk menjaga ketahanan atau keutuhan struktur mulai yang paling mudah hingga perlakukan yang paling radikal (Historic Preservation). Termasuk berlapang dada pula membuka diri terhadap kehadiran stakeholders bangunan tua bersejarah yang masuk dalam kategori cagar budaya yang sebagian digunakan sebagai markas atau kantor militer.
Hal ini tentu saja juga mensyaratkan adanya pendidikan kepada tentara secara institusional, untuk memberikan satu pemahaman bahwa pelestarian bangunan kuno juga menjamin variasi dalam bangunan kota. Walaupun demikian, pelestarian tetap terkait oleh berbagai pertimbangan yang bersifat estetis, strategis, ekonomis dan simbolis, serta beberapa kriteria pelestarian dalam perencanaan kota, yaitu berdasarkan nilai estetika, kejamakan, kelangkaan, peranan sejarah, memperkuat kawasan di dekatnya, serta keistimewaan karena merupakan bangunan berpredikat paling (paling tua, paling besar, paling panjang dan lainnya). Namun sering terjadi, pertimbangan ekonomis dan berdalih pada 'kebutuhan' masyarakat perkotaan, bangunan-bangunan kuno tersebut berubah atau musnah secara mengenaskan.
Pada akhirnya, selain kepada institusi militer juga kepada masyarakat secara luas perlu disosialisasikan bahwa pemugaran dalam konteks pelestarian bagi pemanfaatan situs bukanlah untuk membangkitkan sentimentalitas masa lalu semata. Bukan juga untuk mengagung-agungkan sebuah masa, tau bahkan mengagungkan sebuah institusi (militer).
7. Rekomendasi
Tidak sedikit warisan arsitektural berupa bangunan kolonial di Indonesia yang menawarkan berbagai keunggulan dalam hal teknik dan seni bangunan. Terlepas dari rendahnya kesadaran publik, disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UUBG) membuka peluang bagi perlindungan dan pemanfaatan bangunan bersejarah, sekalipun dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomis, yaitu peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan melihat fisik benteng Cochius di Gombong saat ini, sebenarnya masih terdapat peluang yang dapat dijadikan pilihan strategis. Pilihan strategis tersebut yaitu museum pendidikan.
Bangunan tua, bukan sekadar monumen, pendapat semacam itu memang sah. Perkembangan kondisi kota menuju ke arah modernitas secara tidak langsung berdampak pada pola pikir yang pragmatis dan cenderung praktis. Keberadaan bangunan kuno tidak saja dipandang sebagai “sampah” kota, arkeologi, sejarah atau arsitektur, namun juga penyakit yang harus dihilangkan. Pertimbangan kualitas bangunan menyangkut nilai ekonomi serta fungsional bangunan memaksa kita harus membuka bangunan baru dengan efisiensi tinggi berdasar kebutuhan ruang.
Namun paradigma baru telah mengubah cara pandang masyarakat kita dalam menyikapi keberadaan bangunan kuno tersebut. Nilai historis, budaya maupun estetika yang terdapat pada bangunan-bangunan tersebut, memberikan kesadaran kita untuk berfikir bahwasannya warisan nenek moyang tersebut harus dipertahankan. Pelestarian bangunan (cagar budaya) sebenarnya sudah menjadi wacana internasional selama beberapa dasawarsa yang lalu. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa piagam pelestarian, diantaranya The Venice Charter (1964-1965), The Burra Charter (1979), Rekomendasi UNESCO (1976), Piagam Washington (1987), serta The World Herritage Cities Management Guide (1991). Di Indonesia sendiri telah ada Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia yang dideklarasikan tahun lalu.
Dalam menyikapi berbagai fenomena mengenai keberadaan bangunan-bangunan tua maka diperlukan ruang dalam pemfungsian baru sesuai kebutuhan tanpa harus mengorbankan nilai-nilai tersebut di atas. Benteng Cochius dengan fasilitas ruang yang bervariasi luasnya, sangat dimungkinkan jika digunakan sebagai museum bagi pendidikan masyarakat umum, khususnya pendidikan yang memanusiakan manusia dan tunduk pada penghargaan terhadap nilai-nilai etika dan estetika, sejarah, budaya. Tidak hanya pajangan foto-foto pada 2 (dua) seperti tampak pada ruangan benteng di lantai satu saat ini, yang tidak mendeskripsikan benteng Cochius/Van Der Wijck secara utuh. Hal ini dilakukan dalam rangka merespon fenomena kemunculan kelompok-kelompok penggemar bangunan-bangunan tua, yang sebagian besar peminatnya adalah orang-orang muda yang dengan sadar rela mengorbankan waktu dan uangnya untuk melakukan kegiatan wisata dengan tujuan kebanyakan adalah menambah wawasan dan pengetahuan tentang sejarah dan budaya sendiri. Hal ini menunjukkan adanya peluang bagi pengembangan pariwisata sejarah atau yang dalam dunia kepariwisataan dikenal sebagai wisata minat khusus.
Maka dalam mengakomodir dua kepentingan tersebut, pengetahuan dan ekonomis, dalam satu media desain dengan pendekatan yang lebih humanis. Infill design adalah salah satu metoda yang bisa digunakan sebagai jembatan untuk meningkatkan nilai bangunan sekaligus sebagai media konservasi bangunan yang bersangkutan. Memfungsikan bangunan dengan kegiatan baru tanpa harus menghancurkan bangunan yang telah ada merupakan salah satu solusi yang realistis. Infill design dapat dilakukan dengan cara membuat fungsi baru pada bangunan lama (eksisting) tanpa merubah kondisi bangunan dan site.
Cara semacam ini lebih menitikberatkan pada pengolahan interior menyangkut denah dan program keruangan yang disesuaikan dengan fungsi barunya. Memberikan makna baru pada bangunan lama di antara banyaknya bangunan modern memang memerlukan usaha keras. Namun kejenuhan publik terhadap bangunan baru yang cenderung memiliki tipologi sama dan membuat kepadatan tersendiri terhadap sebuah kawasan justru bisa dijadikan alasan yang tepat untuk menyegarkan visualisasi publik terhadap ruang dan bangunan. Pengelolaan bangunan dilakukan dengan tetap memunculkan detial seperti tembok benteng, pintu, koridor, masing-masing ruang serta ornamen penyerta lain dengan tetap mempertahankan warna dan perlakukan finishing lainnya. Selanjutnya dengan keunikan bangunan karena berbeda adalah keuntungan tersendiri, baik dari segi kualitas bangunan maupun pemasukan ekonomis.
Penambahan massa bangunan baru pada situs benteng Cochius bisa saja dilakukan, namun perlu kehati-hatian dalam melakukannya, karena penciptaan sinergi baru pada kondisi eksisting bukanlah perkara mudah. Keberadaan bangunan baru yang memungkinkan terjadinya gaya bangunan yang kontras tidak boleh mendominasi keadaan sekitar bangunan yang sudah ada. Bangunan baru tersebut haruslah menguatkan keberadaan bangunan lama dan memposisikan diri sebagai bangunan tambahan. Namun bagaimana tetap mempertahankan setting sesuai fungsi masa lalu yang erkaitan dengan potensi-potensi kawasan benteng Cochius, kondisi lokasi dan bangunan yang ada serta nilai “jual” dari fungsi tidak berarti merubah seluruh tatanan lama, yang berakibat hilangnya nilai hitoris yang ada. Melalui kajian pelestarian bangunan perlu adanya kelayakan fungsi-ekonomi tanpa menghilangkan potensi historisnya.
Dengan demikian, pelestarian lebih mengarah pada nilai historis-politis dan fisik bangunan, yaitu memelihara sebanyak mungkin secara utuh bangunan benteng yang mempunyai nilai sejarah tertentu dan dapat dipertahankan di situs tersebut. Sehingga, rekomendasi yang berkaitan dengan alih fungsi, program, aktivitas, dan konsep perancangannya berdasarkan pada fungsi baru. Sedangkan evaluasi historisnya haruslah menjadi pertimbangan utama dalam menentukan batas-batas perubahan bangunan atas tuntutan fungsi baru tersebut. Tidak hanya sekedar menempatkan kereta mini di atas bangunan tanpa kajian terlebih dahulu karena akan berpengaruh kepada kekuatan tembok benteng. Perlu untuk menghilangkan ornamen kereta mini tersebut dari benteng secara langsung, dengan kata lain tempatkan kereta mini namun tidak di dalam benteng.
Namun dalam tahap pelaksanaan pelestarian dan pemanfaatan bangunan tua bersejarah yang masuk dalam kategori benda cagar budaya, peran serta masyarakat adalah hal mutlak yang tidak dapat diabaikan. Hal ini mengingat bahwa benda cagar budaya yang dilindungi pemerintah melalui peraturan perundangannya merupakan milik negara, di mana masyarakat adalah salah satu unsur terbentuknya negara. Peran serta masyarakat dimungkinkan karena adanya intervensi kebijakan dari pemerintah daerah setempat dengan segala peraturannya yang mengakibatkan ruang publik berubah. Saat ini, moral tata ruang kota sedang dilanda tragedi besar dengan adanya perubahan tata guna lahan, seperti yang ditunjukkan dalam kasus benteng Cochius ini.
Kenyataannya yang sekarang ini tampak pada situs benteng Cochius adalah terjadinya diskomposisi dalam pergeseran ruang akibat keserakahan dalam meng”invasi” ruang publik yang masih mempunyai nilai-nilai tatanan budaya dengan ciri tradisionalistiknya pun berubah menjadi ruang urban yang modernis. Ruang publik menjadi ajang permainan ekonomi bagi penguasa dan pengusaha, dan kejadian tersebut sama sekali tidak bisa dikendalikan lagi, cepat atau lambat akan menggeser fungsi ruang publik. Hal ini dikarena di dalam melakukan upaya pelestarian (mempertahankan) ruang publik merupakan suatu usaha pembangunan yang berbasis budaya-ekologi-masyarakat secara menyeluruh dan berkelanjutan. Secara gamblang bentuk asli benteng Cochius sebelum terjadi “pemugaran” oleh institusi militer nampak pada foto 13, 14, 15.
Seperti diuraikan di depan, inti permasalahan sebenarnya CRM di benteng Cochius adalah adanya persaingan antara tujuan pelestarian dan hasrat modernisasi yang muncul. Aset historis dan budaya nampaknya akan tergeser oleh kepentingan ekonomi dan jasa yang sangat cepat atau lambat akan berkembang di situs itu. Perubahan pemanfaatan di dalam benteng adalah contoh tegas, ketika selama di lokasi, beberapa pasangan remaja laki-laki dan perempuan berasyik masyuk memadu cinta kasihnya di ruangan. Jika dibiarkan terus menerus akan berdampak tidak baik terhadap eksistensi benteng itu sendiri yang bisa saja sebagai “terminal” tempat memadu hasrat purba manusia. Dengan adanya pengelolaan yang yang arif bijaksana sajalah diharapkan dapat memperkuat peran sejarah dan memperkuat kawasan yang bermakna untuk meningkatkan citra lingkungan. Bukan malah sebaliknya. Pelestarian memerlukan proteksi yang sangat tinggi, termasuk keberadaan ruang publik benteng Cochius yang memiliki dinamika kehidupan yang progresif.
Tidak kalah pentingnya dari sisi ekonomis, sumber daya arkeologis dapat dijadikan daya tarik utama pariwisata dengan bentuk lingkungan yang memiliki identitas, keunikan, karakter, dan kesejarahan tersendiri. Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari hasil kajian lapangan dan pustaka, maka perlu disampaikan rekomendasi sebagai berikut :
a. Bila revitalisasi menyangkut benda cagar budaya, maka diharapkan mulai dari tingkat koordinasi, bantuan teknis, dan pelaksanaan fisiknya dapat melibatkan instansi kebudayaan, yang menangani upaya pelestarian benda cagar budaya, sehingga aspek otentisitas sebagai acuan sesuai dengan UU 5/1992 tidak terjadi pelanggaran.
b. Mengupayakan pemahaman yang sama dalam melakukan kegiatan yang berkaitan dengan upaya pelestarian benda cagar budaya, situs dan kawasan cagar budaya antara pelaksana revitalisasi dan instansi yang menangani pelestarian benda cagar budaya.
c. Meningkatkan sosialiasi mengenai konsep dan metode pelestarian benda cagar budaya khususnya terhadap perencana dan pelaksana kegiatan revitalisasi, pemilik benda cagar budaya
d. Meningkatkan koordinasi secara berkelanjutan antara instansi yang menangani benda cagar budaya dan seluruh stake holders.
e. Penanganan pada bangunan yang memiliki nilai benda cagar budaya hendaknya mengikuti kaidah-kaidah pelestarian yang telah ditetapkan.
f. Perekaman data verbal, gambar dan visual baik sebelum, selama maupun sesudah kegiatan disesuaikan dengan kaidah perekaman data untuk pelestarian benda purbakala.
g. Perlunya menyampaikan objek-objek sejarah dan tinggalan arkeologi yang dilindungi dengan UU Nomor 5/1992 kepada instansi lainnya, sehingga dalam pengelolaannya dan pemanfaatannya mengacu pada UU Nomor 5/1992.
h. Untuk pelaksanaan revitalisasi berikutnya yang menyangkut objek benda cagar budaya agar Dinas Kimpraswil Provinsi lebih berkoordinasi dengan UPT Pusat dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, sehingga pelaksanaan revitalisasi dapat selaras dengan upaya pelestarian benda cagar budaya dan lingkungannya dan tidak bertentangan dengan perundangan yang berlaku (UU, PP, maupun Kepmen). Itu sebabnya peraturan perundangan yang berlaku dengan segera memerlukan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) sebagai acuan secara simultan, bahkan kalau perlu tiap daerah memiliki Peraturan Daerah (perda) yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan bangunan bersejarah yang masuk dalam kategori benda cagar budaya.
i. Menggalakkan penggunaan teknologi mutakhir bagi perencanaan dan pengendalian pembangunan gedung di daerah. Salah satu caranya adalah menerapkan GIS (Geographic Information System) yang dapat mengelola data dan informasi tentang bangunan gedung dan lingkungan secara digital. Melalui penerapan sistem informasi yang ditunjang dengan foto udara (aerial photo) dan data lapangan terkini, maka instansi terkait di daerah akan dapat melakukan pendataan, monitoring dan pengawasan bangunan-bangunan di lapangan secara cepat dan akurat.
8. Kesimpulan
Pada akhirnya pola pembangunan menyangkut konservasi terhadap pusaka budaya benda cagar budaya Benteng Cochius di Gombong, berpulang kepada para pembuat keputusan. Ruang dialog antara pemerintah, investor, masyarakat dan pelaku budaya harus ada sehingga identitas sebuah kawasan bisa dipertahankan. Arogansi stake holders pembuat kebijakan (ditambah dengan kehadiran militer sebagai institusi) dan para investor pengembang yang tidak mau melihat kondisi bangunan awalnya beserta lingkungan bawaannya telah menimbulkan sebuah krisis jati diri menyangkut hilangnya nilai-nilai budaya Benteng Cochius ini serta arah perkembangan kota Gombong yang semakin jauh dari patron sejarah, sosial, dan budaya.
Untuk itu pelestarian benteng Cochius di Gombong bagi keberagaman seharusnya sesuai dengan kaidah sejarah, seni dan budaya dan arsitektur. Sudah barang tentu upaya mempertahankan suasana kebhinekaan daerah Gombong dengan memunculkan identitas budaya masing-masing, termasuk identitas masyarakat asli Gombong, identitas budaya hasil persentuhan dengan budaya luar, kolonial misalnya yang direpresentasikan dengan tinggalan arkeologi Benteng Cochius ini. Hal penting yang seharusnya diperhatikan pemerintah daerah Gombong dan menjadi rambu-rambu pelestarian jika ingin eksistensi Benteng Cochius ini berhasil adalah kritik diri yang terwujud dalam pertanyaan-pertanyaan (1) apa yang perlu dilestarikan? (2) mengapa harus dilestarikan? (3) dan untuk siapa melakukan pelestarian? Kalau ketiga hal tersebut belum terjawab, jangan diharap pelestarian bangunan atau kawasan cagar budaya di daerah ini berhasil dengan baik. Sehingga dalam upayanya mempertahankan peninggalan arkeologi Benteng Cochius ini, penekanan utamanya adalah asas kebermanfaatan dari tindakan yang komprehensif yaitu pelestarian terhadap tinggalan benteng dan lingkungan masyarakatnya.
Benteng Cochius di Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah sudah sedemikian rusaknya dari perspektif arkeologi, sejarah dan arsitektural. Hal ini pada awal pelaksanaan pemugaran dapat diinterpretasikan tidak melibatkan pihak-pihak yang berkompeten dalam pelestarian bangunan bersejarah, sehingga kesewenang-wenangan oleh institusi militer sebagai lembaga yang dibenarkan oleh pucuk pimpinan teratasnya, menyebabkan ketercerabutan sejarah dan budaya benteng ini dari lingkungan sekitar dan masyarakatnya. Dari sisi ini dapat kita lihat bahwa secara nasional, militer dalam kasus benteng Gombong dilakukan oleh TNI-AD masih enggan untuk melepas kepentingan bisnisnya. Dengan kata lain militer masih terlibat dalam ranah kehidupan sipil, dan ini berarti reformasi TNI yang digemakan oleh militer sendiri, gagal. Padahal, seperti diketahui bersama, dalam upayanya mereformasi diri, militer menggariskan untuk kembali ke barak. Benteng Cochius di Gombong secara lugas menggambarkan kepada kita, bahwa sejak awal berdirinya hingga kini selalu digunakan oleh militer. Jika pada awalnya adalah sebagai bangunan pendukung pertahanan militer, sekarang pun juga sebagai pendukung pertahanan ekonomi militer.
9. Saran
Seperti yang kita sadari bahwa hasil pelestarian akan memberikan gambaran tentang perjalanan suatu bangsa, hakekat apa yang tersandang dari perjalanan itu, dan tentu saja identitas budaya bangsanya. Hal ini dimaksud agar wajah kota kelak dapat menceriterakan dan menyajikan kepada anak cucu kita, mengenai perjalanan sejarah bangsanya melalui bangunan atau gedungnya.
Di tengah keprihatinan melihat kondisi dan keadaan benteng Cochius di Gombong saat ini, masih ada yang dapat dilakukan oleh para stake holders yaitu setidaknya mengkaji kembali inventarisasi dan studi kelayakan yang pernah muncul pada saat pemugaran di tahun 2000, meski kecil kemungkinan studi kelayakan itu ada atau didapatkan. Dari hasil pengkajian kembali setidaknya dapat diketahui bagian-bagian mana yang selayaknya dipertahankan dan bagian atau ornamen-ornamen mana yang tidak kontekstual dengan keberadaan benteng yang layak untuk dihilangkan atau dipindahkan.
Sumber : http://arkeologi.web.id