Oleh: Agus Setiyanto
Berbicara tentang tourist art (seni wisata), khususnya di Indonesia, Bali, dan Yogya merupakan contoh yang paling menarik, karena sudah kondang sebagai gateway (pintu gerbang)-nya arus wisatawan baik domestik maupun manca. Yogya punya maskot seni sendratari Ramayana Prambanan, dan Bali punya maskot Tari Cak (Kecak) dan Tari Barong. Ketiga maskot tersebut, semula adalah seni pertunjukan tradisional yang sifatnya total ritual. Tetapi, dalam perkembangannya, untuk menarik wisatawan, kemudian dikemas menjadi paket seni wisata (tourist art).
Umumnya, alasan utama yang dipakai untuk membuat packaged (kemasan) seni wisata tersebut, dikaitkan dengan kebutuhan selera wisatawannya. Biasanya, kunjungan wisatawan ke suatu tempat wisata, ingin menikmati sebanyak-banyaknya sesuatu yang unik, menarik dalam waktu yang relatif singkat, dan murah (Kayam, 1981:179). Oleh sebab itu, diperlukan sebuah kemasan seni wisata yang mini, singkat, padat, dan penuh variasi. Bahkan Wayang Kulit di Jawa (Yogya) yang seharusnya dipentaskan semalam suntuk, kemudian dikemas secara padat menjadi dua jam, bahkan di Jawa Barat, wayang golek mampu disajikan dalam durasi 15 menit. Demikian juga dengan tari Cak dan tari Barong di Bali yang semula hanya dipertunjukkan pada waktu-waktu tertentu, kini bisa dinikmati setiap hari oleh wisatawan. Dan bentuk penyajian seninya tidak harus berupa karya cita baru, melainkan hasil reproduksi yang sudah ada (Soedarsono, 1986:5). Dengan disiapkannya paket seni wisata tersebut, maka wisatawan dapat menikmati kapan saja, tanpa harus kehilangan waktu untuk menunggu terlalu lama.
Nah, bagaimana dengan budaya Tabot Bengkulu? Sudah siapkah seni pertunjukan Tabot Bengkulu dikemas menjadi Tabot tourist art? Barangkali sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mungkin harus dijawab dulu pertanyaan yang satu ini, yaitu: sudah seberapa deras arus wisatawan yang masuk ke Bengkulu hingga sekarang ini? Kalau memang Bengkulu sudah masuk dalam kategorisasi sebagai gateway-nya arus wisatawan, maka kebijakan untuk mengemas tourist art perlu segera dipertimbangkan. Sebab, tourist art ini merupakan alternatif yang tepat untuk memenuhi kebutuhan selera wisatawan.
Di samping itu, juga sangat diperlukan adanya kerjasama yang kompak di antara pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan wisatawan, seperti pihak Dinas Pariwisata, pihak biro travel (ASITA), dan Hotel (PHRI), serta para senimannya. Dengan kata lain, harus ada sharing (pembagian keuntungan) yang didapat dari pihak wisatawan, seperti pihak biro travelnya yang memperoleh keuntungan secara langsung melalui usahanya di bidang transportasi.
Pihak Dinas Pariwisata pun harus membina kerjasama dengan para seniman maupun budayawan dalam rangka memberdayakan obyek-obyek wisata yang dipasarkan agar mampu meningkatkan daya tarik bagi wisatawan.
Sebab, pariwisata itu merupakan sebuah industri, sedangkan produknya adalah seni budaya. Satu hal yang perlu dicermati adalah mengenai kebutuhan selera wisatawan yang relatif banyak. Kebutuhan menikmati pemandangan alam yang indah, melihat museum, melihat bekas-bekas peninggalan sejarah, ingin bersantai dan berjemur di pantai yang nyaman, ingin menikmati seni pertunjukan rakyat, ingin membeli suvenir yang khas di art show (warung seni), ingin mendapatkan buku-buku literatur tentang cerita, sejarah dan budaya daerah setempat, menikmati makanan khas (wisata kuliner), dan lain-lain. Semuanya itu butuh perhatian dan penggarapan yang serius, agar wisatawan yang sudah berkunjung merasa puas dan memiliki kenangan yang mendalam.
Dan kenangan yang telah menjadi bagian dari slogan Bengkulu sebagai kota Semarak – kota Wisata itu, tidak sekedar terucap di bibir atau tercetak di kertas saja, tetapi benar-benar terpendam di lubuk hati khususnya para wisatawan.
_________________________________
Agus Setiyanto adalah Sejarawan dan Budayawan Bengkulu.
Berbicara tentang tourist art (seni wisata), khususnya di Indonesia, Bali, dan Yogya merupakan contoh yang paling menarik, karena sudah kondang sebagai gateway (pintu gerbang)-nya arus wisatawan baik domestik maupun manca. Yogya punya maskot seni sendratari Ramayana Prambanan, dan Bali punya maskot Tari Cak (Kecak) dan Tari Barong. Ketiga maskot tersebut, semula adalah seni pertunjukan tradisional yang sifatnya total ritual. Tetapi, dalam perkembangannya, untuk menarik wisatawan, kemudian dikemas menjadi paket seni wisata (tourist art).
Umumnya, alasan utama yang dipakai untuk membuat packaged (kemasan) seni wisata tersebut, dikaitkan dengan kebutuhan selera wisatawannya. Biasanya, kunjungan wisatawan ke suatu tempat wisata, ingin menikmati sebanyak-banyaknya sesuatu yang unik, menarik dalam waktu yang relatif singkat, dan murah (Kayam, 1981:179). Oleh sebab itu, diperlukan sebuah kemasan seni wisata yang mini, singkat, padat, dan penuh variasi. Bahkan Wayang Kulit di Jawa (Yogya) yang seharusnya dipentaskan semalam suntuk, kemudian dikemas secara padat menjadi dua jam, bahkan di Jawa Barat, wayang golek mampu disajikan dalam durasi 15 menit. Demikian juga dengan tari Cak dan tari Barong di Bali yang semula hanya dipertunjukkan pada waktu-waktu tertentu, kini bisa dinikmati setiap hari oleh wisatawan. Dan bentuk penyajian seninya tidak harus berupa karya cita baru, melainkan hasil reproduksi yang sudah ada (Soedarsono, 1986:5). Dengan disiapkannya paket seni wisata tersebut, maka wisatawan dapat menikmati kapan saja, tanpa harus kehilangan waktu untuk menunggu terlalu lama.
Nah, bagaimana dengan budaya Tabot Bengkulu? Sudah siapkah seni pertunjukan Tabot Bengkulu dikemas menjadi Tabot tourist art? Barangkali sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mungkin harus dijawab dulu pertanyaan yang satu ini, yaitu: sudah seberapa deras arus wisatawan yang masuk ke Bengkulu hingga sekarang ini? Kalau memang Bengkulu sudah masuk dalam kategorisasi sebagai gateway-nya arus wisatawan, maka kebijakan untuk mengemas tourist art perlu segera dipertimbangkan. Sebab, tourist art ini merupakan alternatif yang tepat untuk memenuhi kebutuhan selera wisatawan.
Di samping itu, juga sangat diperlukan adanya kerjasama yang kompak di antara pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan wisatawan, seperti pihak Dinas Pariwisata, pihak biro travel (ASITA), dan Hotel (PHRI), serta para senimannya. Dengan kata lain, harus ada sharing (pembagian keuntungan) yang didapat dari pihak wisatawan, seperti pihak biro travelnya yang memperoleh keuntungan secara langsung melalui usahanya di bidang transportasi.
Pihak Dinas Pariwisata pun harus membina kerjasama dengan para seniman maupun budayawan dalam rangka memberdayakan obyek-obyek wisata yang dipasarkan agar mampu meningkatkan daya tarik bagi wisatawan.
Sebab, pariwisata itu merupakan sebuah industri, sedangkan produknya adalah seni budaya. Satu hal yang perlu dicermati adalah mengenai kebutuhan selera wisatawan yang relatif banyak. Kebutuhan menikmati pemandangan alam yang indah, melihat museum, melihat bekas-bekas peninggalan sejarah, ingin bersantai dan berjemur di pantai yang nyaman, ingin menikmati seni pertunjukan rakyat, ingin membeli suvenir yang khas di art show (warung seni), ingin mendapatkan buku-buku literatur tentang cerita, sejarah dan budaya daerah setempat, menikmati makanan khas (wisata kuliner), dan lain-lain. Semuanya itu butuh perhatian dan penggarapan yang serius, agar wisatawan yang sudah berkunjung merasa puas dan memiliki kenangan yang mendalam.
Dan kenangan yang telah menjadi bagian dari slogan Bengkulu sebagai kota Semarak – kota Wisata itu, tidak sekedar terucap di bibir atau tercetak di kertas saja, tetapi benar-benar terpendam di lubuk hati khususnya para wisatawan.
_________________________________
Agus Setiyanto adalah Sejarawan dan Budayawan Bengkulu.