Surga untuk Turis, Bukan untuk Warga

Oleh Anton Muhajir

Dua penghargaan penting diperoleh Bali pada dua bulan terakhir. Pertama adalah sebagai Pulau Wisata Terbaik se-Asia Pasifik versi majalah pariwisata Destinasia. Majalah yang berpusat di Hongkong itu memilih Bali sebagai pulau terbaik berdasarkan polling pembaca di Hongkong, Singapura, Thailand, India, Malaysia, Australia, Taiwan, dan negara-negara di Timur Tengah. Kedua, pada Maret lalu, Bali juga dinyatakan sebagai Pulau Spa terbaik di dunia. Pemberi penghargaan kali ini adalah majalah kebugaran Senses. Penghargaan ini meneguhkan bahwa Bali adalah pulau wisata dengan pelayanan spa terbaik di dunia. Penghargaan-penghargaan itu semakin meneguhkan citra Bali adalah surga. Tapi surga untuk siapa?

Dua penghargaan di atas diperoleh karena Bali dianggap memberikan pelayanan terbaik pada turis. Ya, pada turis. Tapi sudahkah Bali memberikan pelayanan terbaik untuk warganya? Sepertinya belum. Kita bisa memeriksanya pada fasilitas publik. Fasilitas yang paling banyak digunakan warga adalah jalan raya, dan itu masih banyak jalan raya rusak parah di Bali.

Dua contohnya adalah jalan Gatsu I di daerah Denpasar Utara dan jalan Tukad Sempol di Denpasar Selatan. Dua jalan ini sering saya lewati. Kalau jalan Gatsu I malah hampir tiap hari. Jalan sepanjang sekitar 1 km ini rusak bukan kepalang. Di banyak tempat, jalan ini penuh lubang. Seingat saya, baru awal tahun lalu jalan ini diperbaiki dengan aspal baru. Tapi dalam hitungan bulan, jalan ini sudah rusak lagi. Ketika sisa pembakaran aspal saja masih ada di salah satu sisi, jalan ini sudah hancur lagi.

Saya tidak tahu pasti penyebabnya. Tapi sepertinya karena terlalu banyaknya truk pengangkut masuk di jalan ini. Di sepanjang jalan ini ada belasan gudang barang dagangan seperti sabun, snack, makanan, dan lain-lain. Truk-truk besar dengan jalur Jawa–Bali ini beratnya sampai 20 ton. Ini saya lihat dari keterangan di samping baknya. Dengan berat sampai 20 ton, truk-truk itu melewati jalan dengan kualitas pas-pasan hampir tiap hari. Setahu saya, tiap jalan ada jatah penggunaannya sendiri. Tapi di sini tidak. Maka truk-truk itu dengan seenaknya keluar masuk jalan yang sebenarnya hanya untuk perumahan tersebut. Fasilitas publik pun jadi hancur.

Jalan lain yang rusak adalah jalan Tukad Sempol di Denpasar Selatan. Saya sering lewat jalan ini kalau dari jalan Kerta Dalem ke jalan Tukad Badung. Sudah sejak sekitar tiga tahun lalu saya lewat jalan ini tapi ternyata tetap saja hancur. Sepertinya jalan inilah yang paling hancur dari sekian jalan di Denpasar. Lubangnya tak lagi hanya sekadar hancur tapi sudah seperti lembah. Makanya kalau naik motor lewat jalan ini sudah kayak lewat jalur motor cross. Atau kalau naik mobil akan terasa seperti naik kapal kena gelombang, bergoyang terus sepanjang jalan.

Fasilitas publik lain yang bisa dilihat adalah trotoar. Saya lihat di beberapa jalan besar di Denpasar, trotoar di Bali rusak parah. Ini sih terlalu banyak contoh. Sebut saja nama jalan besar lalu cek trotoarnya. Bisa dipastikan kalau tidak berlubang maka trotoar itu akan bergelombang. Trotoar yang seharusnya membuat nyaman pejalan kaki belum berfungsi sebagai mana layaknya. Parahnya lagi, trotoar yang seharusnya untuk pejalan kaki itu malah dipakai untuk parkir mobil, parkir motor, atau tempat jualan dagangan. Di Kuta, misalnya, kita sebagai pejalan kaki harus mengalah sama pedagang yang sudah mengkapling trotoar itu.

Soal trotoar ini saya baca di Bali Post dan Denpost beberapa hari lalu sampai dipersoalkan anggota Dewan. Syukurlah kalau mereka mempersoalkannya. Kalau dicek lagi, masih banyak lagi fasilitas publik di Bali yang belum ramah sama warganya. Transportasi publik, ruang terbuka, lampu jalan, pembuangan sampah, dan banyak lagi yang lain fasilitas publik di Bali masih banyak yang amburadul.

Sumber :http://www.balebengong.net