Oleh: Imam Saepudin
Tanjakan-tanjakan yang cukup curam membuat kami harus berpegangan erat pada akar-akar atau batu-batu.
Udara dingin di Desa Kerta Wangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, terasa begitu menusuk tulang. Pagi itu, awal Februari 2008, kicau burung terdengar merdu. Perlahan-lahan matahari mulai menampakkan diri menerangi Kerta Wangi. Dari desa itu tampak puncak Gunung Burangrang, dengan tinggi 2.057 meter di atas permukaan air laut, yang diselimuti kabut putih.
Gunung Burangrang, dengan pesona dan misteri alamnya, merupakan obyek wisata alam yang tidak pernah sepi dari kunjungan wisatawan petualang yang ingin menikmati keindahannya. Tepat di dasar lembah yang menghubungkan Gunung Burangrang dengan Gunung Tangkuban Parahu terdapat Situ Lembang. Jalan menuju gerbang danau yang cukup luas itu penuh tantangan. Kita akan melewati bukit-bukit yang indah dengan jalan yang menguras tenaga. Setelah jalan aspal, kita akan melintasi jalan bebatuan bercampur kerikil dengan jalanan yang semakin menanjak.
Permukaan air danau yang hijau lumut ketika terkena sinar matahari akan memantulkan warna pelangi yang indah dan mempesona. Hutan belantara di sekitarnya, yang masih jarang disentuh manusia, membuat danau itu asri. Selain itu, terdapat berbagai jenis ikan untuk dikonsumsi. Oleh masyarakat yang tinggal di kaki gunung, danau itu dimanfaatkan untuk memancing. Sementara itu, pemandangan angkasa dihiasi oleh elang jawa yang hampir punah.
Burangrang juga kaya dengan berbagai flora seperti pinus, anggrek, dan sebagainya. Adapun fauna meliputi burung anis, jalak, monyet, babi hutan, macan kumbang, dan ular.
Dari Kerta Wangi, dengan diiringi doa, bersama dua orang teman, kami memulai pendakian. Jam menunjuk pukul 08.00. Tak lupa kami menyiapkan bekal air minum karena sumber air akan sulit dijumpai selama pendakian. Selain itu, kami membawa peralatan pendakian standar, yakni makanan yang cukup, tenda, dan jaket hangat.
Kicau burung-burung terdengar saling bersahutan. Pohon-pohon pinus berjajar rapi di sepanjang jalan pendakian ketika kami memasuki hutan Burangrang. Embusan angin membuat pucuk-pucuk pohon pinus bergoyang-goyang. Lalu kami melewati bukit-bukit yang menguras cukup banyak tenaga.
Selama pendakian kami selalu mengagumi keindahan gunung. Begitu asri. Tak terasa kami mendaki sudah sekitar dua jam. Sejenak kami beristirahat menghirup udara segar alam Burangrang.
Melewati bukit-bukit dan lebatnya hutan terasa begitu menyenangkan. Sekali-kali cahaya langit mengintip di balik daun-daun dalam kelebatan hutan. Keringat mengucur bagaikan air membasahi tubuh.
Pohon-pohon tinggi sepanjang pendakian dan udara gunung yang beraroma air seperti membasahi jiwa kami. Kesunyian begitu terasa. Angin mengalir ramah datang dari lembah-lembah sekitar hutan. Walaupun beban berat di punggung menghalangi gerak langkah kami, perjalanan kami menuju puncak terasa menyenangkan.
Tanjakan-tanjakan yang cukup curam membuat kami harus berpegangan erat pada akar-akar atau batu-batu. Yang tak kalah menyulitkan, jebakan-jebakan yang mengintai di balik semak belukar. Namun, semangat kami tergenjot ketika puncak gunung sudah tampak. Akhirnya, dengan perjuangan keras, setelah empat jam pendakian dari Kerta Wangi, kami pun sampai di puncak Burangrang. Sujud syukur kami panjatkan atas keberhasilan itu.
Sejenak kami memperhatikan tugu peringatan di puncak gunung untuk mengingat seorang pendaki gunung, Maman Suherman, yang meninggal di Gunung Burangrang pada Maret 2002. Maman adalah anggota pencinta alam Ampa Gurat.
Tibalah saatnya menikmati pemandangan dari puncak gunung. Muncul perasaan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Dalam keindahan itu ada rasa damai, tenteram, serta bahagia. Awan putih menyelimuti puncak Gunung Burangrang dan gunung-gunung di sekitarnya. Tampak dengan jelas Gunung Tangkuban Parahu. Sementara itu, dari puncak kami menyaksikan pemandangan jauh di bawah berupa hamparan sawah dan kota-kota di sekitar Cisarua. Begitu juga Situ Lembang terlihat begitu menawan.
Pelan-pelan awan putih yang terhampar merambati punggung gunung, yang membangkitkan pesona alam yang menggetarkan jiwa. Embusan angin yang dingin terasa menusuk tulang.
Dengan perbekalan yang kami bawa, yaitu peralatan pendakian dan makanan yang cukup, kami memasak untuk makan siang yang tertunda. Semangkuk mi dengan sekaleng ikan sarden serta secangkir cokelat susu panas terasa begitu nikmat. Sambil makan sekali-kali kami memandangi keindahan alam. Setelah makan siang, kami membersihkan dan merapikan sampah-sampah bekas makanan. Sampah-sampah itu harus kami bawa pulang.
Matahari naik semakin tinggi. Waktu telah menunjukkan pukul 14.00 WIB. Kami memutuskan untuk turun kembali menuju Desa Kerta Wangi. Sebelum udara semakin panas, kami menuruni puncak Burangrang.
Udara terasa makin hangat kala matahari naik semakin tinggi. Kabut mulai turun menyelimuti puncak Burangrang. Perjalanan menuruni punggung dan bukit-bukit menuntut kehati-hatian, sebab pohon-pohon tumbang yang tersembunyi di balik semak-semak siap menghadang.
Dengan perjuangan yang cukup melelahkan sekitar dua jam akhirnya kami tiba di Desa Kerta Wangi, untuk selanjutnya langsung menuju Bandung, dengan membawa kesan yang amat indah.
Jalur Pendakian
Wisata Alam Gunung Burangrang dapat dicapai dari beberapa jalur pendakian. Pertama, jalur Desa Kerta Wangi. Dari Bandung menuju Cihanjuang, dengan ongkos Rp 2.000; selanjutnya dari Cihanjuang kita bisa naik angkutan colt ungu menuju Parongpong dengan ongkos Rp 2.500. Kalau mau borongan untuk sampai Gerbang Komando, keluarkan ongkos Rp 4.000 per orang. Nah, dari Pos Komando, kita bisa berjalan kaki melewati jalan berbatu sampai gerbang Kopassus. Tapi, Anda jangan masuk gerbang Kopassus karena itu jalan menuju Situ Lembang, Gunung Sunda, dan Gunung Tangkuban Perahu.. Dari gerbang Kopassus, belok ke kiri.
Jalur kedua adalah Tangkuban Parahu. Dari Bandung menuju Subang, kita bisa naik kendaraan bus, kemudian turun di gerbang Tangkuban Parahu yang merupakan obyek wisata alam yang cukup terkenal di Jawa Barat. Dari puncak Gunung Tangkuban Parahu kita menuruni tower Tangkuban Parahu menuju Gunung Burangrang dengan terlebih dulu kita akan melewati obyek wisata Tangkuban Parahu seperti kawah Upas, Domas, Ratu, Jurig, yang menawan.
Terakhir jalur Tagog Apu. Jalur ini relatif sepi dan kurang dikenal karena hutannya sangat rapat dan cukup berbahaya karena jalur pendakiannya cukup curam.
Sumber: www.korantempo.com
Foto : http://purwasuka.web.id
Tanjakan-tanjakan yang cukup curam membuat kami harus berpegangan erat pada akar-akar atau batu-batu.
Udara dingin di Desa Kerta Wangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, terasa begitu menusuk tulang. Pagi itu, awal Februari 2008, kicau burung terdengar merdu. Perlahan-lahan matahari mulai menampakkan diri menerangi Kerta Wangi. Dari desa itu tampak puncak Gunung Burangrang, dengan tinggi 2.057 meter di atas permukaan air laut, yang diselimuti kabut putih.
Gunung Burangrang, dengan pesona dan misteri alamnya, merupakan obyek wisata alam yang tidak pernah sepi dari kunjungan wisatawan petualang yang ingin menikmati keindahannya. Tepat di dasar lembah yang menghubungkan Gunung Burangrang dengan Gunung Tangkuban Parahu terdapat Situ Lembang. Jalan menuju gerbang danau yang cukup luas itu penuh tantangan. Kita akan melewati bukit-bukit yang indah dengan jalan yang menguras tenaga. Setelah jalan aspal, kita akan melintasi jalan bebatuan bercampur kerikil dengan jalanan yang semakin menanjak.
Permukaan air danau yang hijau lumut ketika terkena sinar matahari akan memantulkan warna pelangi yang indah dan mempesona. Hutan belantara di sekitarnya, yang masih jarang disentuh manusia, membuat danau itu asri. Selain itu, terdapat berbagai jenis ikan untuk dikonsumsi. Oleh masyarakat yang tinggal di kaki gunung, danau itu dimanfaatkan untuk memancing. Sementara itu, pemandangan angkasa dihiasi oleh elang jawa yang hampir punah.
Burangrang juga kaya dengan berbagai flora seperti pinus, anggrek, dan sebagainya. Adapun fauna meliputi burung anis, jalak, monyet, babi hutan, macan kumbang, dan ular.
Dari Kerta Wangi, dengan diiringi doa, bersama dua orang teman, kami memulai pendakian. Jam menunjuk pukul 08.00. Tak lupa kami menyiapkan bekal air minum karena sumber air akan sulit dijumpai selama pendakian. Selain itu, kami membawa peralatan pendakian standar, yakni makanan yang cukup, tenda, dan jaket hangat.
Kicau burung-burung terdengar saling bersahutan. Pohon-pohon pinus berjajar rapi di sepanjang jalan pendakian ketika kami memasuki hutan Burangrang. Embusan angin membuat pucuk-pucuk pohon pinus bergoyang-goyang. Lalu kami melewati bukit-bukit yang menguras cukup banyak tenaga.
Selama pendakian kami selalu mengagumi keindahan gunung. Begitu asri. Tak terasa kami mendaki sudah sekitar dua jam. Sejenak kami beristirahat menghirup udara segar alam Burangrang.
Melewati bukit-bukit dan lebatnya hutan terasa begitu menyenangkan. Sekali-kali cahaya langit mengintip di balik daun-daun dalam kelebatan hutan. Keringat mengucur bagaikan air membasahi tubuh.
Pohon-pohon tinggi sepanjang pendakian dan udara gunung yang beraroma air seperti membasahi jiwa kami. Kesunyian begitu terasa. Angin mengalir ramah datang dari lembah-lembah sekitar hutan. Walaupun beban berat di punggung menghalangi gerak langkah kami, perjalanan kami menuju puncak terasa menyenangkan.
Tanjakan-tanjakan yang cukup curam membuat kami harus berpegangan erat pada akar-akar atau batu-batu. Yang tak kalah menyulitkan, jebakan-jebakan yang mengintai di balik semak belukar. Namun, semangat kami tergenjot ketika puncak gunung sudah tampak. Akhirnya, dengan perjuangan keras, setelah empat jam pendakian dari Kerta Wangi, kami pun sampai di puncak Burangrang. Sujud syukur kami panjatkan atas keberhasilan itu.
Sejenak kami memperhatikan tugu peringatan di puncak gunung untuk mengingat seorang pendaki gunung, Maman Suherman, yang meninggal di Gunung Burangrang pada Maret 2002. Maman adalah anggota pencinta alam Ampa Gurat.
Tibalah saatnya menikmati pemandangan dari puncak gunung. Muncul perasaan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Dalam keindahan itu ada rasa damai, tenteram, serta bahagia. Awan putih menyelimuti puncak Gunung Burangrang dan gunung-gunung di sekitarnya. Tampak dengan jelas Gunung Tangkuban Parahu. Sementara itu, dari puncak kami menyaksikan pemandangan jauh di bawah berupa hamparan sawah dan kota-kota di sekitar Cisarua. Begitu juga Situ Lembang terlihat begitu menawan.
Pelan-pelan awan putih yang terhampar merambati punggung gunung, yang membangkitkan pesona alam yang menggetarkan jiwa. Embusan angin yang dingin terasa menusuk tulang.
Dengan perbekalan yang kami bawa, yaitu peralatan pendakian dan makanan yang cukup, kami memasak untuk makan siang yang tertunda. Semangkuk mi dengan sekaleng ikan sarden serta secangkir cokelat susu panas terasa begitu nikmat. Sambil makan sekali-kali kami memandangi keindahan alam. Setelah makan siang, kami membersihkan dan merapikan sampah-sampah bekas makanan. Sampah-sampah itu harus kami bawa pulang.
Matahari naik semakin tinggi. Waktu telah menunjukkan pukul 14.00 WIB. Kami memutuskan untuk turun kembali menuju Desa Kerta Wangi. Sebelum udara semakin panas, kami menuruni puncak Burangrang.
Udara terasa makin hangat kala matahari naik semakin tinggi. Kabut mulai turun menyelimuti puncak Burangrang. Perjalanan menuruni punggung dan bukit-bukit menuntut kehati-hatian, sebab pohon-pohon tumbang yang tersembunyi di balik semak-semak siap menghadang.
Dengan perjuangan yang cukup melelahkan sekitar dua jam akhirnya kami tiba di Desa Kerta Wangi, untuk selanjutnya langsung menuju Bandung, dengan membawa kesan yang amat indah.
Jalur Pendakian
Wisata Alam Gunung Burangrang dapat dicapai dari beberapa jalur pendakian. Pertama, jalur Desa Kerta Wangi. Dari Bandung menuju Cihanjuang, dengan ongkos Rp 2.000; selanjutnya dari Cihanjuang kita bisa naik angkutan colt ungu menuju Parongpong dengan ongkos Rp 2.500. Kalau mau borongan untuk sampai Gerbang Komando, keluarkan ongkos Rp 4.000 per orang. Nah, dari Pos Komando, kita bisa berjalan kaki melewati jalan berbatu sampai gerbang Kopassus. Tapi, Anda jangan masuk gerbang Kopassus karena itu jalan menuju Situ Lembang, Gunung Sunda, dan Gunung Tangkuban Perahu.. Dari gerbang Kopassus, belok ke kiri.
Jalur kedua adalah Tangkuban Parahu. Dari Bandung menuju Subang, kita bisa naik kendaraan bus, kemudian turun di gerbang Tangkuban Parahu yang merupakan obyek wisata alam yang cukup terkenal di Jawa Barat. Dari puncak Gunung Tangkuban Parahu kita menuruni tower Tangkuban Parahu menuju Gunung Burangrang dengan terlebih dulu kita akan melewati obyek wisata Tangkuban Parahu seperti kawah Upas, Domas, Ratu, Jurig, yang menawan.
Terakhir jalur Tagog Apu. Jalur ini relatif sepi dan kurang dikenal karena hutannya sangat rapat dan cukup berbahaya karena jalur pendakiannya cukup curam.
Sumber: www.korantempo.com
Foto : http://purwasuka.web.id