Strategi Revitalisasi Kawasan Pusat Kota Bukittinggi

Oleh: Jonny Wongso

Pendahuluan
Sejarah menunjukkan bahwa urbanisasi dan industrialisasi selalu merupakan fenomena yang berjalan secara paralel. Pengalaman empiris dari negara-negara industri maju telah membuktikan kebenaran dari tesis tersebut. Pertambahan penduduk yang terjadi sebagai akibat dari laju urbanisasi dan industrialisasi ini pada gilirannya telah mengakibatkan pertumbuhan kota yang berakibat meningkatnya permintaan akan lahan kota dengan sangat kuatnya. Dengan persediaan lahan yang semakin terbatas, maka gejala kenaikan harga lahan tak terhindarkan lagi. Lahan telah menjadi suatu komoditas yang nilainya ditentukan oleh kekuatan pasar. Kenyataan yang sama saat ini dihadapi oleh banyak kota-kota besar di dunia, termasuk juga kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung.

Lahan (topos) akhirnya merupakan sumber daya utama kota yang sangat kritikal, disamping pengadaannya yang semakin sangat terbatas, sifatnya juga tidak memungkinkan untuk diperluas. Satu-satunya jalan keluar adalah mencari upaya yang paling sesuai untuk meningkatkan kemampuan daya tampung lahan yang ada agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi bagi kelangsungan hidup kota yang lebih baik. Maka lahirlah upaya untuk mendaur-ulang (recycle) lahan kota yang ada dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (re-vita-lisasi) yang pada awalnya pernah ada, namun telah memudar. Hal terakhir inilah yang disebut revitalisasi. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital / hidup akan tetapi kemudian mengalami kemunduran / degradasi. Skala upaya revitalisasi bisa terjadi pada tingkatan mikro kota, seperti pada sebuah jalan, atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bisa mencakup kawasan kota yang lebih luas. Apapun skalanya tujuannya adalah sama, yaitu memberikan kehidupan baru yang produktif yang akan mampu memberikan kontribusi positif pada kehidupan sosial-budaya, terutama kehidupan ekonomi kota.

Tulisan singkat ini mencoba menjelaskan kegiatan revitalisasi di kawasan pusat kota Bukittinggi yang memiliki latar belakang sejarah yang tumbuh dan berkembang dari lalu lintas perdagangan dan pusat pertahanan kolonial di dataran tinggi Minangkabau di pertengahan abad ke-19, dan sekarang lebih dikenal sebagai kota wisata. Dengan latar belakang perkembangan dan potensi ruang kota Bukittinggi yang dimiliki, telah mendorong digulirkannya kegiatan revitalisasi ruang kota yang berawal pada tahun 2001 dalam bentuk kegiatan revitalisasi (fisik) di kawasan pusat kota Bukittinggi. Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, kegiatan stimulan ini membutuhkan kurun waktu tertentu dan melalui beberapa tahapan atau strategi yang saling bersinergi.

Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan kondisi visual kawasan, khususnya dalam menciptakan kegiatan / fungsi baru, menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Beberapa isu yang menjadi penekanan dalam pembahasan ini yaitu strategi revitalisasi yang dilihat dari isu lingkungan (environmental sustainability), rehabilitasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic development) serta kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat / warga (public realms) yang selanjutnya dinamakan dengan revitalisasi sosial / intitusional.

Penataan dan Revitalisasi Kawasan
Penataan dan Revitalisasi Kawasan menurut Departemen Kimpraswil (2002) adalah rangkaian upaya menghidupkan kembali kawasan yang cenderuang mati, meningkatkan nilai-nilai vitalitas yang strategis dan signifikan dari kawasan yang masih mempunyai potensi dan atau mengendalikan kawasan yang cenderung kacau atau semrawut. Penataan dan Revitalisasi Kawasan dilakukan melalui pengembangan kawasan-kawasan tertentu yang layak untuk direvitalisasi baik dari segi setting kawasan (bangunan dan ruang kawasan), kualitas lingkungan, sarana, prasarana dan utilitas kawasan, sosio kultural, sosio ekonomi dan sosio politik.

Revitalisasi pada prinsipya tidak sekedar menyangkut masalah konservasi bangunan dan ruang kawasan bersejarah saja, tetapi lebih kepada upaya untuk mengembalikan atau menghidupkan kembali kawasan dalam konteks kota yang tidak berfungsi atau menurun fungsinya agar berfungsi kembali, atau menata dan mengembangkan lebih lanjut kawasan yang berkembang sangat pesat namun kondisinya cenderung tidak terkendali.

Gejala penurunan kualitas fisik dapat dengan mudah diamati pada kawasan kota bersejarah / tua, karena sebagai bagian dari perjalanan sejarah (pusat kegiatan perekonomian dan sosial budaya), kawasan kota tersebut umumnya berada dalam tekanan pembangunan (Serageldin et al, 2000). Sejarah perkembangan kota di Barat mencatat bahwa memang kegiatan revitalisasi ini diawali dengan pemaknaan kembali daerah pusat kota setelah periode tahun 1960-an. Bahkan ketika isu pelestarian di dunia Barat meningkat pada periode pertengahan tahun 1970-an, kawasan (pusat) kota tua menjadi fokus kegiatan revitalisasi. Namun bukan berarti bahwa kegiatan revitalisasi hanya terbatas kawasan kota bersejarah/tua.

Hilangnya vitalitas awal dalam suatu kawasan historis budaya umumnya ditandai dengan kurang terkendalinya perkembangan dan pembangunan kawasan, sehingga mengakibatkan terjadinya kehancuran kawasan, baik secara self destruction maupun creative destruction (Danisworo, 2000). Urgensi revitalisasi dapat diukur berdasarkan tingkat vitalitas yang signifikan pada kawasan terbangun, yaitu melalui beberapa variabel seperti menyangkut tingkat kepadatan (populasi), income kawasan dan besarnya layanan, tingkat kriminal, keamanan dan tingkat kesehatan, eksistensi warisan budaya – baik tangible (berwujud) maupun intangible (tidak berwujud), serta menyangkut penyediaan (kualitas dan kuantitas) dan distribusi pelayanan kawasan atau bagian kota.

Kota Bukittinggi Dengan Kesejarahanya
Kota Bukittinggi dengan luas wilayah 25,239 KM2 (2.523,9 Ha) dan jumlah penduduk 100.905 jiwa (2004), terletak di tepi sebuah lembah yaitu Ngarai Sianok (pada sisi Barat). Sebagian besar daerahnya berbukit dan berlembah dengan ketinggian yang bervariasi antara 909 M sampai 941 M di atas permukaan laut, serta memiliki panorama alam yang indah. Tidak salah jika pada jaman Belanda, Bukittinggi pernah dijuluki dengan Parisj van Sumatera (Tamir, 1981).



Perkembangan kota Bukittinggi ke dalam bentuk kota yang sekarang, tidak terlepas dari perkembangan latar belakang sejarah baik secara politik, ekonomi maupun sosial budaya. Tingkat perkembangan kota yang pesat ini yaitu pada kawasan pusat kota seperti dalam hal perkembangan fisik-spasial, pemanfaatan ruang kota maupun aktifitas-aktifitas kota seperti pada sektor perdagangan dan pengadaan fasilitas pariwisata. Perkembangan ini membentuk pusat-pusat kegiatan seperti di kawasan Pasar Atas, kawasan perkantoran pemerintah di Belakang Balok dan kawasan perdagangan grosir dan terminal bus regional. Perkembangan ini juga didukung oleh berbagai potensi yang dimiliki seperti potensi alam dan objek wisata serta letak kota Bukittinggi yang secara geografis berada pada jalur perdagangan antar kota atau propinsi di Sumatera bagian tengah. Terbentuknya pusat-pusat kegiatan yang ada di kawasan pusat kota saat ini merupakan suatu proses dari perjalanan sejarah kota Bukittinggi yang dapat ditelusuri melalui tahapan perkembangannya (Wongso, 2001).

Pada kawasan pusat kota Bukittinggi, secara fisik masih menyisakan jejak-jejak sejarah yang mempunyai arti dalam pembentukan ruang kota Bukittinggi. Seperti pada daerah perbukitan yang sekarang berfungsi sebagai Pasar Atas Bukittinggi, Jam Gadang, Benteng Fort de Kock, Istana Negara dan Kebun Binatang. Daerah-daerah ini merupakan daerah awal yang memiliki tingkat perkembangan fisik-spasial yang tinggi sebagai daerah perdagangan dan akomodasi pariwisata.

Perkembangan Pasar Atas Bukittinggi berawal dari kesepakatan para ninik mamak Nagari Kurai yang diadakan di bawah pohon beringin besar di Bukit Kubangan Kabau pada 1820 (Mangiang, 1988 dalam Sati, 1990). Bukit ini dinamakan dengan Bukit Tertinggi atau Bukittinggi, yang lama kelamaan berkembang menjadi suatu pasar, sehingga akhirnya diberikan nama Pasar Kurai (pasar orang Kurai) atau Pasar Atas Bukit Tinggi.




Perkembangan Pakan Kurai selanjutnya lebih banyak ditentukan oleh berbagai intervensi dan pengaruh dari pihak asing (kolonial Belanda). Berkembangnya Pakan Kurai di Bukit Kubangan Kabau, sekaligus merupakan alasan bagi Belanda dalam memilih pendirian benteng di Bukit Jirek (benteng Fort de Kock) selain untuk strategi pertahanan, juga untuk memudahkan dalam mendapatkan kebutuhan bagi para tentaranya, walaupun alasan ini akhirnya menjadi tahap awal penguasaan perdagangan komoditi kopi yang sedang berkembang di daerah pedalaman Minangkabau (Hadjerat, 1947., Zulqaiyyim, 1996).




Di sebelah timur terdiri dari blok-blok bangunan berjajar yang dinamakan dengan `belakang pasar` yang dibangun pada tahun 1917 (berdasarkan yang tertera pada salah satu bangunannya). Blok ruko pada daerah ini menjual barang¬barang kodian, minyak tanah, minyak goreng dan kapuk. Jalan diantara deretan blok bangunan ini dikenal dengan nama Jalan Saudagar dan Jalan Kumango, yaitu tempat menjual barang-barang kelontong. Deretan blok bangunan peninggalan Belanda ini masih bertahan sampai sekarang. Beberapa diantaranya sudah roboh dan mengalami kerusakan.

Los Saudagar merupakan deretan rumah - toko (ruko) yang menjadi bagian dari Pakan Kurai (Pasar Kurai / Pasar Atas Bukittinggi) berdasarkan catatan tahun yang ada di salah satu sisinya didirikan sekitar tahun 1917-an. Deretan ruko ini pada mulanya menjual barang-barang kodian, minyak tanah, minyak goreng dan kapuk. Jalan diantara deretan blok bangunan ini dikenal dengan nama Jalan Saudagar dan Jalan Kumango, yaitu tempat menjual barang¬barang kelontong. Deretan blok bangunan peninggalan Belanda ini masih bertahan sampai sekarang. Beberapa diantaranya sudah dihancurkan dan mengalami kerusakan.

Deretan bangunan los ini merupakan satu-satunya peninggalan fisik yang dapat menceritakan tentang bagaimana kejayaan / kondisi Pasar Atas Bukittinggi yang terkenal dengan sebutan Pakan Kurai – Pakan Urang Agam (Pasar Kurai – pasar orang Kabupaten Agam).





Bangunan ruko di sepanjang Los saudagar memiliki karakter arsitektur yang menarik dan mewakili bentuk arsitektur pada jamannya di daerah pedalaman Minangkabau yang masih bertahan dan masih menyisakan kemegahannya di masa lalu. Karakter bangunan deret dengan koridor yang menerus pada sisi kiri kanannya dipertegas dengan arcade yang memberikan kenyamanan bagi orang yang menyusuri koridor di sepanjang Los Saudagar.

Kondisi ini sekarang sudah mengalami perubahan. Orang tidak dapat lagi berjalan menyusuri koridor bangunan karena sudah tertutup / terhalangi oleh barang dagangan dan dinding yang sengaja dibuat untuk perluasan dari petak toko.

Letak Los Saudagar berada dalam rangkaian potensi sejarah dan budaya yang ada di sekitarnya seperti Pasar Atas, Jenjang 40, Taman Jam Gadang, Gedung Istana Bung Hatta, daerah Pecinan, Kebun Binatang Kinantan, dan Benteng Fort de Kock. Potensi-potenasi ini belum termanfaatkan secara optimal guna meningkatkan kualitas fungsional dan visual dari kawasan Pasar Atas dan sekitarnya.

Kondisi sekarang menunjukkan kecenderungan perkembangan yang mengarah kepada penurunan kualitas lingkungan, penghancuran bangunan, tidak adanya perawatan bangunan dan belum ada perencanaan kegiatan yang dapat menunjang potensi-potensi yang ada di sekitar kawasan.

Program Revitalisasi Kawasan di Kota Bukittinggi
Kota Bukittinggi mempunyai banyak sekali peninggalan aktivitas masa lampau karena kota ini sudah berkembang sejak jaman penjajahan Belanda pada awal abad XIX. Seiring dengan perkembangan jaman dan pertumbuhan kota, maka terdapat beberapa peninggalan aktivitas masa lampau yang mengalami penurunan kualitas lingkungan. Namun di sisi lain Pemerintah Kota Bukittinggi mencanangkan Kota Bukittinggi sebagai Kota Wisata. Oleh karena itu, pembenahan lingkungan yang mengalami penurunan giat dilakukan melalui salah satu program yaitu revitalisasi kawasan.

Departemen Pekerjaan Umum merupakan salah satu pemicu kegiatan revitalisasi di Kotamadya Bukittinggi. Pertama kali kegiatan revitalisasi kawasan dilakukan pada tahun 2001 yang menghabiskan dana dari APBN sebesar Rp. 1,9 milyar. Anggaran dana ini digunakan untuk pelaksanaan kegiatan DED Fisik Revitalisasi Kawasan Jam Gadang dan Pasar Atas. Adapun rincian obyek revitalisasinya adalah Penataan Taman Jam Gadang, Penataan Jenjang Ampek Puluah, Penataan Jenjang Gudang, Penataan Jenjang Gantuang, dan Penataan Jenjang Lereng.

Kegiatan revitalisasi kawasan yang diselenggarakan oleh Departemen Pekerjaan Umum dengan dana APBN telah mendorong Pemerintah Kota Bukittinggi (Kimpraswil, 2005) untuk melanjutkan kegiatan tersebut melalui :

a. Revitalisasi kawasan benteng Fort de Kock dan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan pada tahun 2002-2004, menghabiskan dana Rp. 10 Milyar.

b. Revitalisasi Taman Panorama dan Lubang Jepang pada tahun 2004, menganggarkan dana Rp. 9 Milyar namun baru terealisasi Rp. 4,49 Milyar.

c. Relokasi Kantor Walikota ke Kawasan Bukit Gulai Bancah pada tahun 2002 mengahabiskan dana Rp. 3 5,75 Milyar.

d. Pembangunan Monumen Bung Hatta di Kawasan Istana Bung Hatta pada tahun 2003 menghabiskan dana APBN Rp. 5 Milyar.

e. Pembangunan Perpustakaan Proklamator Bung Hatta pada tahun 2003, menganggarakan dana Rp 30 Milyar namun baru terealisasi Rp. 5,2 Milyar.

f. Revitalisasi Lapangan Sudirman (di Jl. Jendral Sudirman, Belakang Balok) menghabiskan dana Rp 675 Juta.

g. Revitalisasi Pasar banto pada tahun 2004 dengan rencana biaya sebesar Rp. 131 Milyar.

h. Revitalisasi kawasan terminal Aur Kuning ke Kawasan Tambuo dengan rencana biaya Rp. 300 Milyar.

i. Rencana Pembangunan Gedung Kesenian dengan rencana biaya Rp. 14 Milyar.

j. Bantuan Teknis Perencanaan Penataan dan Revitalisasi Kawasan Pasar Atas Bukittinggi yang berlangsung pada tahun 2005 dan kegiatan pembangunan fisiknya pada tahun 2006.

Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan kegiatan stimulan oleh Departemen Pekerjaan Umum melalui revitalisasi kawasan Kota Bukittinggi pada tahun 2001 dinilai sangat berhasil, karena pada tahun¬tahun berikutnya mampu mendorong pemerintah setempat untuk melakukan program kegiatan yang sama di kawasan yang berbeda dan saling melengkapi untuk mewujudkan Kota Bukittinggi sebagai Kota Wisata. Oleh karena itu, untuk kegiatan bantuan teknis berikutnya Pemerintah Kota Bukittinggi berharap agar kegiatan berikutnya dapat melengkapi kegiatan revitalisasi kawasan yang sudah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya.

Strategi Revitalisasi Kawasan Pusaka Kota Bukittingi
“Vitalitas Kawasan untuk Kualitas Hidup Melalui Revitalisasi Kawasan”. Motto ini mungkin akan memberikan kesan yang berlebihan, seandainya kita tidak meresapi benar, apa yang menjadi maksud, tujuan dan sasaran dari Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan, yang saat ini merupakan salah satu Program Andalan Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.

Program tersebut telah dikembangkan sejak tahun 2001, meliputi 13 (tiga belas) kawasan dalam bentuk Pelaksanaan Fisik dan Bantuan Teknis untuk penataan kembali dan revitalisasi kawasan-kawasan yang memiliki potensi tertentu, dan dapat dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan roda perekonomian setempat, karena terbengkalainya potensi yang dimiliki di kawasan tersebut.

Pendekatan pelaksanaan program yang lebih bersifat stimulus tersebut, akan lebih mengena pada tujuan dan sasaran apabila interaksi dari Pemerintah Daerah (dalam hal ini terutama Pemerintah Kota / Pemerintah Kabupaten) cukup kuat dan responsif, mengingat Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan, dilandasi Latar Belakang : “Menghidupkan kembali dan mengembangkan kawasan-kawasan yang tidak berfungsi atau telah menurun fungsinya, akibat perkembangan yang cenderung tidak terkendali”.

Dari latar belakang di atas, sudah barang tentu peran Pemerintah Pusat tidak lagi sebagai pelaksana namun lebih menitikberatkan pada peran pembinaan yang bersifat mendorong atau memacu untuk memfungsikan kembali suatu kawasan yang tidak berfungsi atau menurun fungsinya, agar dapat berfungsi atau meningkatkan fungsi kembali, terutama dalam mendukung berjalannya perekonomian lokal. Dengan demikian apabila program dimaksud dapat berjalan sebagaimana diharapkan, maka yang akan memetik manfaat adalah kabupaten / kota yang bersangkutan.

Dalam salah satu artikel pada website Kimpraswil, dimuat; lebih jauh untuk mengenal dan menyamakan persepsi tentang Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan, pada hakekatnya, mengandung tujuan, yaitu terciptanya kawasan yang terintegrasi dengan sistem kota dan tumbuhnya ruang-ruang ekonomi kawasan menuju pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal.

Mencermati tujuan yang dijadikan landasan pelaksanaan Program ini, terlihat beberapa aspek yang harus berjalan secara seimbang, sehingga tercipta suatu keterpaduan di suatu kawasan tertentu. Aspek dimaksud adalah harus tetap diperhatikannya sistem kota itu sendiri, yang memiliki kawasan potensial namun tidak berfungsi atau berkurang fungsinya, di samping memperhatikan ruang-ruang pergerakan perekonomian kawasan tersebut, agar dapat tumbuh sebagaimana diharapkan pada lingkup lokal. Hal yang lebih penting dari kesemua itu ialah tidak hanya dapat menumbuhkan perekonomian, namun tercakup juga bagaimana untuk tetap menjaga kestabilan perekonomian pada kawasan tersebut.

Dari tujuannya dengan sedikit ulasan untuk dapat memberikan ilustrasi yang mudah, lebih berlanjut program ini mempunyai sasaran yang dituju, yaitu terciptanya berbagai peningkatan kawasan yang menitikberatkan pada vitalitas dan stabilitas ekonomi, integrasi antar ruang, kuantitas dan kualitas prasarana dan sarana lingkungan, serta konservasi aset warisan budaya.

Dari sasaran yang hendak dicapai tersebut, semakin kentara, bahwa stimulus yang dilakukan Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, melalui program ini, tidak sekedar untuk memfungsikan kembali kawasan yang dapat mendorong pertumbuhan perekonomian, namun tetap memperhatikan integritas ruang di suatu kawasan, pemenuhan kebutuhan prasarana dan sarana lingkungannya, serta dalam upaya pelestarian aset-aset kawasan yang memiliki nilai histotis yang tinggi sebagai warisan budaya yang harus tetap terpelihara.

Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, upaya revitalisasi kawasan pusat kota Bukittinggi melalui beberapa program kegiatan (fisik), sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, membutuhkan tahapan dan kurun waktu tertentu dalam mewujudkan dan menjamin keberlanjutannya. Untuk itu ditawarkan beberapa strategi dalam bentuk pendekatan yang dapat digunakan, tahapan kegiatan revitalisasi, regenerasi kawasan perkotaan, dan pemasaran kota bersejarah.

a) Pendekatan Program Pelestarian Kawasan Pusaka Kota Bukittinggi
Program ini diterapkan oleh Jogja Heritage Society bekerjasama dengan Pusat Pelestarian Pusaka Arsitektur, Jurusan Arsitektur FT UGM sebagai uji coba upaya pelestarian di Kawasan nJeron Beteng, Kraton, Yogyakarta (kegiatan sejak tahun 1999 hingga sekarang) dan Manajemen Konservasi Kawasan Pusaka Di Batusangkar dan Sekitarnya (2002-2003). Program ini selanjutnya diterapkan dalam lingkungan akademik dalam bentuk kegiatan Kuliah Kerja Lapangan Arsitektur – Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Bung Hatta, Padang di beberapa Nagari di Sumatera Barat pada 2004 – 2006 (sekarang konsep ini sedang diterapkan di Kawasan Pusaka Nagari Koto Gadang, Kabupaten Agam Sumatera Barat.

Model ini menunjukkan penting dan besarnya peran masyarakat dalam mengelola dan melaksanakan pelestarian lingkungan bersejarah. Program Pelestarian “Kawasan Pusaka” memiliki 6 pendekatan per-soalan yang dilaksanakan secara paralel maupun bergantian dalam rentang waktu yang relatif panjang untuk menye¬lesaikan keseluruhan persoalan secara berkesinambungan dan tuntas.

Adapun tujuan program pelestarian Kawasan Pusaka (Adhisakti, 2003) adalah :
a. Membangun kepedulian banyak pihak dalam pelestarian pusaka.
b. Menjadi acuan perencanaan dan pengelolaan pelestarian secara berkesinambungan dan menyeluruh.
c. Mendorong kemandirian bagi masyarakat untuk mampu mengelola kawasan bersejarahnya.
d. Menjembatani kolaborasi lintas sektor, bidang ilmu dan keahlian yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan pelestarian.
e. Meningkatkan kualitas lingkungan kawasan bersejarah dan pendapatan masyarakat.
Menurut Adhisakti (2005) ada enam pendekatan yang tersarikan menjadi tulang punggung upaya ini, yaitu :

a. Adanya organisasi yang mengelola langsung revitalisasi. Melalui organisasi ini dibangun kesepakatan dan kerja sama antar kelompok dan perseorangan yang berperan serta tahapan pelaksanaan kegiatan di masa depan.
b. Dokumentasi dan presentasi yang selalu terbarui, adalah mutlak dilakukan inventarisasi secara menyeluruh potensi dan masalah kawasan. Termasuk fisik dan non fisik, baik pusaka atau tidak. Hasil inventarisasi disusun dalam dokumentasi yang terus diperbarui dan mudah diakses oleh publik. Dokumentasi menjadi dasar pertimbangan aksi revitalisasi. Termasuk memanfaatkan pula sebagai materi promosi.
c. Promosi. Pendekatan ini perlu dimulai sebelum revitalisasi. Awalnya ditujukan pada masyarakat lokal, pemerintah dan berbagai pihak terkait. Promosi dan pemasaran selanjutnya kepada pembeli, pengembang potensial, pelaku bisnis baru dan wisatawan.
d. Mewujudkan roh / kegiatan kawasan pusaka yang akan membuat vitalitas kawasan tumbuh kembali. Bahkan bila perlu mencangkokkan roh baru. Ini merupakan hakiki upaya revitalisasi yang justru sering terabaikan.
e. Meningkatkan rancangan fisik kawasan (desain). Dilaksanakan melalui rehabilitasi bangunan pusaka dan membangun desain pengisi (infill design) yang tepat. Juga memformulasikan arahan desain (design guidelines) tanpa merusak kualitas tatanan yang ada. Justru meningkatkan serta mewadahi kebutuhan kontemporer.
f. Mengembangkan dan menciptakan ekonomi kawasan setempat melalui berbagai terobosan dan kesempatan baru tanpa merusak tatanan kehidupan lokal.

b) Tahapan Revitalisasi
Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu (Danisworo, 2000). Beberapa tahapan yang bisa diacu dalam upaya revitalisasi kawasan pusat kota Bukittinggi meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Intervensi fisik
Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem tanda/reklame dan ruang terbuka kawasan (urban realm). Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan kondisi visual kawasan, khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Isu lingkungan (environmental sustainability) pun menjadi penting, sehingga intervensi fisik pun sudah semestinya memperhatikan konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi pemikiran jangka panjang.

2. Rehabilitasi ekonomi
Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik kawasan yang bersifat jangka pendek, diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan kota (P. Hall/U. Pfeiffer, 2001). Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).

3. Revitalisasi sosial / institusional
Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan sekedar membuat beautiful place. Maksudnya, kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga (public realms). Sudah menjadi sebuah tuntutan yang logis, bahwa kegiatan perancangan dan pembangunan kota untuk menciptakan lingkungan sosial yang berjati diri (place making) dan hal ini pun selanjutnya perlu didukung oleh suatu pengembangan institusi yang baik.

c) Regenerasi Kawasan Perkotaan
Pada saat ini kebutuhan akan regenerasi kawasan perkotaan dirasakaan semakin penting. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah globalisasi, meningkatnya kebutuhan untuk mengubah image kota (re-imagining city), dan pemanfaatan kultur sebagai suatu industri. Perkembangan globalisasi di dunia yang disertai dengan perkembangan pasar dan meningkatnya kompetisi antarkota, telah mengharuskan setiap kota mempunyai spesialisasi atau keunikan tersendiri untuk membedakan dirinya dengan kota-kota yang lain.

Untuk memenangkan persaingan antarkota di dunia, sebuah kota harus memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Salah satu cara untuk memiliki keunggulan tersebut adalah melalui proses re- imagining kota (Gold and Ward, 1994) yang dapat dilakukan dengan cara membuat sebuah program atau proyek yang cukup menarik dan menempatkan proyek tersebut menjadi suatu dorongan bagi para pengunjung untuk datang ke kota tersebut.

Ada beberapa strategi yang dikenal dalam melakukan regenerasi kawasan perkotaan, antara lain, melalui gentrifikasi (gentrification), revitalisasi, konservasi, dan cultural quarter (Maika, 2001). Pendekatan kultural telah menjadi trend di dunia, terutama di negara-negara Eropa, untuk membentuk image baru suatu kota di mata dunia. Perkembangan cultural quarter sebagai strategi regenerasi kawasan perkotaan mulai ramai dibicarakan sejak tahun 1990an. Pemikiran untuk menggunakan potensi kultur sebagai industri menjadi cultural quarter muncul melalui proses kreativitas. Kreativitas dalam konsep perkotaan dibentuk oleh dua faktor utama, yaitu soft factor yang terdiri dari sejarah kota, sistem nilai, image, dan cara hidup (lifestyle), serta hard factor, yaitu fasilitas kultural (cultural facilities), akses terhadap informasi dan pengetahuan di bidang sosial, kultural, ekonomi, dan pembangunan fisik perkotaan. Dalam studi perkotaan, kota-kota yang berhasil dalam melakukan regenerasi melalui proses kreativitas itu kemudian dikenal sebagai creative city, suatu terminologi yang sangat populer di kalangan praktisi perencanaan perkotaan.

Cultural quarter merupakan suatu strategi bagi kota untuk melakukan suatu intervensi yang proaktif, yang melibatkan proses regenerasi kawasan perkotaan. Tidak semua bagian atau area perkotaan dapat diubah menjadi cultural quarter. Hanya daerah yang memiliki karakter dan image yang unik terutama di sektor kultural, yang berpotensi menjadi cultural quarter. Untuk mengembangkan suatu area menjadi cultural quarter, kota membutuhkan flagship project yang melibatkan regenerasi kawasan tidak bernilai (derelict) menjadi area yang lebih dinamis dan bernilai ekonomis. Cultural quarter juga melibatkan orang-orang yang bekerja di bidang seni dengan menyediakan tempat bekerja (working space) di dalam kawasan tersebut. Strategi pengembangan cultural quarter ini diharapkan mampu menarik investor luar bagi pengembangan area tersebut pada khususnya dan bagi kota pada umumnya.

d) Pemasaran Kota Bersejarah
Kata `pemasaran` memiliki konotasi menjajakan dan mendapatkan untung. Berkaitan dengan upaya revitalisasi kawasan bersejarah, pemasaran merupakan salah satu mata rantai dari kegiatan usaha atau bisnis di bidang pelestarian yaitu menjual potensi kawasan. Hal ini berkaitan dengan kuantitas dan kualitas layanan urban yang tersedia dan memadai. Di samping itu belum semua kekayaan kota dikenali, dikualifikasi dan di-spesifikasi serta dikemas dalam format untuk “jualan”. Sebuah pertanyaan yang sering dimunculkan dalam setiap perencanaan upaya revitalisasi yaitu bagaimana menjual kawasan bersejarah?

Beberapa strategi yang dapat digunakan dalam menjual kawasan bersejarah ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Hermanislamet (2001), adalah sebagai berikut; Pertama, menjual dengan kerangka “spasial”; kawasan kota terdiri atas berbagai kawasan-kawasan bagian, yang dapat “distrukturkan” dalam satu satuan manajemen kawasan. Kedua, menjual dengan kerangka “sektoral”; kehidupan urban terbagi atas berbagai “sektor” yang merupakan satuan komunitas / manajemen. Ketiga, menjual layanan urban dengan prinsip “cost recovery”; “produksi” dan “deliveri” layanan urban harus dilakukan dengan dasar menghasilkan kembalinya biaya produksi untuk layanan yang lebih baik di kemudian hari. Keempat, menyiapkan “satuan pengelola” kawasan yang memadai dan dapat menerima limpahan sebagian urusan sektor-sektor; kekayaan kota yang potensial harus dilimpahkan kepada satuan manajemen kawasan profesional agar “penjualan” nya dapat menghasilkan konstrribusi pendapatan kota untuk membiayaai layanan perkotaan.

Penutup
Pembangunan kota tidak jarang meninggalkan kawasan tertentu yang justru mati tanpa sinar kegiatan. Meskipun tanda kehidupan yang pernah berkibar dan mengukir sejarah masih tersisa. Bangunan-bangunan pusaka kumuh tak terurus menjadi penanda. Ketika ada upaya untuk revitalisasi—membangkitkan kembali vitalitas—banyak benturan dihadapi. Umumnya bermuara pada konsep yang tidak tepat. Di antaranya: a) sekadar pemolesan fisik belaka; b) tidak menyentuh properti individu masyarakat dan roh kawasan; c) terjebak paradigma bahwa pelestarian pusaka bertentangan dengan pengembangan ekonomi.

Proses revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kota mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi dari bangunan maupun ruang kota. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik) kota, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota.

Persoalan menghidupkan kembali kawasan pusaka melalui kaidah pelestarian justru harus terpadu dengan pengembangan ekonomi. Di samping partisipasi penghuni yang mutlak perlu. Konsekuensinya pasti membutuhkan waktu panjang. Karena, revitalisasi harus ditumbuhkan dengan akar yang kuat agar mampu berkembang secara berkelanjutan, sepanjang masa.

Upaya tersebut bukanlah semudah membalikkan telapak tangan, meskipun tujuan, sasaran dari program ini cukup jelas, namun dalam pelaksanaannya akan terkait dengan aspek lain, yang sudah barang tentu memiliki karakteristik dan kebijakan tersendiri. Hal tersebut apabila tidak dapat dihindari, namun paling tidak bisa diminimalkan, yaitu melalui suatu tekad atau komitmen dari setiap pemerintah kota / kabupaten untuk memantapkan tekadnya dalam mendukung keberhasilan upaya ini, termasuk menjamin keberlanjutan (pemeliharaan) atas upaya-upaya program Penataan dan Revitalisasi Kawasan yang telah dilaksanakan.

Daftar Pustaka
Adhisakti, Laretna T. 2003. Draft Program Pelestarian Kawasan Pusaka.
Adhisakti, Laretna T, 2005. Revitalisasi Kawasan Pusaka di Berbagai Belahan Bumi, Harian Kompas, Minggu, 13 November 2005.
Danisworo, Muhammad / Widjaja Martokusumo, 2000. Revitalisasi Kawasan Kota Sebuah Catatan dalam Pengembangan
dan Pemanfaatan Kawasan Kota, www.urdi.org (urban and reginal development institute, 2000).
Gold, John R, & Ward, Stephen V, eds. 1994, Place Promotion, The Use of Publicity and Marketing To Sell Towns and
Cities, John Willey & Sons, Wst Sussex, United Kingdom
Hadjerat, Mohammad H, 1947, Sedjarah Negeri Kurai V Djorong serta Pemerintahannya; Pasar dan Kota Bukittinggi, TS. Ichwan, Bukittinggi.
Hall, Peter/Ulrich Pfeiffer, 2000. Urban Future 21, A Global Agenda for Twenty-first Century Cities, E & FN Spon, London. Hermanislamet, Bondan, 2001. Pemasaran Kota Bersejarah, Materi Program Pasca Sarjana Arsitektur Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kimpraswil, 2002. Pedoman Umum Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Jakarta.
Kimpraswil, 2005. Bantuan Teknis Perencanaan Penataan dan Revitalisasi Kawasan Pasar Atas Bukittinggi, Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Jakarta.
Maika, Amelia, 2001. Cultural Quarter / Kuarter Kultur (?): Suatu Alternatif Dalam Strategi Regenerasi Kawasan
Perkotaan, Center for Population and Policy Studies, Gadjah Mada University.
Serageldin, Ismaïl/Ephim Shluger/Joan Martin-Brown (eds.), 2000. Historic Cities and Scared Sites, Cultural Roots for Urban Futures, The World Bank, Washington.
Sassen, Saskia, 1991. The Global City. Princenton University Press, New York.
Tamir, Zainuddin Koto, 1981, Bukittinggi Parisj van Sumatera, Panji Masyarakat No.334.
Wongso, Jonny, 2001, Perkembangan Pola Ruang Kota Bukittinggi, Dari Koto Jolang ke Kotamadya, Tesis, Program Studi Teknik Arsitektur, UGM – Yogyakarta
Zulqaiyyim, 1996, Sejarah Kota Bukittinggi (183 7-1942), Tesis S2, Program Studi Sastra Indonesia dan Jawa, Jurusan Ilmu¬ilmu Humaniora, UGM, Yogyakarta.
__________
Jonny Wongso (Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Bung Hatta Padang), jonny.wongso@lycos.com

Sumber: fab.utm.my
Foto: bukittinggikota.go.id