Menuju Pelestarian Kawasan Pusaka Kota Bukittinggi

Oleh : Jonny Wongso, Eko Alvares, Zulherman

Pendahuluan
Kota Bukittinggi dengan kesejarahan yang dimilikinya dari waktu ke waktu merupakan rangkaian pusaka (heritage) yang menjadi daya tarik yang perlu dilestarikan dan dikembangkan dengan bijaksana. Perkembangan pusaka ini merupakan suatu keterkaitan yang penting antara fenomena sosial budaya dengan pembentukan ruang spesifik (specific space formations) yang pada kenyataannya sebagai potensi utama yang perlu dipertimbangkan. Warisan/peninggalan pusaka ruang kota (urban space heritage) merupakan salah satu kekuatan aset lama yang dapat memberikan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik, terpeliharanya identitas dan sumber daya lingkungan serta menciptakan pusaka masa datang (future heritage).
Berbagai upaya pelestarian yang telah dilakukan, pada umumnya berupa pendekatan fisik (perencanaan fisik) belum ditindaklanjuti dengan program pengembangan ke depan. Peningkatan kualitas dan kuantitas (secara fisik) tersebu belum dapat dimanfaatkan secara optimal dalam meningkatkan kondisi kehidupan dan ekonomi lokal, apalagi sebagai lokasi tujuan wisata. Hingga saat ini rasa memiliki dari masyarakat dan juga berbagai pihak terkait belum tumbuh secara penuh, sehingga sulit mengajak mereka untuk menjaga eksistensi pusaka ruang kotanya (urban heritage).

Melalui tulisan ini ditawarkan suatu konsep pengelolaan pelestarian kawasan ruang kota yang dinamakan dengan Konsep Program Pelestarian Kawasan Pusaka. Konsep ini dipersiapkan untuk dapat menjadi salah satu solusi persoalan pelestarian kawasan bersejarah yang bertumpu pada kemandirian masyarakat lokal, menggugah apresiasi, dan kolaborasi dengan banyak pihak. Di sisi lain membuka lapangan pekerjaan baru bagi para arsitek, perencana atau profesi lainnya yang terkait untuk pro-aktif membentuk organisasi “Kawasan Pusaka” secara profesional dan menawarkan kepada masyarakat lokal di berbagai kawasan bersejarah di seluruh Indonesia.

Diharapkan dari studi ini dapat membangun kepedulian banyak pihak dalam upaya pengelolaan pelestarian kawasan pusaka kota Bukittinggi. Upaya ini pada tahap selanjutnya dapat menjadi acuan perencanaan dan pengelolaan kawasan pusaka secara berkesinambungan dan memberikan konstribusi dalam pembangunan daerah.

Pusaka dan Pelestarian
Pusaka (heritage) merupakan pa-danan kata yang lain dari “warisan”. Bila pusaka tersebut telah memiliki penetapan hukum, maka digunakan kata “cagar”, misalnya cagar alam atau cagar budaya (Adishakti, 2003). Berdasarkan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia yang dideklarasikan di Ciloto 13 Desember 2003, telah disepakati bahwa: Pusaka Indonesia adalah pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka saujana (JPPI, 2003).

1. Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa.

2. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah kebera-daannya. Pusaka budaya mencakup pusaka berwujud (tangible) dan pusaka tidak berwujud (intangible).

3. Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu. Pusaka saujana sejak dekade terakhir ini dikenal dengan pemahaman baru yaitu cuktural landscape (saujana budaya), yakni menitik beratkan pada keterkaitan antara budaya dan alam dan merupakan fenomena kompleks dengan identitas yang berwujud dan tidak berwujud.

Pusaka yang diterima dari generasi sebelumnya sangat penting sebagai landasan dan modal awal bagi pembangunan masyarakat Indonesia di masa depan, karena itu harus dilestarikan untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik, tidak berkurang nilainya, bahkan perlu ditingkatkan untuk membentuk pusaka masa datang.

Pelestarian merupakan terjemahan dari conservation/konservasi. Pengertian pelestarian terhadap peninggalan lama pada awalnya dititikberatkan pada bangunan tunggal atau benda-benda seni, kini telah berkembang ke ruang yang lebih luas seperti kawasan hingga kota bersejarah serta komponen yang semakin beragam seperti skala ruang yang intim, pemandangan yang indah, suasana, dan sebagainya (Adishakti, 2003).

Konsep pelestarian, kini, adalah upaya untuk menjaga kesinambungan yang menerima perubahan dan/atau pembangunan. Suatu pengertian yang berbeda dengan preservasi. Pelestarian bertujuan untuk tetap memelihara identitas dan sumber daya lingkungan dan mengembangkan beberapa aspeknya untuk memenuhi kebutuhan modern dan kualitas hidup yang lebih baik. Konsekuensinya, perubahan yang dimaksud bukanlah terjadi secara drastis, namun perubahan secara alami dan terseleksi.

Kegiatan pelestarian ini bisa berbentuk pembangunan atau pengembangan dalam bentuk upaya preservasi, restorasi, replikasi, rekonstruksi, revitalisasi, dan/atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu (Sidharta, 1989).

Disini perlu ditekankan bahwa pelestarian adalah upaya pengelolaan pusaka melalui serangkaian kegiatan yang meliputi: kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan, dan/atau pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika jaman untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih berkualitas (JPPI, 2003).

Tujuan Pelestarian Kawasan Pusaka
Pelestarian pusaka bukanlah romantisme masa lalu, namun justru membangun masa depan yang menyinambungkan berbagai potensi masa lalu dengan berbagai perkembangan zaman yang terseleksi.

Secara lebih spesifik, pelestarian bertujuan:
1. Berdasarkan kekuatan aset lama, memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik, melakukan pencangkokan program-program yang menarik, kreatif dan berkelanjutan, merencanakan program partisipasi dengan menghitung estimasi ekonomi agar menghasilkan keuntungan dan peningkatan pendapatan, serta pengolahan lingkungan yang ramah (Adishakti, 1999).

2. Menjadi alat dalam mengolah transformasi dan revitalisasi suatu lingkungan bersejarah, serta menciptakan pusaka masa mendatang (future heritage).

3. Tetap memelihara identitas dan sumberdaya lingkungan dan mengembangkan beberapa aspeknya untuk memenuhi kebutuhan modern dan kualitas hidup yang lebih baik (the total system of heritage conservation). Konsekuensinya, perubahan yang dimaksud bukanlah terjadi secara drastis, namun perubahan secara alami dan terseleksi (Adishakti, 1997).

4. Pelestarian berarti pula “preserving purposefully: giving not merely continued existence but continued useful existence”. Jadi, fungsi seperti juga bentuk menjadi pertimbangan utama dan tujuannya bukan untuk mempertahankan pertumbuhan suatu perkotaan, namun manajemen peru-bahan (Ashworth, 1991).

Kawasan Pusaka Kota Bukittinggi
Kota Bukittinggi dengan kesejarahannya telah mewariskan keragaman pusaka yang perlu dijaga dan dilestarikan keberlangsungannya. Kondisi dan bentukan alam yang tercipta memberikan karakteristik tersendiri bagi kota Bukittinggi. Bukittinggi, merupakan salah satu kota yang berkembang dari nagari yang ada di Alam Minangkabau yaitu Nagari Kurai V Jorong yang terletak di tengah-tengah Luhak Agam (sekarang Kabupaten Agam, Propinsi Sumatera Barat). Letak Bukittinggi yang berada di persimpangan jalan di Luhak Agam telah menjadikan Bukittinggi sebagai kota pusat sirkulasi dan kota transit yang amat penting serta kota perdagangan di daerah pedalaman Minangkabau (daerah Sumatera bagian tengah). Posisi ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan kota Bukittinggi secara keseluruhan dalam sirkulasi barang dan jasa serta pengadaan sarana dan prasarana kota yang mampu menampung berbagai kegiatan fungsional kota.

Kota Bukittinggi dengan luas wilayah 25,239 KM2 (2.523,9 Ha) dan jumlah penduduk 100.905 jiwa (2004), terletak di tepi sebuah lembah yaitu Ngarai Sianok (pada sisi Barat). Sebagian besar daerahnya berbukit dan berlembah dengan ketinggian yang bervariasi antara 909 M sampai 941 M di atas permukaan laut, serta memiliki panorama alam yang indah. Tidak salah jika pada jaman Belanda, Bukittinggi pernah dijuluki dengan Parisj van Sumatera (Tamir, 1981).

Perkembangan kawasan pusat kota Bukittinggi tidak terlepas dari letak kota Bukittinggi dalam daerah yang lebih luas (Kabupaten Agam – Sumatera Barat). Letak kota Bukittinggi dipersimpangan jalan yang menghubungkan kota¬kota di sekitarnya, seperti Kota Payakumbuh - Pekanbaru, Padang Panjang - Padang, Batusangkar dan Lubuk Sikaping (ke arah Medan) semakin menjadikan Kota Bukittinggi sebagai pusat pertemuan sirkulasi dari berbagai daerah atau propinsi sekitarnya (tempat atau titik pertemuan jalur regional). Posisi ini memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan kota Bukittinggi secara keseluruhan dalam pengadaan sarana dan prasarana kota yang dapat menampung berbagai kegiatan fungsional kota, seperti perdagangan, sarana transportasi, perkantoran, perumahan, dan sarana pariwisata.
Dari beberapa perkembangan fisik - spasial yang terjadi di kawasan pusat kota Bukittinggi, terdapat beberapa kawasan yang mempunyai tingkat perkembangan yang pesat. Di kawasan ini berakumulasi berbagai fungsi utama kota seperti pusat perdagangan, perkantoran pemerintah, pemukiman, pendidikan, dan pariwisata (objek dan akomodasi wisata), sehingga menjadikan kawasan ini sebagai pusat kegiatan utama kota. Ini juga dibentuk oleh letak kawasan yang berada pada simpul sirkulasi dari kawasan sekitarnya maupun regional.

Pada kawasan pusat kota Bukittinggi, secara fisik masih menyisakan jejak-jejak sejarah yang mempunyai arti dalam pembentukan ruang kota Bukittinggi. Seperti pada daerah perbukitan yang sekarang berfungsi sebagai Pasar Atas Bukittinggi, Benteng Fort de Kock, Istana Negara dan Kebun Binatang, merupakan daerah-daerah awal yang dikuasai dan direncanakan oleh pihak penguasa saat itu sebagai daerah pertahanan, pemerintahan dan perdagangan. Pada saat sekarang merupakan kawasan yang padat karena berakumulasinya berbagai fungsi kota seperti perdagangan, pemerintahan, peribadatan, pemukiman, pendidikan dan faslitas umum. Di samping itu, daerah perbukitan ini juga merupakan simpul atau pusat sirkulasi utama kota. Pengembangan daerah militer ke arah selatan (Komplek KODIM sekarang), telah menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat kegiatan yang sekarang sebagai daerah pengembangan perkantoran pemerintahan, pemukiman dan pendidikan.

Di bagian sebelah timur kota, yang lebih dikenal dengan Kawasan Aur Kuning, merupakan kawasan perdagangan yang bersifat grosir (skala besar). Pada kawasan ini berkembang fungsi terminal bus regional, pasar grosir, pertokoan dan pemukiman-pemukiman penduduk. Sedangkan jalur sirkulasi yang menghubungkan antar kawasan, yang pada mulanya merupakan daerah pemukiman, kemudian berkembang menjadi fungsi ikutan dari ketiga kawasan tersebut, seperti perdagangan, perkantoran dan akomodasi pariwisata.

Beberapa Permasalahan Aktual Kawasan Pusaka Kota Bukittinggi
Pelestarian pusaka/kawasan pusaka belum menjadi suatu persoalan yang secara sistemik terencana dan terkelola sejalan dengan derap pembangunan. Bahkan seringkali dianggap pelestarian pusaka sekedar romantisme masa lalu belaka dan bertentangan dengan pembangunan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari indikator sebagai berikut:

• Mekanisme dan perangkat-perangkat pemerintah kota atau kabupaten di Indonesia sangat terbatas dalam mengelola praktek pelestarian pusaka. Bahkan persoalan izin mendirikan bangunan umumnya tidak menyentuh aspek pelestarian.

• Aspek legal yang amat sangat terbatas dalam melindungi pelesta-rian pusaka dalam melindungi peles-tarian pusaka dalam kehidupan keseharian.

• Pembiayaan pelestarian pusaka da-lam konteks pembangunan dengan sendirinya menjadi sangat terbatas karena belum ada satu sistem pem-biayaan pelestarian yang dibangun.

• Terbatasnya kepedulian baik ma-syarakat luas, dunia seni, dunia pen-didikan, profesi, sektor swasta, pe¬merintah maupun legislatif tentang pelestarian pusaka ini.

Kriteria penetapan apakah ter-masuk pusaka atau tidak dan bagaimana upayanya juga akan sangat beragam. Ini semua akan kembali terkait erat dengan kepedulian masyarakat luas, termasuk pihak-pihak lain seperti pemerintah dan swasta.

Tipologi dari nilai-nilai pusaka (heritage) dalam menentukan kriteria pusaka telah dirumuskan oleh berbagai organisasi dan penggiat pelestarian sebagaimana yang dimuat dalam laporan riset The Getty Conservation Institute, Los Angeles dengan judul Assessing the Values of Cultural Heritage (Torre, 2002). Dalam laporan riset ini dikemukakan beberapa pendapat tentang tipologi dari nilai-nilai pusaka sebagai berikut:

Tabel 1. Summary of heritage value typologies devised by various scholars and organizations

Reigl, 1902:

Lipe, 1984:

the Burra Charter,

1998:

Frey, 1997:

English Heritage, 1997:

Age

Historical

Commemorative

Use

Newness

Economic

Aesthetic

Associative Symbolics

Informational

Aesthetic

Historic

Scientifics

Social (including

spiritual, political,

national, other

cultural)

Monetory

Option

Existence

Bequest

Prestige Educational

Cultural

Educational and Academic

Economic

Resource

Recreational

Aesthetic


Kenyataan menunjukkan, keberhasilan upaya pelestarian terletak pada kemampuan publik dalam memper-dulikan aset yang dimilikinya. Suatu upaya yang perlu berangkat dari buah kecintaan, pemahaman dan apresiasi publik yang kemudian akan menciptakan suatu gerakan buadaya masyarakat da-lam pelestarian pusaka.

Pada tataran inilah yang belum banyak digarap. Selama ini kita hanya sibuk berbicara tentang suatu objek pusaka itu sendiri, apakah tentang sejarahnya, keindahannya, ataukah ciri arsitekturnya. Kita memerlukan „pasar„ yang mampu memberikan apresiasi terhadap objek tersebut, untuk kemudian secara mandiri mampu memelihara, mengembangkan dan memanfaatkannya. Kita perlu good governance yang mampu mengakomodasi apresiasi dan gerakan budaya masyarakat dalam pelestarian pusaka. Disini diperlukan “the total system of heritage conservation” yang mengakar.

Model dan Prinsip Pengelolaan Kawasan Pusaka
Melalui kegiatan penelitian yang telah dilakukan di beberapa nagari dan kota di Minangkabau (2000-2003) ker¬jasama antara Pusat Pelestarian Pusaka Arsitektur-Jurusan Arsitektur Univer-sitas Gadjah Mada dengan Jurusan Arsitektur Universitas Bung Hatta yang kemudian dilanjutkan oleh Pusat Studi Konservasi Arsitektur Kota (Pusaka) Universitas Bung Hatta (2003). Kerjasama yang berikutnya yaitu dengan Jogja Heritage Society serta belajar dari upaya-upaya pelestarian dibanyak negara, maka disusunlah suatu model program pelestarian yang disebut “Kawasan Pusaka”.

Program ini diterapkan oleh Jogja Heritage Society bekerjasama dengan Pusat Pelestarian Pusaka Arsitektur, Jurusan Arsitektur FT UGM sebagai uji coba upaya pelestarian di Kawasan nJeron Beteng, Kraton, Yogyakarta (kegiatan sejak tahun 1999 hingga sekarang) dan Manajemen Konservasi Kawasan Pusaka Di Batusangkar dan Sekitarnya (2002-2003). Program ini selanjutnya diterapkan dalam lingkungan akademik dalam bentuk kegiatan Kuliah Kerja Lapangan Arsitektur di beberapa Nagari di Sumatera Barat pada 2004 dan 2005. Model ini menunjukkan penting dan besarnya peran masyarakat dalam mengelola dan melaksanakan pelestarian lingkungan bersejarah.

Program Pelestarian “Kawasan Pusaka” memiliki 6 pendekatan persoalan yang dilaksanakan secara paralel maupun bergantian dalam rentang waktu yang relatif panjang untuk menyelesaikan keseluruhan persoalan secara berkesinambungan dan tuntas. Ke enam program pendekatan tersebut adalah Organisasi & Pengelolaan, Dokumentasi & Presentasi, Promosi, Perencanaan Kegiatan, Disain, dan Restrukturisasi Ekonomi. Adapun strategi keberhasilan dari program ini dapat juga dilihat dari enam pendekatan eksternal, yaitu Pasar, Lokasi, Disain, Keuangan, Kewirausahaan, dan Pemasaran.

Prospek dan Tantangan
Belajar dari kegiatan pelestarian yang telah dilakukan dan tanggapan dari berbagai kelompok, serta belajar dari berbagai tempat, perlu diterapkan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan yang sekaligus berperan sebagai tantangan yang harus dicarikan solusinya untuk masa datang. Prinsip-prinsip ini dapat pula diterapkan di kawasan yang serupa di seluruh Indonesia dan bahkan Asia (Handayani, 2003).

A. Manajemen Bertumpu pada Masyarakat
Di berbagai kawasan bersejarah di Indonesia, masyarakat mulai menyadari betapa pentingnya melestarikan pusaka budaya mereka. Sayangnya, sebagian dari pusaka budaya itu telah rusak, hilang, ataupun diubah. Seperti halnya di banyak kota bersejarah lainnya di Indonesia, aset-aset pusaka budaya sangatlah rawan terhadap perubahan yang tak terduga dan tak terkendali. Dari pengalaman masyarakat tradisional di masa lampau, kita belajar bahwa mereka melakukan sendiri tindakan konservasi pusaka budaya mereka. Mereka membangun sistem sendiri untuk melindungi pusaka budaya. Pasti ada rasa memiliki yang sangat kuat atas apa yang mereka warisi sehingga mereka mampu mengelola lingkungan budaya mereka secara mandiri.

Manajemen bertumpu pada masyarakat merupakan sistem yang tepat untuk mengelola kawasan bersejarah di mana perlindungan dan pengelolaaan pusaka budaya menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Namun demikian, untuk mewadahi kebutuhan-kebutuhan baru masa kini dan masa datang, diperlukan beberapa program termasuk revitalisasi, sehingga pusaka budaya ini akan menjadi sumber-sumber yang bermakna untuk kehidupan masyarakat setempat. Dukungan, advokasi, bantuan, juga dana dari Pemerintah Daerah, Dinas¬dinas, dan Organisasi non pemerintah hanyalah bersifat sementara. Masyarakat setempat seyogyanya menjadi pelaku utama untuk melanjutkan program konservasi mereka.

B. Kerjasama Lintas Multidisiplin/Sektor
Di Indonesia program-program konservasi dilakukan oleh berbagai institusi pemerintah dan swasta dengan cara masing-masing sesuai dengan minat dan latar belakang masing-masing. Kenyataannya, beberapa cara, terminologi dan landasan teoritik yang digunakan tidak saling melengkapi. Lebih-lebih di antara kelompok¬kelompok ini tidak ada kesepakatan atau pun kerjasama. Akibatnya program-program konservasi belum memberikan dampak yang optimal untuk pusaka budaya dan masyarakatnya. Maka perlu adanya pemahaman yang multi-dimensional dan multikelompok untuk melakukan konservasi. Diperlukan pula garis-garis besar manajemen konservasi yang mewadahi berbagai disiplin dan sektor, didukung dengan mekanisme institusional dan aspek legal yang mencakup permasalahan lingkungan budaya.

C. Mekanisme Institusional untuk Mewadahi Apresiasi dan Tindakan Masyarakat
Terdapat banyak masalah yang berkaitan dengan pembongkaran bangunan yang biasanya berlangsung sangat cepat, dan upaya rehabilitasi bangunan bersejarah dan kawasan sering kurang tepat. Sementara itu tidak ada satupun Dinas dalam Pemerintah Kota yang secara khusus menangani konservasi meskipun asset bangunan bersejarahnya sangat banyak. Di sisi lain, kesadaran, penghargaan, dan tindakan masyarakat setempat untuk melestarikan pusaka budaya justru menunjukkan peningkatan yang semakin besar. Berdasarkan keadaan ini, maka mekanisme institusional untuk konservasi di tingkat kota/kabupaten sudah sangat perlu dibentuk.

D. Dukungan Berupa Pemberdayaan Aspek Legal
Saat ini sudah ada peraturan mengenai konservasi, yaitu UU No. 5 Tahun 1992, didukung dengan peraturan¬peraturan lainnya. Pada kenyataannya, peraturan itu masih bersifat umum, dan tidak diterapkan secara benar, khususnya di kawasan tertentu yang mendapat tekanan kuat untuk kepentingan pertumbuhan komersial.

Masalah lain adalah mengenai insentif untuk mereka yang telah mematuhi peraturan tersebut, dan sanksi bagi yang melanggar. Tidak ada insentif pajak untuk yang melakukan konservasi terhadap pusaka budayanya, baik pemilik maupun pengelola. Begitu pula belum ada pula sistem pengurangan pajak yang bisa menjadi sumber dana bagi organisasi-organisasi non-profit dan kelompok masyarakat setempat yang menangani konservasi.

E. Menciptakan Pasar Konservasi untuk Mendukung Kesinambungan Pengelolaan
Sampai saat ini konservasi masih dipahami secara terbatas. Konservasi sering dimaknai dengan pemikiran romantik dan nostalgik, bukan dalam pemaknaan ekonomis. Belajar dari pengalaman negara lain, perlu diciptakan pasar konservasi untuk mendukung kesinambungan pengelolaan kawasan bersejarah. Dewasa ini hanya ada sejumlah kecil sektor swasta yang bergerak dalam bisnis konservasi, termasuk penggunaan kembali bangunan-bangunan tua untuk aktivitas yang baru. Untuk menciptakan pasar konservasi, diperlukan langkah¬langkah konservasi yang inovatif agar menarik minat sektor swasta untuk terlibat. Untuk itu perlu dukungan pihak Pemerintah Kota dalam bekerjasama dengan sector swasta termasuk penciptaan mekanisme yang jelas bagi pengembangan asset bersejarah untuk kegiatan ekonomi masa kini.

Penutup
Keberagaman dan karakteristik kawasan pusaka di Kota Bukittinggi, yang berkembang dari waktu ke waktu merupakan suatu peninggalan atau pusaka yang perlu dilestarikan karena memiliki nilai penting dalam perkembangan alam dan budaya di Minangkabau. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan yang mengantarkan kepada pemahaman terhadap upaya pelestarian dalam hal pengeloaan kawasan pusaka.

1. Pemahaman terhadap kawasan pusaka. Upaya ini dilakukan untuk membangun sebuah pengertian baru tentang kawasan pusaka alam dan budaya. Pemahaman baru ini telah berkembang sedemikian rupa berdasarkan pengalaman yang terjadi di berbagai tempat. Salah satu isu yang diakomodasi oleh cara berpikir ini adalah tidak lagi memisahkan antara manusia dan lingkungannya, dan meletaklan manusia dan aktivitasnya sebagai bagian dari lingkungan di sekitarnya.

2. Mencoba mengkoreksi kesalahan praktek kegiatan pariwisata yang umumnya terjadi selama ini, yang lebih menekankan kepada pembangunan aspek fisik sarana penunjang wisata, kepada perhatian utama kegiatan wisata tersebut yaitu aktivitas manusia. Atau dengan kata lain mengintegrasikan kegiatan atau aktivitas masyarakat yang ada kedalam kegiatan yang lebih produktif seperti kegiatan pariwisata dan kegiatan lainnya.

3. Penentuan kawasan pusaka diantaranya dilakukan berdasarkan batasan-batasan wilayah yang telah ada, potensi serta karakteristik kawasan. Berdasarkan batasan-batasan wilayah secara antropologis dan historis dapat dibagi berdasarkan jorong atau nagari. Sedangkan berdasarkan potensi atau karak-tersitik dapat dibagi berdasarkan satuan luas kawasan pusaka tertentu, seperti kawasan dengan peman-dangan dan produktivitas alam dengan berbagai kondisi. Bentuk lain adalah satuan batasan kawasan dengan potensi sebagai objek wisata yang mempunyai potensi ekonomi dan sudah mulai berkembang.

4. Merancang sebuah manajemen pengelolaan kawasan pusaka yang berbasiskan komunitas, serta memperhatikan kompleksitas sektor dan bidang-bidang terkait yang sudah ada.

5. Untuk mengevaluasi keberhasilan sebuah program pengembangan kawasan pusaka, maka perlu dibuat kriteria dan indikator keberhasilan setiap tahap-tahap pelaksanaanya, antara lain:

o Terbentuknya organisasi yang berorientasi kepada dinamikan masyarakat di sekitar kawasan pusaka.

o Semakin tingginya kesadaran dan rasa memiliki masyarakat tentang kawasan pusaka yang mereka miliki.

o Muncul dan berkembanganya semangat dan animo masyarakat untuk mengembangkan kawasan pusaka.

o Terakomodasinya aspirasi dan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengembangan kawasan pusaka.

o Terwujud dan terbinanya langkah-langkah untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan kawasan pusaka alam dan budaya.

o Terbentuknya pola dan sistem identifikasi dan dokumentasi yang berkelanjutan dan dilakukan oleh masyarakat dan dikoordinir oleh manajer pusaka.

Daftar Pustaka
Adishakti, Laretna T, 1999. “From Activities to Physical Environment: Conservation of Kota Gede, the Old Capital City of Mataram Yogyakarta, Indonesia ”. Paper presented in the International Seminar on Historic Cities Conservation and Public Participation , Kyoto, Japan.

Adishakti, Laretna T, 1997. “A Study on the Conservation Planning of Yogyakarta Historic-tourist City Based on Urban Space Heritage Conception ”. Unpublished dissertation. Kyoto University, Japan.

Ashworth, GJ. 1991. “Heritage Planning: Conservation as management of change”. Geo Press, the Netherlands.

Adishakti, Laretna T, 2003, Teknik Konservasi Kawasan Pusaka, Jurusan Arsitektur, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Frey, B. S., and F. Oberholzer-Gee, 1998. Public choice, cost-benefit analysis, and the evaluation of cultural heritage. In Peacock.

Handayani, Titi. 2003. “Pelestarian Njeron Beteng Sebagai Kawasan Pusaka Berkelas Dunia ”. Disampaikan dalam Simposium Praktek-Praktek Inovatif dalam Program Kemitraan Kota Yogyakarta (Indonesia) – Savannah City (AS), Yogyakarta, 2 Oktober, 2003.

Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia (JPPI), 2003, Indonesia Charter for Heritage Conservation, Jakarta - Indonesia.

Lipe, W, 1984. Value and meaning in cultural resources. In approaches to the Archaelogical Heritage. ed. H.Cleere. Cambridge University Press, New York.

Nain, Syafnir Aboe, 1988. Tuanku Imam Bonjol, Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau, 1784-1832. Penerbit Esa.Padang.

Reigl, A., (1902), The modern cult of monument: It‘s character and its origin. Reprint, trans.D Ghirardo and K. Forster. Oppositions.

Sidharta, Eko Budihardjo, 1989, Konservasi Lingkungan dan Bangunan Bersejarah di Surakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Torre, Marta de la, 2002, Assessing the Values of Cultural Heritage, The Getty Conservation Institute, Los Angeles.
__________
Jonny Wongso, Eko Alvares, Zulherman (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Bung Hatta)

Sumber :fab.utm.my