Daya Tarik
Bila kita tiba-tiba ditanya : apa sesungguhnya kekuatan atau daya tarik pariwisata Indonesia yang membedakannya dengan negara lain, sehingga layak dijual? Pada umumnya akan menjawab, keindahan alamnya. Untuk yang jarang melakukan perjalanan wisata ke mancanegara maka jawaban tersebut mungkin benar karena memang tidak pernah melihat alam lain. Atau budayanya, tapi budaya yang mana Bali kah atau Jawa, Toraja, atau yang lainnya. Kembali pengelolaan peninggalan budaya masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan peninggalan budaya Yunani, Roma, Mesir, kemampuan kita masih tertinggal. Bahkan di kawasan ASEAN saja pengelolaan peninggalan budaya kita masih ketinggalan dibandingkan dengan Thailand atau Kamboja dengan Angkor Wat nya. Kesemuanya ini perlu dikemukakan agar tidak timbul arogansi yang sempit bahwa Indonesia adalah segalanya, terindah di dunia, cepat berpuas diri; sehingga dikiranya setiap warga dunia mendambakan untuk dapat berkunjung ke Indonesia dengan cara menabung atau cara lainnya. Sesungguhnya keindahan alam ataupun peninggalan budaya secara fisik tidak lebih dari seonggokan gunung atau candi ataupun benda/bangunan lainnya, ataupun pantai yang indah yang juga dimiliki oleh berbagai negara yang lokasinya berdekatan dengan lumbung turis internasional. Karena tanpa adanya komunitas disekitar monumen, gunung atau pantai maka obyek wisata tersebut tidak lebih dari benda mati, tidak ada roh kehidupan dan bahkan tidak berarti apa-apa bagi pengunjung.
Oleh karena itu haruslah disadari bahwa kekuatan pariwisata Indonesia adalah terletak pada manusianya. Manusia yang hangat, ramah tamah, murah senyum dan gemar menolong tamunya, sehingga membuat “kangen” untuk kembali lagi. Gambaran ini adalah pada umumnya manusia Indonesia memang bercirikan demikian dan kita akui pula bahwa memang ada juga sekelompok kecil bangsa Indonesia yang mempunyai tingkah laku tidak seperti yang digambarkan, dan ini hanyalah ekses dari berbagai perubahan yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia.
Karena sudah menemukenali bahwa kekuatan pariwisata kita adalah manusia maka berbagai langkah penggarapan harus difokuskan kepada manusia. Sebenarnya ini sudah dirintis pada tahun 2001 dengan memperkenalkan branding Indonesia, Just a Smile Away, dan juga membuahkan hasil dengan pencapaian wisman pada tahun 2001 yakni sebesar 5,153 juta dan tahun 2002 sebesar 5 juta (dikala negara lain menderita penurunan kedatangan wisman akibat tragedi WTC – New York). Namun sayangnya branding yang belum begitu dikenal seperti Malaysia Truly Asia ini harus mengalami penggantian tanpa alasan yang jelas. Di CNN kita saksikan branding diganti menjadi Indonesia, the Colour of Life . Padahal belum sampai setahun yang lalu (Februari–April 2003) Presiden Megawati menyampaikan sub thema Indonesia, Endless Beauty of Diversity, dalam tayangan iklan di BBC dan CNBC menyambut konferensi PATA 2003. Bahkan tahun 2004 ini diluncurkan new branding : Indonesia, Ultimate in Diversity (jadi mirip iklan mobil Honda CRV – ultimate driving comfort and worry free driving). Yang sangat mengherankan adalah hal tersebut dilakukan tanpa penjelasan atau landasan survai yang jelas mengapa memilih kata-kata tersebut.
Kesemuanya ini menggambarkan amburadulnya manajemen pariwisata Indonesia, paling tidak di instansi pemerintah pusat yang bertanggung jawab membinanya. Dengan pimpinan yang sama sejak tahun 2001 sampai sekarang tampaknya tidak ada konsistensi dalam kebijakannya sehingga tidak saja membingungkan para pelaku nyata pariwisata Indonesia tetapi juga para pelaku di luar negeri karena terdapat dua tayangan dengan branding yang berbeda, CNN dengan yang kata-kata telah diubah sedangkan CNBC dan BBC masih mengikuti sub branding yang dicanangkan oleh Presiden Megawati (yang mungkin sudah dilupakan oleh menterinya). Oleh karena itu apabila tidak ada dasar yang kuat, sebaiknya dikembalikan ke branding yang lama, paling tidak sampai tiga tahun mendatang supaya tidak membingungkan pasar internasional dan menjadi bahan cemoohan dan guyonan orang yang mengerti marketing ataupun image creation.
Prioritas Pasar dan Outlook 2004
Sejak peristiwa 11 September 2001 pemerintah dan pelaku pariwisata sepakat untuk lebih fokus memasarkan Indonesia dengan prioritas ke negara jiran (short-haul) dan regional (medium haul). Disamping 70% wisman Indonesia memang berasal dari segmen pasar ini, terdapat pula kecenderungan akan makin sedikit manusia yang bepergian terlalu jauh dari tempat tinggalnya hanya untuk berwisata. Terlalu banyak resiko terutama yang terkait dengan keamanan dan kenyamanan serta efisiensi karena pariwisata saat ini berhadapan dengan “time poor–money rich people” (punya harta tetapi miskin waktu). Oleh karena itulah berbagai upaya dilakukan dengan paket wisata yang menarik agar wisman di sekitar negara kita lebih tertarik berkunjung ke Indonesia dibandingkan ke negara lain. Pandangan ini lebih diyakini lagi setelah terjadinya tragedi Bali, Oktober 2002. Tanpa tragedi pun mengatasi permasalahan pariwisata sudah sangat sulit, apalagi ditambah dengan terjadinya tragedi ini, bahkan diikuti pula dengan tragedi Hotel Marriott (Agustus 2003). Lebih parah lagi setelah terjadinya berbagai tragedi yang sesungguhnya merupakan cobaan ini, kekompakan dan kebersamaan di kalangan pelaku pariwisata yang dirasakan sebelumnya sangat baik, telah terpecah belah karena berbagai ambisi dan manuver politik untuk dapat muncul menjadi pahlawan pariwisata Indonesia (mungkin supaya dikenang sejarah walaupun kesiangan dan tanpa prestasi yang jelas).
Oleh karena itu diawal 2003 BP-Budpar, sebagai lembaga operasional saat itu memberikan gambaran bahwa tahun 2003 Indonesia akan mencapai angka terendah dibawah tahun 2002 (5 juta wisman), sebesar 4,5 juta sampai 4,8 juta wisman. Para wartawan menanyakan kok bisa lebih rendah dari 2002 saat dimana terjadi Bom Bali. Analoginya sama dengan penyakit yang datangnya tiba-tiba tetapi penyembuhannya memakan waktu dan bertahap. Disamping itu tahun 2002 dari bulan Januari sampai dengan 11 Oktober kondisi pariwisata Indonesia masih normal karena ketidaknormalan hanya dialami dua setengah bulan terakhir saja; sedangkan di tahun 2003 ketidaknormalan akan berlangsung satu tahun penuh bahkan akan merembet ke tahun 2004 (saat itu belum tahu kalau akan terjadi bom Mariott). Jadi faktor utamanya adalah jaminan keamanan, meskipun tidak ada satu pun negara di dunia yang menjamin bahwa wisman nya akan aman ketika tinggal di negaranya. Yang mereka perlukan adalah “signal” bahwa Indonesia bersungguh-sungguh menjaga keamanan.
Sementara itu di tahun 2004 kita akan menyelenggarakan Pemilu masing-masing pada bulan April, Juli dan September. Apabila pemilihan presiden dapat dilakukan hanya satu kali yakni bulan Juli maka pebisnis yakin bahwa kondisi akan normal kembali dan diharapkan akan adanya peningkatan kunjungan ke Indonesia (bila kondisi keamanan mendukung). Namun bila pemilihan Presiden sampai diulang (bulan September) maka tampaknya akan membawa dampak negatif bagi pariwisata Indonesia karena pihak yang kalah kemungkinan akan berbuat keonaran, mengingat jiwa sportivitas masih belum membudaya di kalangan politisi kita. Oleh karena itu agar tidak hanya termangu-mangu saja maka sebagai jalan keluarnya di tahun 2004 disarankan para pelaku pariwisata Indonesia lebih fokus ke pasar dalam negeri, menggarap wisatawan nusantara (wisnus) dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya sehingga minimal kondisi cash-flow perusahaan akan dapat tertolong. Dan sebaiknya tidak melakukan expansi ataupun investasi baru karena kondisi kestabilan politik kurang mendukung adanya investasi baru di bidang pariwisata. Atas dasar kondisi tersebut maka perkiraan jumlah wisman di tahun 2004 maksimal hanya akan meraih 4,5 juta wisman. Apabila dalam White Paper Menbudpar ditargetkan harus dapat setor atau menghasilkan USD 5 Milyar maka harus bekerja keras berusaha agar masa lama tinggal ( length of stay ) nya lebih panjang dari hanya sekedar 10 hari dengan berbagai peningkatan kualitas dan variasi atraksi yang menarik mereka untuk tinggal lebih lama lagi. Dan daerah yang sangat terpengaruh terutama adalah Bali, sedangkan pintu masuk Cengkareng dan Batam akan sedikit pengaruhnya karena kebanyakan pengunjung yang datang melalui pintu ini adalah untuk melakukan bisnis bukan berwisata dalam arti sesungguhnya, meskipun tetap akan mengalami penurunan pula. Disamping itu sebaiknya kita tidak terperangkap pada “kekinian” sehingga menghilangkan idealisme hanya dengan pragmatisme jangka pendek semata. Jawaban ex-patriate diawal pembahasan bahwa sektor pariwisata lah yang akan menggantikan primadona ekonomi Indonesia nantinya hendaknya kita jadikan pedoman dan mulai melihat kedepan paling tidak tahun 2010, sebagaimana Thailand yang telah mencanangkan target 30 juta wisman pada tahun 2010. yang tentunya didukung oleh persiapan yang matang dan mantap serta leadership yang kuat, bukannya yang lemah diikuti oleh manajemen yang amburadul. Inilah saatnya kembali bersatu karena tanpa persatuan sangat mustahil pariwisata Indonesia dapat berdiri sejajar dengan negara tetangga, Malaysia, Thailand dan Singapura.
Selain itu hendaklah disadari bahwa sektor pariwisata adalah penyedia kesempatan kerja yang sangat dominan yakni 10 % dari lapangan kerja di Indonesia dengan jumlah tenaga kerja langsung 7,3 juta dan yang tidak langsung 5 juta orang. Sehingga bila terjadi permasalahan yang menghambat kemajuan pariwisata pasti akan membawa dampak yang negatif terhadap ketersediaan lapangan kerja. Oleh karena itu berbagai strategi pun harus diarahkan ke sasaran penciptaan lapangan kerja atau paling tidak memelihara jumlah tenaga kerja yang ada sekarang.
Restrukturisasi Industri
Dari sisi industri harus pula dilakukan restrukturisasi industri mirip yang dilakukan oleh industri perbankan yang mempersyaratkan minimal modal setor, mengingat kondisi struktur permodalan industri pariwisata Indonesia sangat lemah, bila kita ambil contoh kelompok biro perjalanan wisata (BPW) yang seharusnya dijadikan prioritas pembenahan. Karena ujung tombak kegiatan pariwisata sesungguhnya ada pada biro perjalanan wisata (BPW) yang mempunyai fungsi mengemas paket-paket wisata untuk ditawarkan kepada konsumen baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga setiap BPW benar-benar mempunyai kemampuan sebagai DMC ( destination management corporation ) tidak hanya sekedar berfungsi sebagai agen penjualan tiket seperti yang terjadi saat ini. Dengan adanya DMC maka setiap perjalanan akan menjadi lebih efisien, berkualitas dan dapat dibuatkan standar harga yang ditaati oleh pihak-pihak terkait dan persaingan hanya boleh dilakukan di segi pelayanan saja. Hal ini yang tidak pernah terpikirkan oleh pemerintah Indonesia sehingga walaupun secara formal mereka bernaung dalam satu asosiasi tapi perselisihan bahkan upaya saling mematikan sering terjadi. Kelemahan BPW lainnya adalah lemahnya permodalan sebagian besar perusahaan tersebut dan tidak memiliki akses kepada sumber pendanaan (bank). Sehingga dalam negosiasi dengan mitra kerja asing, BPW Indonesia akan selalu berada di pihak yang lemah dan tidak dapat menentukan, tetapi selalu ditentukan. Kondisi ini sebenarnya dapat dimaklumi karena lebih dari 90 % BPW tergolong UKM dengan permodalan yang lemah. Mereka umumnya berasal dari para pemandu wisata yang ingin mandiri dengan mendirikan BPW lepas dari induk asalnya. Sehingga otomatis kemampuan manajerial terbatas dan visi bisnis pun akan terbatas pula. Untuk menyiapkan Indonesia dimasa depan maka harus ada keberanian untuk melakukan restrukturisasi BPW dengan menetapkan permodalan minimal ataupun merger sehingga BPW dapat lebih kuat posisi tawarnya ( bargaining position). Dan pada lima tahun mendatang diharapkan Indonesia sudah memiliki BPW yang kuat, dan profesional sehingga memiliki kemampuan penetrasi ke pasar mancanegara. Demikian pula dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) pemandu wisata pun harus dapat ditingkatkan dengan melakukan pengketatan pemberian linsensi sebagai pemandu wisata yang selalu di perbaharui pada periode tertentu untuk meningkatkan standar kualitas kemampuannya. Dalam hal ini Indonesia dapat mencontoh dan belajar dari Malaysia dan Thailand dalam menyiapkan tenaga terampil dibidang ini. Selain itu penguasaan di bidang teknologi informasi pun harus lebih ditingkatkan mengingat bahwa kita berhadapan dengan computer literate generation , sehingga if you are not online- you are not on sale .
Leadership
Penggabungan BP-Budpar ke dalam institusi Kementrian Negara merupakan suatu kemunduran yang sangat dirasakan oleh dunia pariwisata Indonesia, dan mitra kerja asing. Angka kunjungan wisman 5,153 seperti yang pernah dicapai dalam tahun 2001 tampaknya hanya akan menjadi impian belaka sampai masa bakti Kabinet Gotong Royong ini berakhir pada tahun ini Dua tahun dihabiskan hanya untuk melakukan “housekeeping” atau bongkar pasang intern kelembagaan tanpa adanya suatu manfaat dan arah yang jelas selain perasaan dendam kesumat untuk menghapuskan bekas-bekas lama. Lembaga yang semula didambakan akan menjadi semacam Singapore Tourism Board, Hongkong Tourism Board, Tourism Authority of Thailand ataupun Australia Tourism Commisssion, ternyata tidak dikehendaki kelahirannya karena memang dikalangan birokrat dan juga sebagian industri terdapat suatu penyakit yang alergi terhadap diterapkannya profesionalitas di sektor pariwisata. Pandangan sempit ini hanya untuk kepentingan diri semata bukan untuk kepentingan bangsa. Kemungkinan mereka beranggapan apabila sampai lembaga profesional tersebut terbentuk maka akan sirnalah kesempatan bisnis yang selama ini diperoleh dengan cara yang tidak pantas dan untuk birokrat akan hilanglah kesempatan untuk menduduki jabatan strategis yang pasti nantinya akan diiisi oleh kalangan profesional. Upaya pembersihan tampak sekali dengan adanya penggantian materi iklan di CNN yang kualitasnya kurang memadai untuk mendukung upaya pemulihan citra Indonesia, sebagaimana telah diuraikan di bagian terdahulu. Haruslah diakui bahwa untuk menyiapkan pariwisata sebagai sektor unggulan sangat diperlukan figur pimpinan yang memiliki visi dan berwibawa. Figur Soesilo Sudarman salah satu contoh yang pernah muncul dalam pemerintahan dan berhasil merakyatkan pariwisata dengan konsep Sapta Pesona nya. Setelah itu kita kehilangan figur-figur semacam beliau. Figur yang mempunyai keberanian untuk mengatakan tidak kepada rekan menteri lainnya apabila ada yang mengusik kelancaran jalannya pariwisata seperti masalah fasilitasi pemberian visa. Figur yang mampu mengkoordinir anggota kabinet lainnya pada saat masalah pariwisata dibicarakan, tidak hanya sekedar mengirimkan para eselon II bahkan seringkali hanya eselon III nya untuk hadir dalam suatu rapat yang bersifat strategis.. Dan figur yang dapat menjadi teladan di lingkungannya baik di intern lembaga yang dipimpin maupun di luar kelembagaan, karena tidak berpihak kepada sekelompok individu, satunya kata dan perbuatan, dan jujur serta adil dengan tidak mempraktekan nepotisme sehingga figur tersebut selalu dihormati jajaran dan mitra kerjanya. Dengan figur semacam ini, maka masa depan pariwisata Indonesia sebagai sektor unggulan tampaknya akan ada harapan. Semoga kita mendapatkan figur tersebut dalam pemerintahan yang akan datang.
_____________________
Setyanto P. Santosa dilahirkan pada tanggal 9 Agustus 1946 di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Menyelesaikan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padjadjaran tahun 1971 dan melanjutkan program Master in Economics di Michigan State University, East Lansing Amerika Serikat dari tahun 1976-1978. Sejak tahun 1998 berstatus Pegawai Negeri Sipil dengan pangkat Pembina Utama Madya (Gol. IV-D)
Sumber : kolom.pacific.net.id
Bila kita tiba-tiba ditanya : apa sesungguhnya kekuatan atau daya tarik pariwisata Indonesia yang membedakannya dengan negara lain, sehingga layak dijual? Pada umumnya akan menjawab, keindahan alamnya. Untuk yang jarang melakukan perjalanan wisata ke mancanegara maka jawaban tersebut mungkin benar karena memang tidak pernah melihat alam lain. Atau budayanya, tapi budaya yang mana Bali kah atau Jawa, Toraja, atau yang lainnya. Kembali pengelolaan peninggalan budaya masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan peninggalan budaya Yunani, Roma, Mesir, kemampuan kita masih tertinggal. Bahkan di kawasan ASEAN saja pengelolaan peninggalan budaya kita masih ketinggalan dibandingkan dengan Thailand atau Kamboja dengan Angkor Wat nya. Kesemuanya ini perlu dikemukakan agar tidak timbul arogansi yang sempit bahwa Indonesia adalah segalanya, terindah di dunia, cepat berpuas diri; sehingga dikiranya setiap warga dunia mendambakan untuk dapat berkunjung ke Indonesia dengan cara menabung atau cara lainnya. Sesungguhnya keindahan alam ataupun peninggalan budaya secara fisik tidak lebih dari seonggokan gunung atau candi ataupun benda/bangunan lainnya, ataupun pantai yang indah yang juga dimiliki oleh berbagai negara yang lokasinya berdekatan dengan lumbung turis internasional. Karena tanpa adanya komunitas disekitar monumen, gunung atau pantai maka obyek wisata tersebut tidak lebih dari benda mati, tidak ada roh kehidupan dan bahkan tidak berarti apa-apa bagi pengunjung.
Oleh karena itu haruslah disadari bahwa kekuatan pariwisata Indonesia adalah terletak pada manusianya. Manusia yang hangat, ramah tamah, murah senyum dan gemar menolong tamunya, sehingga membuat “kangen” untuk kembali lagi. Gambaran ini adalah pada umumnya manusia Indonesia memang bercirikan demikian dan kita akui pula bahwa memang ada juga sekelompok kecil bangsa Indonesia yang mempunyai tingkah laku tidak seperti yang digambarkan, dan ini hanyalah ekses dari berbagai perubahan yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia.
Karena sudah menemukenali bahwa kekuatan pariwisata kita adalah manusia maka berbagai langkah penggarapan harus difokuskan kepada manusia. Sebenarnya ini sudah dirintis pada tahun 2001 dengan memperkenalkan branding Indonesia, Just a Smile Away, dan juga membuahkan hasil dengan pencapaian wisman pada tahun 2001 yakni sebesar 5,153 juta dan tahun 2002 sebesar 5 juta (dikala negara lain menderita penurunan kedatangan wisman akibat tragedi WTC – New York). Namun sayangnya branding yang belum begitu dikenal seperti Malaysia Truly Asia ini harus mengalami penggantian tanpa alasan yang jelas. Di CNN kita saksikan branding diganti menjadi Indonesia, the Colour of Life . Padahal belum sampai setahun yang lalu (Februari–April 2003) Presiden Megawati menyampaikan sub thema Indonesia, Endless Beauty of Diversity, dalam tayangan iklan di BBC dan CNBC menyambut konferensi PATA 2003. Bahkan tahun 2004 ini diluncurkan new branding : Indonesia, Ultimate in Diversity (jadi mirip iklan mobil Honda CRV – ultimate driving comfort and worry free driving). Yang sangat mengherankan adalah hal tersebut dilakukan tanpa penjelasan atau landasan survai yang jelas mengapa memilih kata-kata tersebut.
Kesemuanya ini menggambarkan amburadulnya manajemen pariwisata Indonesia, paling tidak di instansi pemerintah pusat yang bertanggung jawab membinanya. Dengan pimpinan yang sama sejak tahun 2001 sampai sekarang tampaknya tidak ada konsistensi dalam kebijakannya sehingga tidak saja membingungkan para pelaku nyata pariwisata Indonesia tetapi juga para pelaku di luar negeri karena terdapat dua tayangan dengan branding yang berbeda, CNN dengan yang kata-kata telah diubah sedangkan CNBC dan BBC masih mengikuti sub branding yang dicanangkan oleh Presiden Megawati (yang mungkin sudah dilupakan oleh menterinya). Oleh karena itu apabila tidak ada dasar yang kuat, sebaiknya dikembalikan ke branding yang lama, paling tidak sampai tiga tahun mendatang supaya tidak membingungkan pasar internasional dan menjadi bahan cemoohan dan guyonan orang yang mengerti marketing ataupun image creation.
Prioritas Pasar dan Outlook 2004
Sejak peristiwa 11 September 2001 pemerintah dan pelaku pariwisata sepakat untuk lebih fokus memasarkan Indonesia dengan prioritas ke negara jiran (short-haul) dan regional (medium haul). Disamping 70% wisman Indonesia memang berasal dari segmen pasar ini, terdapat pula kecenderungan akan makin sedikit manusia yang bepergian terlalu jauh dari tempat tinggalnya hanya untuk berwisata. Terlalu banyak resiko terutama yang terkait dengan keamanan dan kenyamanan serta efisiensi karena pariwisata saat ini berhadapan dengan “time poor–money rich people” (punya harta tetapi miskin waktu). Oleh karena itulah berbagai upaya dilakukan dengan paket wisata yang menarik agar wisman di sekitar negara kita lebih tertarik berkunjung ke Indonesia dibandingkan ke negara lain. Pandangan ini lebih diyakini lagi setelah terjadinya tragedi Bali, Oktober 2002. Tanpa tragedi pun mengatasi permasalahan pariwisata sudah sangat sulit, apalagi ditambah dengan terjadinya tragedi ini, bahkan diikuti pula dengan tragedi Hotel Marriott (Agustus 2003). Lebih parah lagi setelah terjadinya berbagai tragedi yang sesungguhnya merupakan cobaan ini, kekompakan dan kebersamaan di kalangan pelaku pariwisata yang dirasakan sebelumnya sangat baik, telah terpecah belah karena berbagai ambisi dan manuver politik untuk dapat muncul menjadi pahlawan pariwisata Indonesia (mungkin supaya dikenang sejarah walaupun kesiangan dan tanpa prestasi yang jelas).
Oleh karena itu diawal 2003 BP-Budpar, sebagai lembaga operasional saat itu memberikan gambaran bahwa tahun 2003 Indonesia akan mencapai angka terendah dibawah tahun 2002 (5 juta wisman), sebesar 4,5 juta sampai 4,8 juta wisman. Para wartawan menanyakan kok bisa lebih rendah dari 2002 saat dimana terjadi Bom Bali. Analoginya sama dengan penyakit yang datangnya tiba-tiba tetapi penyembuhannya memakan waktu dan bertahap. Disamping itu tahun 2002 dari bulan Januari sampai dengan 11 Oktober kondisi pariwisata Indonesia masih normal karena ketidaknormalan hanya dialami dua setengah bulan terakhir saja; sedangkan di tahun 2003 ketidaknormalan akan berlangsung satu tahun penuh bahkan akan merembet ke tahun 2004 (saat itu belum tahu kalau akan terjadi bom Mariott). Jadi faktor utamanya adalah jaminan keamanan, meskipun tidak ada satu pun negara di dunia yang menjamin bahwa wisman nya akan aman ketika tinggal di negaranya. Yang mereka perlukan adalah “signal” bahwa Indonesia bersungguh-sungguh menjaga keamanan.
Sementara itu di tahun 2004 kita akan menyelenggarakan Pemilu masing-masing pada bulan April, Juli dan September. Apabila pemilihan presiden dapat dilakukan hanya satu kali yakni bulan Juli maka pebisnis yakin bahwa kondisi akan normal kembali dan diharapkan akan adanya peningkatan kunjungan ke Indonesia (bila kondisi keamanan mendukung). Namun bila pemilihan Presiden sampai diulang (bulan September) maka tampaknya akan membawa dampak negatif bagi pariwisata Indonesia karena pihak yang kalah kemungkinan akan berbuat keonaran, mengingat jiwa sportivitas masih belum membudaya di kalangan politisi kita. Oleh karena itu agar tidak hanya termangu-mangu saja maka sebagai jalan keluarnya di tahun 2004 disarankan para pelaku pariwisata Indonesia lebih fokus ke pasar dalam negeri, menggarap wisatawan nusantara (wisnus) dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya sehingga minimal kondisi cash-flow perusahaan akan dapat tertolong. Dan sebaiknya tidak melakukan expansi ataupun investasi baru karena kondisi kestabilan politik kurang mendukung adanya investasi baru di bidang pariwisata. Atas dasar kondisi tersebut maka perkiraan jumlah wisman di tahun 2004 maksimal hanya akan meraih 4,5 juta wisman. Apabila dalam White Paper Menbudpar ditargetkan harus dapat setor atau menghasilkan USD 5 Milyar maka harus bekerja keras berusaha agar masa lama tinggal ( length of stay ) nya lebih panjang dari hanya sekedar 10 hari dengan berbagai peningkatan kualitas dan variasi atraksi yang menarik mereka untuk tinggal lebih lama lagi. Dan daerah yang sangat terpengaruh terutama adalah Bali, sedangkan pintu masuk Cengkareng dan Batam akan sedikit pengaruhnya karena kebanyakan pengunjung yang datang melalui pintu ini adalah untuk melakukan bisnis bukan berwisata dalam arti sesungguhnya, meskipun tetap akan mengalami penurunan pula. Disamping itu sebaiknya kita tidak terperangkap pada “kekinian” sehingga menghilangkan idealisme hanya dengan pragmatisme jangka pendek semata. Jawaban ex-patriate diawal pembahasan bahwa sektor pariwisata lah yang akan menggantikan primadona ekonomi Indonesia nantinya hendaknya kita jadikan pedoman dan mulai melihat kedepan paling tidak tahun 2010, sebagaimana Thailand yang telah mencanangkan target 30 juta wisman pada tahun 2010. yang tentunya didukung oleh persiapan yang matang dan mantap serta leadership yang kuat, bukannya yang lemah diikuti oleh manajemen yang amburadul. Inilah saatnya kembali bersatu karena tanpa persatuan sangat mustahil pariwisata Indonesia dapat berdiri sejajar dengan negara tetangga, Malaysia, Thailand dan Singapura.
Selain itu hendaklah disadari bahwa sektor pariwisata adalah penyedia kesempatan kerja yang sangat dominan yakni 10 % dari lapangan kerja di Indonesia dengan jumlah tenaga kerja langsung 7,3 juta dan yang tidak langsung 5 juta orang. Sehingga bila terjadi permasalahan yang menghambat kemajuan pariwisata pasti akan membawa dampak yang negatif terhadap ketersediaan lapangan kerja. Oleh karena itu berbagai strategi pun harus diarahkan ke sasaran penciptaan lapangan kerja atau paling tidak memelihara jumlah tenaga kerja yang ada sekarang.
Restrukturisasi Industri
Dari sisi industri harus pula dilakukan restrukturisasi industri mirip yang dilakukan oleh industri perbankan yang mempersyaratkan minimal modal setor, mengingat kondisi struktur permodalan industri pariwisata Indonesia sangat lemah, bila kita ambil contoh kelompok biro perjalanan wisata (BPW) yang seharusnya dijadikan prioritas pembenahan. Karena ujung tombak kegiatan pariwisata sesungguhnya ada pada biro perjalanan wisata (BPW) yang mempunyai fungsi mengemas paket-paket wisata untuk ditawarkan kepada konsumen baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga setiap BPW benar-benar mempunyai kemampuan sebagai DMC ( destination management corporation ) tidak hanya sekedar berfungsi sebagai agen penjualan tiket seperti yang terjadi saat ini. Dengan adanya DMC maka setiap perjalanan akan menjadi lebih efisien, berkualitas dan dapat dibuatkan standar harga yang ditaati oleh pihak-pihak terkait dan persaingan hanya boleh dilakukan di segi pelayanan saja. Hal ini yang tidak pernah terpikirkan oleh pemerintah Indonesia sehingga walaupun secara formal mereka bernaung dalam satu asosiasi tapi perselisihan bahkan upaya saling mematikan sering terjadi. Kelemahan BPW lainnya adalah lemahnya permodalan sebagian besar perusahaan tersebut dan tidak memiliki akses kepada sumber pendanaan (bank). Sehingga dalam negosiasi dengan mitra kerja asing, BPW Indonesia akan selalu berada di pihak yang lemah dan tidak dapat menentukan, tetapi selalu ditentukan. Kondisi ini sebenarnya dapat dimaklumi karena lebih dari 90 % BPW tergolong UKM dengan permodalan yang lemah. Mereka umumnya berasal dari para pemandu wisata yang ingin mandiri dengan mendirikan BPW lepas dari induk asalnya. Sehingga otomatis kemampuan manajerial terbatas dan visi bisnis pun akan terbatas pula. Untuk menyiapkan Indonesia dimasa depan maka harus ada keberanian untuk melakukan restrukturisasi BPW dengan menetapkan permodalan minimal ataupun merger sehingga BPW dapat lebih kuat posisi tawarnya ( bargaining position). Dan pada lima tahun mendatang diharapkan Indonesia sudah memiliki BPW yang kuat, dan profesional sehingga memiliki kemampuan penetrasi ke pasar mancanegara. Demikian pula dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) pemandu wisata pun harus dapat ditingkatkan dengan melakukan pengketatan pemberian linsensi sebagai pemandu wisata yang selalu di perbaharui pada periode tertentu untuk meningkatkan standar kualitas kemampuannya. Dalam hal ini Indonesia dapat mencontoh dan belajar dari Malaysia dan Thailand dalam menyiapkan tenaga terampil dibidang ini. Selain itu penguasaan di bidang teknologi informasi pun harus lebih ditingkatkan mengingat bahwa kita berhadapan dengan computer literate generation , sehingga if you are not online- you are not on sale .
Leadership
Penggabungan BP-Budpar ke dalam institusi Kementrian Negara merupakan suatu kemunduran yang sangat dirasakan oleh dunia pariwisata Indonesia, dan mitra kerja asing. Angka kunjungan wisman 5,153 seperti yang pernah dicapai dalam tahun 2001 tampaknya hanya akan menjadi impian belaka sampai masa bakti Kabinet Gotong Royong ini berakhir pada tahun ini Dua tahun dihabiskan hanya untuk melakukan “housekeeping” atau bongkar pasang intern kelembagaan tanpa adanya suatu manfaat dan arah yang jelas selain perasaan dendam kesumat untuk menghapuskan bekas-bekas lama. Lembaga yang semula didambakan akan menjadi semacam Singapore Tourism Board, Hongkong Tourism Board, Tourism Authority of Thailand ataupun Australia Tourism Commisssion, ternyata tidak dikehendaki kelahirannya karena memang dikalangan birokrat dan juga sebagian industri terdapat suatu penyakit yang alergi terhadap diterapkannya profesionalitas di sektor pariwisata. Pandangan sempit ini hanya untuk kepentingan diri semata bukan untuk kepentingan bangsa. Kemungkinan mereka beranggapan apabila sampai lembaga profesional tersebut terbentuk maka akan sirnalah kesempatan bisnis yang selama ini diperoleh dengan cara yang tidak pantas dan untuk birokrat akan hilanglah kesempatan untuk menduduki jabatan strategis yang pasti nantinya akan diiisi oleh kalangan profesional. Upaya pembersihan tampak sekali dengan adanya penggantian materi iklan di CNN yang kualitasnya kurang memadai untuk mendukung upaya pemulihan citra Indonesia, sebagaimana telah diuraikan di bagian terdahulu. Haruslah diakui bahwa untuk menyiapkan pariwisata sebagai sektor unggulan sangat diperlukan figur pimpinan yang memiliki visi dan berwibawa. Figur Soesilo Sudarman salah satu contoh yang pernah muncul dalam pemerintahan dan berhasil merakyatkan pariwisata dengan konsep Sapta Pesona nya. Setelah itu kita kehilangan figur-figur semacam beliau. Figur yang mempunyai keberanian untuk mengatakan tidak kepada rekan menteri lainnya apabila ada yang mengusik kelancaran jalannya pariwisata seperti masalah fasilitasi pemberian visa. Figur yang mampu mengkoordinir anggota kabinet lainnya pada saat masalah pariwisata dibicarakan, tidak hanya sekedar mengirimkan para eselon II bahkan seringkali hanya eselon III nya untuk hadir dalam suatu rapat yang bersifat strategis.. Dan figur yang dapat menjadi teladan di lingkungannya baik di intern lembaga yang dipimpin maupun di luar kelembagaan, karena tidak berpihak kepada sekelompok individu, satunya kata dan perbuatan, dan jujur serta adil dengan tidak mempraktekan nepotisme sehingga figur tersebut selalu dihormati jajaran dan mitra kerjanya. Dengan figur semacam ini, maka masa depan pariwisata Indonesia sebagai sektor unggulan tampaknya akan ada harapan. Semoga kita mendapatkan figur tersebut dalam pemerintahan yang akan datang.
_____________________
Setyanto P. Santosa dilahirkan pada tanggal 9 Agustus 1946 di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Menyelesaikan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padjadjaran tahun 1971 dan melanjutkan program Master in Economics di Michigan State University, East Lansing Amerika Serikat dari tahun 1976-1978. Sejak tahun 1998 berstatus Pegawai Negeri Sipil dengan pangkat Pembina Utama Madya (Gol. IV-D)
Sumber : kolom.pacific.net.id