Matahari Terbit di Atas Pasir Berbisik


Oleh: Aris Mulyawan

Probolinggo, Jawa Timur - Di ufuk timur terlihat semburat jingga menyeruak dari kekelaman malam. Pagi segera menjelang. Dari kejauhan mulai terlihat garis-garis samar tiga gunung yang berpuncak tinggi. Itu Bromo, Batok, dan Semeru. Di atas Bromo khususnya, awan tipis seperti selimut putih yang hendak membungkus tubuh gunung. Sungguh memesona.

Cuaca begitu dingin, rasa jekut yang menusuk belulang. Tapi itu tidak menyurutkan puluhan orang yang tak mau kehilangan eksotika matahari yang terbit di kawasan Objek Wisata Bromo. Dengan bertutup kepala, syal, jaket dan kaus tangan tebal, juga dengan bibir bergetar terdera udara dingin, mereka sibuk memotret ”matahari bayi” itu. Bau belerang yang menyengat juga tak membuat mereka jeri mengabadikan panorama yang tercipta di fajar hari itu.

Itulah yang terjadi pada hampir setiap menjelang fajar di Puncak Penanjakan, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Probolinggo, Jawa Timur. Ia memang lokawisata yang selalu ramai dikunjungi pewisata domestik dan mancanegara. Apalagi, tempatnya begitu mudah dituju, baik dengan kendaraan pribadi maupun ataupun angkutan umum.

Gunung Bromo berada pada ketinggian sekitar 2.392 meter di atas permukaan laut itu. Areanya mencakup empat wilayah, yaitu Kabupaten Probolinggu, Pasuruan, Lumajang, dan Malang. Ia memang gunung yang memikat dilihat. Lihat saja bagaimana gunung itu bertautan dengan lembah dan ngarai pasir yang terhampar luas hingga lebih sering disebut lautan pasir seluas.

Biasanya pewisata datang ke tempat itu pada malam hari. Umumnya mereka menginap pada sejumlah penginapan di desa dekat Penanjakan. Hampir semua staf penginapan akan menyarankan tamunya untuk berangkat pada pukul 03.00 kalau orang itu ingin ”memburu” matahari terbit di atas Bromo. Berangkat pada saat sedini itu tak menjadi soal benar karena selalu ada kendaraan yang siap mengantar Anda ke tujuan paling tepat untuk melihat pesona semburat jingga di ufuk timur itu. Tapi tentu, jangan lupa membawa peranti penahan dingin seperti baju hangat, penutup kepala, dan kaus tangan.

Setelah menuruni Penajakan, pewisata bisa menikmati bentangan padang pasir. Pasang telinga Anda dan dengarkan bagaimana pasir-pasir itu berdesiran dihela angin. Wajar saja lalu orang memberinya sebutan ”Pasir Berbisik”. Sebutan itu mungkin baru diberikan setelah ada film dari Nan T Achnas yang bertajuk Pasir Berbisik. Anda yang sempat menonton film itu, pasti bakal teringat bagaimana Berlian (diperankan Christine Hakim) dan anaknya Daya (Dian Sastrowardoyo) hidup di antara pasir-pasir yang selalu berdesir di kawasan Bromo.

Yap, untuk sampai ke bentangan ”Pasir Berbisik” itu, Anda bisa berjalan kaki saja. Atau kalau enggan, sewa saja kuda seharga Rp 25.000 hingga Rp 30.000. Kalau tak bisa menghela kuda itu, jangan khawatir pemiliknya akan memegang tali kekang dan menuntun kuda yang Anda tunggangi.

***
Perlu juga diketahui, selain kemolekan alamnya, pewisata bisa menyaksikan pula eksotika ritus tradisional masyarakat Tengger, khususnya bila Anda datang pada saat perayaan Kasada. Itu upacara sakral orang Tengger yang berlangsung dari tengah malam hingga dini hari. Upacara yang diusung sebagai ucapan terima kasih masyarakat setempat atas berkat dan keselamatan yang telah diberikan Tuhan. Dalam upacara itu, paling menarik dilihat adalah ketika orang Tengger mempersembahkan sesaji dengan melemparkan hasil bumi dan ternak ke kawah Bromo.

Seperti di banyak lokawisata, Bromo juga menyimpan kisah legendaris yang memikat disimak. Ritus pelemparan sesaji ke kawah Bromo itu ada hubungannya dengan kisah mengenai pasangan Roro Anteng dan Joko Seger yang sangat mendambakan keturunan.

Menurut Yoyok, pemandu wisata di situ, konon sekian lama berumah tangga, pasangan itu belum jua dikaruniai seorang anak. Demi dambaan itu, keduanya bermunajat pada Tuhan dalam bentuk sumpah di depan kawah Gunung Bromo. Apalagi dikaruniai anak, mereka berjanji akan mengorbankan anak bungsu mereka dengan melemparnya ke kawah Bromo.

Munajat itu diterima. Pasangan itu memiliki banyak putra. Dan sumpah-janji itu mesti dilunasi. Dengan berat hati, Roro Anteng dan Joko Seger harus melempar si bungsu Kesumo ke kawah Bromo. Ketika upacara pengorbanan itu dilangsungkan, si korban meminta mereka yang hidup untuk menjalani ritus labuhan setiap bulan Kasada. Seperti telah disebut, ujudnya berupa pelemparan hasil bumi dan ternak. Umumnya tanaman yang dilabuh itu kentang yang merupakan tanaman yang banyak ditanam masyarakat Tengger.

Tentusaja itumemikat banyak orang untuk mengumpulkan apa saja yang dilabuh saat Kasada. Kata Yoyok, proses itu disebut marit. ”Menarik sekali bila kita bisa menyaksikan bagaimana para pemarit menuruni kawah untuk mengambil barang yang labuhan,” ujar dia.

Setelah terharu biru oleh pesona alam, jangan lupa membeli buah tangan atau cenderamata berupa kaus, topi, atau syal. Kiosnya bisa dijumpai di dekat Puncak Penanjakan. Penjaja cendera mata serupa juga bisa dijumpai pada area lautan pasir. Tak perlu mencemaskan isi kantung karena sebagian besar harga cenderamata sangat terjangkau. Dan pasti, Anda boleh menawar barang di situ.

Jeram Garang Sungai Pekalen
Seturut dengan perwisataan di Gunung Bromo, Anda yang suka tantangan bisa melakukan rafting di Sungai Pekalen, Desa Pesawahan, Kecamatan Tritis, Kabupaten Probolinggo. Sungai itu dikenal memiliki pusaran jeram yang garang.

Ya, di tempat tersebut, Anda ditantang berpacu dengan kederasan alur sungai yang meliuk-liuk di antara bebatuan gunung berukuran raksasa. Panjang rafting itu sekitar 12 kilometer yang bisa tuntaskan sekitar tiga jam.

Kata Nono, pemandu dari Noars The Center of Recreation, meski memiliki tingkat kesulitan yang tinggi untuk rafting, namun Sungai Pekalen dinilai paling aman buat pewisata petualangan. Itu tak berarti nilai tantangannya kurang. Sebab, setidaknya ada 12 jeram yang menantang diarusi. Apalagi, Anda tak perlu cemas bila memang sudah bulat ingin mengarungi jeram-jeram sungai itu. Di sekitar sungai, banyak penyedia jasa rafting yang akan dengan senang hati memberi beberapa penjelasan teknis.

Nono bilang, paling awal, pewisata bakal disambut oleh jeram welcome. Jeramnya berupa pusaran air yang deras dan berbatu-batu.

Namanya juga petualangan, orang yang baru mencoba rafting untuk kali pertama pasti akan berdebar-debar. Tapi itu bakal segera berlalu kalau orang itu sudah menikmati keasyikan meluncur dengan perahu karet menyibak semua jeram yang ada.”Jujur saja, awalnya deg-degan. Setelahnya, yang ada asyik dan asyik,” ujar Zaenal, seorang pewisata asal Kendal.

Belum lagi ketika perahu memasuki jeram yang disebut jeram batu jenggot. Di situ, perafting bakal dibuat was-was karena perahu bisa dalam posisi standing.

Yang jelas, ada banyak jenis jeram di Pekalen. Ada jeram ”Inul” yang pusarannya bisa membuat perahu bergoyang-goyang mirip tari ngebor Inul Daratista. Setelahnya ada jeram pandawa, atau jeram rajawali yang membuat perahu sering standing. Beberapa jenis jeram lainnya yang tak kalah menantangnya adalah jeram batu dodol, dan jeram ekstravagansa yang sangat ekstrim.

Paling mengasyikan adalah ketika kita melintasi jeram mambo. Pasalnya, pusaran jeram itu berada pada aliran sungai di bawah Gua Lawa. jenis jeram lainnya adalah jeram kapla, jeram beautiful noars, atau jeram dewa.

Dan setelah berjuang keras melintasi jeram-jeram tersebut, pemandu akan mengajak wisatawan beristirahat sejenak di area rehat yang disediakan. Di tempat tersebut, pemandu telah menyediakan minuman hangat berupa susu dan camilan berupa gorengan.

Tapi petualangan menyusuri sungai berjeram itu belum selesai. Masih ada jeram yang ”wajib” dilalui pelaku rafting. Yaitu jeram penantian, jeram matador, jeram hiu dan berakhir dengan jeram bajing loncat.

Selain petualangan yang memacu adrenalin, pelaku rafting juga bisa melihat panorama molek alam di sekitar sungai seperti tebing curam sungai, serta kehidupan bebas para binatang yang ada, misalnya elang, monyet, ular dan yang pasti ribuan kelelawar yang menghuni gua tersebut.

Sumber :www.suaramerdeka.com
Foto : http://destinationjourney.files.wordpress.com