Oleh Reny Sri Ayu Taslim
Selepas pintu gerbang penyambutan Tanatoa, tampak jalan setapak berbatu selebar dua meter. Secara umum jalan-jalan setapak di kawasan Tanatoa, Desa Tanatoa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba (250 kilometer Selatan Makassar/ujung Timur Bulukumba), Sulawesi Selatan, memang demikian adanya. Di sisi kiri-kanan jalan berdiri kokoh berbagai pepohonan. Daun-daunnya yang rimbun membuat jalan di bawah dan sekelilingnya menjadi teduh. Di bagian lain tampak rumah-rumah panggung khas sederhana yang semuanya menghadap barat. Sebagian besar rumah terlihat bagai tidak berpenghuni. Beberapa perempuan dewasa tampak menenun di sebuah bangunan panggung kecil, menyerupai pos ronda, di halaman rumah masing-masing. Selebihnya sepi, nyaris tak tampak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya suara burung, ayam, anjing, atau lenguh sapi dan binatang-binatang lainnya yang sesekali terdengar.
Pemandangan seperti ini akan terlihat hampir setiap hari. Bila pagi hari para lelaki berangkat ke sawah dan ladang, para perempuan diam di dalam rumah dan memasak. Sebagian di antara mereka menghabiskan siang dengan menenun. Sore menjelang petang ketika para suami pulang, mereka berkumpul di dalam rumah. Bagi yang tidak biasa, malam hari di Tanatoa pastilah menjadi malam yang sangat panjang dan membosankan. Sebabnya di kawasan ini tidak ada listrik. Penerangan yang dipakai sangatlah tradisional yakni buah kemiri yang dibakar. Sebagian saja yang berdiam di pinggiran kawasan yang terbilang agak modern karena berpenerang lampu minyak.
Masyarakat di kawasan Tanatoa adalah salah satu suku di Indonesia yang sangat teguh memegang dan mempertahankan adat-istiadat. Mereka berdiam dalam sebuah kawasan di Desa Tanatoa yang mereka sebut kawasan Tanatoa. Dalam kawasan Tanatoa ada sebuah kawasan inti yang terdiri atas 30 rumah. Kawasan inti ini adalah kawasan sekitar rumah Ammatoa dan para pemangku adat. Selebihnya, kendati tetap mengikuti aturan bangunan lama, tetapi letaknya sudah meluas dan tersebar hingga di luar kawasan inti. Bahkan saat ini jumlahnya sudah berkembang menjadi satu desa yakni Desa Tanatoa.
Menurut cerita tetua adat di sana, Tanatoa lahir karena ketidakteraturan yang terjadi saat itu. Kehidupan dan manusia yang masih liar, akhirnya mendorong sejumlah orang membentuk suku ini berikut segala aturan di dalamnya. Hingga kini kehidupan keseharian di Tanatoa sangat tradisional dan sarat dengan hal berbau magis maupun mistis dan jauh dari modern. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Konjo. Warna hitam, biru tua, dan putih yang menjadi warna wajib hanyalah salah salah satu dari sekian aturan yang sangat disakralkan di kawasan ini. Warna-warna lain, apalagi yang sangat mencolok seperti merah, kuning, ungu, hijau terang, dan sejenisnya adalah warna yang sangat tabu. Karenanya syarat paling pertama untuk menginjakkan kaki di Tanatoa, adalah mengikuti aturan ini.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Tanatoa memegang teguh pasanga ri kajang (pesan di Kajang) yang juga adalah ajaran leluhur mereka. Pertama, ta`ngu`rangi mange ri turiea a`ra`na yang berarti senantiasa ingat pada Tuhan Yang Berkehendak. Karena ingat berarti tidak akan melanggar aturannya. Kedua, a`lemo sibatang, a`bulo sipappa`, tallang sipolua, manyu siparampe, sipakatau tang sipakasiri, yang artinya memupuk kesatuan dan persatuan dengan penuh kekeluargaan dan saling memuliakan. Ketiga, lambusu kigattang sa`bara ki peso`na, berarti bertindak tegas tapi juga sabar dan tawakkal. Keempat, sallu riajuka, ammulu riaddakang ammaca` ere anreppe` batu, alla`buirururng, alla`batu cideng, artinya harus taat pada aturan yang telah dibuat secara bersama-sama kendati harus menahan gelombang dan memecahkan batu gunung. Kelima, nan digaukang sikontu passuroang to ma` buttayya, yang artinya melaksanakan segala aturan secara murni dan konsekuen.
Kelima ajaran inilah yang jadi pedoman masyarakat dan para pemimpin dalam kehidupan sehari-hari. Dari kelima pesan ini pula lahir prinsip hidup sederhana dan saling menyayangi di antara mereka. Menurut Rusman, salah seorang suku Tanatoa yang sudah lama berdiam di Makassar, selain kelima pesan ini, ada hal lain yang juga mengikat masyarakat yakni setiap warga Tanatoa harus kawin dengan sesama orang dalam kawasan. Yang kebetulan ketemu jodoh dengan orang luar kawasan, harus siap-siap meninggalkan kawasan. Pengecualian bila pasangannya mau mengikuti segala aturan dan adat-istiadat yang berlaku di dalam kawasan.
"Hal lain yang juga tabu adalah memasukkan barang-barang buatan manusia, pengaruh maupun bentuk-bentuk lainnya yang berbau manusia ke dalam kawasan. Tentu saja yang dimaksud manusia oleh mereka adalah orang-orang di luar kawasan. Siapa pun yang berminat dengan kehidupan modern atau ingin meninggalkan adat-istiadat Tanatoa, dipersilahkan tinggal di luar kawasan. Bergaul keluar kawasan bahkan sekolah sebenarnya boleh-boleh saja, tetapi dengan syarat, kapan pun kembali ke kawasan, semuanya harus ditanggalkan dan kembali ke adat lagi," jelas Rusman.
Pelanggaran, apalagi bila dilakukan oleh yang sudah sangat paham dengan segala aturan, sama saja dengan melecehkan dan hukumannya sangat berat. Untuk segala pelanggaran dan hukuman, ada hukum adat yang berlaku di Tanatoa. Hukumannya berupa denda maupun hukuman lain yang lebih berat. Hukum denda bervariasi mulai dari yang paling ringan hingga yang berat. Yang paling ringan atau disebut juga cappa` ba`bala adalah keharusan membayar denda sebesar 12 real. Satu tingkat di atasnya adalah tangga ba`bala dengan denda 30 real ditambah satu ekor kerbau. Yang paling tinggi adalah poko` ba`bala dengan denda 44 real ditambah seekor kerbau. Real dalam hal ini hanya nilainya saja karena uang yang digunakan adalah uang benggol. "Hukuman ini berlaku untuk semua bentuk kejahatan baik itu pelecehan terhadap perempuan, pencurian, pelanggaran adat, memotong kayu di hutan adat dan lain-lainnya," ujar Beceng, pembantu Ammatoa yang menjabat sebagai Galla Puto, wakil/sekretaris Ammatoa.
Ada dua bentuk hukuman lain di atas hukuman denda yakni tunu panroli dan tunu passau. Tunu panroli biasanya dilakukan untuk kasus pencurian untuk mencari pelaku. Praktiknya seluruh masyarakat harus memegang linggis yang sudah membara setelah dibakar. "Biasanya yang bukan pelaku tidak apa-apa setelah memegang besi panas ini. Tangannya juga tidak akan luka bahkan tidak akan merasakan panas sedikit pun," jelas Beceng. Bila terjadi si tersangka pelaku lari dari hukuman ini, dengan tidak hadir atau meninggalkan Tanatoa, maka pemangku adat akan menggunakan tunu passau. Dalam hukuman ini, Ammatoa akan membakar kemenyan, membaca sejumlah mantra dan doa-doa dan mengirimkannya kepada pelaku. Biasanya tidak lama berselang, si pelaku akan sakit dan meninggal. Kalaupun tidak sakit, mereka umumnya meninggal secara tidak wajar. "Tidak seorang pun yang bisa mengelak dari tunu passau. Mereka akan kena walau lari ke langit ke tujuh sekalipun atau sembunyi di dalam tanah," tambah Beceng. Hukum adat ini pula yang membuat masyarakat di Tanatoa sangat tertib, apalagi pemimpin di sana sangat tegas menegakkan hukum.
Masyarakat di Tanatoa dipimpin oleh seorang disebut Ammatoa dan mereka sangat patuh padanya. Kalau Tanatoa berarti tanah yang tertua, maka Ammatoa berarti bapak atau pemimpin tertua. Ammatoa memegang tampuk kepemimpinan di Tanatoa sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan. Sebabnya proses pemilihan Ammatoa tidak gampang. Adalah sesuatu yang tabu di Tanatoa bila seseorang bercita-cita jadi Ammatoa. Pasalnya, Ammatoa bukan dipilih oleh rakyat tapi seseorang yang diyakini mendapat berkah dari Sang Pencipta. Bila seorang Ammatoa meninggal, maka Ammatoa berikutnya baru akan ada lagi setidaknya tiga tahun setelahnya. Saat ini jabatan Ammatoa sedang kosong sejak Ammatoa ke-29 meninggal dunia April 2000. Dalam masa tiga tahun ini, para tetua adat akan melihat-lihat orang sekitar yang diyakini memiliki ciri-ciri tertentu yang lazim ada pada seorang calon Ammatoa. Hanya tetua adat yang biasanya bisa melihat ciri-ciri ini.
Para calon Ammatoa ini biasanya harus tahu betul adat istiadat di Tanatoa. Selain itu mereka harus bisa menjelaskan asal-usul manusia secara rinci di Tanatoa sejak yang pertama. Ini tentu saja bukan hal mudah dilakukan dan diyakini masyarakat memang hanya orang tertentu yang bisa melakukannya. Pasalnya di Tanatoa, tabu membicarakan asal-usul manusia bahkan tentang keturunan seseorang. Dikisahkan Rusman, setiap kali penobatan Ammatoa dilakukan, seekor ayam jantan dilepas. "Kalau sudah tiba saatnya, atau sudah tiga tahun, para calon dikumpulkan dan ayam yang sudah dilepas saat penobatan terdahulu, "didatangkan" lagi. Di mana ayam itu bertengger maka, dialah yang jadi Ammatoa. Biasanya setelah ayam bertengger wajah orang tersebut langsung berubah-ubah dan sangat bercahaya. Setelah itu ayamnya langsung mati," jelas Rusman.
Ammatoa didampingi dua orang Anronta masing-masing Anronta Ribungkina dan Anronta Ripangi dan 26 orang pemangku adat. Ke-26 pemangku adat ini antara lain Galla Puto yang bertugas sebagai wakil/sekretaris dan Galla Lombo yang bertugas untuk urusan luar dan dalam kawasan. Selain itu ada Galla Kajang yang mengurusi masalah keagamaan, Galla Pantama untuk urusan pertanian, dan Galla Meleleng untuk urusan perikanan. Setiap pemangku adat mempunyai tugas dan kewenangan berbeda-beda.
Dalam perkembangannya, kendati Ammatoa adalah orang tertinggi dalam struktur pemerintahan Tanatoa, keberadaan pemerintah di luar kawasan tetap diakui. Bahkan karena dianggap lebih berpendidikan, pemerintah di luar Tanatoa juga sangat dihormati. Pemerintah dalam hal ini adalah camat, bupati, dan seterusnya. Bukti penghormatan ini terlihat dalam upacara adat atau sebuah pertemuan di mana pejabat pemerintah mendapat kappara dengan jumlah piring lebih banyak dari Ammatoa. Kappara adalah baki yang berisi sejumlah piring dengan beragam makanan. Dengan kappara ini pula kedudukan seseorang akan terlihat karena semakin besar sebuah kappara atau makin banyak piringnya, maka makin tinggi kedudukannya.
Lazimnya kappara Ammatoa dan para pemangku adat berisi enam piring yang terdiri atas satu piring nasi dan lima piring ikan dan sayur. Tetapi, bila bersama pejabat pemerintah, kappara para pejabat ini lebih banyak yakni sembilan. "Ini bukan berarti kami merendahkan Ammatoa. Kami hanya melihat bahwa pejabat pemerintah itu adalah orang berpendidikan dan sekolah karena itu harus dihargai," ujar Beceng. Memang akhir-akhir ini sejumlah orang tua di Tanatoa semakin menyadari pentingnya pendidikan. Buktinya anak-anak di Tanatoa sudah banyak yang bersekolah. Bahkan sudah ada juga yang sekolah hingga perguruan tinggi dan menjadi insinyur. Hal ini pula di antaranya yang membuat banyak orang berpikir bahwa Tanatoa sudah berubah. Begitu juga dengan kesediaan mereka menerima kedatangan orang luar untuk berkunjung ke dalam kawasan. Padahal sebelumnya ini sangat tabu. "Perubahan hanya pada hal-hal seperti itu. Selebihnya baik itu menyangkut kepercayaan, adat istiadat, atau apa pun, tetap sama, tidak ada yang berubah," jelas Kahar Muslim, yang menjabat Galla Lombo.
__________
Reny Sri Ayu Taslim, Wartawan Harian Umum KOMPAS.
Selepas pintu gerbang penyambutan Tanatoa, tampak jalan setapak berbatu selebar dua meter. Secara umum jalan-jalan setapak di kawasan Tanatoa, Desa Tanatoa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba (250 kilometer Selatan Makassar/ujung Timur Bulukumba), Sulawesi Selatan, memang demikian adanya. Di sisi kiri-kanan jalan berdiri kokoh berbagai pepohonan. Daun-daunnya yang rimbun membuat jalan di bawah dan sekelilingnya menjadi teduh. Di bagian lain tampak rumah-rumah panggung khas sederhana yang semuanya menghadap barat. Sebagian besar rumah terlihat bagai tidak berpenghuni. Beberapa perempuan dewasa tampak menenun di sebuah bangunan panggung kecil, menyerupai pos ronda, di halaman rumah masing-masing. Selebihnya sepi, nyaris tak tampak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya suara burung, ayam, anjing, atau lenguh sapi dan binatang-binatang lainnya yang sesekali terdengar.
Pemandangan seperti ini akan terlihat hampir setiap hari. Bila pagi hari para lelaki berangkat ke sawah dan ladang, para perempuan diam di dalam rumah dan memasak. Sebagian di antara mereka menghabiskan siang dengan menenun. Sore menjelang petang ketika para suami pulang, mereka berkumpul di dalam rumah. Bagi yang tidak biasa, malam hari di Tanatoa pastilah menjadi malam yang sangat panjang dan membosankan. Sebabnya di kawasan ini tidak ada listrik. Penerangan yang dipakai sangatlah tradisional yakni buah kemiri yang dibakar. Sebagian saja yang berdiam di pinggiran kawasan yang terbilang agak modern karena berpenerang lampu minyak.
Masyarakat di kawasan Tanatoa adalah salah satu suku di Indonesia yang sangat teguh memegang dan mempertahankan adat-istiadat. Mereka berdiam dalam sebuah kawasan di Desa Tanatoa yang mereka sebut kawasan Tanatoa. Dalam kawasan Tanatoa ada sebuah kawasan inti yang terdiri atas 30 rumah. Kawasan inti ini adalah kawasan sekitar rumah Ammatoa dan para pemangku adat. Selebihnya, kendati tetap mengikuti aturan bangunan lama, tetapi letaknya sudah meluas dan tersebar hingga di luar kawasan inti. Bahkan saat ini jumlahnya sudah berkembang menjadi satu desa yakni Desa Tanatoa.
Menurut cerita tetua adat di sana, Tanatoa lahir karena ketidakteraturan yang terjadi saat itu. Kehidupan dan manusia yang masih liar, akhirnya mendorong sejumlah orang membentuk suku ini berikut segala aturan di dalamnya. Hingga kini kehidupan keseharian di Tanatoa sangat tradisional dan sarat dengan hal berbau magis maupun mistis dan jauh dari modern. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Konjo. Warna hitam, biru tua, dan putih yang menjadi warna wajib hanyalah salah salah satu dari sekian aturan yang sangat disakralkan di kawasan ini. Warna-warna lain, apalagi yang sangat mencolok seperti merah, kuning, ungu, hijau terang, dan sejenisnya adalah warna yang sangat tabu. Karenanya syarat paling pertama untuk menginjakkan kaki di Tanatoa, adalah mengikuti aturan ini.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Tanatoa memegang teguh pasanga ri kajang (pesan di Kajang) yang juga adalah ajaran leluhur mereka. Pertama, ta`ngu`rangi mange ri turiea a`ra`na yang berarti senantiasa ingat pada Tuhan Yang Berkehendak. Karena ingat berarti tidak akan melanggar aturannya. Kedua, a`lemo sibatang, a`bulo sipappa`, tallang sipolua, manyu siparampe, sipakatau tang sipakasiri, yang artinya memupuk kesatuan dan persatuan dengan penuh kekeluargaan dan saling memuliakan. Ketiga, lambusu kigattang sa`bara ki peso`na, berarti bertindak tegas tapi juga sabar dan tawakkal. Keempat, sallu riajuka, ammulu riaddakang ammaca` ere anreppe` batu, alla`buirururng, alla`batu cideng, artinya harus taat pada aturan yang telah dibuat secara bersama-sama kendati harus menahan gelombang dan memecahkan batu gunung. Kelima, nan digaukang sikontu passuroang to ma` buttayya, yang artinya melaksanakan segala aturan secara murni dan konsekuen.
Kelima ajaran inilah yang jadi pedoman masyarakat dan para pemimpin dalam kehidupan sehari-hari. Dari kelima pesan ini pula lahir prinsip hidup sederhana dan saling menyayangi di antara mereka. Menurut Rusman, salah seorang suku Tanatoa yang sudah lama berdiam di Makassar, selain kelima pesan ini, ada hal lain yang juga mengikat masyarakat yakni setiap warga Tanatoa harus kawin dengan sesama orang dalam kawasan. Yang kebetulan ketemu jodoh dengan orang luar kawasan, harus siap-siap meninggalkan kawasan. Pengecualian bila pasangannya mau mengikuti segala aturan dan adat-istiadat yang berlaku di dalam kawasan.
"Hal lain yang juga tabu adalah memasukkan barang-barang buatan manusia, pengaruh maupun bentuk-bentuk lainnya yang berbau manusia ke dalam kawasan. Tentu saja yang dimaksud manusia oleh mereka adalah orang-orang di luar kawasan. Siapa pun yang berminat dengan kehidupan modern atau ingin meninggalkan adat-istiadat Tanatoa, dipersilahkan tinggal di luar kawasan. Bergaul keluar kawasan bahkan sekolah sebenarnya boleh-boleh saja, tetapi dengan syarat, kapan pun kembali ke kawasan, semuanya harus ditanggalkan dan kembali ke adat lagi," jelas Rusman.
Pelanggaran, apalagi bila dilakukan oleh yang sudah sangat paham dengan segala aturan, sama saja dengan melecehkan dan hukumannya sangat berat. Untuk segala pelanggaran dan hukuman, ada hukum adat yang berlaku di Tanatoa. Hukumannya berupa denda maupun hukuman lain yang lebih berat. Hukum denda bervariasi mulai dari yang paling ringan hingga yang berat. Yang paling ringan atau disebut juga cappa` ba`bala adalah keharusan membayar denda sebesar 12 real. Satu tingkat di atasnya adalah tangga ba`bala dengan denda 30 real ditambah satu ekor kerbau. Yang paling tinggi adalah poko` ba`bala dengan denda 44 real ditambah seekor kerbau. Real dalam hal ini hanya nilainya saja karena uang yang digunakan adalah uang benggol. "Hukuman ini berlaku untuk semua bentuk kejahatan baik itu pelecehan terhadap perempuan, pencurian, pelanggaran adat, memotong kayu di hutan adat dan lain-lainnya," ujar Beceng, pembantu Ammatoa yang menjabat sebagai Galla Puto, wakil/sekretaris Ammatoa.
Ada dua bentuk hukuman lain di atas hukuman denda yakni tunu panroli dan tunu passau. Tunu panroli biasanya dilakukan untuk kasus pencurian untuk mencari pelaku. Praktiknya seluruh masyarakat harus memegang linggis yang sudah membara setelah dibakar. "Biasanya yang bukan pelaku tidak apa-apa setelah memegang besi panas ini. Tangannya juga tidak akan luka bahkan tidak akan merasakan panas sedikit pun," jelas Beceng. Bila terjadi si tersangka pelaku lari dari hukuman ini, dengan tidak hadir atau meninggalkan Tanatoa, maka pemangku adat akan menggunakan tunu passau. Dalam hukuman ini, Ammatoa akan membakar kemenyan, membaca sejumlah mantra dan doa-doa dan mengirimkannya kepada pelaku. Biasanya tidak lama berselang, si pelaku akan sakit dan meninggal. Kalaupun tidak sakit, mereka umumnya meninggal secara tidak wajar. "Tidak seorang pun yang bisa mengelak dari tunu passau. Mereka akan kena walau lari ke langit ke tujuh sekalipun atau sembunyi di dalam tanah," tambah Beceng. Hukum adat ini pula yang membuat masyarakat di Tanatoa sangat tertib, apalagi pemimpin di sana sangat tegas menegakkan hukum.
Masyarakat di Tanatoa dipimpin oleh seorang disebut Ammatoa dan mereka sangat patuh padanya. Kalau Tanatoa berarti tanah yang tertua, maka Ammatoa berarti bapak atau pemimpin tertua. Ammatoa memegang tampuk kepemimpinan di Tanatoa sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan. Sebabnya proses pemilihan Ammatoa tidak gampang. Adalah sesuatu yang tabu di Tanatoa bila seseorang bercita-cita jadi Ammatoa. Pasalnya, Ammatoa bukan dipilih oleh rakyat tapi seseorang yang diyakini mendapat berkah dari Sang Pencipta. Bila seorang Ammatoa meninggal, maka Ammatoa berikutnya baru akan ada lagi setidaknya tiga tahun setelahnya. Saat ini jabatan Ammatoa sedang kosong sejak Ammatoa ke-29 meninggal dunia April 2000. Dalam masa tiga tahun ini, para tetua adat akan melihat-lihat orang sekitar yang diyakini memiliki ciri-ciri tertentu yang lazim ada pada seorang calon Ammatoa. Hanya tetua adat yang biasanya bisa melihat ciri-ciri ini.
Para calon Ammatoa ini biasanya harus tahu betul adat istiadat di Tanatoa. Selain itu mereka harus bisa menjelaskan asal-usul manusia secara rinci di Tanatoa sejak yang pertama. Ini tentu saja bukan hal mudah dilakukan dan diyakini masyarakat memang hanya orang tertentu yang bisa melakukannya. Pasalnya di Tanatoa, tabu membicarakan asal-usul manusia bahkan tentang keturunan seseorang. Dikisahkan Rusman, setiap kali penobatan Ammatoa dilakukan, seekor ayam jantan dilepas. "Kalau sudah tiba saatnya, atau sudah tiga tahun, para calon dikumpulkan dan ayam yang sudah dilepas saat penobatan terdahulu, "didatangkan" lagi. Di mana ayam itu bertengger maka, dialah yang jadi Ammatoa. Biasanya setelah ayam bertengger wajah orang tersebut langsung berubah-ubah dan sangat bercahaya. Setelah itu ayamnya langsung mati," jelas Rusman.
Ammatoa didampingi dua orang Anronta masing-masing Anronta Ribungkina dan Anronta Ripangi dan 26 orang pemangku adat. Ke-26 pemangku adat ini antara lain Galla Puto yang bertugas sebagai wakil/sekretaris dan Galla Lombo yang bertugas untuk urusan luar dan dalam kawasan. Selain itu ada Galla Kajang yang mengurusi masalah keagamaan, Galla Pantama untuk urusan pertanian, dan Galla Meleleng untuk urusan perikanan. Setiap pemangku adat mempunyai tugas dan kewenangan berbeda-beda.
Dalam perkembangannya, kendati Ammatoa adalah orang tertinggi dalam struktur pemerintahan Tanatoa, keberadaan pemerintah di luar kawasan tetap diakui. Bahkan karena dianggap lebih berpendidikan, pemerintah di luar Tanatoa juga sangat dihormati. Pemerintah dalam hal ini adalah camat, bupati, dan seterusnya. Bukti penghormatan ini terlihat dalam upacara adat atau sebuah pertemuan di mana pejabat pemerintah mendapat kappara dengan jumlah piring lebih banyak dari Ammatoa. Kappara adalah baki yang berisi sejumlah piring dengan beragam makanan. Dengan kappara ini pula kedudukan seseorang akan terlihat karena semakin besar sebuah kappara atau makin banyak piringnya, maka makin tinggi kedudukannya.
Lazimnya kappara Ammatoa dan para pemangku adat berisi enam piring yang terdiri atas satu piring nasi dan lima piring ikan dan sayur. Tetapi, bila bersama pejabat pemerintah, kappara para pejabat ini lebih banyak yakni sembilan. "Ini bukan berarti kami merendahkan Ammatoa. Kami hanya melihat bahwa pejabat pemerintah itu adalah orang berpendidikan dan sekolah karena itu harus dihargai," ujar Beceng. Memang akhir-akhir ini sejumlah orang tua di Tanatoa semakin menyadari pentingnya pendidikan. Buktinya anak-anak di Tanatoa sudah banyak yang bersekolah. Bahkan sudah ada juga yang sekolah hingga perguruan tinggi dan menjadi insinyur. Hal ini pula di antaranya yang membuat banyak orang berpikir bahwa Tanatoa sudah berubah. Begitu juga dengan kesediaan mereka menerima kedatangan orang luar untuk berkunjung ke dalam kawasan. Padahal sebelumnya ini sangat tabu. "Perubahan hanya pada hal-hal seperti itu. Selebihnya baik itu menyangkut kepercayaan, adat istiadat, atau apa pun, tetap sama, tidak ada yang berubah," jelas Kahar Muslim, yang menjabat Galla Lombo.
__________
Reny Sri Ayu Taslim, Wartawan Harian Umum KOMPAS.