Oleh: Bondan Winarno
Padang, Sumatra Barat- Minggu lalu saya berkunjung ke Padang dan Bukittinggi bersama sebuah tim kecil dalam rangka persiapan Temu Pusaka 2008 – semacam rapat kerja tahunan bagi pihak-pihak yang peduli akan kelestarian pusaka budaya Indonesia. Penyelenggaranya adalah Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI).
Kami sengaja memilih Bukittinggi dan Sawahlunto di Sumatra Barat sebagai tempat pertemuan. Tentu saja, karena provinsi ini sangat kaya akan warisan budaya (cultural heritage), baik yang dapat dijamah (tangible) maupun yang intangible. Apa sih yang dimaksud dengan warisan budaya intangible itu? Contohnya adalah keris yang oleh Unesco telah diakui sebagai salah satu World Heritage dalam kategori pusaka intangible. Sekalipun keris merupakan benda wujud yang dapat disentuh, namun nilai-nilai utamanya justru bukan terletak pada wujudnya. Keris ‘kan tidak untuk merajang bawang, melainkan memiliki nilai-nilai luhur yang lebih dalam.
Kuliner juga merupakan contoh pusaka budaya intangible yang penting. Di banyak bagian dunia, makanan tidak saja berfungsi untuk mengenyangkan perut, melainkan memiliki nilai-nilai sakral dan seremonial. Banyaknya elemen kuliner yang hilang atau semakin langka di tanah air kita membuat Komunitas Jalansutra sejak tiga tahun yang lalu mengikrarkan tekad untuk “melestarikan pusaka kuliner Indonesia”.
Di Sumatra Barat, misalnya, Jalansutra telah melakukan satu langkah kecil pelestarian kuliner Minang. Tahun lalu, di bawah pimpinan Irvan Kartawiria dan Andrew Mulianto, kami membuat “paket wisata khusus” dengan mengunjungi Nagari Kinari, sebuah desa adat di dekat Solok. Kami datang ke desa itu, melakukan sembahyang Jumat bersama dengan warga setempat, lalu dijamu makan siang dengan hidangan khas Minang di sebuah rumah gadang. Setelah makan siang, kami menikmati upacara penyambutan secara adat dengan sekapur sirih, dilanjutkan dengan suguhan tarian daerah dan pencak silat. Kami juga melihat kelincahan seekor beruk (kera) memanjat pohon kelapa, memilih kelapa yang sudah tua, dan kemudian memetiknya. Ini memang cara khas masyarakat memanen kelapa di daerah itu.
Dalam jamuan makan siang di Nagari Kinari itu muncul satu hidangan khas tradisional yang sudah jarang muncul, yaitu pangek pisang. Biasanya, pangek adalah masakan dengan bahan ikan laut dan dipakai sebagai lauk nasi. Pangek pisang memakai bumbu yang sama, tetapi diperlakukan sebagai pencuci mulut atau kudapan, disantap dengan ketan kukus. Istimewa sekali.
Kami semua berpendapat bahwa “paket wisata khusus” seperti yang kami lakukan di Nagari Kinari itu memiliki nilai jual yang tinggi bila dikemas sebagai “komoditi” pariwisata. Di Negeri Belanda, tiap hari ratusan bus hilir-mudik membawa ribuan wisatawan meninjau desa-desa kecil seperti Marken, Volendam, Broek in Waterland, karena wisatawan selalu terpesona akan nilai-nilai budaya yang khas di negeri-negeri yang dikunjungi wisatawan.
Sumatra Barat memiliki potensi pariwisata yang sangat besar bila ditinjau dari kekayaan budaya dan pusakanya. Sayangnya, tidak semua unsur-unsur itu dalam kondisi “siap jual”. Beberapa “pembangunan” bahkan telah merusak keindahan Kota Padang.
Setyanto P. Santosa, Badan Pimpinan BPPI, misalnya, menunjuk Jembatan Siti Nurbaya yang tampak angkuh dan salah tempat. Jembatan kokoh itu sebetulnya tidak berfungsi karena hanya menghubungkan satu bagian Padang dengan bukit di seberangnya – tempat makam Siti Nurbaya. Padahal, di bagian bukit itu tidak ada jalan utama, sehingga kendaraan harus berputar lagi. Apa gunanya? Alhasil, pada sore hari jembatan itu menjadi tempat jualan makanan.
Padahal, di sekitar jembatan itu adalah bagian kota lama Padang yang dalam kondisi hancur. Bangunan-bangunan di situ sudah tidak terawat lagi. BPPI dan mitranya di Padang kini sedang merenovasi Museum Bank Indonesia yang berdiri di sana. Di seberang Museum BI itu juga ada sebuah gudang besar yang dulunya dimiliki Geo Wehry – perusahaan dagang “Lima Besar” di masa lalu. Oleh cucu pemilik lama, BPPI sedang menyusun rencana untuk mengakuisisi gudang itu dari pemiliknya yang sekarang, dan melestarikannya. Langkah-langkah kecil itu diharapkan akan memicu revitalisasi kota tua Padang menjadi tujuan wisata penting.
Dalam pertemuan dengan Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi, kami sempat mengemukakan bahwa Ranah Minang ini mestinya memakai kuliner sebagai ujung tombak pariwisata. Tidak perlu diperdebatkan, masakan Minang adalah salah satu unggulan dalam kuliner Nusantara yang disukai banyak orang. Selain itu, masakan Minang juga sangat eksotis untuk diperkenalkan kepada wisatawan asing. Seperti halnya Thailand yang berhasil menembus pasar kuliner dunia dengan program “Thai Kitchen to the World” yang digagas oleh PM Thaksin Sinawatra, kuliner Minang merupakan ujung tombak penting bila Indonesia ingin melakukan langkah serupa.
Dibandingkan dengan elemen pariwisata lainnya, kuliner merupakan “objek” wisata yang paling siap untuk dikembangkan terlebih dulu sebagai ujung tombak pariwisata Sumatra Barat. Infrastruktur untuk mengembangkannya pun pasti paling murah.
Pertemuan dengan Walikota Bukittinggi H. Djufri malah membuahkan respon yang luar biasa. Pak Wali menyambut positif usulan BPPI untuk merevitalisasi pasar-pasar tradisional di wilayahnya dengan mengacu pada pasar-pasar tradisional di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat yang berhasil menumbuhkan ekonomi rakyat sambil menciptakan tujuan pariwisata yang elok. Beberapa acuan mencakup Pasar Orchorkor di Bangkok, pasar tradisional di kawasan kota tua Budapest dan Nice, Grand Bazaar di Istanbul, dan Pike Market di Seattle, Amerika Serikat.
Pasar Atas di Bukittinggi punya kenangan khusus bagi saya. Di pertengahan dasawarsa 1950-an, ketika keluarga kami tinggal di Padang, Ayah punya langganan penjual tempe yang mangkal persis di kaki tangga pasar itu. Semua orang Jawa di Sumatra Barat tahu bahwa di situlah satu-satunya tempat untuk membeli tempe. Kini, tempe sudah merakyat di seluruh pelosok Nusantara.
Sekalipun Pasar Atas masih menjadi tujuan wisata penting di Bukittinggi, tetapi kesan keteraturan tidak tampak di sana. Penjual pisang bakar nyempil di antara pedagang kutang dan celana dalam. Los Lambuang – tempat para pedagang makanan dan minuman – becek dan kotor, sehingga mengurangi keseronokan makan di sana. Secara terintegrasi, Pasar Atas dan Pasar Bawah tentu dapat direvitalisasi dengan desain ulang yang cantik.
Kepada Walikota Djufri, kami juga sempat “melaporkan” Jam Gadang – ikon Kotamadya Bukittinggi – yang retak-retak setelah gempa bumi. Keretakan hanya ditambal sementara, tanpa meneliti kerusakan struktural yang mungkin lebih parah. Di samping itu, penataan lingkungan Jam Gadang tidak membuatnya tampil anggun dan gagah. Sungguh tidak sebanding dengan kompleks Kantor Walikota Bukittinggi yang anggun, megah, dan gagah di puncak bukit.
Serta-merta pula Pak Wali mengundang BPPI untuk mengajukan rencana pengelolaan Jam Gadang dan kawasan penunjangnya. “Saya sekarang memang sedang biru,” kata Pak Wali mengakui afiliasinya dengan Partai Demokrat. “Tetapi, silakan mengembalikan Jam Gadang ke warna aslinya, sambil menata lingkungannya agar menjadi objek pariwisata yang dapat dibanggakan.”
Telah terbukti di seluruh dunia bahwa hanya bangsa-bangsa yang menaruh perhatian pada pelestarian pusaka dan warisan budaya adalah bangsa-bangsa yang mendapat manfaat maksimum dari ekonomi pariwisata.
Walikota Solo Joko Widodo sudah terjangkiti "virus" pelestarian. (Baca: "Bangkitlah Pasarku"). Kini giliran gubernur dan walikota Sumatra Barat dibuat demam dengan virus yang sama.
__________
Bondan Winarno, Penulis adalah seorang pengelana yang telah mengunjungi berbagai tempat dan mencicipi makanan-makanan khas, dan akan masih terus melanjutkan pengembaraannya. Email : bondanw@gmail.com
Sumber :www.kompas.com
Foto :
http://www.pariwisata.wonogirikab.go.id
http://farm4.static.flickr.com
http://food.detik.com
Padang, Sumatra Barat- Minggu lalu saya berkunjung ke Padang dan Bukittinggi bersama sebuah tim kecil dalam rangka persiapan Temu Pusaka 2008 – semacam rapat kerja tahunan bagi pihak-pihak yang peduli akan kelestarian pusaka budaya Indonesia. Penyelenggaranya adalah Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI).
Kami sengaja memilih Bukittinggi dan Sawahlunto di Sumatra Barat sebagai tempat pertemuan. Tentu saja, karena provinsi ini sangat kaya akan warisan budaya (cultural heritage), baik yang dapat dijamah (tangible) maupun yang intangible. Apa sih yang dimaksud dengan warisan budaya intangible itu? Contohnya adalah keris yang oleh Unesco telah diakui sebagai salah satu World Heritage dalam kategori pusaka intangible. Sekalipun keris merupakan benda wujud yang dapat disentuh, namun nilai-nilai utamanya justru bukan terletak pada wujudnya. Keris ‘kan tidak untuk merajang bawang, melainkan memiliki nilai-nilai luhur yang lebih dalam.
Kuliner juga merupakan contoh pusaka budaya intangible yang penting. Di banyak bagian dunia, makanan tidak saja berfungsi untuk mengenyangkan perut, melainkan memiliki nilai-nilai sakral dan seremonial. Banyaknya elemen kuliner yang hilang atau semakin langka di tanah air kita membuat Komunitas Jalansutra sejak tiga tahun yang lalu mengikrarkan tekad untuk “melestarikan pusaka kuliner Indonesia”.
Di Sumatra Barat, misalnya, Jalansutra telah melakukan satu langkah kecil pelestarian kuliner Minang. Tahun lalu, di bawah pimpinan Irvan Kartawiria dan Andrew Mulianto, kami membuat “paket wisata khusus” dengan mengunjungi Nagari Kinari, sebuah desa adat di dekat Solok. Kami datang ke desa itu, melakukan sembahyang Jumat bersama dengan warga setempat, lalu dijamu makan siang dengan hidangan khas Minang di sebuah rumah gadang. Setelah makan siang, kami menikmati upacara penyambutan secara adat dengan sekapur sirih, dilanjutkan dengan suguhan tarian daerah dan pencak silat. Kami juga melihat kelincahan seekor beruk (kera) memanjat pohon kelapa, memilih kelapa yang sudah tua, dan kemudian memetiknya. Ini memang cara khas masyarakat memanen kelapa di daerah itu.
Dalam jamuan makan siang di Nagari Kinari itu muncul satu hidangan khas tradisional yang sudah jarang muncul, yaitu pangek pisang. Biasanya, pangek adalah masakan dengan bahan ikan laut dan dipakai sebagai lauk nasi. Pangek pisang memakai bumbu yang sama, tetapi diperlakukan sebagai pencuci mulut atau kudapan, disantap dengan ketan kukus. Istimewa sekali.
Kami semua berpendapat bahwa “paket wisata khusus” seperti yang kami lakukan di Nagari Kinari itu memiliki nilai jual yang tinggi bila dikemas sebagai “komoditi” pariwisata. Di Negeri Belanda, tiap hari ratusan bus hilir-mudik membawa ribuan wisatawan meninjau desa-desa kecil seperti Marken, Volendam, Broek in Waterland, karena wisatawan selalu terpesona akan nilai-nilai budaya yang khas di negeri-negeri yang dikunjungi wisatawan.
Sumatra Barat memiliki potensi pariwisata yang sangat besar bila ditinjau dari kekayaan budaya dan pusakanya. Sayangnya, tidak semua unsur-unsur itu dalam kondisi “siap jual”. Beberapa “pembangunan” bahkan telah merusak keindahan Kota Padang.
Setyanto P. Santosa, Badan Pimpinan BPPI, misalnya, menunjuk Jembatan Siti Nurbaya yang tampak angkuh dan salah tempat. Jembatan kokoh itu sebetulnya tidak berfungsi karena hanya menghubungkan satu bagian Padang dengan bukit di seberangnya – tempat makam Siti Nurbaya. Padahal, di bagian bukit itu tidak ada jalan utama, sehingga kendaraan harus berputar lagi. Apa gunanya? Alhasil, pada sore hari jembatan itu menjadi tempat jualan makanan.
Padahal, di sekitar jembatan itu adalah bagian kota lama Padang yang dalam kondisi hancur. Bangunan-bangunan di situ sudah tidak terawat lagi. BPPI dan mitranya di Padang kini sedang merenovasi Museum Bank Indonesia yang berdiri di sana. Di seberang Museum BI itu juga ada sebuah gudang besar yang dulunya dimiliki Geo Wehry – perusahaan dagang “Lima Besar” di masa lalu. Oleh cucu pemilik lama, BPPI sedang menyusun rencana untuk mengakuisisi gudang itu dari pemiliknya yang sekarang, dan melestarikannya. Langkah-langkah kecil itu diharapkan akan memicu revitalisasi kota tua Padang menjadi tujuan wisata penting.
Dalam pertemuan dengan Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi, kami sempat mengemukakan bahwa Ranah Minang ini mestinya memakai kuliner sebagai ujung tombak pariwisata. Tidak perlu diperdebatkan, masakan Minang adalah salah satu unggulan dalam kuliner Nusantara yang disukai banyak orang. Selain itu, masakan Minang juga sangat eksotis untuk diperkenalkan kepada wisatawan asing. Seperti halnya Thailand yang berhasil menembus pasar kuliner dunia dengan program “Thai Kitchen to the World” yang digagas oleh PM Thaksin Sinawatra, kuliner Minang merupakan ujung tombak penting bila Indonesia ingin melakukan langkah serupa.
Dibandingkan dengan elemen pariwisata lainnya, kuliner merupakan “objek” wisata yang paling siap untuk dikembangkan terlebih dulu sebagai ujung tombak pariwisata Sumatra Barat. Infrastruktur untuk mengembangkannya pun pasti paling murah.
Pertemuan dengan Walikota Bukittinggi H. Djufri malah membuahkan respon yang luar biasa. Pak Wali menyambut positif usulan BPPI untuk merevitalisasi pasar-pasar tradisional di wilayahnya dengan mengacu pada pasar-pasar tradisional di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat yang berhasil menumbuhkan ekonomi rakyat sambil menciptakan tujuan pariwisata yang elok. Beberapa acuan mencakup Pasar Orchorkor di Bangkok, pasar tradisional di kawasan kota tua Budapest dan Nice, Grand Bazaar di Istanbul, dan Pike Market di Seattle, Amerika Serikat.
Pasar Atas di Bukittinggi punya kenangan khusus bagi saya. Di pertengahan dasawarsa 1950-an, ketika keluarga kami tinggal di Padang, Ayah punya langganan penjual tempe yang mangkal persis di kaki tangga pasar itu. Semua orang Jawa di Sumatra Barat tahu bahwa di situlah satu-satunya tempat untuk membeli tempe. Kini, tempe sudah merakyat di seluruh pelosok Nusantara.
Sekalipun Pasar Atas masih menjadi tujuan wisata penting di Bukittinggi, tetapi kesan keteraturan tidak tampak di sana. Penjual pisang bakar nyempil di antara pedagang kutang dan celana dalam. Los Lambuang – tempat para pedagang makanan dan minuman – becek dan kotor, sehingga mengurangi keseronokan makan di sana. Secara terintegrasi, Pasar Atas dan Pasar Bawah tentu dapat direvitalisasi dengan desain ulang yang cantik.
Kepada Walikota Djufri, kami juga sempat “melaporkan” Jam Gadang – ikon Kotamadya Bukittinggi – yang retak-retak setelah gempa bumi. Keretakan hanya ditambal sementara, tanpa meneliti kerusakan struktural yang mungkin lebih parah. Di samping itu, penataan lingkungan Jam Gadang tidak membuatnya tampil anggun dan gagah. Sungguh tidak sebanding dengan kompleks Kantor Walikota Bukittinggi yang anggun, megah, dan gagah di puncak bukit.
Serta-merta pula Pak Wali mengundang BPPI untuk mengajukan rencana pengelolaan Jam Gadang dan kawasan penunjangnya. “Saya sekarang memang sedang biru,” kata Pak Wali mengakui afiliasinya dengan Partai Demokrat. “Tetapi, silakan mengembalikan Jam Gadang ke warna aslinya, sambil menata lingkungannya agar menjadi objek pariwisata yang dapat dibanggakan.”
Telah terbukti di seluruh dunia bahwa hanya bangsa-bangsa yang menaruh perhatian pada pelestarian pusaka dan warisan budaya adalah bangsa-bangsa yang mendapat manfaat maksimum dari ekonomi pariwisata.
Walikota Solo Joko Widodo sudah terjangkiti "virus" pelestarian. (Baca: "Bangkitlah Pasarku"). Kini giliran gubernur dan walikota Sumatra Barat dibuat demam dengan virus yang sama.
__________
Bondan Winarno, Penulis adalah seorang pengelana yang telah mengunjungi berbagai tempat dan mencicipi makanan-makanan khas, dan akan masih terus melanjutkan pengembaraannya. Email : bondanw@gmail.com
Sumber :www.kompas.com
Foto :
http://www.pariwisata.wonogirikab.go.id
http://farm4.static.flickr.com
http://food.detik.com