Masjid Lau Tze, Budaya Tionghoa dan Nilai Islami

Oleh: Maya Saputri

Beberapa truk lalu lalang melintasi Jalan Lautze, Pasar Baru yang padat pertokoan dan lebih dikenal dengan kawasan Pecinan. Kabarnya di antara deretan rumah toko (ruko) itu terdapat sebuah masjid bagi warga Tionghoa dan penduduk sekitar area tersebut.

Sudah setengah jam berkeliling di deretan ruko, tapi belum tampak masjid yang dimaksud. Ternyata papan nama masjid yang biasa disebut Lau Tze itu tertutup badan truk yang menurunkan muatan di toko sebelahnya.

Selain itu, arsitektur bangunan sama sekali tak menunjukkan seperti masjid dengan kubah yang biasanya identik dengan warna hijau.Ya, masjid Lau Tze memang berada di Jalan Lau Tze 87-89, Kelurahan Karanganyar, Sawah Besar, Jakarta.

Bangunan berlantai empat gabungan dua unit ruko ini kental dengan nuansa Tionghoa. Dua pintu utama di bagian depan dicat merah menyala sangat kontras dengan masjid pada umumnya yang berwarna hijau atau kuning.

Kalau masuk ke dalam, di belakang mimbar digantung sepasang kaligrafi Arab ala Shu Fa atau kaligrafi Tionghoa asli buatan Beijing. Tak hanya arsitekturnya yang unik, jemaah masjid ini pun hampir sebagian besar warga Tionghoa yang tinggal berpencar di berbagai daerah di Jakarta dan sekitarnya. "Ada yang dari Bogor, Depok, Bekasi, justru jemaahnya paling banyak tak berasal dari kawasan sekitar sini. Mereka biasanya para mualaf yang masih belum fasih sholat dan perlu belajar agama Islam," kata Sekretaris Harian Yayasan Haji Karim Oei yang mengelola masjid Lau Tze, Senin (1/9) kemarin.

Masjid Lau Tze yang didirikan sejak 1961 ini dipakai sebagai pusat informasi bagi warga Tionghoa yang ingin belajar agama Islam. Lantai 1 dan 2 digunakan untuk sholat, biasanya kalau sholat Jumat tidak cukup hingga lantai 3 pun dipakai. "Memang masjid ini beda dengan yang lain, dibuka pukul 09.00-16.00 WIB karena kantor yayasan Haji Karim Oei di lantai 3, maka menyesuaikan jam kantor. Jadi hanya dua waktu sholat yang bisa diikuti yakni zuhur dan asar," tutur Anna.

Beberapa warga Tionghoa yang menjadi mualaf biasanya dibimbing dulu untuk belajar sholat. Mereka biasanya canggung untuk masuk ke masjid, apalagi yang sholatnya belum lancar. "Nah, kami dari yayasan berupaya mengenalkan pada warga Tionghoa bagaimana Islam itu, tapi kalo mereka sudah lancar sholat ya kami sarankan ke masjid terdekat supaya berbaur dengan pemeluk Islam di sekitar mereka," ujar Anna.

Saat Kompas.com berkunjung ke masjid tersebut, bertepatan dengan waktu sholat ashar. Tampak beberapa pria Tionghoa selesai wudhu dan berjajar mengambil tempat di belakang imam, lalu mereka terhanyut dalam suasana khusyuk. Selesai sholat, mereka bersalaman dan bercakap-cakap satu sama lain.

Ahmad, salah satu jemaah di mesjid itu juga mengakui saat pertama mengenal sholat dari istrinya yang muslim, ia sempat merasa tidak percaya diri untuk melakukannya di masjid dekat rumahnya. "La, pernah saya tuh mau mampir aja, baru masuk gerbangnya, sudah diliatin semua orang, apa mungkin karena mata saya sipit ya," katanya sambil tertawa lebar.

Lalu ia mendengar kabar Masjid Lau Tze bisa melayani pendampingan bagi mualaf Tionghoa. "Saya tak perlu pikir dua kali, setiap Minggu ada pengajian bersama, saya berkomitmen untuk datang. Tapi sudah dua bulan ini, saya sholat di mesjid deket rumah," tutur pria berkacamata yang tinggal di Depok itu.

Sarana Pembauran
Pengalaman Ahmad itulah yang diharapkan oleh penggagas berdirinya masjid untuk berdakwah bagi kaum Tionghoa di Indonesia. Idenya memang untuk mengenalkan agama Islam pada warga Tionghoa. Mengingat sebelumnya telah terbentuk stereotip bahwa orang Tionghoa masuk Islam maka ia ’turun kasta’ atau menjadi warga negara kelas tiga (pembagian kelas warga negara jaman penjajahan Belanda).

"Memang saya pernah diajar oleh orang tua saya, kamu boleh pindah agama, asal jangan Islam. Ini malah membuat saya bertanya-tanya kenapa, tapi baru masa tua saya mencari tahu dan malah menjadi Muslim sekarang," jelas Ahmad.

Ahmad mengakui pembauran antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi yang mayoritas memeluk Islam lebih cepat terjadi melalui agama dan pernikahan. "Ya, itu yang terjadi pada saya, tapi saya pindah Islam bukan karena istri saya muslim. Kami sudah menikah 23 tahun, tapi saya masuk Islam baru setahun yang lalu," katanya.

Gagasan pembauran itulah yang melatarbelakangi berdirinya masjid Lau Tze. Nama yayasan yang mengelola masjid ini diambil dari tokoh Tionghoa muslim dan pengusaha sukses yakni Haji Karim Oei Tjeng Hien.

Saat ini, jemaah masjid Lau Tze yang rutin berkunjung mencapai 70 orang. Padahal tahun 1991 saat pertama kali berdiri mencapai 1000 jemaah. "Dulu masih banyak jemaah dari luar Jakarta ke sini, sekarang mereka telah terbiasa dengan warga sekitar dan sholat di wilayahnya sendiri. Semoga proses pembauran ini terus terjadi sehingga prasangka antara etnis Tionghoa dan pribumi pun bisa terkikis, karena yang dilihat kebersamaannya," tutur Anna dari Yayasan Haji Karim Oei mengakhiri pembicaraan.

Masjid Lau Tze memberi ruang untuk berkontemplasi mengenai arti kebersamaan di bulan Ramadhan ini. Kehadiran komunitas muslim Tionghoa yang mulai berbaur dengan masyarakat juga memberi warna unik pada perkembangan Islam di nusantara.

Sumber : kompas.com