Masyarkat Lokal dan Keberadaan Wisatawan di Nemberala

Oleh: Adi Hendrik Manafe [1] dan Andeka Rocky Tanaamah [2]
Nemberala merupakan salah satu daerah wisata yang memiliki potensi wisata bahari yang sangat potensial. Oleh karena itu, guna meningkatkan pendapatan daerah Kabupaten Rote nDao, maka diperlukan perhatian yang khusus dalam pengembangan objek wisata tersebut. Tetapi disisi lain, persoalan yang dihadapi adalah seperti apa penerimaan masyarakat lokal terhadap wisatawan. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka ditemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan masyarakat lokal terhadap wisatawan adalah penghayatan keagamaan, kebiasaan merantau, tingkat kekerabatan, gender, dan jarak ke lokasi wisata. Sedangkan tingkat pendidikan ternyatan tidak memiliki pengaruh terhadap pen erimaan wisatawan oleh masyarakat lokal

Pengantar
Nemberala adalah salah satu daerah wisata bahari yang mulai dikenal luas oleh wisatawan pada tahun 1980-an, me¬miliki keunggulan dengan gulungan ombak berlapis-lapis, berlawanan arah. Selama 3 tahun terakhir, Nemberala menjadi tempat penyelenggaraan lomba selancar internasional. Kawasan wisata bahari Nemberala terletak tepat-nya di bagian Barat Daya pulau Rote, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Objek wisata ini memiliki potensi pariwisata yang sangat besar dan sampai saat ini belum digarap secara serius oleh pemerintah daerah. Di satu sisi objek wisata bahari Nemberala merupakan aset wisata yang sering dipergunakan untuk kejuaraan selancar bertaraf internasional maupun sebagai tempat peristirahatan yang sangat bagus.

Fenomena pariwisata sebagai salah satu sektor unggul¬an sangat mengesankan, terutama kontribusinya dalam PDRB. Sektor pariwisata merupakan sumber ekonomi yang cepat mendatangkan devisa bagi negara atau daerah tujuan wisata. Meskipun pariwisata di Indonesia masih ditempatkan sebagai sektor sekunder yang tidak mendapat perhatian serius, namun potensi-potensi tersebut terus berkembang secara alamiah. Jika kita melihat lebih jauh, maka pada tahun 1997, secara nasional sektor pariwisata menyumbangkan devisa terbesar, yang mencapai US$ 7.987,56 juta. Data di atas memperlihat¬kan bahwa setiap dolar yang dikeluarkan oleh wisatawan mem¬beri kontribusi yang sangat besar terhadap perekonomian kawasan yang mengembangkan pariwisata tersebut. Artinya setiap dolar yang dikeluarkan akan menimbulkan dampak multiplier bagi daerah tersebut. Berdasarkan pemahaman di atas, jelas pariwisata sangat potensial untuk dikembangkan. Pariwisata akan memberi kontribusi lebih besar lagi bagi daerah apabila dikembangkan dan dikelola secara serius dengan melibatkan stakeholder yang ada di daerah tersebut.

Berdasarkan data Dinas Pariwisata NTT yang bekerja¬sama dengan Planning Design Consultant (2001), pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2001, pariwisata di Nemberala didominasi oleh wisatawan asing. Tingkat kunjungan wisata¬wan asing mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sebaliknya tingkat kunjungan wisatawan lokal justru terus mengalami penurunan. Hal ini dapat terlihat pada tabel 1.

Tabel 1 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara dan Wisatawan Nusantara di Nemberala Tahun 1997-2001

N o

Jenis

Wisatawan

Tahun Kunjungan(orang)

1997

1998

1999

2000

2001

1.

Wisman

1.460

2.140

3.120

3.142

3.243

2.

Wisnus

2.481

2.238

1.637

1.477

1.332

Jumlah

3.941

4.378

4.757

4.619

4.575

Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi NTT bekerjasama dengan Planning Design Consultant, 2001.

Pada tahun 1997 jumlah kunjungan wisatawan asing sebesar 1.460 orang, sedangkan pada tahun 2001, meningkat menjadi 3.243 orang. Jumlah kunjungan wisatawan lokal pada tahun 1997 sebesar 2.481 orang, namun pada tahun 2001, turun menjadi 1.332 orang. Paparan data pada tabel 1 tersebut memberi gambaran bahwa kawasan wisata bahari Nemberala memiliki potensi sangat besar untuk dilirik oleh wisatawan, terutama wisatawan asing.

Lokasi penelitian berada di Desa Nemberala, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao. Alasan pengambilan daerah ini sebagai lokasi penelitian didasari oleh beberapa pertimbangan antara lain: kawasan wisata Nemberala merupa¬kan kawasan yang sangat potensial dan perkembangan pariwi¬satanya tumbuh secara alamiah, namun dilain pihak, tingkat pertumbuhan ekonominya lambat. Hal ini diduga karena masyarakat belum bisa menerima kehadiran wisatawan, atau mungkin disebabkan faktor lain. Oleh pemerintah Kabupaten Rote Ndao, kawasan Wisata Bahari Nemberala akan dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata yang maju, mengingat kawasan wisata tersebut sudah terkenal, dan sering digunakan sebagai arena penyelenggaraan lomba bertaraf internasional.

Penelitian ini merupakan penelitian explanatoris dengan model deterministik yang menggunakan Tekhnik pengambilan sampel Non Probability Sampling yang menggunakan accidental sampling. Oleh karena itu, pada penelitian ini, jumlah sampel yang dipergunakan sebesar 149 responden yang tersebar di Desa Nemberala. Adapun alasan pengambilan sampling ini adalah karena keterbatasan waktu, biaya dan tenaga.

Peranan Faktor-Faktor Sosial dan Budaya, serta Penghayatan Agama dan Jarak dalam Pariwisata Pada hakikatnya pengembangan pariwisata harus dila¬kukan secara integratif dan komprehensif dengan melibatkan seluruh komponen, potensi-potensi yang dimiliki, serta kebia¬saan maupun aturan yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa pariwisata merupakan industri yang sangat kompleks serta berkaitan erat dengan berbagai sektor, seperti transportasi, komunikasi, teknologi, pertanian, maupun terhadap objek wisata itu sendiri.

Kebijakan Pariwisata
Dengan pengembangan pariwisata tentu banyak keun¬tungan dapat diperoleh, namun semua berpulang kepada kesiapan daerah masing-masing dalam upaya mengembangkan daerahnya menjadi salah satu daerah pariwisata. Ada beberapa kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan pariwi¬sata yaitu; promosi, peningkatan mutu pelayanan dan produk wisata, pengembangan kawasan-kawasan pariwisata dan produk-produk baru terutama di wilayah timur Indonesia dan peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang kepari¬wisataan serta kampaye nasional yang berkesinambungan (Karyono: 1997).

Menurut Richie (1993) dalam Sukamto (2000), dalam merumuskan kebijakan pengembangan pariwisata perlu diper¬hatikan beberapa rekomendasi atara lain:

1) pada dasarnya diharapkan pengembangan pariwisata harus memiliki jalinan hubungan yang harmonis dengan kondisi sosial budaya, lingkungan alam, waris¬an, tujuan, nilai, dan aspirasi masyarakat lokal, 2) Ke¬untungan ekonomis kegiatan kepariwisataan harus di¬rasakan oleh seluruh partisipan yang terlibat proses, 3) Pendekatan kreatif untuk meningkatkan masyarakat lokal dalam partisipasi dalam mewujudkan kesamaan serta rasa memiliki bersama semua fasilitas dan pela¬yanan yang dikembangkan.

Smith (1996) dalam Soekamto (2000), menyatakan bahwa dalam pemberdayaan masyarakat, perlu diperhatikan:

1) Habitat, untuk menjelaskan hubungan timbal balik antara lingkungan alam, manusia, dan kebudayaan sebagai suatu ekosistem yang memberikan jaminan kelangsungan hidup manusia (masyarakat) dalam memelihara, menjaga nilai-nilai budaya, 2) Heritage, warisan ini menggambarkan kerangka dasar pengetahuan, ketrampilan, yang dimengerti dan dikuasai masyarakat setempat yang mendukung kehidupan masyarakat karena ikatan nilai dan kepercayaan masih tetap hidup dan menjadi tuntunan perilaku, sehingga memberi pedoman akan hal atau sesuatu yang benar dan yang salah, 3) History, adalah unsur daya tarik yang dihasilkan dari atau yang berwujud gambaran kehidupan masyarakat masa lampau dan faktor¬faktor penting yang berpengaruh terhadap perjalanan hidup masyarakat setempat, 4) Handicraft, merupakan daya tarik wisman sebab memberikan hasil karya nyata sebagai ungkap¬an rasa seni dan teknologi masyarakat setempat.

Partisipasi Masyarakat dalam Pariwisata
Pengembangan pariwisata tentu tidak dapat dipisahkan dengan partisipasi. Masyarakat tidak lagi ditempatkan sebagai objek yang hanya menerima segala apa yang diputuskan dari atas (pemerintah), tetapi masyarakat pada saat ini juga harus dilibatkan dalam kerangka pengembangan pariwisata. Keterli¬batan masyarakat dalam pengembangan pariwisata menimbul¬kan perasaan memiliki dan ingin turut memelihara pariwisata di daerahnya.

Dalam melihat partisipasi masyarakat, ada tiga dimensi utama yang harus diperhatikan menurut Cohen dan Uthoff (1979), yaitu: 1) Partisipasi apa yang harus dipertimbangkan, Siapa yang berpartisipasi, 3) Bagaimana partisipasi itu berlangsung. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka untuk menganalisis siapa yang berpartisipasi, mereka menyarankan untuk mengidentifikasi ciri-ciri khusus seperti: 1) penduduk setempat; 2) pemimpin masyarakat baik secara formal maupun non formal; 3) penjabat pemerintah; 4) orang asing. Sedangkan untuk dimensi bagaimana partisipasi itu berlangsung, maka harus diperhatikan beberapa hal seperti: 1) Apakah inisiatif itu datang dari administrator atau penduduk setempat, 2) Apakah dorongan partisipasi itu sukarela atau paksaan, 3) Struktur partisipasinya, 4) Saluran partisipasinya, 5) Durasi partisipasi¬nya, 6) Ruang lingkup partisipasinya, 7) Pemberian kuasa, yang meliputi bagaimana keterlibatan pengarah pada hasil yang diharapkan. Dalam mengukur partisipasi, harus diguna¬kan indikator sikap dan perbuatan.

Lebih jauh Moeljarto (2002) menyatakan bahwa, dalam melihat partisipasi masyarakat lokal, ada beberapa langkah yang harus diperhatikan yaitu:

1) Reorientasi birokrasi pemerintah ke arah hubungan yang lebih efektif dengan masyarakat klien melalui pengembangan koalisi dan jaringan komunikasi, 2) Pe¬ningkatan rasa tanggungjawab rakyat untuk pemba¬ngunan mereka sendiri, serta peningkatan kesadaran mereka akan kebutuhan mereka, kemampuan mereka, dan potensi mereka, 3) Memperlancar komunikasi antar berbagai potensi lokal sehingga masing-masing dapat lebih menyadari perpektif partisipan lainnya, 4) Pene¬rapan prinsip penuntun yaitu datang hidup, belajar, merencanakan, dan bekerja bersama rakyat.

Manfaat Pariwisata bagi Masyarakat Lokal
Pengembangan pariwisata pada dasarnya dapat mem¬bawa berbagai manfaat bagi masyarakat di daerah. Seperti diungkapkan oleh Soekadijo (2001), manfaat pariwisata bagi masyarakat lokal, antara lain: pariwisata memungkinkan adanya kontak antara orang-orang dari bagian-bagian dunia yang paling jauh, dengan berbagai bahasa, ras kepercayaan, paham politik, dan tingkat perekonomian. Selain itu, pariwi¬sata dapat memberikan tempat bagi pengenalan kebudayaan. Pariwisata merupakan salah satu komoditas yang dapat meli¬batkan semua komponen untuk secara aktif mengambil bagian di dalamnya sehingga menunjang pendapatan asli daerah. Dengan demikian, mau tidak mau pariwisata harus dijadikan alternatif untuk mendatangkan keuntungan bagi daerah tersebut.

Di lain pihak, Ndraha (1979) menyatakan bahwa masya¬rakat juga dapat terlibat dalam hal pemanfaatan, dimana masyarakat dapat mengambil manfaat pembangunan melalui a) menerima setiap hasil-hasil pembangunan sebagai (seolah¬olah) milik sendiri, b) menggunakan dan memanfaatkan setiap hasil-hasil pembangunan, c) Mengusahakan (menjadikan suatu lapangan usaha, mengeksploitasi), d) merawat dan memelihara secara rutin dan sistematis, serta tidak membiarkan menjadi rusak.

Kehadiran pariwisata pada dasarnya dapat membuka peluang kerja bagi masyarakat. Menurut Karyono (1997), dalam menjalankan usaha yang tumbuh dibutuhkan tenaga kerja. Semakin banyak wisatawan yang berkunjung makin banyak pula jenis usaha yang tumbuh sehingga makin luas pula lapangan kerja yang tercipta, baik yang langsung maupun yang tidak langsung berhubungan dengan pariwisata. Dengan demikian, pariwisata mempunyai potensi besar dalam menye¬diakan lapangan kerja.

Kegiatan pariwisata di satu pihak memberi manfaat positif bagi masyarakat lokal, tetapi di lain pihak, juga membe¬ri dampak negatif. Pengembangan daerah pariwisata bisa menyebabkan lunturnya nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat, karena masyarakat cenderung mengadopsi nilai¬nilai tersebut tanpa menghayati esensinya. Young (1973) dan Bachri (1995: 15) mengemukakan bahwa, pariwisata memberi peluang munculnya kegiatan-kegiatan yang tidak diinginkan, seperti perjudian, perdagangan narkotik dan prostitusi yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat lokal. Menurut Jafari (Ritchie dan Goeldner, 1987) dampak negatif dari segi sosial budaya lainnya adalah premature departure to modernization, yaitu suatu keadaan dimana nilai-nilai dan ideologi asing yang diterima mempengaruhi kehidupan dan sikap serta perilaku masyarakat lokal dan secara perlahan¬lahan dikuatirkan akan menjauhi budaya dan tradisi mereka. Crandall (1987: 376) menyatakan bahwa demonstration effect pada dasarnya adalah kebiasaan meniru yang dilakukan masyarakat lokal khususnya para remaja, yaitu meniru perilaku, kebiasaan, sikap dan pola konsumsi wisatawan asing.

Murphy (1985: 119) mendukung kedua pendapat di atas bahwa di antara anggota masyarakat yang paling mudah meniru adalah kelompok anak muda yang kadang-kadang merasa tidak puas dengan keadaan setempat dan mencoba meniru cara wisatawan asing dalam mencari sesuatu yang lebih baik. Ditambahkan oleh Inskeep (1986), bahwa hal-hal yang biasanya ditiru oleh remaja adalah tingkah laku wisa¬tawan, cara berpakaian, sikap yang biasanya bertentangan dengan kode etik lokal dan meniru pola konsumsi yang relatif lebih tinggi yang umumnya di bawah rata-rata kemampuan keuangan masyarakat lokal.

Berdasarkan pemahaman di atas, maka manfaat pari¬wisata akan benar-benar dirasakan oleh masyarakat lokal apa¬bila masyarakat diberi peranan cukup dalam pengelolaan pari¬wisata tersebut. Sejalan dengan hal di atas, Parining (1999), menyatakan bahwa kehadiran pariwisata kerakyatan sangatlah penting. Dimana dalam pariwisata ini, seluruh lapisan masya¬rakat diikutsertakan dalam proses pembangunan pariwisata. Namun disadari bahwa kemampuan masyarakat tidak merata, maka peranan penting pemerintah dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi setiap pelaku pariwisata sangatlah penting.

Syarat Pengembangan Kawasan Wisata
Pengembangan pariwisata cenderung menjauhi pusat¬pusat industri dan mengarah ke kawasan yang belum dikem¬bangkan. Kawasan-kawasan yang dipilih biasanya memiliki alam indah, iklim baik, udara bersih dan keadaan masih longgar, belum padat. Sementara itu, wisatawan pada umum¬nya berpangkal di PPP (Pusat Pengembangan Pariwisata), dimana terkumpul semua kebutuhan pelayanan wisatawan, seperti akomodasi, restoran, bar, telekomunikasi, biro perjalan¬an, usaha persewaan kendaraan, fasilitas kesehatan, keaman¬an dan toko-toko eceran. Maksud utama dari pengembangan desa wisata baru, selain mendukung pembukaan pusat pengembangan pariwi¬sata dalam rangka dekonsentrasi, juga untuk: 1) Menyebarkan keuntungan ekonomis langsung kepada masyarakat desa, 2) Memenuhi keinginan mendapat pengalaman pariwisata dari segmen-segmen pasar tertentu (Hadinoto: 187-188).

Menurut Witt dan Moutindo (Bachri, 1995), tidak dapat disangkal lagi bahwa pariwisata merupakan kegiatan usaha terbesar di dunia saat ini dan telah berkembang secara cepat. Dengan berhasil ditemukannya alat transportasi yang lebih cepat dan lebih besar daya muatnya, menjadikan daerah¬daerah tujuan wisata yang sebelumnya dianggap jauh menjadi lebih dekat. Meningkatnya volume perjalanan tersebut mendo¬rong timbulnya kebutuhan bagi penyediaan fasilitas-fasilitas pariwisata.

Inskeep (1986) berpendapat bahwa pariwisata harus dikembangkan secara bertahap, jangan mengejutkan masyara¬kat lokal dengan pembangunan pariwisata yang berskala besar, agar masyarakat punya cukup waktu untuk memahami dan beradaptasi dengan kegiatan pariwisata. Menurut Rodernberg (1980), pemerintah melalui para perencananya hendaknya mulai mengkoordinasi investasi dalam bidang infrastruktur dengan kebutuhan masyarakat setempat. Hal ini akan menye¬babkan usaha-usaha pariwisata berskala kecil dapat berkem¬bang dengan baik secara spesifik. Sedangkan Tafari (1989) menekankan, untuk dapat meminimasi dampak negatif sosial budaya, kegiatan pariwisata domestik harus diperkuat agar masyarakat lebih mengenal pariwisata dan berperan secara aktif di dalamnya.

Masyarakat sebagai penerima wisatawan dapat meneri¬ma kehadiran pengembangan suatu kawasan wisata jika mempunyai fungsi dan peran dalam pengembangan kawasan wisata tersebut. Kondisi ini sangat beralasan karena masya¬rakat adalah komunitas yang mempunyai ikatan kekerabatan turun-temurun yang sangat kuat, sehingga ada ikatan budaya yang cukup kuat baik secara individu, maupun kelompok. Secara organisatoris dan lembaga-lembaga adat, ada beberapa tokoh yang dipercaya sebagai pemimpin organisasi atau lembaga. Sikap dan pola menerima atau menolak kehadiran pengem¬bangan pariwisata paling tidak sangat dipengaruhi oleh bebe¬rapa tokoh kunci, seperti kepala desa, pemuka agama, guru-guru dan beberapa tokoh masyarakat sebagai pemilik sumber¬sumber produksi pariwisata.

Aspek sosial menyangkut kesiapan masyarakat terha¬dap perubahan yang akan terjadi, dilihat dari sikap menerima atau menolak pembangunan pariwisata, sejauh mana peran para pengembang dalam mensosialisasikan setiap kegiatan pariwisata kepada masyarakat lokal. Kehadiran pariwisata memberi nilai tambah secara ekonomis di samping sebagai upaya pelestarian nilai-nilai budaya dalam masyarakat yang hampir tidak pernah diekspose ke dunia luar. Pengembangan pariwisata akan berdampak positif bagi setiap anggota masya¬rakat jika kehadirannya dipahami secara benar. Desa yang dulunya sepi menjadi ramai dengan hadirnya wisatawan baik asing maupun domestik. Ketidaksiapan masyarakat menerima kehadiran wisatawan dengan budaya yang berbeda dapat menimbulkan culture shock bagi masyarakat lokal, dimana masyarakat dapat kehilangan tanda dan simbol-simbol budaya yang sudah melekat dalam kehidupan keseharian mereka.

Keterlibatan masyarakat dalam pengembangan pariwi¬sata, ditentukan oleh beberapa faktor yang sangat berpenga¬ruh, antara lain: tingkat pendidikan, gender, jarak antara tempat tinggal dengan objek wisata/sentra-sentra pariwisata, tingkat kekerabatan, kebiasaan merantau, dan faktor pengha¬yatan keagamaan. Berdasarkan pemahaman di atas, maka kerangka pikir penelitian ini, dapat dilihat di bawah ini.

Ada dua bentuk dampak yang ditimbulkan akibat interaksi antara wisatawan dan masyarakat lokal: 1) kontras antara kekayaan di kawasan Enklave dan keadaan di luarnya. Larangan bagi penduduk untuk ikut menggunakan fasilitas alam yang sebenarnya bersifat umum, seperti pantai yang ditutup, dengan mudah menimbulkan iri hati atau kecembu¬ruan sosial, atau rasa rendah diri pada masyarakat; 2) bahwa ada golongan-golongan tertentu yaitu golongan yang mampu, meniru tingkah laku mereka yang tidak cocok dengan kebudayaan masyarakat setempat. Kedua dampak di atas, dapat menimbulkan kesan yang negatif bagi masyarakat lokal.
Pengaruh Faktor Sosial Budaya dan Keagamaan terhadap Penerimaan oleh Masyarakat Lokal Nemberala

Peranan pariwisata dalam pembangunan negara pada garis besarnya berintikan tiga segi, yakni segi ekonomis (sumber devisa, pajak-pajak), segi sosial (penciptaan lapangan kerja), dan segi kebudayaan (memperkenalkan kebudayaan kita kepada wisatawan-wisatawan asing). Ketiga segi tersebut tidak saja berlaku bagi wisatawan asing, tetapi juga wisatawan domestik yang kian meningkat peranannya (Hartono 1974: 45).

Pada bagian ini, akan dibahas tentang sejauh mana peranan sosio-budaya dan keagamaan serta jarak, berpenga¬ruh terhadap penerimaan wisatawan masyarakat lokal di desa Nemberala. Faktor-faktor tersebut antara lain: tingkat pengha¬yatan keagamaan, kebiasaan merantau, tingkat kekerabatan, gender, tingkat pendidikan, jarak ke lokasi wisata. Pada pengu¬jian ini, sebagai peubah tidak bebas adalah tingkat penerimaan terhadap wisatawan oleh masyarakat lokal, dan yang menjadi peubah bebas adalah penghayatan keagamaan, kebiasaan merantau, tingkat kekerabatan, gender, tingkat pendidikan, jarak ke lokasi wisata.

Tabel 2 Hasil pengujian Regresi

N o

Jenis

Wisatawan

Tahun Kunjungan(orang)

1997

1998

1999

2000

2001

1.

Wisman

1.460

2.140

3.120

3.142

3.243

2.

Wisnus

2.481

2.238

1.637

1.477

1.332

Jumlah

3.941

4.378

4.757

4.619

4.575

Peubah tidak bebas: Tingkat penerimaan terhadap wisatawan

Cacatan: ** á = 5 %
* á = 10%

Pada analisis ini, dimasukkan tingkat pendidikan kuadrat, sebagai model eksperimen, untuk melihat keterkaitan atau pengaruh terhadap penerimaan wisatawan dalam jangka panjang.

Berdasarkan hasil uji regresi yang terlihat pada tabel 2, di bawah ini, akan dibahas mengenai pengaruh faktor-faktor sosial budaya dan penghayatan agama serta jarak terhadap tingkat penerimaan wisatawan.

Tingkat Penghayatan Keagamaan dalam Pariwisata
Substansi penghayatan keagamaan dalam masyarakat dapat diimplementasikan pada sikap menerima orang lain, tanggung jawab, kejujuran dan keimanan. Salah satu kebu¬tuhan terdalam hati manusia ialah kebutuhan untuk dihargai. Tiap-tiap orang membutuhkan pengakuan atas dirinya. Mene¬rima orang lain itu termasuk menerima apa yang melekat dan mewarnai kepribadiannya. Prinsip hidup ialah bagaimana keadaan orang perorang dalam kehidupannya berarti bagi sesa¬manya. Menerima orang lain bukan berarti tidak perlu melihat kekurangan atau kelebihannya. Tingkat penghayatan keagama¬an dapat diartikan sebagai tingkat ketaatan, pemahaman rasional, keyakinan dan kesesuaian perilaku dengan agama yang dihayati, sehingga mengubah tingkah laku.

Tingkat penghayatan keagamaan secara statistik mem¬punyai nilai signifikansi kecil. Gambaran ini berarti peubah penghayatan keagamaan sangat rentan atau mempunyai tingkat sensitif tinggi. Berdasarkan hasil pengujian regresi pada tabel 5.2, terlihat bahwa koefisien regresi untuk tingkat penghayatan keagamaan, sebesar 0,148. Hal ini menunjukkan jika penghayatan keagamaan naik sebesar 1%, maka tingkat penerimaan akan wisatawan naik sebesar 0,148. Keadaan ini berimplikasi bahwa masyarakat lokal Nemberala mempunyai tingkat penghayatan tinggi terhadap agamanya dan sangat terbuka terhadap wisatawan yang dianggap mempunyai keyakinan atau keimanan yang sama, bahkan mereka meman¬dang bahwa setiap wisatawan yang datang patut dihormati.

Bapak Thomas Tamelan, salah seorang tokoh masya¬rakat yang banyak berkecimpung dalam kegiatan keagamaan di Nemberala, mengatakan bahwa, wisatawan yang datang, terutama wisatawan asing identik dengan kristen sebagaimana agama Kristen yang dianut oleh hampir semua penduduk lokal Nemberala. Beberapa pandangan yang memberi dukungan ter¬hadap hasil pengujian ini kaitannya dengan penerimaan terha¬dap wisatawan, baik langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan keagamaan di Nemberala, antara lain membangun gedung ibadah (gereja) dan mereka sering membantu baik secara fisik maupun non fisik. Selain itu, Nemberala juga sangat kondusif dari sisi keamanan karena pengaruh faktor penghayatan keagamaan yang secara empiris terlihat melalui penghindaran diri dari mengambil barang orang lain, termasuk barang-barang wisatawan yang tertinggal atau hilang, dan jika ditemukan oleh masyarakat lokal maka akan dikembalikan kepada pemilik barang. Ini adalah suatu realitas yang memberi jaminan keamanan kepada wisatawan.

Kebiasaan Merantau
Menurut Naim (1973), merantau mengandung beberapa unsur pokok antara lain: merupakan suatu lembaga sosial yang telah membudaya, meninggalkan kampung halaman dengan jangka waktu yang lama atau tidak dengan tujuan mencari kehidupan baru, menuntut ilmu atau mencari pengalaman. Merantau tidak dapat dipisahkan dengan sistem matrilinial itu sendiri (Mantra dan Sunarto 1983). Kebiasaan merantau adalah orang yang sering atau pernah melakukan kunjungan ke daerah lain di luar tempat menetapnya dalam waktu yang relatif lama dengan maksud atau tujuan tertentu.

Berdasarkan pemahaman di atas, maka koefisien regresi untuk variabel kebiasaan merantau adalah 0,236. Hal ini memperlihatkan bahwa kebiasaan merantau merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat penerimaan wisatawan. Data ini diperkuat oleh tingkat Standardized Coefficients sebe¬sar 0,271. Orang Nemberala dan orang Rote pada umumnya merantau dengan berbagai alasan dan tujuan. Karena penga¬ruh tekanan ekonomi menyebabkan mereka sering merantau untuk mencari pekerjaan yang di Nemberala bahkan di Rote sumber-sumber pendapatan tersebut tidak ada. Ada yang merantau karena ingin melanjutkan pendidikan pada jenjang lebih tinggi, ada pula yang sekedar ingin tahu atau sekedar mencari kesenangan dan lainnya. Hal ini berdampak positif terhadap penerimaan wisatawan.

Merantau memberi pengalaman berinteraksi dengan lingkungan luar sehingga kehadiran wisatawan bukan menjadi sesuatu yang asing. Orang Rote, juga merantau karena migrasi pada masa kolonialisme akibat persaingan antar berbagai kepala kerajaan dalam pengelolaan lahan pertanian, juga untuk berperang melawan orang Timor pro portugal pada masa penjajahan, seperti yang ditulis oleh Fox. Hal ini beralasan karena dengan merantau, mereka memperoleh pengalaman dan pengetahuan tentang kebiasaan-kebiasaan yang ada di luar pulau Rote. Selain memberi kesempatan guna memba¬ngun relasi dengan orang lain, dengan merantau masyarakat dapat menggali berbagai informasi yang dapat mendukung pembangunan kawasan wisata bahari Nemberala.

Tingkat Kekerabatan
Maine (……..), seorang ahli sejarah dan hukum yang memusatkan studinya pada bangsa-bangsa primitif menya¬takan bahwa, ikatan kekerabatan, yakni ikatan kelompok agnaten (kerabat patrilineal), lebih kuat dan lebih tua daripada ikatan yang terjadi karena tempat pemukiman dalam satu wilayah. Ikatan kekerabatan berkaitan dengan kebiasaan¬kebiasaan suatu rumah tangga yang membentuk simpul¬simpul komunikatif antar sesama anggota keluarga ataupun dengan keluarga lain dan tetangganya yang diwujudkan lewat material maupun moril. Sikap-sikap kohesi sosial ini diduga membentuk karakter yang berpengaruh terhadap penerimaan wisatawan.

Koefisien regresi untuk variabel tingkat kekerabatan sebesar 0,343. Hal ini memperlihatkan bahwa tingkat kekera¬batan merupakan salah satu faktor penting selain kebiasaan merantau dalam menentukan tingkat penerimaan wisatawan. Koefisien regresi diperkuat oleh tingkat Standardized Coefficients sebesar 0,170. Tingkat kekerabatan dipandang sebagai salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan sikap penerimaan terhadap wisatawan.

Membangun persaudaraan lewat simpul-simpul komu¬nikasi adalah hal yang amat penting bagi masyarakat lokal Nemberala. Hal ini disebabkan karena mereka masih ingin mempertahankan warisan nenek moyang, bahwa berhubungan baik dengan sesama anggota rumah tangga maupun orang¬orang di sekitar atau di luar rumah merupakan tradisi lama yang masih terpelihara hingga sekarang.

Dalam hal membangun simpul-simpul komunikasi tentunya sangat dipengaruhi oleh pengambilan keputusan yang berlaku di masyarakat lokal. Hal ini dimungkinkan oleh adanya suatu pemahaman berdasarkan latar belakang yang sama sehingga jika seorang anggota masyarakat mempunyai sikap menerima kehadiran wisatawan, otomatis anggota masyarakat akan mempunyai sikap yang sama.

Berdasarkan amatan penulis, selama ini masyarakat yang berdomisili di Nemberala adalah rata-rata penduduk asli yang telah membangun kekerabatan dengan sesama masya¬rakat sekitar ratusan tahun, sehingga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya. Sikap terhadap wisatawan tentu bernilai positif, walaupun orang yang mereka terima itu orang asing. Atas dasar pertimbangan kemanusiaan dan mem¬pertahankan budaya berkerabat menyebabkan kedatangan wisatawan terutama wisatawan asing pun sudah menjadi bagian dari pola kehidupannya.

Gender
Apabila kita melihat analisis gender, maka kita akan berbicara dalam konteks yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksikan secara sosial maupun kul¬tural, misalnya: perempuan dikenal lebih lembut, cantik, emo¬sional atau keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat, rasio¬nal, jantan dan perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri sebenarnya dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari satu kelas ke kelas yang lain itulah yang dinamakan konsep gender. Sejarah perbedaan gender melalui proses yang amat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan gender dikarenakan banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan di¬konstruksikan secara sosial atau kultural melalui ajaran agama maupun negara (Fakih 1996).

Berdasarkan tabel 5.2, koefisien regresi untuk peubah gender adalah 0.136. Hal ini mengindikasikan bahwa gender merupakan faktor yang sangat penting dan harus dipertim¬bangkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menerima wisatawan. Selama ini sektor pariwisata diduga berkait dengan partisipasi gender. Wanita yang selama ini lebih banyak berpartisipasi dalam sektor rumah tangga atau hanya mengerjakan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, ternyata sedikit terbuka terhadap aktivitas yang dilakukan oleh wisa¬tawan bahkan banyak pula yang memasuki dunia kerja dalam aktivitas pariwisata. Fenomena menarik partisipasi gender (wanita) dalam pengembangan pariwisata di Nemberala. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap objek survei, ternyata ada pula wanita Nemberala yang menikah dengan wisatawan asing, ini bukti bahwa gender tidak memandang latar belakang atau budaya yang berbeda dengan wisatawan asing.

Pada negara-negara Eropa dan Amerika, gender meru¬pakan faktor sangat penting. Hal ini dipertegas melalui konsesi global etik yang menegaskan kesamarataan antara perempuan dan laki-laki (Titaley 2003). Berdasarkan pandangan di atas, perlu membuka pemahaman laki-laki akan pentingnya peran¬an gender terhadap pengembangan pariwisata di Nemberala, apalagi masyarakat lokal sering berinteraksi dengan wisatawan yang datang ke Nemberala.

Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan diperlukan dalam rangka memper¬siapkan masyarakat agar memiliki kreativitas dalam pembuat¬an, pengelolaan dan pengemasan produk-produk rumah tangga. Pendidikan merupakan ukuran kualitas sumber daya manusia dalam berbagai sikap, etika dan moral yang biasanya terukur dari jenis pendidikan yang ditamatkan. Mengacu pada tabel 2, koefisien regresi pendidikan adalah 0,0001178. Hal ini memperlihatkan bahwa terjadi hubungan yang negatif antara pendidikan dengan tingkat penerimaan terhadap wisatawan di Nemberala. Implikasi koefisien regresi tersebut, sektor pendi¬dikan tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat penerimaan wisatawan di Nemberala.

Guna melihat peranan tingkat pendidikan dalam jangka panjang terhadap tingkat penerimaan wisatawan di Nemberala, maka dimasukkan model eskperimen yaitu pendidikan (dikuadratkan). Koefisien regresi untuk pendidikan adalah 0,00001959. Berdasarkan pengujian, tingkat pendidikan pada jangka panjang tetap tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat penerimaan wisatawan. Hal ini menggambarkan keinginan sekolah masyarakat lokal Nemberala rendah. Kalaupun ada yang sekolah, mereka keluar dari Nemberala dan cenderung tidak kembali.

Jarak ke Lokasi Wisata
Jarak antara tempat tinggal dengan objek wisata meru¬pakan unsur yang sangat berpengaruh dalam melihat sejauh¬mana keterlibatan dan tingkat partisipasi masyarakat lokal pada umumnya maupun usaha sektor rumah tangga. Semakin dekat dengan lokasi, semakin besar keterlibatan masyarakat dalam pengembangan objek wisata tersebut. Lokasi atau jarak ke pusat kegiatan pariwisata adalah jarak dari tempat tinggal masyarakat lokal ke pusat kegiatan pariwisata.

Berdasarkan data tabel 2, koefisien regresi untuk jarak ke lokasi wisata 0,004570. Ini menunjukkan adanya pengaruh antara jarak ke lokasi wisata dengan tingkat penerimaan terhadap wisatawan oleh masyarakat lokal Nemberala. Hal ini diduga karena masyarakat yang berada pada jarak dekat dengan lokasi wisata mendapat keuntungan dengan hadirnya para wisatawan. Semakin dekat jarak ke lokasi wisata menye¬babkan keuntungan yang diperoleh juga semakin besar. Keuntungan-keuntungan tersebut adalah: 1) secara ekonomis masyarakat lokal di Nemberala dapat menawarkan produk kerajinan rumah tangga yang mereka hasilkan; 2) masyarakat lokal Nemberala dapat berinteraksi dengan wisatawan, teruta¬ma wisatawan dari manca negara. Interaksi-interaksi ini me¬nyebabkan pengetahuan mereka akan kebudayaan lain sema¬kin luas. Mereka mempelajari kebiasaan-kebiasaan para wisa¬tawan, sehingga memperkaya khasanah penguasaan bahasa asing; 3) berinteraksi dengan wisatawan memungkinkan terja¬dinya kawin-mawin antara masyarakat lokal dengan wisata¬wan, yang menurut mereka hal ini akan meningkatkan prestise karena pada umumnya wisatawan manca negara secara finansial dianggap mampu.

Jika dikaitkan dengan konteks masyarakat Rote Ndao pada umumnya, dimana sejak dulu dan secara turun-temurun telah terbiasa berjalan kaki, maka jarak bagi masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan wisatawan tentunya tidak bermasalah, apakah harus berjalan kaki atau menggunakan alat transportasi. Selain berjalan kaki, pada umumnya masyarakat Nemberala menggunakan alat transportasi kuda. Dengan alat transportasi kuda, mereka pergi ke mana saja dan melakukan berbagai aktivitas baik sosial, ekonomi, budaya maupun kegiatan keagamaan.

Penutup
Pengembangan pariwisata tidak dapat dipisahkan dengan aspek sosial budaya dan keagamaan. Banyak syarat untuk mengembangkan pariwisata menjadi komoditi industri yang maju. Masyarakat lokal Nemberala dari sisi kehidupan sosial budaya dan keagamaannya sangat berkait dengan faktor penerimaan terhadap wisatawan. Pengembangan pariwisata hendaknya tidak hanya bertumpu pada aspek ekonomi saja, tetapi secara integratif dengan aspek sosial budaya dan keaga¬maan dapat menjadi alternatif pengembangan ekonomi selain sektor pertanian dan peternakan.

Masyarakat lokal Nemberala memiliki harapan besar akan pengembangan pariwisata, dan diperkirakan menjadi sektor andalan yang mendatangkan devisa serta pajak. Dalam mengisi pembangunan Rote Ndao, sektor pariwisata potensial dijadikan objek pengembangan seperti Nemberala, dengan asumsi dapat memberikan kontribusi pendapatan asli daerah, penciptaan lapangan kerja baru dan sisi positif lainnya.

Pada penelitian ini, keinginan masyarakat lokal sebagai penerima wisatawan sangatlah besar yang dipengaruhi oleh tingkat/derajat kebiasaan merantau, ikatan kekerabatan/ kohesi sosial, jarak tempat tinggal dari lokasi wisata, gender, dan penghayatan keagamaan. Faktor pendidikan yang menjadi unit pengamatan dan analisis ternyata tidak berpengaruh, hal ini disebabkan karena rata-rata tingkat pendidikan masyarakat lokal Nemberala adalah SD atau bersekolah selama 6 tahun, sehingga faktor ini dalam jangka pendek belum berpengaruh. Ini menjadi tantangan bagi pemerintah yang saat ini tengah gencar berkampanye wajib belajar di Nemberala.

Tingkat kekerabatan sangat berpengaruh terhadap sikap masyarakat lokal dalam menerima wisatawan yang ter¬pola dari simpul-simpul komunikatif antar sesama anggota rumah tangga, melalui kerjasama dan kebersamaan maupun dengan rumah tangga lewat pemberian bantuan, baik moril maupun material. Hal ini telah menjadi suatu budaya atau kebiasaan masyarakat lokal Nemberala secara turun temurun, sehingga perlakuan terhadap wisatawan yang berkunjung di Nemberala adalah sama dengan perlakuan terhadap anggota rumah tangga atau anggota masyarakat lain di Nemberala.

Tindakan suka membantu dan memberi terwujud lewat pengesampingan aspek bisnis, untuk komoditi yang memberi¬kan peluang mendapat keuntungan. Wisatawan selalu disu¬guhi hasil-hasil pertanian/perkebunan lokal, seperti kelapa muda. Di daerah atau kawasan industri maju, kelapa menjadi makanan/minuman pilihan wisatawan yang dapat dibeli dengan harga yang sepantasnya.

Derajat kebiasaan merantau menjadi satu tolok ukur masyarakat lokal Nemberala dalam menerima wisatawan. Hasil uji keterkaitan peubah ini, dapat disimpulkan bahwa merantau sangat berpengaruh bagi penerimaan masyarakat terhadap wisatawan. Merantau memberi peluang untuk mempelajari, menikmati budaya lain yang jika diterapkan kembali ke daerah asal melaui proses seleksi yang ketat akan memberi dampak positif terhadap masyarakat itu sendiri. Dari pengalaman, pengetahuan yang didapat memudahkan masyarakat berinteraksi dengan orang lain termasuk wisatawan asing. Keinginan merantau selalu dilatarbelakangi oleh tekanan sosial seperti, lapangan kerja yang terbatas, sarana pendidikan dengan jenjang yang lebih tinggi, minimnya sumber-sumber pendapatan. Hal ini menyebabkan masyarakat Nemberala sering me¬rantau keluar dari pulau Rote yang mempunyai ciri sosial, ekonomi dan budaya yang hampir sama.

Dari hasil penelitian, pengaruh jarak atau lokasi tempat tinggal terhadap sikap masyarakat dalam menerima wisata¬wan, ternyata berpengaruh, atau sangat signifikan. Hal ini terjadi karena dengan jarak tinggal pada radius 8 km, masyarakat masih mendapat keuntungan dalam membangun komunikasi dengan wisatawan. Pada jarak yang paling dekat dengan lokasi wisata, banyak penduduk, terutama pemuda/ pemudi fasih berbahasa asing dan sering menjadi pemandu wisata bagi wisatawan. Faktor transportasi yang menjadi kendala akses masyarakat terhadap berbagai sarana umum termasuk lokasi pariwisata, menjadi pilihan masyarakat untuk memilih tempat tinggal yang dekat dengan lokasi.

Gender menjadi perjuangan kaum perempuan selama ini untuk membangun kemitrasejajaran dengan kaum laki-laki, dan aspek ini ternyata berpengaruh terhadap penerimaan wisatawan. Selama ini perempuan lebih dikenal dengan sikap feminisme, tertutup, dan sering terbelenggu dengan aspek¬aspek tersebut, sehingga untuk memperjuangkan hak-haknya membutuhkan waktu yang lama. Faktor gender yang sangat berpengaruh terlihat dari pola pergaulan, meskipun tidak suka meniru.

Penghayatan keagamaan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan jasmani masyarakat lokal Nemberala. Hasil pengu¬jian menunjukkan ada keterkaitan antara faktor penghayatan keagamaan dengan penerimaan masyarakat terhadap wisata¬wan. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat lokal Nemberala yang rata-rata beragama Kristen memandang kekristenannya sama dengan kekristenan wisatawan asing atau agama-agama lain yang dianut wisatawan, sehingga ketika terjadi kontak budaya, maka aspek rohani saling bersentuhan. Wujudnya lewat keseringan memberikan sumbangan keagamaan, beriba¬dah bersama-sama dan berbagai bentuk kegiatan kerohanian, yang melibatkan wisatawan asing.

Tingkat pendidikan menjadi aspek penting dalam penen¬tuan skala kualitas sumber daya manusia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa rata-rata lama sekolah masyarakat lokal Nemberala 6 tahun atau hanya Tamat SD, menyebabkan faktor ini tidak berpengaruh atau bukan faktor penyebab penerimaan masyarakat terhadap wisatawan. Oleh karena itu faktor pendi¬dikan perlu mendapat perhatian melalui pembinaan, penga¬jaran, pelatihan untuk menghasilkan masyarakat yang trampil, cerdas sehingga dapat membangun sikap positif terhadap kunjungan wisatawan.

Referensi
------, 1991. “Hasil Konsultasi Wanita Gereja se-Indonesia Bagian Timur, Kotamobagu, Sulawesi Utara”, Wanita dan Pariwisata. 7-14 Juli 1991.

-------, 1991. “Perempuan dalam Dunia Pariwisata”, Refleksi, edisi 3/XIV/Mei 1991.
Angela R. M. Wea et al, 2000. Pengembangan Sistem Informasi Akomodasi BPS Sumba Timur, Jakarta: STIS.

BPS Jakarta., 1997. Statistik Wisatawan Internasional di Indonesia (International Tourism Statistics In Indonesia), Jakarta: BPS.

Chafid Fandeli, 1997. Dasar-dasar Manajemen Kepariwisataan Alam, Yogyakarta: Liberti.
Connel, Joan at al., 1979. Migration From Rural Areas, The Evidance from Villages Studies, Delhi: Oxford University Press.
Crandall, L., 1994. The social impact of tourism on developing regions and its measurement

Daulay Harmony, 2002. Pergeseran Pola Relasi Gender di Keluarga Migran, Penyunting Abdul Masrur, Yogyakarta: Penerbit Galang Press.

Dinas Pariwisata NTT., 1999. Studi Penyusunan rencana Induk Pengembangan Kawasan Wisata Bahari Nemberala, Laporan Pertengahan (Interm Report), CV. Techno 21, Kupang

Dinas Pariwisata NTT., 2000. Studi Penyusunan rencana Induk Pengembangan Kawasan Wisata Bahari Nemberala, Laporan Akhir (Final Report), Kupang: CV. Techno 21.

Fakih, 1996. Analisis Gender dan Tranformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Goulet, D., 1989. “Participation in Development”, New York: New Avenus dalam World Development Vol 17 No. 2 pp 165-179, Great Britain: Elsevier Science Ltd.

Hadinoto, 1997. Perencanaan Pengembangan Destinasi Pariwisata, Jakarta: PT. Gramedia.

Hagues Paul dan Haris, 1985. Sampling dan Statistik (Penterjemah Yulianto), Jakarta: LPPM dan PT Pustaka Binaman Pressindo.

Hari Karyono, 1997. Kepariwisataan, Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Widisauna Indonesia.

Hari Hartono, 1974. “Perkembangan Pariwisata, Kesempatan Kerja dan Permasalahannya”, Prisma Th. III No. 2, hal. 45.

Hidayat N; at al., 1983. Dialog Manusia falsafah, Bud aya dan Pembangunan, Jakarta: YD2LPM.

Inskeep, E., 1991. Tourism Planning an Intergrated and Sustainable Development Approach, New York: Van Nostrand Reinhold.

J.R.B. Ritchie - C.R. Goeldner eds. 1987, Travel, Tourism & Hospitality Research; Wiley & Sons, New York, USA,

Kusmayadi, Sugiarto E, 2000. Metodologi Penelitian Dalam Bidang Kepariwisataan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Liem Bik Gwat, J. G., 1997. Bertandang Memandang Kehidupan dan Kematian Dalam Kepariwistaan Toraja (Kajian tentang Kahidupan Masyarakat Toraja Menghadapi Pariwisata Budaya di Tanah Toraja, Salatiga: Tesis UKSW

Marpaung Happy, 2000. Pengetahuan Kepariwistaan, Bandung: Alfabeta.

Mchintos, Robert W and Charles R Goeldner, 1990. Tourism: Principles, Practice, Philosophies, New York: Jogn Wiley and Sons Inc.

Mira P. Gunawan, 1999. Pariwisata Indonesia, Berbagai Aspek dan Gagasan Pembangunan, Bandung: Penerbit Lembaga Penelitian ITB.

Moeljarto Tjokrowinoto., Pembangunan Dilema dan Tantangan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

Murphy, P.E. 1985. Tourism: A Community Approach. New York: Methuen.

Ndraha, Talizuduhu, 1999. Pengantar Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Ndraha, Taliziduhu,. 1990. Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Rineka Cipta. Jakarta.

Parnwell, M. J. G., 1993. “Tourism and Rural Handicraft in Thailand” dalam Michael Hitchcok; Victor T. King; Michael J. G. Parnwell (ed), Tourism in South East Asia pp 243-257, New York: Reinhold.

Primariantari, et al, 1998. Perempuan dan Politik Tubuh Fantastis, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Razak, P., 2000. “Formulasi Model Pengembangan Kawasan Wisata Bahari Berbasis Masyarakat studi kasus: kawasan Wisata Tanjung Lesung, Kabupaten Pandeglang”, Banten, Seminar Prospek Pengem-bangan Terpadu Kawasan Wisata Bahari.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1989. Metode Penelitian Survey, Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit LP3ES.

Soekadijo, R.G, 1996. Memahami Pariwisata Sebagai Sistemic Linkage, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka.

Spillane James J., 1998. Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Pros¬peknya, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Sugandhy Aca, 1993. “Pembangunan Pariwisata Berwawasan Lingkung¬an ”, Makalah Seminar, Halaman 10-11, Jakarta.

Tanaamah Rocky A., 2002. Prospek Keterlibatan Sektor Rumah Tangga dalam Pariwisata (studi kasus di Kabupaten Sumba Timur), Skripsi Salatiga: UKSW.

, 2004. “Prospek Keterlibatan Sektor Rumah Tangga Dalam Pariwisata”(Studi kasus Di Kabupaten Sumba Timur), Kritis Vol. XVI, No. 2, Agustus

Thamrin B. Bachri, 1995. Pariwisata, Gagasan dan pandangan, Jakarta.

Yoeti Oka, A., 1982. Pengantar Ilmu Pariwisata, Bandung: Penerbit Angkasa.
__________
Adi Hendrik Manafe dan Andeka Rocky Tanaamah dan adalah Staf Badan Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Staf Pengajar Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana

Sumber : atanaamah.files.wordpress.com