Keraton Buton, Primadona Pariwisata bagi Sulawesi Tenggara

Berebut mata uang- Salah satu daya tarik wisata di Buton adalah demonstrasi penyelaman coin atau barang apa saja oleh bocah-bocah setempat. Para bocah ketika memperebutkan coin di kolam pelabuhan Murhum Baubau, disaksikan puluhan ribu masyarakat Buton sendiri.

Bila Anda sebagai seorang turis berkunjung ke Baubau, ibu kota Kabupaten Buton, jangan lupa mengantungi uang recehan (coin) secukupnya. Sebab di kolam pelabuhan Murhum Baubau, Anda pasti diminta melemparkan sesuatu oleh kawanan bocah yang sedang bermain-main di perairan kolam pelabuhan tersebut. Biasanya, orang memang melemparkan uang recehan lalu diperebutkan para bocah itu.

Permainan memperebutkan coin atau barang apa saja, semula hanya bisa dilihat di perairan Desa Baruta, Kabupaten Buton. Celah agak sempit yang memisahkan daratan Pulau Muna dan Pulau Buton itu adalah alur pelayaran lokal yang menghubungkan kota Baubau, Raha, dan Kendari sebagai ibu kota Propinsi Sultra. Pemandangan dunia anak-anak desa yang lugu dan lucu akan segera muncul setelah satu jam pelayaran dari Baubau menunju Raha, ibu kota Kabupaten Muna, atau sebaliknya menjelang satu jam sebelum kapal yang ditumpangi merapat di dermaga pelabuhan Murhum Baubau.

Di alur sempit itu setiap kapal yang lewat dihadang puluhan sampan kecil yang dijalankan bocah-bocah berumur di bawah 10 tahun. Mereka berlompatan ke laut sambil berteriak kepada penumpang kapal agar melemparkan apa saja, untuk diperebutkan melalui ketangkasan menyelam ke bawah permukaan laut.

Mereka berpakaian setengah telanjang. Bahkan ada yang tak berbusana sama sekali sehingga “burung” mereka tampak bergelantungan ketika berlompatan menukik ke bawah permukaan laut, untuk mendapatkan benda apa saja yang dilemparkan dari atas kapal.

Benda sekecil kelereng pun tak lolos dari tangan mereka karena kemahiran menyelam. Setiap kali mendapatkan benda itu, mereka perlihatkan kepada para penumpang sambil berteriak kegirangan, lalu minta lagi untuk dilemparkan barang apa saja. Sementara kapal terus melaju meninggalkan anak-anak tersebut.

Kini permainan anak-anak itu dapat juga disaksikan di kolam pelabuhan Baubau. Yaitu pada setiap kedatangan kapal penumpang milik Pelni di pelabuhan tersebut sebanyak 2-3 kali seminggu, dan pada setiap penyelenggaraan Festival Keraton Buton (Buton Palace Festival). Festival itu diprakarsai Bupati Buton Kolonel (Czi) Saidoe dan digelar secara rutin setiap tanggal 12-13 September.

Buton dan kota Baubau khususnya menyimpan banyak pesona wisata. Selain wisata bahari, termasuk produk budaya bahari seperti penyelaman coin dan aneka tarian bernuansa laut, di sebuah bukit yang terletak 3 km selatan kota berdiri kukuh benteng keraton yang menjadi simbol kekuasaan Kesultanan Buton di masa lampau.

Banyak obyek menarik di dalam benteng Keraton Wolio itu. Di sana ada batu Wolio, batu popaua, masjid agung, makam Kaimuddin (Sultan Buton pertama), Istana Badia, dan meriam-meriam kuno.

Batu Wolio adalah sebuah batu biasa berwarna gelap. Besarnya kurang lebih sama dengan seekor lembu sedang duduk berkubang. Konon, di sekitar batu inilah rakyat setempat menemukan seorang putri jelita bernama Wakaa-Kaa yang dikatakan berasal dari Tiongkok.

Putri itu kemudian dijadikan pimpinan (ratu). Pelantikan raja tersebut dilakukan di atas batu popaua. Batu ini terletak sekitar 200 meter dari batu Wolio. Permukaan batu popaua hampir rata dengan tanah, namun mempunyai lekukan berukuran hampir sama dengan telapak kaki manusia. Di lekukan itulah putri Wakaa-kaa menginjakkan kaki kanannya sambil mengucapkan sumpah jabatan sebagai ratu di bawah payung yang diputar sebanyak tujuh kali.

Karena itu batu tersebut disebut batu popaua (batu tempat diputarkan payung raja). Tradisi pelantikan ratu atau raja di atas batu tersebut berjalan hingga di zaman kesultanan, bentuk pemerintahan kerajaan Buton setelah masuknya Islam.

Batu popaua terletak di kaki sebuah bukit kecil tempat berdirinya Masjid Agung Keraton Buton. Masjid ini dibangun tahun 1712 di masa pemerintahan Sultan Buton XIX bernama Lang Kariri dengan gelar Sultan Sakiuddin Darul Alam.

Masjid berukuran 21 kali 22 meter itu memiliki tiang bendera di sisi sebelah timur. Dalam tafsir Al Azhar karangan almarhum Buya Hamka disebutkan, tiang bendera itu juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan hukuman gantung menurut hukum Islam.

Tetapi ada sedikit bau mistik di dalam masjid tua itu. Di belakang mimbar khatib atau di ujung kepala imam tatkala dalam keadaan sujud terdapat pintu gua yang disebut “pusena tanah” (pusat bumi) oleh orang-orang tua di Buton. Konon dari dalam gua itu keluar suara azan pada suatu hari Jumat. Peristiwa itu menjadi latar belakang pendirian masjid di tempat tersebut.

Ketika masjid itu direhabilitasi pada tahun 1930-an, pintu gua tadi ditutup dengan semen sehingga ukurannya lebih kecil menjadi sebesar bola kaki. Lubangnya diberi penutup dari papan yang bisa dibuka oleh siapa yang ingin melihat pintu gua itu.

Di salah sebuah kamar Kamali (istana) Badia, masih di kompleks keraton, terdapat meriam bermoncong naga. Menurut Drs H La Ode Manarfa (79), Sultan Buton ke-39, meriam bersimbol naga tersebut dibawa leluhurnya Wakaa-kaa dari Tiongkok sekitar 700 tahun silam. Meriam itu masih memiliki peluru dan masih bisa diledakkan.

Kamali Badia itu sendiri tidak lebih dari rumah konstruksi kayu khas Buton sebagaimana rumah anjungan Sultra di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Sesuai tradisi, rumah atau istana Kesultanan Buton harus dibuat keluarga sultan dengan biaya sendiri.

Ada juga istana di kota Baubau. Tetapi istana yang dulu cukup megah, kini tidak terawat lagi. Istana itu di awal kemerdekaan dipinjamkan untuk sekolah AMS (Amtenaar Middlebare School), lalu menjadi kampus Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan). Sesuai dengan fungsinya tersebut, maka Kamali Baubau disebut Istana Ilmiah. “Istana itu dibangun tahun 1922 dengan bantuan Belanda. Karena itu para sultan tak mau berdiam di situ,” ujar Manarfa.

Obyek lain yang tak kalah menariknya adalah benteng keraton sendiri. Benteng Keraton Buton yang aslinya disebut Keraton Wolio dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton VI (1632-1645), bernama Gafurul Wadudu. Benteng ini berbentuk huruf dhal dalam alpabet Arab yang diambil dari huruf terakhir nama Nabi Muhammad saw.

Panjang keliling benteng tersebut 3 kilometer dengan tinggi rata-rata 4 meter dan lebar (tebal) 2 meter. Bangunannya terdiri atas susunan batu gunung bercampur kapur dengan bahan perekat dari agar-agar, sejenis rumput laut. Luas seluruh kompleks keraton yang dikitari benteng meliputi 401.911 meter persegi.

Benteng Keraton Wolio memiliki 12 pintu gerbang dan 16 pos jaga (bastion). Tiap pintu gerbang (lawa) dan bastion dikawal empat sampai enam meriam. Pada pojok kanan sebelah selatan terdapat godana-oba (gudang mesiu) dan gudang peluru di sebelah kiri.

Keberadaan benteng tersebut membawa pengaruh hebat bagi eksistensi Kerajaan Islam Buton. Kesultanan ini mampu bertahan selama kurang lebih empat abad, tidak termasuk masa pemerintahan raja-raja non-Islam selama kurang lebih dua abad sebelumnya.

Bahkan benteng itu menjadi sumber motivasi dan semangat bagi generasi sekarang. Gubernur Kaimoeddin selalu mengajak kepada aparatnya untuk mencontoh etos kerja di zaman dulu. “Para leluhur kita dulu belum memiliki dana dan peralatan canggih tetapi kualitas hasil pembangunan mereka sangat mengagumkan. Mengapa kita tidak mampu berbuat seperti mereka,” katanya.
__________

Sumber: www.buton.web.id