Kerajaan Koto Alang = Dusun Botuang?

Oleh: SungaiKuantan.blogspot.com

Penelusuran di Dusun Botuang
Selama tiga jam tim http://sungaikuantan.blogspot.com (SKBC) menempuh perjalanan darat menuju Kota Taluk Kuantan, Ibu Kota Kabupaten Kuantan Singingi (Kab. Kuansing) dari pusat Kota Pekanbaru (Propinsi Riau), pada minggu ketiga di bulan Oktober lalu. Hujan rintik-rintik menemani perjalanan tim ini. Tujuan tim adalah Kecamatan Kuantan Mudik, tepatnya menuju Dusun Botuang, Desa Sangau.

Untuk mencapai Dusun Botuang dibutuhkan waktu sekitar setengah jam dari pusat Kota Taluk Kuantan. Di dusun ini konon terdapat Padang Candi. Dinamakan Padang Candi karena diduga kuat di situ terdapat sebuah candi yang telah lama tebenam. Untuk sampai ke lokasi Padang Candi, tim melewati sebuah sungai kecil bernama Sungai Salo dan melintasi jembatan gantung yang terbuat dari kayu. Bagi orang yang tidak terbiasa melewatinya akan merasa gamang, karena sewaktu dilewati jembatan ini bergoyang-goyang.

Dusun Botuang banyak menyimpan Benda Cagar Budaya (BCB) yang sering ditemukan penduduk setempat secara tak sengaja (sewaktu menggali tanah untuk berkebun atau ketika sedang menata halaman rumah), seperti perhiasan yang terbuat dari emas: cincin, kalung, gelang, juga jarum untuk menjahit dan mata kail. Menurut cerita Herlita (salah seorang penduduk setempat), awal penemuan benda-benda ini juga bermacam-macam. Misalnya, ada salah seorang penduduk yang bermimpi didatangi orang tak dikenal dan disuruh untuk menggali sebuah guci yang berisikan perhiasan. Setelah digali, di tempat yang ditunjukkan orang tak dikenal dalam mimpim itu muncul sebuah guci. Namun sayang, guci itu kembali membenamkan diri, karena sewaktu bermimpi guci itu minta didarahi dengan darah kambing hitam. “Karena sulit didapat, oleh orang itu diganti dengan darah anjing hitam, makanya dia kembali tenggelam kedalam tanah,” terang Herlita.

Hal ini dibenarkan oleh Rabu Jailani (Kepala Dusun Botuang). “Semenjak itu banyak masyarakat yang mengambil tanah di sekitar bekas penggalian guci itu untuk didulang di Sungai Salo, dan menemukan emas, malahan ada yang telah berbentuk cincin, gelang, mata kail dan jarum penjahit. Kejadiannya sekitar tahun tujuh puluhan,” kata Rabu Jailani. Karena suatu hal, penggalian di bekas ditemukannya guci itu dihentikan atas kesepakatan tokoh-tokoh adat Kenagarian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal.

Selain perhiasan yang terbuat dari emas, yang paling sering ditemukan penduduk setempat adalah batu bata kuno, berukuran sekitar satu jengkal kali dua jengkal persegi—jengkal orang dewasa. “Kalau kita gali dengan kedalaman sekitar satu meter saja, kita bisa menemukan batu bata kuno ini masih tersusun rapi didalam tanah,” kata Rabu Jailani. Dari ditemukannya batu bata kuno tersebut, banyak dilakukan penelitian-penelitian dan penggalian-penggalian. Pada tahun 1955 pernah dilakukan penggalian dan menemukan arca sebesar botol, dan arca tersebut sampai sekarang tidak diketahui lagi keberadaannya.

”Dulu masyarakat setempat tidak mengenal nilai dari arca tersebut sebagai benda cagar budaya, akhirnya masyarakat menjualnya,” ungkap Yasir Kepala Desa Sangau. ”Sangat disayangkan,” sesalnya. Pada penggalian terakhir pada tahun 2007 oleh Badan Purbakala Batu Sangkar bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Propinsi Riau ternyata dilakukan tanpa sepengatahuan Pemangku Adat dan Pemerintah Daerah.

Pada penggalian sebelumnya, mereka menemukan mantra berbahasa sanskerta yang ditulis pada kepingan emas yang saat ini tidak diketahui lagi keberadaannya. ”Kita kecolongan waktu itu,” terang Suhernita Kepala Seksi (Kasi) Pengkajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional, Dinas Budaya Kesenian dan Pariwisata (Disbudsenipar) Kab. Kuansing. Hal ini dibenarkan oleh Drs. Syafrinal, M.Si, kepala Disbudsenipar, yang baru menjabat sekitar enam bulan yang lalu. “Banyaknya kelemahan yang kita alami dalam perawatan objek pariwisata dan situs-situs bersejarah sangatlah merugikan kita,” ungkap Syafrinal sewaktu tim menemuinya di Kompleks Perkantoran Pemerintah Daerah (Pemda) Kab. Kuansing, Kamis (23/10) lalu.

Untuk mengantisipasi kejadian serupa, Syafrinal telah berusaha semaksimal mungkin. “Kita telah membentuk tim pengumpul data objek pariwisata dan situs sejarah di setiap kecamatan,” uajranya. Selain itu, Syafrinal pun mengharapkan sumbangsih masyarakat, dan pihak swasta yang mau menanamkan modalnya untuk pengembangan objek pariwisata dan situs bersejarah yang ada di Kab. Kuansing. “Saya bangga dengan yang dilakukan pemuda saat ini yang merawat seni, budaya dan parawisata Kuansing melalui media internet, salah satunya http://sungaikuantan.blogspot.com yang saya lihat serius dalam hal ini,” ungkap Syafrinal.

Kerajaan Koto Alang
Banyaknya temuan Benda Cagar Budaya (BCB) di Dusun Botuang, menguatkan dugaan di tempat ini pernah berdiri kerajaan Hindu dengan nama Kerajaan Koto Alang, walau belum ada penelitian secara ilmiah yang mengungkapkannya. Mahmud Sulaiman (68)—Bergelar Datuk Tomo, seorang tokoh adat Kenagarian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, adalah keturunan Raja Kerajaan Koto Alang. Padang Candi yang terdapat di Dusun Botuang ada di bawah pengawasannya sebagai tokoh adat.

Kalau ada orang atau peneliti yang ingin tahu cerita detail tentang Padang Candi, maka masyarakat Dusun Botuang merekomendasikan Datuk Tomo kepada peneliti tersebut. “Kami di sini tidak tahu banyak tentang sejarah Padang Candi, yang mengetahuinya ya yang mengawasi Padang Candi, yaitu Datuk Tomo,” terang Rabu Jailani (Kepala Dusun Botuang). Hal ini dibenarkan pula oleh Yasir (Kepala Desa Sangau). “Kalau sejarah Padang Candi kami serahkan kepada tokoh adat yang berwenang terhadap Padang Candi, dia Datuk Tomo,” kata Yasir. “Semua perangkat desa tidak ada yang mengetahuinya secara detail,” tambah pria tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) ini, sewaktu tim SKBC mewawancarainya Kamis (23/10) lalu.

Untuk memperoleh data lebih lengkap, tim SKBC kemudian berkunjung ke kediaman Datuk Tomo yang berada di Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal. Tokoh adat ini kemudian menceritakan kisah tentang Padang Candi kepada tim dari petikan Tambo Kenagarian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal. Tambo tersebut telah hancur dimakan zaman, dan sekarang Datuk Tomo berusaha membukukannya dari hasil ingatannya dan dari hasil penelitian tim Penelusuran Kerajaan Kandis, di Kenagarian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal.

Tim ini di koordinatori oleh Pebri Mahmud Al-Hamidi, beranggotakan Drs. H. Syafri Yoes, Triwan Hardi, SH., Agusrisal SR, Hardimansyah, Jhon Herizon Patra, Raja Bastian, SE., Drs. H. Mukhlis MR., MSi., Ikatan Keluarga Kuantan Mudik (IKKM) Pekanbaru, dan Himpunan Pelajar Mahasiswa Kuantan Mudik (HPMKM) Pekanbaru. Yang diarahkan oleh Penghulu Pucuk Kenagarian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal (Mahmud Sulaiman Dt. Tomo dan Syamsinar Dt. Rajo Suaro) beserta seluruh Pemangku Adat dalam Wilayah Kenagarian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal. “Setelah bahan-bahan telah terkumpul semua dan dapat dipertanggungjawabkan akan segera diterbitkan dalam bentuk buku,” ucap Datuk Tomo.

Berdasarkan Tambo tersebut, kerajaan Koto Alang adalah pengembangan dari Kerajaan Kandis. “Pada masa jayanya Kerajaan Kandis banyak terjadi perebutan kekuasaan dari orang-orang yang merasa mampu, mereka ingin merebut kekuasaan dan akhirnya memisahkan diri dari Kerajaan Kandis,” kata Datuk Tomo. Maka berdirilah Kerajan Koto Alang pada abad ke-2 M, Rajanya bergelar Aur Kuning, ia mempunyai Patih (Wakil Raja) dan Temenggung (Penasehat Raja).

“Dengan berdirinya Kerajaan Koto Alang, maka terjadilah perebutan kekuasaan antar kerajaan,” tambah Datuk Tomo. Oleh sebab itu, pada abad ke-6 M Kerajaan Kandis menyerang Kerajaan Koto Alang dan dimenangkan oleh Kerajaan Kandis. Raja Aur Kuning melarikan diri ke Jambi. ”Itulah asal usul nama Sungai Salo yang berarti Raja bukak selo—buka sila, di Dusun Botuang. Karena tidak mau tunduk di bawah pemerintahan Kerajaan Kandis, Patih dan Temenggung melarikan diri ke arah Barat menuju Gunung Merapi (Sumatra Barat) dan mereka berganti nama, Patih menjadi Datuk Perpatih nan Sebatang dan Temenggung menjadi Datuk Ketemenggungan. Kedua tokoh inilah yang kemudian menjadi tokoh adat legendaris Minangkabau,” ungkap Datuk Tomo.

Peninggalan Raja Aur Kuning saat ini masih bisa ditemukan, yaitu berupa Mustika Gajah sebesar bola pingpong, yang ditemukan oleh Raja Aur Kuning di dalam kepala Gajah Tunggal sewaktu Raja Aur Kuning mengalahkan Gajah Tunggal—karena mempunyai satu gading, Gajah Tunggal dibunuh dengan menggunakan Lembing Sogar Jantan. ”Tempat Raja Aur Kuning membunuh Gajah Tunggal itu kini bernama Lopak Gajah Mati yang terdapat di sebelah selatan Pasar Lubuk Jambi. Mustika Gajah dan Gading Tunggal masih saya simpan, kecuali Gading Tunggal yang telah dijual salah seorang keluarga saya, ketika saya tidak berada di kampung pada tahun 1976. Sangat disayangkan,” kata Datuk berjanggut ini. Sungai yang mengalir di samping Lopak Gajah Mati tersebut dinamakan dengan Batang Simujur, yang berarti mujur/beruntung membunuh gajah tersebut.

Prof. Suwardi, MS., seorang sejarawan Riau, pernah malakukan penelusuran dengan Datuk Tomo tentang Kerajaan Kandis dan Kerajaan Koto Alang. Namun, penelusuruan ini terhenti karena sesuatu hal. ”Kerajaan Kandis memang ada diceritakan sekilas di dalam Kitab Negara Kertagama. Kerajaan Kandis itu berada di Rantau Kuantan, penelusuran ini terhenti dengan kendala SDM dan dana,” terang Suwardi. Sampai tulisan ini terbit, belum ada pembenahan terhadap situs bersejarah yang terdapat di Dusun Botuang, Desa Sangau, Kec. Kuantan Mudik, Kab. Kuansing, Propinsi Riau tersebut.