Kebudayaan dan Pariwisata

Oleh: Bambang Budi Utomo

Di dunia hanya sedikit negara yang berbentuk “Negara Kepulauan” (Archipelagic State), dan Indonesia merupakan negara kepulauan yang terluas (1,9 juta mil²) dengan 17.508 pulau besar dan kecil. Pulau-pulau tersebut ada yang berpenghuni dan ada pula yang tidak (sekitar 6000 pulau). Dengan penduduk yang tersebar di pulau yang berbeda kondisi alam dan lingkungannya, tentu saja bangsa yang mendiami wilayah Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dengan budaya yang berbeda. Kemajemukan bangsa Indonesia ini tercermin pada jumlah 19 daerah hukum adat, 770 sukubangsa, dan 726 bahasa yang digunakan kelompok-kelompok masyarakatnya.

Kepulauan Indonesia mempunyai posisi yang strategis pada koordinat 6°LU - 11°08‘ LS dan dari 97°‘ - 141°45‘ BT. Tidak saja karena berada di antara dua benua, yaitu Asia dan Australia, tetapi juga karena kepulauan ini terletak di antara dua samudra, Pasifik dan Indonesia. Sejak millenium pertama tarikh Masehi, Selat Melaka merupakan jalur perdagangan yang menghubungkan Asia Barat dan Asia Timur. Posisi ini membuat Kepulauan Indonesia menjadi tempat persilangan budaya dalam pergaulan antarbangsa di kawasan ini. Bahkan, di jaman purba kawasan ini menjadi daerah perambahan yang menantang manusia untuk menjelajahinya.
Pada masa ramainya perdagangan antara Eropa, Timur Tengah, India, dan Tiongkok, karena keletakan Nusantara dalam posisi silang dengan kekayaan alamnya, maka kemajemukan sukubangsa dengan budayanya menjadi bertambah. Beberapa sukubangsa, terutama yang mendiami daerah pesisir, banyak mendapat pengaruh budaya asing disebabkan oleh intensitas pergaulannya yang lebih sering dengan bangsa-bangsa asing yang singgah. Sementara itu, di daerah pedalaman masih dengan budaya lokalnya.

Budaya -secara sederhana- dapat diartikan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa, yang diwujudkan dalam bentuk benda dan takbenda. Di Nusantara, wujud dari budaya beragam sesuai dengan kondisi dan lingkungan alamnya, serta pengaruh dari budaya luar yang masuk dan berkembang di wilayah itu. Hasil-hasil budaya inilah yang merupakan aset bangsa yang dapat “dijual” sekaligus dapat dilestarikan, dan apabila dikelola dengan baik mampu menguatkan jati diri bangsa, dan juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan nasional, seperti pariwisata. Tentunya, pariwisata yang dimaksud dalam hal ini adalah pariwisata yang berkelanjutan.

Pariwisata berkelanjutan pada awalnya muncul dari berbagai pertanyaan untuk mengembangkan pariwisata dalam suatu komunitas yang sekaligus melindungi segala aspek penting yang bisa menjadi daya tarik dalam lingkungan tersebut. Dengan pembangunan pariwisata yang bijaksana (smart tourism), aspek peningkatan kehidupan komunitas secara kualitas lebih didahulukan dibanding aspek ekonomi.

Salah satu bagian smart tourism yang giat dikembangkan adalah Pariwisata Budaya. Prospek pengembangan Pariwisata Budaya pada saat ini cukup baik. Tujuan utama wisatawan berwisata jelas untuk memperoleh pengalaman unik yang bisa dilihat, dinikmati, dirasakan dan sekaligus dipelajari. Soal fasilitas, sarana atau pemandangan alam satu tempat dengan lainnya mungkin tidak jauh berbeda dengan tempat asalnya. Namun, sejarah dan budaya tiap-tiap daerah tentu tidak akan sama. Beberapa negara dan daerah telah menyadari kekuatan aspek ini sebagai daya tarik wisata.

Adanya pariwisata internasional membawa lembaga-lembaga baru ke dalam budaya Indonesia. Selain itu ia pun berpengaruh juga menggairahkan hidup budaya kita karena pada umumnya wisatawan asing berkunjung untuk melihat dan merasakan budaya khas Indonesia. Dari pihak bangsa Indonesia sendiri, ada keinginan untuk menemukan kembali unsur-unsur kepribadian asli. Kegiatan wisata juga merupakan daya pendorong kuat untuk pelestarian budaya asli, penciptaan dan pengembangan suatu karya seni. Banyaknya ciptaan baru yang menyimpang dari penggunaan tradisional (menyimpang dari pakem), jelas merupakan dampak negatif dari pariwisata.

Wisata budaya sering dikaitkan dengan berwisata mengunjungi tinggalan budaya masa lampau, seperti candi, stupa, masjid, dan gereja. Tinggalan budaya tersebut (terutama candi dan stupa) banyak ditemukan di wilayah Jawa, Sumatra, dan Bali. Secara fisik, baik dari bahan maupun hasil buatannya, tinggalan-tinggalan budaya tersebut berbeda. Di Jawa dan di Bali bentuknya jauh lebih baik jika dibandingkan dengan yang ditemukan di Sumatra, karena dibuat dari batu kali. Sementara itu bangunan candi/stupa dari Sumatra dibuat dari bata. Keadaan seperti ini disebabkan karena lingkungan alam yang berbeda dan latar belakang budaya masyarakatnya. Di Jawa dan Bali hiasan yang terdapat pada dinding bangunan cukup banyak, sedangkan di Sumatra hiasan dinding bangunan nyaris tidak ada.

Tinggalan budaya masa lampau dari Sumatra tidak banyak dikenal oleh wisatawan mancanegara. Hanya sedikit yang tahu kalau di wilayah Sumatra Utara terdapat lebih dari 10 kompleks percandian di Padanglawas; di wilayah Sumatra Barat terdapat lebih dari 5 kompleks percandian di Dharmasraya dan Passaman; di wilayah Jambi terdapat kompleks percandian Muara Jambi; dan di wilayah Sumatra Selatan terdapat kompleks percandian di Bumiayu. Hanya wisatawan yang mempunyai minat khusus mau mengunjunginya, seperti para peneliti. Disamping kurangnya promosi, sarana dan prasarana menuju obyek wisata tersebut kurang memadai. Apalagi jarak tempuh dari kota terdekat cukup jauh dan melelahkan.

Dalam dunia kepariwisataan kerap kali dipisahkan antara budaya (culture) dan seni (art). Pemisahan ini sebetulnya tidak benar karena seni merupakan bagian dari budaya. Lebih jauh lagi, dalam seni yang lebih ditonjolkan dan disodorkan pada wisatawan adalah seni tari atau seni pertunjukan (performance art). Betapa seringnya misi-misi kebudayaan ke mancanegara yang membawa para penari atau pemusik tradisional sementara para pengrajin dan pemahat jarang sekali diikutsertakan dalam misi budaya. Padahal Indonesia juga kaya akan seni kriya yang layak untuk dipromosikan ke mancanegara, bukan hasil karyanya saja tetapi juga kepiawaian sang pengrajin.

Indonesia kaya akan pengrajin yang melestarikan dan mengembangkan budaya benda dengan material yang dihasilkan dari tanah air. Namun ada beberapa di antaranya sudah hampir punah. Pengrajin perak bisa dijumpai di Kotagede (Yogyakarta), Bali, dan Kendari (Sulawesi Tenggara). Pengrajin perak dari Kendari kurang dikenal karena daerah pemasarannya hanya di sekitar Sulawesi, sedangkan pengrajin perak dari Kotagede dan Bali sudah dikenal di mancanegara.

Dalam hal seni ukir atau seni pahat, Bali sudah lama dikenal di mancanegara. Di beberapa tempat di Indonesia selain Bali juga ada pemahat yang hasil karyanya mempunyai ciri khas, misalnya pada suku-suku Dayak di Kalimantan, Suku Toraja (Sulawesi Selatan), dan Suku Asmat di Irianjaya. Seni kriya suku Asmat memang sudah dikenal di mancanegara. Bahkan museum di New York banyak mengoleksi ukiran-ukiran Asmat. Dari Irianjaya tidak hanya Asmat saja. Di tepi danau Sentani, sekitar 30 km dari Jayapura, tinggal orang Sentani yang mempunyai kepiawaian mengukir kayu, melukis kulit kayu, membuat manik-manik kaca, dan membuat barang tembikar. Seni kriya mereka tidak kalah dengan seni kriya Asmat. Karena kurang promosi, seni kriya mereka kurang dikenal. Boleh jadi, karya orang Sentani diaku sebagai karya orang Asmat karena bentuk dan bahannya sama.

Pertunjukan wayang kulit, wayang golek, wayang beber, dan wayang potehi merupakan suatu hasil budaya takbenda. Tetapi wayangnya sendiri merupakan hasil budaya benda. Dalam seni pertunjukan wayang kulit, pada akhir-akhir ini terjadi penyimpangan dari pakem, misalnya dalam hal waktu penayangan dan bahasa yang digunakan. Bisa dimengerti apabila pertunjukan itu ditujukan untuk konsumsi wisatawan. Waktu penayangan yang biasa dilakukan semalam suntuk dipersingkat menjadi hanya beberapa jam saja. Keadaan ini merupakan dampak dari kegiatan wisata. Di satu pihak dapat melestarikan pertunjukan wayang, tetapi sekaligus mengurangi nilai yang terkandung di dalam seni pertunjukan tersebut.

Wisatawan asing, terutama yang datang dari Eropa dan Jepang, tertarik akan keragaman budaya di Nusantara. Kadang mereka datang bukan saja untuk melihat, tetapi juga untuk merasakan dan menyelami kehidupan keseharian beberapa sukubangsa di Nusantara. Tidak jarang di antara mereka menetap sementara, bahkan permanen berkeluarga dengan penduduk asli. Dapat disaksikan pula ketika di Bali ada upacara keagamaan. Di antara masyarakat Bali ada dua atau tiga orang asing yang ikut dalam prosesi tersebut. Mereka ini sudah bukan orang asing lagi, tetapi sudah merupakan anggota masyarakat suatu banjar. Dalam usaha mengembangkan jenis wisata ini, untuk memfasilitasinya dikembangkan home stay yang layak. Usaha home stay banyak ditemukan di Bali dan Yogyakarta, karena di kedua tempat tersebut banyak terdapat obyek wisata budaya.

Selain kesenian, upacara-upacara agama atau adat juga menarik wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara ngaben di Bali, pemakaman di Tana Toraja, upacara Waisak di Borobudur, sekatenan di Yogyakarta dan Solo, dan perayaan tabot atau tabuik di Bengkulu dan Pariaman. Upacara-upacara ini mempunyai arti budaya yang mendalam bagi kelompok masyarakat yang melakukannya. Keberadaan wisatawan asing tidak termasuk dalam agenda mereka. Namun demikian keberadaan dan perhatian wisatawan tersebut –apalagi wisatawan berkulit putih-- dapat menambah kebanggaan mereka. Akibatnya, kelompok masyarakat tersebut akan berusaha menyelenggarakan upacara selengkap mungkin sekalipun harus mengeluarkan biaya yang besar.

Dipandang dari sisi ekonomi, upacara-upacara adat yang biasa dilakukan pada beberapa sukubangsa dapat dianggap sebagai penghamburan dan penghancuran kekayaan secara konsumtif, dan sangat merugikan proses produksi pengembangan ekonomi masyarakat yang menyelenggarakannya. Tampaknya tidak masuk akal jika masyarakat jauh lebih bangga akan budayanya sehingga mau mengeluarkan biaya besar untuk hal tersebut daripada meningkatkan produksi barang dan penghasilan uang. Kelompok masyarakat tersebut sama sekali tidak kebal terhadap pengaruh ekonomi dari pariwisata. Semakin besar jumlah wisatawan yang datang ke daerah tersebut untuk mengagumi kebudayaan, makin jelas timbul dan tumbuhnya keinginan masyarakat yang dikunjungi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari kunjungan wisatawan tersebut. Di sinilah letaknya persoalan dalam hubungan antara pariwisata dan kebudayaan.
__________

Bambang Budi Utomo, adalah Kerani Rendahan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional