Terasa hidup dalam pandangan. Pancaran pemikat dalam kelebat helai kala disandang.
Batik Madura, tak lagi terdengar asing di telinga. Namanya sudah lama menyeruak ke seluruh penjuru nusantara. Bahkan ke beberapa belahan dunia lain. Performa batik asal Pulau Garam itu, kini relatif sejajar dengan karya batik-batik lain yang ada di tanah air.
Kecamatan Tanjung Bumi, yang berjarak sekitar 50 kilometer dari pusat kota Kabupaten Bangkalan, Madura, adalah salah satu sentranya. Nama Tanjung Bumi menjadi sangat identik dengan Batik Madura. Motif dan warna yang tertuang pada kain merefleksikan karakter masyarakat lokal.
Ciri khas batik pesisir dengan warna-warna berani dan corak bebas, begitu kentara. Hingga sekarang produksi batik yang masih menganut cara-cara tradisional itu masih berlanjut. Kabarnya, kegiatan yang kini menjadi UKM andalan dari Kabupaten Bangkalan itu, sudah berkembang sejak ratusan tahun silam.
Kebiasaan masyarakat di Tanjung Bumi dalam membatik ternyata cukup unik. Walau dari membatik mereka cukup merasakan hasilnya secara ekonomis, namun mereka tidak benar-benar ingin menggantungkan mata pencahariaannya dari kerajinan batik. ”Membatik tetap sebagai karya sambilan di samping rutinitas kegiatan keseharian mereka,” ungkap N. Wati As, perajin yang kini berkembang menjadi pengusaha Batik Madura. Penduduk setempat masih banyak yang hidup dari bercocok tanam dan berdagang di pasar, disamping mengurus rumah tangganya.
”Hal ini pula yang menjadikan produksi batik ini tidak bisa dijadwalkan secara tepat,” sergah wanita 51 tahun ini lagi. Membuat sehelai kain batik, paling cepat dikerjakan dalam tempo dua minggu, namun demikian jangan heran bila ada batik yang baru selesai setelah setahun dikerjakan. ”Para pembatik itu juga tidak mau dipaksa, walau karena alasan permintaan pasar sekalipun. Apalagi mereka diminta untuk bekerja di suatu tempat khusus, layaknya sentra kerajinan kebanyakan. Para perajin itu lebih suka mengerjakannya di rumah masing-masing dengan peralatan khas yang sangat tradisional,” paparnya pada Mossaik ketika ditemui di kediamannya.
Pembatik adalah manusia biasa, ada batas kemampuan dan kekuatan. Mungkin ini pula yang menjadi alasan kenapa prosesnya menjadi begitu lama. ”Satu atau dua jam membatik biasanya mulai lelah, ini berpengaruh pada hasil goresannya. Mereka akan berhenti, melanjutkannya lagi setelah fisik dan hati mereka segar kembali,” papar Wati diiringi senyum. Walau produksi kini mulai massal, namun prosesnya tetap tradisional. Ini pula yang menjadi nilai tambah dari batik-batik Tanjung Bumi. Menjadi lebih disukai, terutama oleh turis asing.
Mereka lebih banyak mengerjakan di rumah masing-masing, dari jasanya itu mereka bisa mendapat ongkos. Diantaranya berdasar cepat-tidaknya atau seberapa banyak yang bisa dikerjakan. Mulai dua puluh ribu rupiah, hingga (total) mencapai Rp 500 ribu rupiah. Kebanyakan di sana, tidak semua orang bisa melakukan semua proses dari bahan baku hingga jadi kain batik yang siap jual.
Proses dalam pembuatan batik, menurut penuturan Wati, meliputi beberapa tahap. Pertama kain Mori putih yang hendak digunakan akan direndam dalam air bercampur minyak dempel (istilah orang setempat, red) dan abu sisa pembakaran kayu dari tungku. Proses perendaman ini dilakukan selama satu hingga dua minggu. Setelah direndam kemudian dicuci. Menurutnya, hal ini untuk menghilangkan zat yang melekat pada kain bawaan dari pabrik.
Setelah kering, kain tersebut akan masuk ke proses dikanji. Bahan yang digunakan untuk pengkanjian ini adalah sagu dari Ubi Kayu. Kenapa tidak menggunakan bahan tepung kanji yang banyak dijual di pasar? Konon, bahan itu lebih menyerap ke dalam serat kain, sementara tepung kanji biasa kurang. Setelah selesai tahap ini, mulai digambar. Berturut-turut tahap berikutnya adalah diisen, dikurik, dan atau ditembok. Fase ini merupakan pemasangan malam pada kain sebelum kemudian diwarnai.
Proses selanjutnya adalah pewarnaan, yang bisa berlangsung hingga dua kali. Setelah pewarnaan, kain batik tersebut dilorot. Proses ini merupakan usaha untuk menghilangkan malam yang melekat pada kain, yaitu dengan memasukan kain ke dalam air mendidih. Terakhir, adalah menjemur di tengah terik sinar matahari.
Mengimbangi semakin bagusnya animo pasar terhadap batik tradisional Madura ini, kenyataan baik sekarang para pembatik di sana mulai bertambah, sekitar 90 persen penduduk setempat membatik. Banyak anak gadis yang putus sekolah kini nyambi membatik. Jangan heran kalau di daerah tersebut anak usia kelas satu sekolah dasar sudah bisa membatik. ”Biasanya mereka meminta bahan bakunya lalu mereka kerjakan di rumahnya. Lumayan sekedar menambah uang saku mereka,” ungkap Wati lagi. Biasanya wati tidak memberikan target harus selesai kapan untuk selembar batik dengan panjang antara dua hingga tiga meter itu.
Wati sendiri mengaku, mulai menekuni batik sejak tahun 1978. Ini adalah usaha yang dimulainya sendiri. Ibu dua anak yang sebenarnya lahir di tanah Sumatera itu terinspirasi dari usaha jualan kain mertuanya kala itu. Hari demi hari, waktunya dia habiskan untuk melihat, sembari belajar, orang-orang kampung membatik.
Alami yang Disuka
Batik Madura mulai dilihat sebagai potensi Tanjung Bumi, dan Madura secara umum. Beberapa tahun silam, di Tanjung Bumi juga pernah didirikan Unit Pelayanan Teknik Batik (UPT Batik) oleh dinas Perindustrian Kabupaten Bangkalan. Sebab banyaknya pengrajin batik di Tanjung Bumi. Dalam perjalanannya UPT Batik itu berfungsi sebagai wadah dari hasil karya para perajin. Sekaligus sebagai mediator antara perajin dan pembeli. Pada saat itu semua batik hasil para perajin di kecamatan tersebut di kumpulkan di UPT tadi.
Menurut Wati, Batik Madura mulai tampak digemari mulai sekitar tahun 1985-an. Pemerintah kabupaten setempat pun memberikan perhatian. Ini sudah diterapkan sejak tahun 1981, salah satunya dengan UPT tadi. Namun kenyataan para perajin setempat mempunyai kultur berbeda. Harapan semula UPT ini bisa menjadi wadah komunikasi sekaligus koordinasi, mungkin kelak bisa menjadi semacam asosiasi. Namun langkah ke arah tersebut tidak pas bagi para perajin.
Para perajin setempat lebih suka menjual batik karyanya secara langsung sendiri-sendiri. Atau mereka (perajin sebagai plasma) menyerahkan kepada pengusaha (sebagai inti), dan pengusaha ini yang kemudian akan menjual melalui jalur pemasaran yang dimilikinya.
Sehingga jalan yang dianggap paling cocok adalah dengan menjadikan UPT sekedar sebagai wadah hasil karya mereka saja. Sebab itu pula UPT ini sempat stag, dan kabarnya tahun ini akan kembali diaktifkan. Bentuk lain perhatian pemerintah dan beberapa lembaga lain seperti mengadakan serangkaian pelatihan, melakukan studi banding, sampai dengan membuka kesempatan untuk mengikuti beberapa pameran.
Orang-orang asing, seperti dari Jepang dan Belanda, lebih menyukai Batik Madura yang orisinil. Bahkan mereka sangat tahu, mana batik yang menggunakan pewarna alami (soga alam), dan mana batik yang menggunakan naftol atau pewarna kimia.
Beberapa tamu asing yang datang ke sana, bahkan membawa alat (semacam keker) untuk mengamati serat kain batik tersebut. Mereka juga sangat cermat memperhatikan setiap detil pada kain tersebut. Mereka akan menolak batik yang ditemukan terdapat noda bekas tetesan. Dianggapnya, sang pembatik kurang teliti, kurang rapi, dan kurang menjiwai dalam pengerjaannya.
Harga produk batik dari yang termurah Rp 25 ribu, berupa taplak meja. Sedangkan yang paling mahal, seperti kain batik untuk busana wanita, bisa mencapai dua juta rupiah. Namun demikian, menurut Wati, juga ada batik yang harganya di kisaran Rp 100 ribu hingga Rp 500 ribu.
Eksotis, di balik Tradisi Mistik
Diakui berbagai kalangan, bila Batik Madura memiliki eksotika tersendiri. Pesona khasnya memiliki daya pikat. Sudah galib bila Batik Madura sangat populer di kalangan para petinggi pemerintahan dan tokoh masyarakat, khususnya di Jawa Timur.
Menilik bahannya, tidak jauh berbeda dengan batik kebanyakan. Bahan batik dari kain katun juga ada yang berbahan sutra. ”Sementara ini untuk kain sutra hanya memenuhi permintaan khusus, walau belakangan agak macet,” ujar N. Wati As, sumber Mossaik di Tanjung Bumi.
Tidak semua batik yang menggunakan bahan sutra berharga mahal. Sebenarnya batik dengan bahan katun pun ada yang mahal. Apalagi batik dengan motif lama, atau yang tergolong batik Gentongan. Harganya bisa jauh lebih mahal dibandingkan yang berbahan sutra, bisa jutaan rupiah.
Batik Gentong mempunyai nilai lebih dalam tradisi Batik Madura. Di sebut genthongan, karena pada proses pewarnaannya di rendam dalam wadah gentong selama dua bulan. Kabarnya setelah direndam, lembaran batik tersebut kemudian disikat. Selain untuk membersihkan malam yang tersisa, juga agar warna lebih awet melekat pada kain. Tak heran bila batik ini bisa berumur hingga puluhan tahun lebih dengan warna tetap.
Kebanyakan batik gentongan ini harganya mahal. Sebab beberapa pertimbangan perajin ada yang menyiasatinya dengan semi gentong. Di sini perendaman dilakukan sebagian, atau tidak selama batik yang full gentongan. Konon, di daerah tersebut kini tidak banyak yang masih menerapkan cara gentongan ini.
Motif lama yang dimaksud Wati, lebih pada motif khas atau tradisional Madura. Kini motif batik Madura juga mulai mengadopsi beberapa motif kombinasi atau alternatif baru. Seperti desain gambar tunggal, baik bentuk burung atau bunga, dengan kurik (latar atau background, red) polos. Beberapa motif yang khas Madura seperti Sessek, Ramok, Rawan, Carcena, Memba, Panji, Napasir, Katupat, Kembang Pot, Pereng Basa, Truki Melati, dan Okel. Selain yang disebut itu sebenarnya masih banyak motif lainnya, menurut Wati, ada sekitar seratusan motif batik Madura, yang merupakan kombinasi satu sama lain.
Motif atau gambar yang tertuang pada helai kain itu adalah murni buah imajinasi para pembatik. Bisa dikata, yang tertuang dalam gerak tangan melalui media canthing itu adalah bahasa hati dan pikiran mereka. Sebab, gambar tersebut orisinil buah tangan maka pasti satu sama lain goresannya tidak sama, walau motifnya sama.
Berbicara hal warna, Batik Madura mempunyai pilihan warna yang khas yang juga menjadi cirinya. Warna-warna ini berasal dari bahan-bahan alam, atau dikenal dengan sebutan soga alam. Warna Merah berasal dari Mengkudu dan Tingi. Warna Biru berasal dari Daun Tarum. Sedangkan warna Hijau bersumber dari kulit Mundu ditambah Tawas. Warna terang dan gelap yang muncul pada kain batik berdasar waktu perendaman. Makin lama direndam, makin pekat warna yang dihasilkan.
Di balik proses pembuatan batik-batik itu beberapa terceletuk cerita unik. Hal-hal berbau sedikit mistis yang kadang tak sempat mereka urai dengan logika. Namun mereka percaya, dan dijalani saja sebagai bagian dari tradisi membatik.
Seperti dalam proses pembuatan batik, apabila ada saudara, kerabat, teman atau tetangga meninggal, pembatik tidak dapat melanjutkan pekerjaan membatik. Jangankan melanjutkan pekerjaan, menyentuh kain batiknya saja tidak boleh. Konon, ini akan menyebabkan warna pada batiknya itu menjadi suram atau tidak terang seperti yang diharapkan. Entah, yang pasti untuk kembali menyelesaikan garapannya sang pembatik harus menunggu hingga 40 hari sejak peristiwa kematian itu. Sudahlah, yang penting pesonanya yang kita butuhkan. Bila berminat silahkan datang dan dapatkan! -az.alim
Sumber : http://pusakanesia.blogspot.com
Foto :
http://www.tjokrosuharto.com
http://www.dinomarket.com
http://butikbatikonline.com