Oleh : Ilham Khoiri
Tari Zapin sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Desa Meskom, Pulau Bengkalis, Provinsi Riau. Lelaki, perempuan, tua, muda, hingga anak-anak turut melestarikan tarian khas pesisir Melayu itu.
Seni tradisi tersebut tetap terjaga karena disokong beberapa penari tua yang tekun mendorong regenerasi. Salah satu di antaranya adalah Muhammad Yazid (82).
Nama Yazid sangat populer di Bengkalis karena hampir setiap hajatan penting yang ”berbau Zapin” selalu menampilkan dia. Saat pergelaran ”Zapin Berkampung” sebagai rangkaian festival Semarak Zapin Serantau di Meskom, suatu malam akhir Agustus lalu, Yazid juga didaulat untuk tampil. Dengan iringan syair Bunga Cempaka, lelaki sepuh itu memukau ratusan penonton yang berjubel di pinggiran jalan.
Begitu naik ke panggung, dia berjongkok seraya mengatupkan tangan di depan muka—gerakan ini disebut salam takzim atau pembuka. Ketika syair didendangkan, dia berdiri dan menari. Sepintas, kuda-kudanya terlihat agak goyah dan punggung sedikit bongkok. Tetapi, saat bergerak, kaki dan punggung yang tidak tegap itu justru menghasilkan komposisi gerak yang unik.
Yazid lincah saja memainkan kaki sembari sedikit menggoyang-goyangkan tangan. Suatu kali, dia maju beberapa langkah, lalu mundur lagi. Kali lain, dia bergerak menyamping, memutar ke belakang, lantas berbalik menghadap penonton. Pada titik-titik tertentu, dia malah diam sejenak seperti mengambil jeda, tetapi kemudian bergerak lagi dengan santai, tanpa terasa janggal.
Gerakan yang mengalir lembut memperlihatkan jiwa Yazid yang menyatu dengan lantunan syair dan iringan musik yang rancak-mendayu, hasil perpaduan antara petikan gambus dan tepakan marwas. Setiap pergeseran anggota badan seperti bersumber dari dalam hati, bukan hasil hafalan yang instan. Penonton pun bertepuk riuh saat penari langka ini mengatupkan tangan, membentuk salam penutup.
”Sebenarnya saya demam sejak pagi sampai siang. Tetapi, waktu mau naik panggung, demam itu langsung hilang. Menari seperti jadi obat saja,” kata Yazid, sambil duduk di teras rumah dekat panggung tadi.
Begitulah, Zapin memang sudah jadi bagian kehidupan sehari-harinya. Di Bengkalis, Yazid dikenal sebagai satu-satunya penari sepuh yang rajin naik panggung. Kakek dari 27 cucu dan 17 cicit itu masih lihai memainkan puluhan ragam pokok atau variasi gerak yang unik.
Ada ragam yang disebut alif sembah, pusing sekerat, ekor patin, pecah lapan, siku sekeluang, tukar kaki, ayam patah, pusing tak jadi, dan bunga depan. Masing-masing ragam punya arti dan ditarikan khusus. Ayam patah, misalnya, mengharuskan penari berjalan dengan berpura-pura satu kaki patah.
Menurut pengamat budaya Melayu di Pekanbaru, Yusmar Yusuf, tarian Yazid yang sudah sepuh itu mewakili gerak Zapin klasik yang halus. Penghayatan yang mendalam dan kelembutan tariannya mencerminkan kesantunan budaya Melayu lama.
”Semakin tua penari, gerakannya semakin anggun. Punggung yang bungkuk sedikit dan lengkung kaki yang tidak tegap, justru pas untuk membawakan tari Zapin yang penuh kehalusan dan harmoni,” papar Yusmar.
Diam-diam
Yazid lahir di Bengkalis tahun 1925, dan sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR). Dia belajar menari Zapin sejak umur delapan tahun dari ayahnya sendiri yang juga penari, Tomel. Saat remaja, dia menambah ilmu lagi dari beberapa guru lain, seperti Muhammad Nur, Ares, dan Cik Muhammad.
Saat permulaan belajar, pertengahan tahun 1930-an, Yazid muda harus sembunyi-sembunyi. Maklum, Belanda sudah masuk ke Bengkalis dan melarang setiap kerumunan yang dicurigai bakal memicu perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Situasi itu berlanjut hingga masa pendudukan Jepang.
”Waktu itu, kami terpaksa belajar diam-diam. Kami janjian dengan guru di tengah kebun atau hutan, lalu belajar satu-dua ragam gerak tari,” cerita Yazid.
Setelah Indonesia merdeka, Yazid leluasa mengasah keterampilan menari dan menambah pengetahuan seluk-beluk Zapin. Tahun 1950-an, nama Yazid mulai populer di wilayah Bengkalis bersama lima penari lain (yang kini almarhum) yaitu Hasan, Harun, M Yusuf, Hasan Matero, dan M Ali. Mereka keluar-masuk kampung untuk meramaikan berbagai hajatan rakyat.
Perkembangan Zapin semakin mencuat saat pemerintah pusat menggerakkan otonomi daerah pertengahan tahun 1990-an. Dengan semangat memperkuat seni tradisi demi mencari pijakan identitas lokal, pemerintah daerah Bengkalis pun mendorong pendirian sanggar seni tradisi dan membuka kesempatan untuk tampil pada acara-acara resmi.
Hidup sebagai Guru
Yazid tekun mengajar tari Zapin di Kampung Meskom dan ”bergerilya” di beberapa daerah lain di Bengkalis. Biasanya, kakek ini menyambangi murid-murid dengan mengendarai motor tua sambil menyandang gambus di punggung. Kebiasaan itu masih kuat dilakoni sampai sekarang, meski upahnya kerap hanya cukup untuk menutup biaya transportasi.
Untuk mempercepat perkembangan seni tradisi itu, tahun 1998 dia ikut mendirikan Sanggar Yarnubih, kependekan dari nama tiga tokoh Zapin, yakni Yazid, Muhammad Nur, dan Ebih.
Lewat kelompok ini, kiprah Yazid semakin menonjol. Dia turut pentas di Riau, Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, serta di Johor dan Malaka, Malaysia. Tahun 2005 ia memperoleh Anugerah Seniman Tradisi dari Dinas Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata Provinsi Riau.
Perjuangan Yazid berhasil memperkuat regenerasi Zapin di Meskom. Saat ini ada enam sanggar di kampung yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Kota Bengkalis itu. Kelompok-kelompok itu dikelola beberapa penari yang dulu belajar kepada Yazid, seperti Baharuddin (43) dan Zaenuddin (42).
Kini, kampung Meskom dikenal sebagai salah satu taman pertumbuhan Zapin klasik yang kental dengan nuansa kerakyatan. Saat di wilayah lain tari itu sudah bergeser atau bercampur dengan kreasi baru yang lebih atraktif, masyarakat Meskom setia dengan seni tari Zapin klasik.
”Zapin penting untuk menanamkan identitas budaya Melayu kepada anak-anak muda. Nilai-nilai adat dan agama Islam yang terkandung dalam syair-syair Zapin bisa menjadi peringatan agar kita tetap bertindak benar,” kata Yazid bersemangat.
Kakek itu pun menyenandungkan syair Bunga Cempaka yang biasa dimainkan untuk mengiringi tari Zapin: ”Cempaka, bunga cempaka/Tiga kelopak, yang sekelopak jatuh ke bumi. Harilah raya segeralah yang dibuka/Banyak syufaat menyembah Nabi…”
Muhammad Yazid, adalah Penari Zapin dari Bengkalis, seorang pendiri dan pengelola Sanggar Yanurbih, 1998-sekarang. Mendapat Anugerah Seniman Tradisi dari Dinas Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata Provinsi Riau, tahun 2005
Sumber : Kompas (Edisi Cetak)
Tari Zapin sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Desa Meskom, Pulau Bengkalis, Provinsi Riau. Lelaki, perempuan, tua, muda, hingga anak-anak turut melestarikan tarian khas pesisir Melayu itu.
Seni tradisi tersebut tetap terjaga karena disokong beberapa penari tua yang tekun mendorong regenerasi. Salah satu di antaranya adalah Muhammad Yazid (82).
Nama Yazid sangat populer di Bengkalis karena hampir setiap hajatan penting yang ”berbau Zapin” selalu menampilkan dia. Saat pergelaran ”Zapin Berkampung” sebagai rangkaian festival Semarak Zapin Serantau di Meskom, suatu malam akhir Agustus lalu, Yazid juga didaulat untuk tampil. Dengan iringan syair Bunga Cempaka, lelaki sepuh itu memukau ratusan penonton yang berjubel di pinggiran jalan.
Begitu naik ke panggung, dia berjongkok seraya mengatupkan tangan di depan muka—gerakan ini disebut salam takzim atau pembuka. Ketika syair didendangkan, dia berdiri dan menari. Sepintas, kuda-kudanya terlihat agak goyah dan punggung sedikit bongkok. Tetapi, saat bergerak, kaki dan punggung yang tidak tegap itu justru menghasilkan komposisi gerak yang unik.
Yazid lincah saja memainkan kaki sembari sedikit menggoyang-goyangkan tangan. Suatu kali, dia maju beberapa langkah, lalu mundur lagi. Kali lain, dia bergerak menyamping, memutar ke belakang, lantas berbalik menghadap penonton. Pada titik-titik tertentu, dia malah diam sejenak seperti mengambil jeda, tetapi kemudian bergerak lagi dengan santai, tanpa terasa janggal.
Gerakan yang mengalir lembut memperlihatkan jiwa Yazid yang menyatu dengan lantunan syair dan iringan musik yang rancak-mendayu, hasil perpaduan antara petikan gambus dan tepakan marwas. Setiap pergeseran anggota badan seperti bersumber dari dalam hati, bukan hasil hafalan yang instan. Penonton pun bertepuk riuh saat penari langka ini mengatupkan tangan, membentuk salam penutup.
”Sebenarnya saya demam sejak pagi sampai siang. Tetapi, waktu mau naik panggung, demam itu langsung hilang. Menari seperti jadi obat saja,” kata Yazid, sambil duduk di teras rumah dekat panggung tadi.
Begitulah, Zapin memang sudah jadi bagian kehidupan sehari-harinya. Di Bengkalis, Yazid dikenal sebagai satu-satunya penari sepuh yang rajin naik panggung. Kakek dari 27 cucu dan 17 cicit itu masih lihai memainkan puluhan ragam pokok atau variasi gerak yang unik.
Ada ragam yang disebut alif sembah, pusing sekerat, ekor patin, pecah lapan, siku sekeluang, tukar kaki, ayam patah, pusing tak jadi, dan bunga depan. Masing-masing ragam punya arti dan ditarikan khusus. Ayam patah, misalnya, mengharuskan penari berjalan dengan berpura-pura satu kaki patah.
Menurut pengamat budaya Melayu di Pekanbaru, Yusmar Yusuf, tarian Yazid yang sudah sepuh itu mewakili gerak Zapin klasik yang halus. Penghayatan yang mendalam dan kelembutan tariannya mencerminkan kesantunan budaya Melayu lama.
”Semakin tua penari, gerakannya semakin anggun. Punggung yang bungkuk sedikit dan lengkung kaki yang tidak tegap, justru pas untuk membawakan tari Zapin yang penuh kehalusan dan harmoni,” papar Yusmar.
Diam-diam
Yazid lahir di Bengkalis tahun 1925, dan sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR). Dia belajar menari Zapin sejak umur delapan tahun dari ayahnya sendiri yang juga penari, Tomel. Saat remaja, dia menambah ilmu lagi dari beberapa guru lain, seperti Muhammad Nur, Ares, dan Cik Muhammad.
Saat permulaan belajar, pertengahan tahun 1930-an, Yazid muda harus sembunyi-sembunyi. Maklum, Belanda sudah masuk ke Bengkalis dan melarang setiap kerumunan yang dicurigai bakal memicu perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Situasi itu berlanjut hingga masa pendudukan Jepang.
”Waktu itu, kami terpaksa belajar diam-diam. Kami janjian dengan guru di tengah kebun atau hutan, lalu belajar satu-dua ragam gerak tari,” cerita Yazid.
Setelah Indonesia merdeka, Yazid leluasa mengasah keterampilan menari dan menambah pengetahuan seluk-beluk Zapin. Tahun 1950-an, nama Yazid mulai populer di wilayah Bengkalis bersama lima penari lain (yang kini almarhum) yaitu Hasan, Harun, M Yusuf, Hasan Matero, dan M Ali. Mereka keluar-masuk kampung untuk meramaikan berbagai hajatan rakyat.
Perkembangan Zapin semakin mencuat saat pemerintah pusat menggerakkan otonomi daerah pertengahan tahun 1990-an. Dengan semangat memperkuat seni tradisi demi mencari pijakan identitas lokal, pemerintah daerah Bengkalis pun mendorong pendirian sanggar seni tradisi dan membuka kesempatan untuk tampil pada acara-acara resmi.
Hidup sebagai Guru
Yazid tekun mengajar tari Zapin di Kampung Meskom dan ”bergerilya” di beberapa daerah lain di Bengkalis. Biasanya, kakek ini menyambangi murid-murid dengan mengendarai motor tua sambil menyandang gambus di punggung. Kebiasaan itu masih kuat dilakoni sampai sekarang, meski upahnya kerap hanya cukup untuk menutup biaya transportasi.
Untuk mempercepat perkembangan seni tradisi itu, tahun 1998 dia ikut mendirikan Sanggar Yarnubih, kependekan dari nama tiga tokoh Zapin, yakni Yazid, Muhammad Nur, dan Ebih.
Lewat kelompok ini, kiprah Yazid semakin menonjol. Dia turut pentas di Riau, Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, serta di Johor dan Malaka, Malaysia. Tahun 2005 ia memperoleh Anugerah Seniman Tradisi dari Dinas Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata Provinsi Riau.
Perjuangan Yazid berhasil memperkuat regenerasi Zapin di Meskom. Saat ini ada enam sanggar di kampung yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Kota Bengkalis itu. Kelompok-kelompok itu dikelola beberapa penari yang dulu belajar kepada Yazid, seperti Baharuddin (43) dan Zaenuddin (42).
Kini, kampung Meskom dikenal sebagai salah satu taman pertumbuhan Zapin klasik yang kental dengan nuansa kerakyatan. Saat di wilayah lain tari itu sudah bergeser atau bercampur dengan kreasi baru yang lebih atraktif, masyarakat Meskom setia dengan seni tari Zapin klasik.
”Zapin penting untuk menanamkan identitas budaya Melayu kepada anak-anak muda. Nilai-nilai adat dan agama Islam yang terkandung dalam syair-syair Zapin bisa menjadi peringatan agar kita tetap bertindak benar,” kata Yazid bersemangat.
Kakek itu pun menyenandungkan syair Bunga Cempaka yang biasa dimainkan untuk mengiringi tari Zapin: ”Cempaka, bunga cempaka/Tiga kelopak, yang sekelopak jatuh ke bumi. Harilah raya segeralah yang dibuka/Banyak syufaat menyembah Nabi…”
Muhammad Yazid, adalah Penari Zapin dari Bengkalis, seorang pendiri dan pengelola Sanggar Yanurbih, 1998-sekarang. Mendapat Anugerah Seniman Tradisi dari Dinas Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata Provinsi Riau, tahun 2005
Sumber : Kompas (Edisi Cetak)