Wujud Budaya Aceh Yang Ideal ( Dilihat dari Aspek Pendekatan Adat )

Oleh : H.Badruzzaman Ismail, SH, M.Hum

Kondisi Budaya Aceh
Budaya sebagai buah pikiran, akal budi selalu muncul berproses, akibat interaksi dengan wilayah lingkungan dan ruang waktu. Dalam kondisi wilayah dan ruang waktu itu, dinamika proses pikiran menghasilkan sesuatu; berwujud budaya komtemporer bahkan wujud budaya ideal untuk menjangkau masa depan. Pokok persoalan adalah bagaimana “nilai hasil budaya“ itu dapat dinikmati, bermanfaat dan menjadi acuan standar harkat/martabat masyarakat dalam membangun peradaban (civilization). Persoalan lain berupa “landasan pacu“ buah pikiran yang digunakan menjadi “barometer” penilai arah wujud budaya, utnuk mengukur keberhasilan implimentasi nilai-nilai budaya itu dalam “prosesi wujud budaya ideal“ masa depan.

Bagi Aceh, memang sejarahnya demikian; pernah melambung “go internasional“ dan kini “down“dengan berbagai cibiran dan pelecehan, tidak hanya lintas nasional, bahkan juga “go inetrnasional (negative culture), menjadi sedikit lumayan ketika di gunakan dalam istilah “turun menjadi kearifan lokal“. Dari aspek sosiologis tak mungkin menyalahkan sejarah, tetapi semua orang berhak untuk berbuat sejarah. Kondisi itu dan kini tentu suatu tantangan!

Tidak cukup alasan untuk mengatakan, bahwa krisis Aceh berkepanjangan dan bencana gempa dan gelombang tsunami, itu cobaan Allah SWT semata, karena peringatan keras itu, tak lepas pula keterkaitannya dengan prilaku budaya manusia yang melampau batas. Karena itu ambillah hikmatnya dan kini peluang besar terbentang dihadapan kita, mau buat apa?

Simbol Adat Aceh
Adat Aceh sebagai aspek budaya, tidak identik dalam pemahaman “ budaya “ pada umumnya, karena segmen-segmen integritas bangunan adat juga bersumber dari nilai-nilai agama (syariat) yang menjiwai kreasi budayanya. “ Adat ngon agama lagei zat ngon sifeut “. Roh Islami ini telah menjiwai dan menghidupkan budaya Aceh, sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis, yang akhirnya menjadi patron landasan Budaya Ideal, dalam bentuk Narit Maja :

“Adat Bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala,
Qanun Bak Putroe Phang, Reusan Bak Lakseumana“.

Pou Teumeureuhom; Simbol pemegang kekuasaan. Syiah Kuala; Simbol hukum syari‘at/agama dari ulama. Qanun; Perundang-undangan yang benilai agama dan adat dari badan legeslasi yang terus berkembang. Reusam; Tatanan protokuler/seremonial adat istiadat dari ahli-ahli adat yang terus berjalan. Pengembangan nilai-nilai tatanan ini, mengacu kepada sumber asas, yaitu ” Agama (hukum) ngon Adat, lagei zat ngon Sifeut ”

Mengacu kepada asas narit maja ini maka budaya adat mengandung dua sumber nilai, yaitu :
Pertama: nilai adat istiadat, yaitu format seremonial, prilaku ritualitasi, keindahan, seni apresiasi dalam berbagai format upacara dan kreasi

Kedua: nilai normatif/ prilaku tatanan ( hukum adat ), yaitu format materi aturan dan bentuk sanksi-sanksi terhadap pelanggar-pelanggaran

Analisis membuktikan, karena istiqamah dan komit dengan nilai-nilai filosofis narit maja ini, maka implimentasi budaya Aceh, telah melambungkan harkat dan martabat Aceh, diperhitungkan oleh dunia internasional (fakta sejarah), dimana titik sentral pengembangannya adalah Meunasah dan Mesjid (simbol sumber nilai). Sebaliknya marjinalisasi acuan filosofi ini, sejarah telah mengantar Aceh dalam era kekinian.

Mengacu kepada budaya adat Aceh yang sarat dengan nilai-nilai Islami, maka pada dasarnya, dalam pengembangan budaya adat berpegang kepada beberapa asas, antara lain:

Setia kepada aqidah Islami (hablum minallah)
Bersifat universal (tidak ada gap antar agama, antar bangsa dan antar suku)
Persatuan dan kesatuan (hablum minan nas)
Rambateirata (kegotong royongan, tolong menolong)
Panut kepada imam (pemimpin)
Cerdas dengan ilmu membaca dan menulis (iqra‘ dan kalam/menulis )

Pertumbuhan budaya adat Aceh, andainya menjadi bagian kesetiaan dalam konteks harkat dan martabat identitas keacehan, menghadapi tantangan sebaran budaya global, maka wujud budaya idealis, akan mudah adaptatis, akselirasasi dan berakumulasi secara kompetitif dan terprogram.

Muatan budaya adat Aceh sebagaimana tersebut diatas, secara teori memenuhi pandangan-pandangan yang dikemukakan antara lain oleh :

E.B.Taylor dalam bukunya : Primitive Culture, Boston, 1871, dengan rumusan : Culture or Civilization is that complex whole whitch includes knowledge, belief, art, morals, law, customs and any other capabilities, acquired by man as a member of society. (E.M.K.Masinambau, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2000, hal.1)

Maksudnya; Budaya adalah suatu peradaban yang mengandung berbagai nilai ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasan dan berbagai kemampuan rekayasa (keterampilan) seseorang sebagai anggota masyarakat3

Abidin Hasyim, formula dasar kebudayaan Aceh, dengan mengemukakan, bahwa: Kebudayaan Aceh telah menemukan identitasnya yang bernafas keislaman. Sistem tata nilailah yang menjadi tolak ukur untuk menyaring pengaruh baru dari luar, mana yang bisa diterima dan mana yang harus ditolak. Sistem tata nilai Islam yang dianut masyarakat Aceh, dalam menghadapi pengaruh modern, bukanlah pertentangan antara keislaman tradisional dengan modern, sebab Islam tidak berwatak tradisional, karena padanya terkandung pula unsur-unsur modern (Seksi Seminar PKA-3, Bunga Rampai Temu Budaya Nasional, tulisan Abidin Hasyim, bertajuk: Kebudayaan Aceh Dalam Dilema Konflik dan Konsensus, hal.195)

Soejito Sastrodiharjo, dalam topik tulisannya, Hukum Adat dan Realitas Penghidupan, dengan mengangkat dan setuju dengan pandangan Kluckhohn, yang mengatakan :.

Nilai itu merupakan ”a conception of desirable”. Pada nilai ada beberapa tingkatan, yaitu nilai primer dan nilai sekunder. Nilai primer merupakan pegangan hidup bagi suatu masyarakat (abstrak), misalnya: kejujuran, keadilan, keluhuran budi dan lain-lain, sedangkan nilai skunder adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kegunaan, misalnya dasar-dasar menerima keluarga berencana atau untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. Nilai skunder muncul sesudah penyaringan nilai primer. Kemajuan yang dicapai oleh Jepang, disebabkan karena orang Jepang mempertahankan nilai-nilai primernya, tetapi mengubah nilai-nilai skundernya (M.Syamsuddin, dkk, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Fak.Hukum UII, Yogyakarta, 1998, hal 113 )

Mengaktualkan Adat dan Budaya Aceh
Untuk memelihara tumbuhnya adat istiadat Aceh, ada dua kawasan yang perlu diprogramkan pengembangan apresiasi adat, dimana para tokoh adat (leading) sektor dengan perangkatnya amat berperan di dalamnya, yaitu kawasan Gampong dan kawasan Mukim:

Gampong: Kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu, dipimpin oleh Keuchik dan yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Qanun, No.5 Tahun 2003)

Mukim: kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat yang dipimpin oleh Imeum Mukim. Imeum Mukim adalah Kepala Pemerintahan Mukim (Qanun No.4 Tahun 2003)

Dalam konteks budaya ideal, aktualisasi produk paket-paket budaya adat, dapat memasuki pasar global, dengan memperhatikan beberapa unsur, sebagai berikut:

Berakhlak agamis: kuat aqidah dalam penegakan syiar dan syariat Islam. Han lon matei di luwa Islam, ka meunan peusan bak indatu. Ni bak matei kafee, leubeih geit kanjai. Nyang beik sagai cit tuka agama. Iman ta bina bak khusyu‘ di hatei

Berjiwa adatis: Penampilan prilaku yang adatis, dengan forma-forma adat dalam upacara-upacara kekhidmatan, bernilai ekonomi, harkat dan martabat. Tasouk bajee bek lee ilat, leumah prut pusat leupah gura. Ureung inong misee boh mamplam, lam on ta pandang mata meucaca

Bertata Etika: budaya adat yang transparan (bermasyarakat, beraturan, berencana, berorganisasi, bergerak dan rensponsif), dibawah manajemen Keuchik dan perangkatnya. Phon-phon adat cit jeut keudroe, watee meusahoe sinan meu tata. Maseing-maseing nanggroe na adat droe, ureung meubudoe (bakoe) nyang atoe cara. Beik keureuleing ngon kheim irot, beik meureubot peupap haba. Beik meututoe jampu carot, beik ngon meudhot sue meutaga

Bertata Estetika. implimentas kreasi, apersiasi dalam format dengan nilai-nilai seni keindahan, bersih anggun, menarik (cantik), penuh nilai-nilai martabat yang santun, kebanggaan dan berwibawa. Beungoh seupot beu tamano, peugleih asoe pat-pat nyang reunta. Takoh gukee bak gaki ngon jaroe, peugleih gigoe jeut-jeut kutika. Rumoh tangga beuna ta pakoe, istana droe keurajeun raja. Beu gleih ngon rumoh, bagan beuk kutoe, di leun meu-asoe ngon bungong jeumpa

Pengembangan nilai-nilai sejarah: Gedung memorial, monumen Daerah Modal, Monumen Perjuangan, Istimewa, Serambi Mekah, Syariat Islam, musium alat-alat teknologi pertanian tradisional, transportasi, musium perikanan, musium kereta api dan lainnya.

Tempat-tempat Rekreasi: Membangun pantai-pantai wisata,l restoran, taman rekreasi, salon-salon, yang fasilitas penampilannya bernuansa adat dan Islami

Membangun Panggung Festival: Menyediakan sarana festival seni yang bernafaskan Islam,menjadi media dakwah (kalender festival), dalail khairat, saman gayo, seudati, rapai, drama, tarian tradisional Aceh (klassik), tarian seni modern (Islami), pameran seni lukis, kaligrafi, makanan dan pakaian adat. Peranan pengusaha, secara komersial dan terprogram permanen. Membangun taman-taman hiburan untuk penyaluran minat kreasi, hiburan anak-anak yang tetap dan permanen. Taman rekreasi sungai Aceh

Membangun maket-maket souvenir Aceh: Memperbanyak kegiatan bisinis bidang jasa melalui toko-toko souvenir, pakaian adat, kue-kue Aceh, barang-barang antik Aceh, barang perhiasan, keramik dan lain-lain.

H.Badruzzaman Ismail, SH, M.Hum, adalah Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Sumber : www.acehinstitute.org