Oleh : Dr. Muhadjir
Di sini penulis ingin menjelaskan tentang “tata ucap bahasa Melayu” dengan penekanan pada tata ucap dialek Melayu Kepulauan. Menurut penulis, di Provinsi Riau terdapat dua subdialek Melayu, yaitu dialek Riau Daratan dan dialek Riau Kepualauan. Kata-kata yang dalam bahasa Indonesia diakhiri dengan vokal /a/, pada subdialek Daratan diucapkan de¬ngan vokal /o/, sedang pada subdialek Kepulauan diucapkan /∂/. Ciri-ciri fonologis dialek Kepulauan berdekatan de¬ngan bahasa Melayu Malaysia. Di sini dikemukakan 25 fonem segmental subdialek Kepulauan, yang terdiri dari 19 fonem konsonan dan 6 fonem vokal, disertai dengan peta fonetis masing-masing fonem. Tidak terdapat banyak perbedaan antara dua subdialek Melayu di dua daerah tersebut, namun sistem atau susunannya cukup jauh berbeda dengan bahasa Melayu Riau dan bahasa Indonesia.
1. Pendahuluan
Hingga saat ini, orang menganggap bahwa bahasa Indonesia dikembangkan dari bahasa Melayu Riau. Namun, sepanjang pengetahuan penulis, sampai hari ini (tahun 1985) belum terdapat tulisan yang membahas tentang tata ucap dialek ini. Di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa juga belum ditemukan laporan penelitian yang meneliti secara khusus tentang tata ucap dialek ini. Padahal, pemerian dialek Melayu Riau lisan sangat penting untuk membantu pembuktian asal usul dan acuan pengembangan bahasa Indonesia. Makalah ini menjelaskan sebagian struktur lisan dialek ini, yaitu tata ucap dialek Melayu Kepulauan. Dialek Melayu di Provinsi Riau terdiri dari dua sub¬dialek, yaitu dialek Riau Daratan dan dialek Riau Kepulauan (Hasan dkk., 1976). Selain itu, di daerah subdialek Daratan juga terdapat bahasa Melayu dialek Minangkabau yang terdapat di Kabupaten Kampar (Medan, 1980). Uraian dalam tulisan ini adalah mengenai sistem fonem segmental Melayu Riau subdialek Kepulauan.
Bahan yang dipergunakan sebagai dasar analisis fonem segmental ini dikumpulkan kurang lebih 15 tahun yang lalu (sebelum diadakannya seminar) di Kepulauan Riau, yakni di kota Tanjungpinang dan di sebuah pulau kecil (kurang lebih dua kilometer dari Tanjungpinang), yakni Pulau Penyengat. Data dikumpulkan hanya dalam waktu satu minggu, termasuk survei umum dan seleksi informan, sehingga tidak menghasilkan analisis yang rinci dan bersifat final. Analisis singkat ini kiranya dapat memberikan sumbangan sebagai gambaran umum ciri khas dialek ini dari segi fonologi. Data yang dikumpulkan untuk keperluan ini berupa rekaman percakapan dan hasil wawancara dengan dua orang penduduk kota Tanjungpinang dan dari keluarga yang bertempat tinggal di Pulau Penyengat.
Provinsi Riau[1] terdiri dari enam kabupaten dan dua kotamadya, yaitu Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Kampar, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Kepulauan Riau, Kotamadya Pekanbaru, dan Kotamadya Batam. Berdasarkan keadaan alamnya, provinsi ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu Riau Daratan dan Riau Kepulauan. Riau Daratan meliputi Kabupaten Kampar, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kotamadya Pekanbaru, sedangkan Riau Kepulauan meliputi gugusan pulau-pulau yang menyebar sampai ke perbatasan perairan Malaysia di Laut Cina Selatan dan perbatasan Kalimantan Barat.[2]
Daerah seluas itu didiami oleh berbagai subdialek Melayu, yang seperti sudah dijelaskan dapat dibagi menjadi dua subdialek, yaitu subdialek Daratan dan subdialek Kepulauan. Subdialek Daratan mempunyai ciri-ciri fonologis yang berdekatan dengan bahasa Melayu Minangkabau, sedang subdialek Kepulauan mempunyai ciri fonologis yang berdekatan dengan bahasa Melayu Malaysia. Di samping berbagai ciri khas lain, kedua subdialek ini ditandai dengan kata-kata yang dalam bahasa Indonesia merupakan kata-kata yang berakhir dengan vokal /a/; pada subdialek Daratan diucapkan dengan vokal /o/, sedang pada subdialek Kepulauan diucapkan /�/ (Hasan, 1976: 50). Beberapa contohnya antara lain adalah :
Bahasa Indonesia Riau Daratan Riau Kepulauan
bila bilo bile
tiga tigo tige
kata kato kate
Tentu penulis tidak bermaksud untuk menggambarkan seluruh perbedaan kedua subdialek itu, melainkan sekedar memberikan gambaran.
Jadi, kesan pertama bila berhadapan dengan dialek Melayu Riau (Kepulauan) adalah tingginya frekuensi kemunculan vokal /e/ pada kata-kata bersuku terbuka dan tiadanya vokal yang sama pada suku yang tertutup konsonan, seperti bahasa Indonesia dialek Jawa. Vokal yang lain juga memiliki distribusi yang khas, yang akan penulis perlihatkan pada bagian belakang. Kelompok konsonan yang paling mengesankan ialah konsonan getar uvular /R/ yang berbeda dengan getar ujung lidah yang terdapat dalam bahasa Indonesia.
Seperti umumnya yang terjadi pada bahasa lisan, dalam dialek ini banyak kata yang muncul dalam bentuk singkat seperti lah untuk sudah atau telah, na‘ untuk hendak, ta‘ untuk tidak. Bahkan, kata ta‘ yang dalam bahasa Indonesia hanya muncul dalam bentuk terikat, dalam dialek ini dapat berdiri sendiri sebagai kalimat minim
+ Na‘ makan ta? / ‘Mau makan tidak?‘
- Ta‘/ ‘Tidak‘
Dalam bidang morfologi, awalan per- dan akhiran -i jarang sekali muncul. Untuk melalui misalnya dipakai lalu dekat (masjid) dan untuk mempertinggi dipakai membuat tinggi atau meninggikan, sedangkan dalam bidang sintaksis, kesan yang penulis peroleh ialah jarang muncul kata-kata tugas seperti terhadap atau akan, dengan, dan oleh.
Dalam bidang kosakata, tidak terlihat adanya perbedaan yang mencolok, namun juga dapat dicatat beberapa kata khas yang tidak biasa dipergunakan dalam bahasa Indonesia modern. Untuk mempersilakan tamu-tamu minum atau makan dipergunakan kata jemput, ‘silakan ambil‘, untuk tetangga digunakan rumah sebelah, kata patek ‘patik‘ digunakan bila orang ingin merendahkan diri, dan untuk panggilan guru dipakai cek gu.
2. Daftar Fonem Segmental
Berdasarkan data yang terbatas, ditemukan 25 fonem segmental, yaitu 19 fonem konsonan dan 6 fonem vokal. Kesembilan belas konsonan itu ialah /b/, /p/, /m/, /d/, /t/, /n/, /j/, /c/, /ñ/, /g/, /k/, / /, /s/, /r/, /l/, /w/, /y/, /h/, dan /?/ sedang vokalnya ialah /i/, /e/, /a/, /e/, /o/, dan /u/.
Untuk memperlihatkan ucapan fonem-fonem tersebut, berikut penulis sertakan contoh kata-kata beserta ucapan fonetis dan fonemisnya:
Fonem Kata Ucapan Fonemis Ucapan Fonetis Makna
/b/ bapak /bapa?/ [bapa?] ‘bapak‘
/p/ ape /ape/ [?ape] ‘apa‘
/m/ masok /masok/ [masok] ‘masuk‘
/d/ dari /daRi/ [daRi] ‘dari‘
/t/ takot /takot/ [tako] ‘takut‘
/n/ nenek /nene?/ [nene] ‘nenek‘
/j/ jareng /jaren/ [jare ] ‘jaring‘
/c/ cari /caRi/ [caRi] ‘cari‘
/ñ/ banyak /bañak/ [bañak] ‘banyak‘
/g/ ganggu /ga gu/ [ga gu] ‘ganggu‘
/k/ ikan /ikan/ [?ikan] ‘ikan‘
/ / serong /sere / [sere ] ‘sering‘
/s/ atas /atas/ [?atas] ‘atas‘
/l/ lari /laRi/ [laRi] ‘lari‘
/R/ rambut /Rambut/ [Rambot] ‘rambut‘
/W/ bawang /bawa / [ba u a ] ‘bawang‘
/y/ bayang /baya / [ba i a ] ‘bayang‘
/h/ mahal /mahal/ [mahal] ‘mahal‘
/?/ burok /burok/ [burok] ‘buruk‘
/i/ pring /piRe / [piRe ] ‘piring‘
/e/ aseng /ase / [?ase ] ‘asing‘
/e/ anak /anak/ [?anak] ‘anak‘
/e/ bile /bile/ [bile] ‘bila‘
/o/ burok /buRok/ [buRok] ‘buruk‘
/u/ baru /baRu/ [baRu] ‘baru‘
a. Peta Fonetis
Agar dapat memahami dengan lebih jelas ucapan-ucapan fonem pada daftar di atas, berikut ini penulis petakan tiap bunyi dalam peta fonetis.
a. Peta Konsonan
Labial Alveoral Palatal Velar Uvular Faukal
Bersuara
HAMBAT b d j g ?
Tak bersuara
NASAL t c
GESERAN p n ñ k
LATERAL m s y h
GETARAN w l r
b. Peta Vokal
Depan Pusat Belakang
Atas i u
Tengah e ∂ o
Bawah a
Dalam daftar konsonan tersebut tidak dimasukkan konsonan-konsonan pinjaman, yakni konsonan seperti /sy/ dan /kh/. Hal ini terpaksa penulis lakukan karena keterbatasan data, sehingga penulis tidak dapat menentukan apakah konsonan-konsonan itu fonemis atau tidak, sekalipun dalam bahasa Indonesia dapat dipastikan konsonan-konsonan tersebut berstatus fonem (Halim, 1984: 136).
b. Distribusi Fonem Konsonan
Inti fonem konsonan dialek ini adalah dua hambat bilabial /b/ dan /p/, dua hambat dental /d/ dan /t/, dua hambat palatal /j/ dan /c/, serta dua hambat velar /g/ dan /k/. Masing-masing konsonan hambat juga memiliki nasal yang homorgan, yaitu nasal bilabial /m/, nasal dental /ñ/, nasal palatal / /, dan nasal velar /g/.
Konsonan lainnya adalah geseran alveolar /s/, geseran laringal /h/, lateral alveolar /l/, dan getaran uvular /R/, serta hambat glotal /?/. Selain itu, juga terdapat semivokal /w/ dan /y/.
Adapun kaidah umum pengucapan konsonan adalah
Semua konsonan dapat menjadi pemula kata, sebaliknya semua hambat bersuara /b/, /d/, dan /g/, serta semua hambat palatal /j/, /c/, dan /ñ/ tidak pernah muncul sebagai penutup suku.
Kecuali konsonan /b/, /p/, /w/, /y/, /R/, /h/, serta hamzah /?/ diucapkan bergeser ke depan atau ke belakang oleh pengaruh ucapan vokal di depannya. Jadi, di depan vokal /i/ dan /e/ titik artikulasi konsonan tersebut bergeser ke depan, sebaliknya pengucapan /u/ dan /o/ bergerak ke belakang. Titik artikulasi [k] pada ki dalam kaki lebih ke depan dari pada ka (ka ki), sedangkan ku pada kaku lebih ke belakang (ka ku). Namun demikian, oleh karena pergeseran titik artikulasi itu terjadi secara tetap, maka untuk selanjutnya kenyataan itu tidak akan dilukiskan dalam ejaan fonetis selanjutnya.
Selanjutnya semua konsonan hambat yang berada pada posisi akhir suku diucapkan tanpa pelepasan. Jadi /p/ dalam atap atau /t/ dalam berat diucapkan [?atap] dan [b�Rat].
Berikut ini akan dijelaskan lebih terperinci pengucapan dan distribusi konsonan satu demi satu.
Kedua hambat bilabial /b/ dan /p/ diucapkan tanpa varian. Konsonan /b/ tidak pernah menempati posisi akhir. Oleh karena itu, kata-kata baru dari bahasa Arab seperti sebab dan sabtu diucapkan [se bap] dan [sap tu ].
Konsonan-konsonan /d/ dan /t/ ternyata tidak homorgan; /d/ diucapkan sebagai retofloks alveopalatal [d], sedang /t/ merupakan hambat alveolar [t]. Seperti /b/, konsonan /d/ tidak pernah menempati posisi akhir, dan karena itu kata-kata baru yang berasal dari bahasa Arab dan mengandung /d/, pada akhir suku diucapkan [t], seperti [mohamat], [mahmot], atau [?amat] untuk muhammad, mahmud, dan ahmad.
Tidak ada catatan khusus untuk hambat velar /g/ dan /k/, kecuali seperti sudah dijelaskan. /g/ tidak pernah menempati posisi akhir, sedangkan /k/ diucapkan tanpa pelepasan pada posisi akhir.
Kecuali nasal /n/ umum, nasal diucapkan tanpa variasi yang jelas. Nasal /n/ di belakang konsonan alveolar diucapkan sebagai nasal alveolar, sedang di belakang konsonan alveopalatal diucapkan sebagai alveopalatal. Jadi, /n/ pada pantang diucapkan lain dengan /n/ pada lindong, yaitu masing-masing [panta ] dan [lindo ].
Geseran alveoral /s/ diucapkan tanpa varian dalam semua posisi seperti saket, besar, dan pakis diucapkan [saket], [b∂saR], dan [pakes].
Konsonan laringal /h/ terdapat dalam semua posisi, kecuali pada posisi tengah di antara dua vokal yang berlainan, seperti pada /halal/, /mahal/, dan /boleh/.
Konsonan hambat glotal /?/ cukup sulit ditentukan apakah konsonan itu merupakan fonem yang berdiri sendiri atau hanya varian dari konsonan lain. Konsonan ini selalu menyertai ucapan kata-kata yang dimulai dengan vokal seperti: [?unito?], [?ana?], dan [?ikat], atau di antara dua vokal seperti [sa?er] ‘syair‘. Akan tetapi, konsonan ini tidak pernah mengadakan oposisi fonemis dengan /k/ dan /?/. Berdasarkan contoh yang ada, konsonan /?/ beroposisi secara fonemis dengan konsonan /h/, seperti terdapat pada /lama?/ ‘lemak‘ dan /lemah/, dan antara /sao?/ ‘menciduk‘ dengan /sauh/ ‘ sauh.
Tidak ada catatan khusus untuk /l/. Konsonan ini diucapkan tanpa varian dalam semua posisi, seperti [lemah] dan [halal].
Konsonan getar uvular /R/ diucapkan lebih tegang pada posisi awal dan tengah, dan pada posisi akhir diucapkan amat kendur. Pada posisi akhir, ucapan konsonan ini demikian kendur, sehingga pada kesan pertama hanya terdengar seperti vokal panjang. Namun, bila beberapa kali didengarkan, kita temukan adanya konsonan /R/ yang amat kendur. Contoh [Rambot] ‘rambut‘, [maRi] ‘kemari‘, [tukaR] ‘tukar.‘
Semivokal /w/ dan /y/ hanya terdapat pada posisi awal dan tengah. Bunyi ini diucapkan sebagai vokoid [u] dan [i] non-silabis yang digeserkan.
[ u jib] ‘wajib‘ [ba u a ] ‘bawang‘
[i an] ‘yang‘ [ba i a ] ‘bayang‘
c. Distribusi Fonem Vokal
Keenam fonem vokal dialek ini terdiri dari tiga buah vokal depan /i/, /e/, /a/; dua buah vokal belakang /u/ dan /o/; serta satu vokal pusat /∂/.
Hal-hal umum yang perlu dikemukakan di sini adalah
Semua vokal yang berada di awal suku selalu disertai hambat glotal. Jadi, kata-kata seperti anak, elo?, dan ukor diucapkan [?anak], [?elo?], dan [?ukoR?].
Selanjutnya dapat dicatat semua vokal yang terbuka diucapkan lebih panjang daripada vokal yang tertutup konsonan. Jadi, /e/ pada nene?, vokal /e/ yang pertama diucapkan lebih panjang daripada yang kedua. Akan tetapi, karena kenyataan itu selalu dapat diramalkan, maka untuk selanjutnya tidak akan dilukiskan dalam ejaan fonetis.
Berikut akan diuraikan lebih terperinci satu persatu
Vokal terdepan /i/ dapat menempati semua posisi, kecuali pada posisi akhir yang tertutup konsonan, seperti [?ikot?] ‘ikut‘, [tiKgal] ‘tinggal‘, [mari] ‘mari‘. Vokal itu muncul pada posisi akhir yang tertutup konsonan hanya pada kata-kata baru seperti politik, yang diucapkan [politik]. Kata-kata yang dalam bahasa Indonesia diucapkan [i] sepertibalik, diucapkan [balek], senin diucapkan [s∂ nen].
Vokal /e/ muncul pada posisi awal dan tengah, seperti [?etek] ‘itik‘ dan [seRe] ‘sering‘.
Dalam posisi tersebut, vokal /e/ diucapkan sebagai vokal tengah depan, tetapi pada suku yang mengandung vokal yang berlainan diucapkan lebih ke depan, seperti [bebas] ‘bebas‘ atau [kelon] ‘penangkap ikan‘.
Seperti dijelaskan, /e/ hanya menempati posisi awal dan tengah, dan tidak pernah terdapat pada posisi akhir.
Posisi ini agaknya ditempati oleh diftong /ai/, sehingga dapat dianggap diftong merupakan alofon dari /e/. Hal ini dapat disimpulkan dari tidak adanya oposisi antara /e/ dengan diftong tersebut. Sejajar dengan hal itu, kata-kata baru yang dalam bahasa Indonesia dialek Jawa diucapkan dengan [e] seperti, [parte], dalam dialek ini diucapkan [partai].
Vokal rendah depan /a/ diucapkan tanpa varian dalam posisi yang ditempatinya. Vokal ini jarang sekali muncul pada posisi akhir yang terbuka, dalam posisi ini yang muncul adalah vokal pusat /e/. Vokal /a/ dalam posisi akhir hanya muncul pada kata-kata baru seperti /Indonesia/ atau /Jakarta/. Kalau ada kata-kata lain yang muncul dengan vokal /a/ biasanya disertai dengan glotalisasi, seperti [juga?] yang sering muncul berdampingan dengan [juga].
Vokal pusat /a/ diucapkan tanpa varian dalam semua posisi yang ditempatinya. Dari data yang terkumpul, vokal ini menempati posisi tengah dan akhir, seperti [lemak] ‘lemak‘, [kence] ‘kancing‘, [bila] ‘bila‘.
Banyaknya vokal yang muncul dalam posisi akhir terbuka merupakan ciri khas dialek ini.
Vokal /u/ menempati semua posisi, kecuali suku akhir yang tertutup, seperti [?ukoR] ‘ukur‘, [luka] ‘luka‘, dan [guRu] ‘guru‘.
Vokal tengah belakang ini terutama menempati posisi awal dan tengah, seperti terdapat dalam contoh [?oRa ] ‘orang‘, [pokok] ‘pokok‘, dan [tedoh] ‘teduh‘.
Jarang sekali muncul pada posisi akhir. Di antara contoh yang terkumpul hanya muncul pada kata [bomo] ‘dukun‘. Sebaliknya, dalam posisi akhir muncul diftong (au), seperti [pulau] ‘pulau‘ atau [pisau] ‘pisau‘.
Pada beberapa bentuk yang berpola konsonan pokok, terjadi variasi bebas antara [o] dengan vokal belakang tengah yang lebih rendah. Kata-kata seperti pokok, rokok, atau JohoR diucapkan [pokok], [rokok], dan [johoR], tetapi pada kata lain seperti potong, sombong, dan tolong diucapkan dengan [ο] yang lebih rendah, seperti [petang], [s mb ], dan [t l ]. Harmonisasi vokal itu juga terjadi antara /u/ dengan /o/. Kata-kata seperti /puloh/, /suboh/, sering diucapkan [poloh] dan [soboh].
Antara vokal tengah /e/ dengan /o/ juga bisa terjadi harmonisasi dengan vokal-vokal yang lebih rendah, yakni [ε] dan [e]. Jadi, kata-kata seperti /cedo?/ ‘menciduk‘ dan /mole?/ bisa diucapkan [c∂d∂?] dan [m∂lε?].
3. Penutup
Bila kita meringkaskan hasil analisis fonem dialek di atas dan membandingkannya dengan fonem bahasa Indonesia, tampak bahwa dari segi jumlah dan ucapan fonetisnya tidak banyak berbeda. Tampaknya, jumlah fonem vokal dan variannya sama, namun, sistem atau tata susunannya cukup jauh berbeda. Pertama, kemunculan fonem /a/ pada posisi akhir terbuka merupakan tanda khas dialek ini. Kedua, distribusi fonem /i/ dan /e/ merupakan ciri dalam tata susun fonemnya, sehingga tampak di satu pihak vokal /e/ merupakan fonem yang berdiri sendiri, namun di pihak lain menjadi alofon dari fonem /i/. Ketiga, hal yang sama juga terjadi pada /u/ dan /o/. Di satu pihak, /o/ merupakan fonem yang berdiri sendiri, tetapi di lain pihak menjadi alofon /u/. Oleh sebab itu, seandainya kita hendak menyusun ejaan untuk dialek ini kita akan menemui kesulitan, apakah kata /etek/ ‘itik‘ harus dituliskan sama dengan nenek atau ditulis itik?.
Untuk konsonan, tampaknya tidak terlalu menemui kesulitan. Dialek ini ditandai hanya dalam artikulasi konsonan getar /R/ yang dalam bahasa Indonesia diucapkan dengan getaran ujung lidah.
Pada akhirnya, penulis ingin mengemukakan kembali bahwa uraian penulis di atas berdasarkan data yang amat terbatas. Oleh karena itu, tata ucap dan struktur dialek ini masih perlu diteliti lebih mendalam agar dapat dideskripsikan dengan teliti dan lengkap.
Daftar Pustaka
Hamidi, U. U. 1973. Bahasa Melayu Riau: Sumbangan Bahasa Melayu. Badan Pembina Kesenian Daerah Provinsi Riau.
Halim, A. 1984. Intonasi dalam Hubungannya dengan Sintaksis Bahasa Indonesia. Jambatan.
Hasan, K. dkk. 1976. Naskah Penelitian Dialek Riau. Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Medan, T. 1980. Dialek-dialek Minangkabau dan Daerah Minangkabau, Sumatera Barat: Suatu Pemerian Dialektologi. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
__________
Dr. Muhadjir, adalah dosen Fakultas Sastra, Universitas Indo¬nesia. Lahir di Banyumas, Jawa Tengah, pada tanggal 10 Februari 1931. Menamatkan pen¬di¬dik¬an Sarjana Muda Sastra Timur di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1957. Tahun 1964 meraih gelar Sarjana Sastra dari Universitas Indonesia. Tahun 1977 berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Sastra dari Universitas Indonesia, Jakarta.
Beberapa buku yang berhasil ditulisnya antara lain adalah Morfologi Dialek Jakarta (1984), Fungsi dan Kedudukan Dialek Jakarta (1979), “To¬peng Betawi” da¬lam Masyarakat dan Kesenian Indonesia (1984), serta berbagai artikel tentang kesenian dan bahasa Betawi.
__________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau
________________________________________
[1] Sebelum diadakannya pemekaran-pemekaran seperti sekarang.
[2] Kini Riau Daratan dan Riau Kepulauan merupakan dua buah provinsi. Provinsi Riau Daratan meliputi: kabupaten Indragiri Hilir, kabupaten Indragiri Hulu, kabupaten Rokan Hilir, kabupaten Rokan Hulu, kabupaten Kampar, kabupaten Pelalawan, kabupaten Siak, kabupaten Kuantan Singingi, kabupaten Bengkalis, Kota Dumai, dan Kota Pekanbaru. Sedang Provinsi Riau Kepulauan meliputi: kabupaten Bintan, kabupaten Natuna, kabupaten Karimun, kabupaten Lingga, Kota Batam, dan Kota Tanjungpinang (Data Tahun 2007).
Di sini penulis ingin menjelaskan tentang “tata ucap bahasa Melayu” dengan penekanan pada tata ucap dialek Melayu Kepulauan. Menurut penulis, di Provinsi Riau terdapat dua subdialek Melayu, yaitu dialek Riau Daratan dan dialek Riau Kepualauan. Kata-kata yang dalam bahasa Indonesia diakhiri dengan vokal /a/, pada subdialek Daratan diucapkan de¬ngan vokal /o/, sedang pada subdialek Kepulauan diucapkan /∂/. Ciri-ciri fonologis dialek Kepulauan berdekatan de¬ngan bahasa Melayu Malaysia. Di sini dikemukakan 25 fonem segmental subdialek Kepulauan, yang terdiri dari 19 fonem konsonan dan 6 fonem vokal, disertai dengan peta fonetis masing-masing fonem. Tidak terdapat banyak perbedaan antara dua subdialek Melayu di dua daerah tersebut, namun sistem atau susunannya cukup jauh berbeda dengan bahasa Melayu Riau dan bahasa Indonesia.
1. Pendahuluan
Hingga saat ini, orang menganggap bahwa bahasa Indonesia dikembangkan dari bahasa Melayu Riau. Namun, sepanjang pengetahuan penulis, sampai hari ini (tahun 1985) belum terdapat tulisan yang membahas tentang tata ucap dialek ini. Di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa juga belum ditemukan laporan penelitian yang meneliti secara khusus tentang tata ucap dialek ini. Padahal, pemerian dialek Melayu Riau lisan sangat penting untuk membantu pembuktian asal usul dan acuan pengembangan bahasa Indonesia. Makalah ini menjelaskan sebagian struktur lisan dialek ini, yaitu tata ucap dialek Melayu Kepulauan. Dialek Melayu di Provinsi Riau terdiri dari dua sub¬dialek, yaitu dialek Riau Daratan dan dialek Riau Kepulauan (Hasan dkk., 1976). Selain itu, di daerah subdialek Daratan juga terdapat bahasa Melayu dialek Minangkabau yang terdapat di Kabupaten Kampar (Medan, 1980). Uraian dalam tulisan ini adalah mengenai sistem fonem segmental Melayu Riau subdialek Kepulauan.
Bahan yang dipergunakan sebagai dasar analisis fonem segmental ini dikumpulkan kurang lebih 15 tahun yang lalu (sebelum diadakannya seminar) di Kepulauan Riau, yakni di kota Tanjungpinang dan di sebuah pulau kecil (kurang lebih dua kilometer dari Tanjungpinang), yakni Pulau Penyengat. Data dikumpulkan hanya dalam waktu satu minggu, termasuk survei umum dan seleksi informan, sehingga tidak menghasilkan analisis yang rinci dan bersifat final. Analisis singkat ini kiranya dapat memberikan sumbangan sebagai gambaran umum ciri khas dialek ini dari segi fonologi. Data yang dikumpulkan untuk keperluan ini berupa rekaman percakapan dan hasil wawancara dengan dua orang penduduk kota Tanjungpinang dan dari keluarga yang bertempat tinggal di Pulau Penyengat.
Provinsi Riau[1] terdiri dari enam kabupaten dan dua kotamadya, yaitu Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Kampar, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Kepulauan Riau, Kotamadya Pekanbaru, dan Kotamadya Batam. Berdasarkan keadaan alamnya, provinsi ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu Riau Daratan dan Riau Kepulauan. Riau Daratan meliputi Kabupaten Kampar, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kotamadya Pekanbaru, sedangkan Riau Kepulauan meliputi gugusan pulau-pulau yang menyebar sampai ke perbatasan perairan Malaysia di Laut Cina Selatan dan perbatasan Kalimantan Barat.[2]
Daerah seluas itu didiami oleh berbagai subdialek Melayu, yang seperti sudah dijelaskan dapat dibagi menjadi dua subdialek, yaitu subdialek Daratan dan subdialek Kepulauan. Subdialek Daratan mempunyai ciri-ciri fonologis yang berdekatan dengan bahasa Melayu Minangkabau, sedang subdialek Kepulauan mempunyai ciri fonologis yang berdekatan dengan bahasa Melayu Malaysia. Di samping berbagai ciri khas lain, kedua subdialek ini ditandai dengan kata-kata yang dalam bahasa Indonesia merupakan kata-kata yang berakhir dengan vokal /a/; pada subdialek Daratan diucapkan dengan vokal /o/, sedang pada subdialek Kepulauan diucapkan /�/ (Hasan, 1976: 50). Beberapa contohnya antara lain adalah :
Bahasa Indonesia Riau Daratan Riau Kepulauan
bila bilo bile
tiga tigo tige
kata kato kate
Tentu penulis tidak bermaksud untuk menggambarkan seluruh perbedaan kedua subdialek itu, melainkan sekedar memberikan gambaran.
Jadi, kesan pertama bila berhadapan dengan dialek Melayu Riau (Kepulauan) adalah tingginya frekuensi kemunculan vokal /e/ pada kata-kata bersuku terbuka dan tiadanya vokal yang sama pada suku yang tertutup konsonan, seperti bahasa Indonesia dialek Jawa. Vokal yang lain juga memiliki distribusi yang khas, yang akan penulis perlihatkan pada bagian belakang. Kelompok konsonan yang paling mengesankan ialah konsonan getar uvular /R/ yang berbeda dengan getar ujung lidah yang terdapat dalam bahasa Indonesia.
Seperti umumnya yang terjadi pada bahasa lisan, dalam dialek ini banyak kata yang muncul dalam bentuk singkat seperti lah untuk sudah atau telah, na‘ untuk hendak, ta‘ untuk tidak. Bahkan, kata ta‘ yang dalam bahasa Indonesia hanya muncul dalam bentuk terikat, dalam dialek ini dapat berdiri sendiri sebagai kalimat minim
+ Na‘ makan ta? / ‘Mau makan tidak?‘
- Ta‘/ ‘Tidak‘
Dalam bidang morfologi, awalan per- dan akhiran -i jarang sekali muncul. Untuk melalui misalnya dipakai lalu dekat (masjid) dan untuk mempertinggi dipakai membuat tinggi atau meninggikan, sedangkan dalam bidang sintaksis, kesan yang penulis peroleh ialah jarang muncul kata-kata tugas seperti terhadap atau akan, dengan, dan oleh.
Dalam bidang kosakata, tidak terlihat adanya perbedaan yang mencolok, namun juga dapat dicatat beberapa kata khas yang tidak biasa dipergunakan dalam bahasa Indonesia modern. Untuk mempersilakan tamu-tamu minum atau makan dipergunakan kata jemput, ‘silakan ambil‘, untuk tetangga digunakan rumah sebelah, kata patek ‘patik‘ digunakan bila orang ingin merendahkan diri, dan untuk panggilan guru dipakai cek gu.
2. Daftar Fonem Segmental
Berdasarkan data yang terbatas, ditemukan 25 fonem segmental, yaitu 19 fonem konsonan dan 6 fonem vokal. Kesembilan belas konsonan itu ialah /b/, /p/, /m/, /d/, /t/, /n/, /j/, /c/, /ñ/, /g/, /k/, / /, /s/, /r/, /l/, /w/, /y/, /h/, dan /?/ sedang vokalnya ialah /i/, /e/, /a/, /e/, /o/, dan /u/.
Untuk memperlihatkan ucapan fonem-fonem tersebut, berikut penulis sertakan contoh kata-kata beserta ucapan fonetis dan fonemisnya:
Fonem Kata Ucapan Fonemis Ucapan Fonetis Makna
/b/ bapak /bapa?/ [bapa?] ‘bapak‘
/p/ ape /ape/ [?ape] ‘apa‘
/m/ masok /masok/ [masok] ‘masuk‘
/d/ dari /daRi/ [daRi] ‘dari‘
/t/ takot /takot/ [tako] ‘takut‘
/n/ nenek /nene?/ [nene] ‘nenek‘
/j/ jareng /jaren/ [jare ] ‘jaring‘
/c/ cari /caRi/ [caRi] ‘cari‘
/ñ/ banyak /bañak/ [bañak] ‘banyak‘
/g/ ganggu /ga gu/ [ga gu] ‘ganggu‘
/k/ ikan /ikan/ [?ikan] ‘ikan‘
/ / serong /sere / [sere ] ‘sering‘
/s/ atas /atas/ [?atas] ‘atas‘
/l/ lari /laRi/ [laRi] ‘lari‘
/R/ rambut /Rambut/ [Rambot] ‘rambut‘
/W/ bawang /bawa / [ba u a ] ‘bawang‘
/y/ bayang /baya / [ba i a ] ‘bayang‘
/h/ mahal /mahal/ [mahal] ‘mahal‘
/?/ burok /burok/ [burok] ‘buruk‘
/i/ pring /piRe / [piRe ] ‘piring‘
/e/ aseng /ase / [?ase ] ‘asing‘
/e/ anak /anak/ [?anak] ‘anak‘
/e/ bile /bile/ [bile] ‘bila‘
/o/ burok /buRok/ [buRok] ‘buruk‘
/u/ baru /baRu/ [baRu] ‘baru‘
a. Peta Fonetis
Agar dapat memahami dengan lebih jelas ucapan-ucapan fonem pada daftar di atas, berikut ini penulis petakan tiap bunyi dalam peta fonetis.
a. Peta Konsonan
Labial Alveoral Palatal Velar Uvular Faukal
Bersuara
HAMBAT b d j g ?
Tak bersuara
NASAL t c
GESERAN p n ñ k
LATERAL m s y h
GETARAN w l r
b. Peta Vokal
Depan Pusat Belakang
Atas i u
Tengah e ∂ o
Bawah a
Dalam daftar konsonan tersebut tidak dimasukkan konsonan-konsonan pinjaman, yakni konsonan seperti /sy/ dan /kh/. Hal ini terpaksa penulis lakukan karena keterbatasan data, sehingga penulis tidak dapat menentukan apakah konsonan-konsonan itu fonemis atau tidak, sekalipun dalam bahasa Indonesia dapat dipastikan konsonan-konsonan tersebut berstatus fonem (Halim, 1984: 136).
b. Distribusi Fonem Konsonan
Inti fonem konsonan dialek ini adalah dua hambat bilabial /b/ dan /p/, dua hambat dental /d/ dan /t/, dua hambat palatal /j/ dan /c/, serta dua hambat velar /g/ dan /k/. Masing-masing konsonan hambat juga memiliki nasal yang homorgan, yaitu nasal bilabial /m/, nasal dental /ñ/, nasal palatal / /, dan nasal velar /g/.
Konsonan lainnya adalah geseran alveolar /s/, geseran laringal /h/, lateral alveolar /l/, dan getaran uvular /R/, serta hambat glotal /?/. Selain itu, juga terdapat semivokal /w/ dan /y/.
Adapun kaidah umum pengucapan konsonan adalah
Semua konsonan dapat menjadi pemula kata, sebaliknya semua hambat bersuara /b/, /d/, dan /g/, serta semua hambat palatal /j/, /c/, dan /ñ/ tidak pernah muncul sebagai penutup suku.
Kecuali konsonan /b/, /p/, /w/, /y/, /R/, /h/, serta hamzah /?/ diucapkan bergeser ke depan atau ke belakang oleh pengaruh ucapan vokal di depannya. Jadi, di depan vokal /i/ dan /e/ titik artikulasi konsonan tersebut bergeser ke depan, sebaliknya pengucapan /u/ dan /o/ bergerak ke belakang. Titik artikulasi [k] pada ki dalam kaki lebih ke depan dari pada ka (ka ki), sedangkan ku pada kaku lebih ke belakang (ka ku). Namun demikian, oleh karena pergeseran titik artikulasi itu terjadi secara tetap, maka untuk selanjutnya kenyataan itu tidak akan dilukiskan dalam ejaan fonetis selanjutnya.
Selanjutnya semua konsonan hambat yang berada pada posisi akhir suku diucapkan tanpa pelepasan. Jadi /p/ dalam atap atau /t/ dalam berat diucapkan [?atap] dan [b�Rat].
Berikut ini akan dijelaskan lebih terperinci pengucapan dan distribusi konsonan satu demi satu.
Kedua hambat bilabial /b/ dan /p/ diucapkan tanpa varian. Konsonan /b/ tidak pernah menempati posisi akhir. Oleh karena itu, kata-kata baru dari bahasa Arab seperti sebab dan sabtu diucapkan [se bap] dan [sap tu ].
Konsonan-konsonan /d/ dan /t/ ternyata tidak homorgan; /d/ diucapkan sebagai retofloks alveopalatal [d], sedang /t/ merupakan hambat alveolar [t]. Seperti /b/, konsonan /d/ tidak pernah menempati posisi akhir, dan karena itu kata-kata baru yang berasal dari bahasa Arab dan mengandung /d/, pada akhir suku diucapkan [t], seperti [mohamat], [mahmot], atau [?amat] untuk muhammad, mahmud, dan ahmad.
Tidak ada catatan khusus untuk hambat velar /g/ dan /k/, kecuali seperti sudah dijelaskan. /g/ tidak pernah menempati posisi akhir, sedangkan /k/ diucapkan tanpa pelepasan pada posisi akhir.
Kecuali nasal /n/ umum, nasal diucapkan tanpa variasi yang jelas. Nasal /n/ di belakang konsonan alveolar diucapkan sebagai nasal alveolar, sedang di belakang konsonan alveopalatal diucapkan sebagai alveopalatal. Jadi, /n/ pada pantang diucapkan lain dengan /n/ pada lindong, yaitu masing-masing [panta ] dan [lindo ].
Geseran alveoral /s/ diucapkan tanpa varian dalam semua posisi seperti saket, besar, dan pakis diucapkan [saket], [b∂saR], dan [pakes].
Konsonan laringal /h/ terdapat dalam semua posisi, kecuali pada posisi tengah di antara dua vokal yang berlainan, seperti pada /halal/, /mahal/, dan /boleh/.
Konsonan hambat glotal /?/ cukup sulit ditentukan apakah konsonan itu merupakan fonem yang berdiri sendiri atau hanya varian dari konsonan lain. Konsonan ini selalu menyertai ucapan kata-kata yang dimulai dengan vokal seperti: [?unito?], [?ana?], dan [?ikat], atau di antara dua vokal seperti [sa?er] ‘syair‘. Akan tetapi, konsonan ini tidak pernah mengadakan oposisi fonemis dengan /k/ dan /?/. Berdasarkan contoh yang ada, konsonan /?/ beroposisi secara fonemis dengan konsonan /h/, seperti terdapat pada /lama?/ ‘lemak‘ dan /lemah/, dan antara /sao?/ ‘menciduk‘ dengan /sauh/ ‘ sauh.
Tidak ada catatan khusus untuk /l/. Konsonan ini diucapkan tanpa varian dalam semua posisi, seperti [lemah] dan [halal].
Konsonan getar uvular /R/ diucapkan lebih tegang pada posisi awal dan tengah, dan pada posisi akhir diucapkan amat kendur. Pada posisi akhir, ucapan konsonan ini demikian kendur, sehingga pada kesan pertama hanya terdengar seperti vokal panjang. Namun, bila beberapa kali didengarkan, kita temukan adanya konsonan /R/ yang amat kendur. Contoh [Rambot] ‘rambut‘, [maRi] ‘kemari‘, [tukaR] ‘tukar.‘
Semivokal /w/ dan /y/ hanya terdapat pada posisi awal dan tengah. Bunyi ini diucapkan sebagai vokoid [u] dan [i] non-silabis yang digeserkan.
[ u jib] ‘wajib‘ [ba u a ] ‘bawang‘
[i an] ‘yang‘ [ba i a ] ‘bayang‘
c. Distribusi Fonem Vokal
Keenam fonem vokal dialek ini terdiri dari tiga buah vokal depan /i/, /e/, /a/; dua buah vokal belakang /u/ dan /o/; serta satu vokal pusat /∂/.
Hal-hal umum yang perlu dikemukakan di sini adalah
Semua vokal yang berada di awal suku selalu disertai hambat glotal. Jadi, kata-kata seperti anak, elo?, dan ukor diucapkan [?anak], [?elo?], dan [?ukoR?].
Selanjutnya dapat dicatat semua vokal yang terbuka diucapkan lebih panjang daripada vokal yang tertutup konsonan. Jadi, /e/ pada nene?, vokal /e/ yang pertama diucapkan lebih panjang daripada yang kedua. Akan tetapi, karena kenyataan itu selalu dapat diramalkan, maka untuk selanjutnya tidak akan dilukiskan dalam ejaan fonetis.
Berikut akan diuraikan lebih terperinci satu persatu
Vokal terdepan /i/ dapat menempati semua posisi, kecuali pada posisi akhir yang tertutup konsonan, seperti [?ikot?] ‘ikut‘, [tiKgal] ‘tinggal‘, [mari] ‘mari‘. Vokal itu muncul pada posisi akhir yang tertutup konsonan hanya pada kata-kata baru seperti politik, yang diucapkan [politik]. Kata-kata yang dalam bahasa Indonesia diucapkan [i] sepertibalik, diucapkan [balek], senin diucapkan [s∂ nen].
Vokal /e/ muncul pada posisi awal dan tengah, seperti [?etek] ‘itik‘ dan [seRe] ‘sering‘.
Dalam posisi tersebut, vokal /e/ diucapkan sebagai vokal tengah depan, tetapi pada suku yang mengandung vokal yang berlainan diucapkan lebih ke depan, seperti [bebas] ‘bebas‘ atau [kelon] ‘penangkap ikan‘.
Seperti dijelaskan, /e/ hanya menempati posisi awal dan tengah, dan tidak pernah terdapat pada posisi akhir.
Posisi ini agaknya ditempati oleh diftong /ai/, sehingga dapat dianggap diftong merupakan alofon dari /e/. Hal ini dapat disimpulkan dari tidak adanya oposisi antara /e/ dengan diftong tersebut. Sejajar dengan hal itu, kata-kata baru yang dalam bahasa Indonesia dialek Jawa diucapkan dengan [e] seperti, [parte], dalam dialek ini diucapkan [partai].
Vokal rendah depan /a/ diucapkan tanpa varian dalam posisi yang ditempatinya. Vokal ini jarang sekali muncul pada posisi akhir yang terbuka, dalam posisi ini yang muncul adalah vokal pusat /e/. Vokal /a/ dalam posisi akhir hanya muncul pada kata-kata baru seperti /Indonesia/ atau /Jakarta/. Kalau ada kata-kata lain yang muncul dengan vokal /a/ biasanya disertai dengan glotalisasi, seperti [juga?] yang sering muncul berdampingan dengan [juga].
Vokal pusat /a/ diucapkan tanpa varian dalam semua posisi yang ditempatinya. Dari data yang terkumpul, vokal ini menempati posisi tengah dan akhir, seperti [lemak] ‘lemak‘, [kence] ‘kancing‘, [bila] ‘bila‘.
Banyaknya vokal yang muncul dalam posisi akhir terbuka merupakan ciri khas dialek ini.
Vokal /u/ menempati semua posisi, kecuali suku akhir yang tertutup, seperti [?ukoR] ‘ukur‘, [luka] ‘luka‘, dan [guRu] ‘guru‘.
Vokal tengah belakang ini terutama menempati posisi awal dan tengah, seperti terdapat dalam contoh [?oRa ] ‘orang‘, [pokok] ‘pokok‘, dan [tedoh] ‘teduh‘.
Jarang sekali muncul pada posisi akhir. Di antara contoh yang terkumpul hanya muncul pada kata [bomo] ‘dukun‘. Sebaliknya, dalam posisi akhir muncul diftong (au), seperti [pulau] ‘pulau‘ atau [pisau] ‘pisau‘.
Pada beberapa bentuk yang berpola konsonan pokok, terjadi variasi bebas antara [o] dengan vokal belakang tengah yang lebih rendah. Kata-kata seperti pokok, rokok, atau JohoR diucapkan [pokok], [rokok], dan [johoR], tetapi pada kata lain seperti potong, sombong, dan tolong diucapkan dengan [ο] yang lebih rendah, seperti [petang], [s mb ], dan [t l ]. Harmonisasi vokal itu juga terjadi antara /u/ dengan /o/. Kata-kata seperti /puloh/, /suboh/, sering diucapkan [poloh] dan [soboh].
Antara vokal tengah /e/ dengan /o/ juga bisa terjadi harmonisasi dengan vokal-vokal yang lebih rendah, yakni [ε] dan [e]. Jadi, kata-kata seperti /cedo?/ ‘menciduk‘ dan /mole?/ bisa diucapkan [c∂d∂?] dan [m∂lε?].
3. Penutup
Bila kita meringkaskan hasil analisis fonem dialek di atas dan membandingkannya dengan fonem bahasa Indonesia, tampak bahwa dari segi jumlah dan ucapan fonetisnya tidak banyak berbeda. Tampaknya, jumlah fonem vokal dan variannya sama, namun, sistem atau tata susunannya cukup jauh berbeda. Pertama, kemunculan fonem /a/ pada posisi akhir terbuka merupakan tanda khas dialek ini. Kedua, distribusi fonem /i/ dan /e/ merupakan ciri dalam tata susun fonemnya, sehingga tampak di satu pihak vokal /e/ merupakan fonem yang berdiri sendiri, namun di pihak lain menjadi alofon dari fonem /i/. Ketiga, hal yang sama juga terjadi pada /u/ dan /o/. Di satu pihak, /o/ merupakan fonem yang berdiri sendiri, tetapi di lain pihak menjadi alofon /u/. Oleh sebab itu, seandainya kita hendak menyusun ejaan untuk dialek ini kita akan menemui kesulitan, apakah kata /etek/ ‘itik‘ harus dituliskan sama dengan nenek atau ditulis itik?.
Untuk konsonan, tampaknya tidak terlalu menemui kesulitan. Dialek ini ditandai hanya dalam artikulasi konsonan getar /R/ yang dalam bahasa Indonesia diucapkan dengan getaran ujung lidah.
Pada akhirnya, penulis ingin mengemukakan kembali bahwa uraian penulis di atas berdasarkan data yang amat terbatas. Oleh karena itu, tata ucap dan struktur dialek ini masih perlu diteliti lebih mendalam agar dapat dideskripsikan dengan teliti dan lengkap.
Daftar Pustaka
Hamidi, U. U. 1973. Bahasa Melayu Riau: Sumbangan Bahasa Melayu. Badan Pembina Kesenian Daerah Provinsi Riau.
Halim, A. 1984. Intonasi dalam Hubungannya dengan Sintaksis Bahasa Indonesia. Jambatan.
Hasan, K. dkk. 1976. Naskah Penelitian Dialek Riau. Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Medan, T. 1980. Dialek-dialek Minangkabau dan Daerah Minangkabau, Sumatera Barat: Suatu Pemerian Dialektologi. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
__________
Dr. Muhadjir, adalah dosen Fakultas Sastra, Universitas Indo¬nesia. Lahir di Banyumas, Jawa Tengah, pada tanggal 10 Februari 1931. Menamatkan pen¬di¬dik¬an Sarjana Muda Sastra Timur di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1957. Tahun 1964 meraih gelar Sarjana Sastra dari Universitas Indonesia. Tahun 1977 berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Sastra dari Universitas Indonesia, Jakarta.
Beberapa buku yang berhasil ditulisnya antara lain adalah Morfologi Dialek Jakarta (1984), Fungsi dan Kedudukan Dialek Jakarta (1979), “To¬peng Betawi” da¬lam Masyarakat dan Kesenian Indonesia (1984), serta berbagai artikel tentang kesenian dan bahasa Betawi.
__________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau
________________________________________
[1] Sebelum diadakannya pemekaran-pemekaran seperti sekarang.
[2] Kini Riau Daratan dan Riau Kepulauan merupakan dua buah provinsi. Provinsi Riau Daratan meliputi: kabupaten Indragiri Hilir, kabupaten Indragiri Hulu, kabupaten Rokan Hilir, kabupaten Rokan Hulu, kabupaten Kampar, kabupaten Pelalawan, kabupaten Siak, kabupaten Kuantan Singingi, kabupaten Bengkalis, Kota Dumai, dan Kota Pekanbaru. Sedang Provinsi Riau Kepulauan meliputi: kabupaten Bintan, kabupaten Natuna, kabupaten Karimun, kabupaten Lingga, Kota Batam, dan Kota Tanjungpinang (Data Tahun 2007).