Seni `Melayuan` Bergaya Pesisir

"Kangen sama kampung nih," ujar Hj Nurhaidah, warga Slipi, Jakarta Barat. Ibu yang telah 30 tahun menetap di Jakarta ini adalah satu dari sekian orang Melayu yang rindu pada kampung halaman.

Sebagai penambat rasa rindu, Nurhaidah kerap mendengarkan koleksi lagu-lagu Melayu kesayangan. Berbagai undangan dari sesama perantauan pun rajin diikutinya. Termasuk, menyaksikan berbagai pertunjukan tari, misalnya tari Panglima Nayan -- sebuah tari Melayu -- di Teater Kecil TIM, belum lama ini. Selain di TIM, di beberapa tempat di Jakarta juga sering diadakan pentas tari Melayu. Di Museum Bahari, Jakarta Utara, misalnya, belum lama ini diadakan Atraksi Seni Budaya Pesisir, yang banyak menampilkan seni-budaya yang terpengaruh tradisi Melayu. Antara lain, tari Mainang Pulau Kampai, dan Panglima Nayan.

Selain itu, dalam acara yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta tersebut juga ditampilkan beberapa kesenian pesisir, antara lain seni musik Marawis, tari Ronggeng Manis, Gambyong, Topeng Kelana, Golek, Punjari, dan tari Tanduk Mejeng.

Ragam tarian dan lagu daerah merupakan salah satu unsur kebudayaan yang bersifat nominal. Ini artinya, tidak ada suatu kebudayaan yang diukur lebih bagus ketimbang budaya lainnya. Melayu misalnya, sangat kental dengan unsur-unsur religius Islam. Unsure ini pula yang banyak mewarnai ragam tarian dan lagu daerah pesisir di Indonesia, seperti Sumatera, Demak, Banten, hingga Batavia yang kini dikenal dengan Jakarta. Tak heran bila kesenian pesisir disebut-sebut sebagai kesenian yang diwarnai oleh semangat Islam.

Pesisir Sumatra Barat merupakan wilayah budaya yang paling banyak bersentuhan dengan berbagai kebudayaan luar. Karena itu, di wilayah pesisir ini hidup dan berkembang berbagai tradisi budaya, yang berbeda dengan daerah pedalaman Minangkabau. Tradisi budaya ini ditopang pula oleh multi-etnik yang sudah menjadi bagian dari komunitas masyarakat pesisir.

Unsur religius Islam dalam seni budaya pesisir tentu tak terlepas dari sejarah, seperti pendapat antropolog UI, Drs Achmad Saifuddin. "Historis itu selalu terkait dengan kebudayaan," ujarnya. Disebutkan dalam sejarah, Islam pertama kali masuk pada masa kerajaan Samudera Pasai yang kini merupakan kabupaten Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan catatan Marcopolo, seorang saudagar Italia singgah di bagian utara Aceh pada tahun 1292. Disebutkan pula bahwa banyak pedagang Islam dari Gujarat (India) yang transit untuk mengisi perbekalan sembari menyiarkan Islam.

Pendapat itu juga turut diperkuat oleh Ibnu Battutah, seorang musafir Maroko yang singgah di Samudera Pasai dalam perjalanannya dari New Delhi ke Cina pada tahun 1345-1346. Ibnu Battutah menyebutkan, bahwa Sultan Kerajaan Samudera Pasai saat itu, yaitu Sultan Ahmad, telah mengembangkan Islam hingga ke daerah sekitarnya. Pada tahun 1511, Malaka direbut Portugis sehingga wilayah bawahan Malaka di Sumatera mulai melepaskan diri. Saat itu, Samudera Pasai makin ramai karena banyak orang Islam dari Malaka yang pindah ke sana.

Di pesisir Jawa ada kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Semula, Demak adalah bagian dari Kerajaan Majapahit. Karena terletak di tepi pantai, maka berkembanglah Demak sebagai bandar perdagangan. Semasa Demak berkuasa, Islam berkembang dengan pesat. Para wali atau sunan juga turut aktif memberi saran untuk kemajuan Demak. Tak heran bila Demak kemudian menjadi semacam negara teokrasi, yaitu negara berdasarkan agama.

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis juga berdampak pada kerajaan Islam di pesisir Jawa Barat yaitu kerajaan Banten. Dengan jatuhnya Malaka, Banten menjadi jalur alternatif dalam rute perdagangan dunia. Para pedagang Islam dapat menuju Banten dengan menyusuri pantai barat Sumatera kemudian masuk ke Selat Sunda.

Karena kebudayaan bersifat dinamis, tak heran bila banyak tedapat perubahan saat ia diwariskan. Perubahan ini bisa berarti pengurangan atau penambahan unsur tertentu. "Tari Melayu sekarang banyak dimodifikasi. Dari kostumnya saja, yang dulu kebaya panjang, sekarang dimodifikasi jadi rok span," kata Nurhaidah. Seorang sesepuh tari Melayu, Sahrial, juga mengeluhkam hal serupa. "Sekarang penerusnya sedikit. Orang lebih suka yang modern," ujarnya.

Menurut Achmad, proses pewarisan itu merupakan upaya masyarakat untuk pembenaran identitas diri yang mulai punah. Achmad mencontohkan daerah Sumatera Barat yang memiliki banyak danau. "Di daerah Danau Singkarak, sejak adanya otonomi daerah, makin kuat tradisi religiusnya. Yang pria kalau mau ke pantai harus pakai baju basahan, sementara yang wanita harus pakai jilbab," katanya.

Alasan modifikasi bermacam-macam. "Salah satunya alasan politis," ujar Achmad. Achmad lagi-lagi mencontohkan daerah Sumatera Barat. "Pada jaman Orde Baru, kenagarian dihapus. Sekarang kenagarian dibangun lagi. Bahkan para datuk sekarang ditatar untuk diajari cara-cara upacara, dan ragam petatah petitih," katanya.

Tarian Mainang Pulau Kampai
Mainang Pulau Kampai adalah tarian pergaulan ala Melayu yang berasal dari Sumatera Utara. Tarian ini muncul tahun 1940-an untuk mengimbangi tari gogo, cha-cha. Karena ala Melayu, maka tari pergaulan ini sangatlah sopan. Penari prianya mengenakan peci, sementara penari wanitanya mengenakan kebaya dengan panjang di bawah mata kaki.

Tarian ini punya empat gerakan, yaitu gerak melenggang atau berjalan, memetik, gerak silat, serta gerak jongkok. Beragam gerakan inipun memiliki filosofinya sendiri. Misalnya, gerak jongkok bersama memiliki arti duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Kemudian gerak penari pria berkacak pinggang, sementara penari wanita memetik bermakna peran pria adalah melindungi wanita.

Tari ini memiliki tiga tempo, yaitu tempo senandung atau lambat, tempo sedang, dan terakhir tempo cepat. Tempo senandung atau melambai digunakan dalam gerakan seperti nyiur melambai, ataupun ombak memecah. Alat musik yang digunakan adalah gendang Melayu atau rebana, akordeon, dan biola. Tari ini memiliki beberapa pantangan, seperti bagi wanita pantang kaki mengangkang.

Tari Panglima Nayan
Tari ini berasal dari legenda lama. Alkisah dahulu kala, hiduplah dua saudara bernama Nayan dan Awang, dengan karakter yang berbeda. Nayan adalah seorang yang kasar, sementara Awang adalah seorang yang santun, ramah, serta penyabar.

Tari ini mengisahkan tentang kesombongan Nayan sehingga dikutuk menjadi buruk rupa oleh gurunya, dan hilangnya kutukan tersebut saat ia dibunuh oleh Raja Bugis. Dalam tarian ini, terdapat 10 orang penari dengan formasi lima pria dan wanita. Uniknya, tarian ini juga diselingi aneka pantun, adegan silat, drama, serta humor yang dilontarkan oleh narator.

Sumber : http://www.republika.co.id