Oleh: Suribidari
Pendahuluan
Tujuan makalah ini adalah mencoba untuk melihat hubungan yang terjadi antara para penenun Silungkang dan kelompok elit Melayu Negeri Sembilan. Berangkat dari krisis ekonomi regional pada tahun 1997, hubungan yang terjadi antara dua kelompok masyarakat tersebut berkembang baik sekali dengan terjadinya intensitas migrasi antara dua kawasan, Silungkang di Sumatra Barat dan Seremban di Negeri Sembilan.
Nagari Silungkang di Sumatra Barat, terletak sekitar 140 kilometer dari Padang, ibukota Provinsi Sumatra Barat, dan sangat dikenal sebagai kampung tenun. Secara ekologi, Nagari Silungkang merupakan sebuah kawasan yang dikelilingi oleh perbukitan yang berbatu dan kering, sehingga daerah persawahan tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar mereka. Disebabkan sempitnya lahan, hampir semua penduduk Silungkang bergantung pada sektor non-pertanian untuk mencukupi kehidupan mereka. Pada umumnya mereka bermatapencaharian sebagai pengrajin, penenun dan pedagang, tambahan pula dengan sifat merantau orang Silungkang, sebagaimana umumnya orang Minangkabau, sangat tinggi, salah satunya ditunjukkan dalam makalah ini dengan intensitas para penenun dan pengusaha songket ke Negeri Sembilan, Malaysia, pasca krisis ekonomi 1997.
Hubungan kedua kelompok masyarakat, Silungkang dan Negeri Sembilan terutama Seremban, dalam banyak hal telah memberikan dampak dan respon yang positif bagaimana mereka mengatasi krisis. Walaupun krisis tahun 1997 telah mengakibatkan semakin meningkatnya kemiskinan dan pengangguran, namun sebaliknya respon positif dari dua kelompok masyarakat ini membawa kepada ketahanan dan daya lenting dari sektor industri kecil dan menegah di Silungkang, terutama sektor pertenunan.
Krisis Ekonomi Regional 1997: Dampak dan Respon Penenun dan Pengusaha Songket Silungkang
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan di Silungkang pada tahun 2003 mengenai strategi bertahan industri tenun pada masa krisis 1997, beberapa penenun Silungkang, terutama penenun kain songket menyebutkan bahwa kampung mereka tidak benar-benar mengalami krisis seperti pada kawasan lainnya. Pernyataan mereka
Hasil kajian Akira Oki (1979, 1984) menunjukkan bahwa Silungkang bagaimanapun juga dapat bertahan selama krisis sebelum tahun ‘30-an dan sesudahnya. Para penenun Silungkang memberikan respon dengan positif dan bersikap lebih pro-aktif pada saat-saat situasi yang bersifat konstruktif di antara masa krisis tersebut. Di antaranya adalah kesadaran bahwa untuk bertahan mereka harus memperbaiki tingkat keterampilan mereka, maka para penenun mengajukan permohonan pada pemerintah untuk mendirikan sekolah keterampilan menenun (Oki, 1979: 153). Walaupun permohonan tersebut tidak dapat dikabulkan pemerintah, namun hal ini menunjukkan antusiasme yang kuat sekali dari para penenun untuk dapat bertahan. Pada akhirnya di tahun 1935, pemerintah memberikan dana pinjaman sebanyak f.1,500 bagi para penenun Silungkang untuk mendapatkan perangkat tenun ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dan perangkat pewarna dan pencelupan kain dan benang. Dana pinjaman yang sama juga dikabulkan untuk tahun berikutnya.
Lebih jauh Akira Oki (1977) memberikan gambaran mengenai respon masyarakat Minangkabau pada beberapa masa krisis sejak 1908 – 1945, dan analisanya bahwa penduduk Minangkabau telah bersiap-siap dalam berekspansi ekonomi jauh sebelum booming eksport pada tahun ‘20-an. Dalam konteks aktifitas non-pertanian, para petani lokal, seperti di Silungkang mampu menyikapi dan segera beralih dari pertanian subsistensi dengan sepenuhnya berkosentrasi pada industri pertenunan, dengan melakukan diversifikasi produk mereka, tidak hanya melakukan produksi songket dan sarung tetapi juga taplak meja, tirai, alas makan, dan sebagainya.
Setelah mengalami pasang surut kehidupan perekonomian penenun sejak krisis ‘30-an, pada dasarnya para penenun, terutama penenun sarung, telah mengalami penurunan kondisi ekonomi pada awal tahun 1990 hingga tahun 1993. Namun gerak mundur tersebut dimulai tahun 1985 ketika sarung Silungkang diproduksi secara masal di Majalaya, Jawa Barat oleh seorang pengusaha rantau yang berasal dari Silungkang. Dengan biaya yang jauh lebih murah dan adanya organisasi koperasi di Jawa Barat yang lebih baik, produski sarung dengan merk Silungkang itu dapat dijual jauh lebih murah dibandingkan dengan sarung yang sama yang diproduksi di Silungkang. Namun demikian, usaha ini kemudian mendapatkan sanksi sosial dari para orang Silungkang baik di kampung dan juga di rantau sehingga terhenti tidak lama kemudian.
Kondisi perekonomian yang muram tersebut juga menimpa kelompok pengusaha besar seperti pabrik sarung Taltex dan Gapersil. Para perantau Silungkang kemudian mencoba menolong dan mencari jalan keluarnya dengan mendirikan Bank Perkreditan Rakyat Gebu Minsi Utama. Bank ini merupakan bagian dari program Gebu Minang (Gerakan Seribu Minang). [8]
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa setelah krisis 1997, jumlah pengusaha dan penenun ATBM jauh berkurang, namun tidak demikian dengan tenun songket. Beberapa pengusaha yang menghentikan produksi tenun sarung ATBM mereka, sekarang lebih mengaktifkan kembali tenun songket mereka terutama songket penuh benang emas yang mereka sebut dengan songket balapak. Bachtiar, salah satu ex-pengusaha tenun sarung ATBM menjual semua alatnya lalu lebih mengaktifkan kembali usaha songket, di samping ia juga adalah salah satu dari beberapa keluarga di Silungkang yang mengerjakan ‘pengelolaan‘ proses pemintalan benang untuk ditenun. Walaupun penyelesaian satu helai kain songket silungkang balapak dapat memakan waktu satu - dua bulan, banyak penenun yang tetap mempertahankannya karena harga jual yang cukup tinggi dan dibuat berdasarkan pesanan-pesanan saja terutama dari Malaysia (Wawancara YA, 2 Agustus 2003; BMS, 14 Juli 2003). Sehelai kain bila dijual di Silungkang dapat bernilai Rp 600 – Rp 800 ribu, tetapi bila dijual di luar Silungkang bernilai lebih dari Rp 1 juta, dan di Malaysia dapat mencapai harga jual tiga hingga empat kali lipat.
Walaupun sudah sejak awal 1990 ada satu dua pengusaha yang mempunyai hubungan dagang yang erat dengan Malaysia dan Brunei, namun sejak krisis 1997, dengan dibantu oleh perkumpulan persatuan anak rantau Minang di Malaysia, lebih banyak lagi pengusaha tenun terutama tenun songket yang mempunyai kerjasama langsung dengan Negeri Sembilan, Malaysia. Salah satu bentuknya adalah “diundang”-nya sekelompok penenun songket maupun tenun sarung berikut seluruh perangkat tenun ke Muzium Diraja, Istana Lama Negeri Sembilan pada bulan Oktober 1998. Undangan yang ditujukan untuk melakukan peragaan menenun selama satu tahun, juga menjadi kesempatan bagi para penenun dan pengusaha Silungkang mempromosikan dan menjual hasil kerajinan mereka secara langsung pada level internasional (Wawancara YA, 2 Agustus 2003; Memoir, Djasril Abdullah, 2007).
Mengatasi Krisis
Sebuah serial tulisan yang terbit di Tabloid Suara Silungkang pada bulan Juli 2007, [9] memberikan gambaran mengenai hubungan para penenun dan pengusaha songket Silungkang dengan kelompok elit Melayu Negeri Sembilan, yang diwakili oleh para pengelola Muzium Diraja Negeri Sembilan. Pada akhir tahun 1998, seorang mantan kepala desa beserta keluarganya yang penenun dan beberapa orang penenun songket telah “diundang” oleh pengelola Muzium Diraja Negeri Sembilan, Istana Seri Menanti, untuk melakukan peragaan menenun songket. [10] Mereka membawa alat tenun tradisional mereka beserta seluruh perangkatnya. [11]
lahan yang diklasifikasikan sebagai harta pusaka (harato pusako). Selain itu ada kesamaan ekologis Program ini merupakan yang pertama kalinya dilaksanakan antara dua kawasan ini. Pertama kali bagi pemerintah Malasyia, dalam hal ini kerajaan Negeri-Negeri Sembilan, merekrut pekerja asing dengan biaya kerajaan negeri (pemerintah). Pertama kali bagi Lembaga Muzium Diraja Negeri Sembilan membentuk jabatan yang akan diduduki oleh seorang penenun Silungkang. Pertama kali pula dalam hak dan kewajibannya, dipersamakan dengan pegawai kerajaan negeri (pemerintah) lainnya, seperti gaji pokok, gaji masa lembur, biaya perumahan, kesehatan, maupun bonus lainnya. Sebagaimana statement dari Kurator Muzium Diraja, [12] bahwa perekrutan mantan kepala desa tersebut dan segala kemudahan yang diperolehnya merupakan salah satu usaha dari pemerintah kerajaan negeri Negeri Sembilan untuk “menarik pelancong-pelancong di Malaysia ini” datang ke Negeri Sembilan. [13]
Hubungan Sosial Kultural Silungkang dan Negeri Sembilan
Negeri Sembilan yang terletak di Semenanjung Malaysia bagian barat, merupakan daerah migrasi orang Minangkabau yang datang pertama kali ke sana pada permulaan abad ke-16 (lebih jauh lihat Josselin de Jong, 1951; lihat juga Peletz, 1988). Pada perkembangannya, perbedaan yang muncul dalam adat kebiasaan dengan kawasan asal di Minangkabau Sumatra Barat, sebagian besar adalah konsekwensi dari perbedaan pola dan cara pemerintah kolonial pada masing-masing kawasan, pada satu pihak adalah pemerintahan kolonial British, dan di pihak lain adalah pemerintah kolonial Belanda.
Ikatan sosio-kultural yang ada diantara dua kawasan, Negeri Sembilan dan Minangkabau, dapat dilihat pada nama persukuan yang ada di Negeri Sembilan, yang mencerminkan nama-nama kampung asal para pendatang Minangkabau di sana, di antaranya adalah Tanah Datar, Batu Hampar, Seri Lemak, Mungka, Payakumbuh, Seri Malanggang, Tigo Batu, Tigo Nenek, Batu Belang, dan Anak Aceh (Peletz, 1988: 25). Secara sosio-kultural, nama-nama suku di Negeri Sembilan, di antaranya adalah suku Tanah Datar, menggambarkan kedekatannya dengan Silungkang, di mana Nagari Silungkang merupakan rantau dari luhak Tanah Datar.
Di kedua kawasan ini, rumah tangga dibentuk atas dasar keluarga seketurunan garis ibu (Kahn, 1993: 41 – 67; Peletz, ibid.; Swift, 2001: 95 ff.). Ikatan sosio-kultural tercermin pada kesamaannya akan hak kepemilikan antara dua kawasan tersebut, dimana dengan adanya hubungan inter-kultural telah membentuk sistem dan teknik persawahan yang memiliki kesamaan (Kahn, 1993: 41 – 45). [14]
Kebijakan Pemerintah dan Peran Aktor Lokal dan Regional Pasca Krisis 1997
Usaha-usaha untuk memulihkan kondisi ekonomi yang merosot pasca krisis ekonomi 1997 dilakukan oleh berbagai aktor di berbagai institusi pemerintah baik langsung atau tidak dengan program kebijakan yang mendukung pertumbuhan industri kecil dan menengah, para pengusaha lokal, institusi lokal yang berbasis komunitas keluarga. Selain itu peranan otoritas tradisional di Silungkang beserta ikatannya dengan perantau masih kuat sebagai ikatan pemersatu kelompok pengusaha dan penenun, sebagaimana yang disebutkan oleh seorang penenun yang telah lima tahun bolak-balik secara rutin antara Silungkang dan Negeri Sembilan sejak tahun 1998: [15]
“di Malaysia kito kan punyo perkumpulan persatuan anak rantau Minang, ..di perkampungan budaya. Itu pun cukuik untuak kami bangkik..”
Selain itu, peran kerjasama antara Gubernur Sumatra Barat dan pemerintah lokal di Negeri Sembilan yang telah memberikan kemudahan ‘lalulintas‘ pergerakan para pengusaha dan penenun Silungkang beserta segala perangkat/peralatan tenun di antara dua kawasan itu, [16] telah memacu kembali gairah pertenunan sarung dan songket silungkang, bahkan hingga pada tingkat internasional.
Peranan institusi keuangan, seperti Gebu Minsi Utama tidak bisa diabaikan. Hingga tahun 1997 BPR Gebu Minsi telah menolong para pengusaha Silungkang dengan memberikan pinjaman dan memperoleh keuntungan sekitar Rp 113,14 juta. Setelah Krisis 1997, BPR Gebu Minsi Utama masih memberikan bantuan kepada para kelompok pengusaha menengah, [17] namun sejak tahun 1998 terpaksa juga membatasi pemberian kreditnya hanya kepada pengusaha yang kemampuannya dipercaya dapat mengembalikan pinjamannya, setelah tahun yang sama mencapai kerugian sebesar Rp 30,33 juta. Keadaaan memburuk terutama ketika para nasabah Gebu Minsi Utama yang banyak mempunyai hubungan dagang dengan Jakarta ikut mengalami musibah akibat kerusuhan dan kebakaran yang melanda pasar Ciledug, Jakarta pada bulan Mei 1998. Namun demikian, peran institusi keuangan ini beserta ikatan para perantau Minang-Silungkang baik di dalam negeri maupun luar negeri, terutama Malaysia tetap memberikan perhatiannya terutama kepada perkembangan industri tenun sarung dan songket.
Catatan Penutup
Bila melihat fluktuasi sejarah sosial-ekonominya, Silungkang ternyata memiliki catatan krisis yang bervariasi dalam sejarahnya. Meskipun berkali-kali mengalami krisis dan mengikuti pergantian rezim, ternyata Silungkang sebagai kampung tenun masih tetap bertahan hingga sekarang. Ini bila dibandingkan dengan nagari tenun lain, seperti Kubang di luhak Limapuluh koto, yang ‘mati suri‘.
Kelompok penenun Silungkang dalam menyikapi berbagai krisis yang dialaminya tidak dapat terlepas dari kebijakan pemerintah dan peran aktor lokal maupun regional. Pada masa pemerintah kolonial, antuasiasme penenun Silungkang membuahkan hasil dengan diberikannya pinjaman yang cukup besar pada tahun 1935 untuk mempertahankan dan memperbaiki tingkat ketrampilan mereka, sehingga mereka masih dapat bertahan. Begitu juga peran institusi lokal seperti Koperasi Sarekat Silungkang pada awal abad ke-20, dan Kantoor Oeroesan Tenoenan Siloengkang pada tahun 1938, maupun Kopinskra Silungkang dan BPR Gebu Minsi Utama pada masa kini.
Pada tahun 1910 para istri pejabat pemerintah kolonial Belanda telah membawa para penenun songket dan hasil songket mereka berpameran di Belgia, dan memperoleh medali dari ratu Belgia. Usaha-usaha yang demikian merupakan salah satu cara promosi tenun songket silungkang hingga ke tingkat internasional. Cara yang serupa juga dialami oleh para penenun dalam menyikapi krisis ekonomi regional pada tahun 1997. Ikatan sosio-kultural yang cukup erat antara masyarakat Minang rantau di Malaysia, terutama di Negeri Sembilan, telah membawa sekelompok pengusaha dan penenun sarung dan songket Silungkang ke Muzium Diraja Negeri Sembilan. Cara demikian merupakan sakah satu cara yang cukup efektif bagi mereka dalam menyikapi dan mengatasi krisis yang dihadapi.
Daftar Pustaka
Erwiza dan Moh. Sobary. 1993. Etos Kerja dan Wirausaha Orang Minangkabau: Studi Kasus di Silungkang. Jakarta: PMB-LIPI.
Kahn, Joel S. 1980. Minangkabau Social Formations: Indonesian peasants and the world-economy. Cambridge: Cambridge University Press.
Kahn, Joel S. 1993. Constituting the Minangkabau: Peasants, Culture, and Modernity in Colonial Indonesia. Berg: Providence/Oxford.
Mimbar Minang, “Gagal di Rantau, Sukses di Kampung”, 9/Juli/2002.
Mohamad, Maznah. 1996. The Malay Handloom Weavers: A Study of the Rise and Decline of Traditional Manufacture. Singapore: ISEAS.
Oki, Akira. 1979. “A Note on the History of the Textile Industry in West Sumatra”, in Between People and Statistics, Essays on Modern Indonesian History, edited by Francien van Anrooij et.al. The Hague: Martinus Nijhoff.
-------. 1984. “The Dynamics of Subsistence Economy in West Sumatra”, in History and Peasant Consciousness in Southeast Asia, edited by Andrew Turton and Shigeharu Tanabe. Osaka: Series Ethnological Studies, 13.
Peletz, Michael Getz. 1988. A Share of the Harvest: Kinship, Property and Social History Among the Malays of Rembau. Berkeley: University of California Press.
Suribidari, 2006, “Silungkang Weavers of Minangkabau: The off-farm activities of the peasant household during the crises, 1930-1990”, Jurnal Masyarakat Indonesia, vol. XXXII, No.1. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Swift, M G. 2001. Social Anthropology of the Malays: Collected Essays of MG Swift. Bangi: UKM.
Thee, Kian Wie. 2003. “The Economic Crises in Indonesia in the mid-1960s and late 1990s: A Comparison”. Paper presented at the Workshop on the Comparative Social History of Economic Crises in Indonesia, 1929-2003, held at the Royal Institute of Linguistics and Ethnology (KITLV), Leiden, 17-18 December 2003.
__________
Suribidari
Makalah ini disampaikan dalam seminar internasional Indonesia-Malaysia Update 2008, atas kerjasama antara Universitas Gadjah Mada (UGM) Indonesia, dengan Universiti Malaya (UM) Malaysia, yang diselenggarakan pada tanggal 27-29 Mei 2008 di UGM Yogyakarta.
________________________________________
[1] Suribidari adalah peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Puslit Sumber Daya Regional (Research Centre for Regional Resources, Indonesian Institute of Sciences/PSDR – LIPI), Jakarta.
[2] Wawancara dengan pasangan pengusaha muda tenun songket R dan A, Silungkang, 14 Juli 2003.
[3] Thee, Kian Wie. 2003. “The Economic Crises in Indonesia in the mid-1960s and late 1990s: A Comparison”. Paper presented at the Workshop on the Comparative Social History of Economic Crises in Indonesia, 1929-2003, held at the Royal Institute of Linguistics and Ethnology (KITLV), Leiden, 17-18 December 2003.
[4] Orang Minangkabau hidup di dalam apa yang disebut dengan “Alam Minangkabau”, yang terdiri dari dua kawasan; luhak atau darek (hinterland), dan rantau (outer areas). Luhak meliputi luhak nan tigo (tiga luhak), yang dianggap sebagai jantung kawasan Minangkabau, yaitu Agam, Tanah Datar and Limapuluh Koto. Rantau, sebaliknya, merujuk pada kawasan di luar kawasan pedalaman/luhak, yang lebih sebagai kawasan satelit, atau perkembangan dari luhak (Kato, 1982).
[5] Hari pekan adalah hari pasar. Pada umumnya setiap kampung/nagari di Minangkabau memiliki hari pekan yang berbeda.
[6] Wawancara dengan bapak Kepala Desa Datuk Ismed, Silungkang Februari 2004.
[7] Sayang sekali, penulis sulit untuk mendapatkan informasi dan data terakhir mengenai remittance ini.
[8] Gebu Minang berarti Gerakan Seribu Minang, diluncurkan pada awal tahun 1990 oleh para perantau Minang sebagai usaha mereka untuk menolong usaha skala kecil dan menengah di kampung mereka.
[9] Catatan hidup/memori dari Saudara Djasril Abdullah, yang diterbitkan serial 1 - 8 di Tabloid Suara Silungkang sejak Juli 2007. Juga bisa diakses pada silungkang online.
[10] Ibid., Silungkang Online, 28 September 2007, Bagian I.
[11] Di antara alat-alat tenun dibawa tersebut, selain 2 buah palantai/mesin ATBM dan juga dua buah palantai gadokan; juga sebagian alat-alat kecil seperti locuik-locuik, tughak, sikoci, sikek, buluah tughiang, balobe, juaran panjang, juaran singkek, lidi onau, kakolong, tali putiah.
[12] Kurator atau Kepala Muzium yang asli orang Negeri Sembilan menyelesaikan pendidikannya hingga memperoleh gelar Sarjana di Indonesia.
[13] Ibid., Bagian kedua, 1 Oktober 2007.
[14] Rasa ikatan sosio-kultural ini diucapkan oleh salah seorang pegawai Muzium Diraja Negeri Sembilan, “Alam disini (di Silungkang – pen.) sama sangat dengan alam di Negeri Sembilan, berbukit bakau, sungai yang berbatu, orang punya cakap (berbahasa –pen.) pun hampir sama, mereke berbahasa nagori”, pernyataan Encik Mohammad Darus, salah seorang pegawai Muzium Diraja Negeri Sembilan ketika tiba di Silungkang bersama Tan Sri Samad Idris, mantan Wakil Rakyat Peringkat Negeri (setingkat DPRD Provinsi), mantan Wakil Rakyat Parlimen (setingkat DPRD Pusat), mantan Mentri Besar Negeri Sembilan (setingkat Gubernur), mantan Menteri Kebudayaan, Belia dan Sukan Malaysia (Menteri Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga.
[15] Wawancara YA, Silungkang 2 Agustus 2003.
[16] “... bahkan bendi itu kito bao ka situ, jo kudo-kudonyo jo kusirnyo dari siko, macam mano di Minang, macam tu lah kami buek di situ, saluang ado, talempong ado, kerajinan tangannyo ado...”, Wawancara YA, Silungkang 2 Agustus 2003.
[17] Keuntungan BPR Minsi Utama tahun 1997 sebesar Rp 143,48 juta, yang secara kumulatif masih berlaba Rp 113,14 juta. (Indra Nara Persada, Minang Pos, Institut Studi Arus Informasi, 6 April 1999).
Pendahuluan
Tujuan makalah ini adalah mencoba untuk melihat hubungan yang terjadi antara para penenun Silungkang dan kelompok elit Melayu Negeri Sembilan. Berangkat dari krisis ekonomi regional pada tahun 1997, hubungan yang terjadi antara dua kelompok masyarakat tersebut berkembang baik sekali dengan terjadinya intensitas migrasi antara dua kawasan, Silungkang di Sumatra Barat dan Seremban di Negeri Sembilan.
Nagari Silungkang di Sumatra Barat, terletak sekitar 140 kilometer dari Padang, ibukota Provinsi Sumatra Barat, dan sangat dikenal sebagai kampung tenun. Secara ekologi, Nagari Silungkang merupakan sebuah kawasan yang dikelilingi oleh perbukitan yang berbatu dan kering, sehingga daerah persawahan tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar mereka. Disebabkan sempitnya lahan, hampir semua penduduk Silungkang bergantung pada sektor non-pertanian untuk mencukupi kehidupan mereka. Pada umumnya mereka bermatapencaharian sebagai pengrajin, penenun dan pedagang, tambahan pula dengan sifat merantau orang Silungkang, sebagaimana umumnya orang Minangkabau, sangat tinggi, salah satunya ditunjukkan dalam makalah ini dengan intensitas para penenun dan pengusaha songket ke Negeri Sembilan, Malaysia, pasca krisis ekonomi 1997.
Hubungan kedua kelompok masyarakat, Silungkang dan Negeri Sembilan terutama Seremban, dalam banyak hal telah memberikan dampak dan respon yang positif bagaimana mereka mengatasi krisis. Walaupun krisis tahun 1997 telah mengakibatkan semakin meningkatnya kemiskinan dan pengangguran, namun sebaliknya respon positif dari dua kelompok masyarakat ini membawa kepada ketahanan dan daya lenting dari sektor industri kecil dan menegah di Silungkang, terutama sektor pertenunan.
Krisis Ekonomi Regional 1997: Dampak dan Respon Penenun dan Pengusaha Songket Silungkang
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan di Silungkang pada tahun 2003 mengenai strategi bertahan industri tenun pada masa krisis 1997, beberapa penenun Silungkang, terutama penenun kain songket menyebutkan bahwa kampung mereka tidak benar-benar mengalami krisis seperti pada kawasan lainnya. Pernyataan mereka
Hasil kajian Akira Oki (1979, 1984) menunjukkan bahwa Silungkang bagaimanapun juga dapat bertahan selama krisis sebelum tahun ‘30-an dan sesudahnya. Para penenun Silungkang memberikan respon dengan positif dan bersikap lebih pro-aktif pada saat-saat situasi yang bersifat konstruktif di antara masa krisis tersebut. Di antaranya adalah kesadaran bahwa untuk bertahan mereka harus memperbaiki tingkat keterampilan mereka, maka para penenun mengajukan permohonan pada pemerintah untuk mendirikan sekolah keterampilan menenun (Oki, 1979: 153). Walaupun permohonan tersebut tidak dapat dikabulkan pemerintah, namun hal ini menunjukkan antusiasme yang kuat sekali dari para penenun untuk dapat bertahan. Pada akhirnya di tahun 1935, pemerintah memberikan dana pinjaman sebanyak f.1,500 bagi para penenun Silungkang untuk mendapatkan perangkat tenun ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dan perangkat pewarna dan pencelupan kain dan benang. Dana pinjaman yang sama juga dikabulkan untuk tahun berikutnya.
Lebih jauh Akira Oki (1977) memberikan gambaran mengenai respon masyarakat Minangkabau pada beberapa masa krisis sejak 1908 – 1945, dan analisanya bahwa penduduk Minangkabau telah bersiap-siap dalam berekspansi ekonomi jauh sebelum booming eksport pada tahun ‘20-an. Dalam konteks aktifitas non-pertanian, para petani lokal, seperti di Silungkang mampu menyikapi dan segera beralih dari pertanian subsistensi dengan sepenuhnya berkosentrasi pada industri pertenunan, dengan melakukan diversifikasi produk mereka, tidak hanya melakukan produksi songket dan sarung tetapi juga taplak meja, tirai, alas makan, dan sebagainya.
Setelah mengalami pasang surut kehidupan perekonomian penenun sejak krisis ‘30-an, pada dasarnya para penenun, terutama penenun sarung, telah mengalami penurunan kondisi ekonomi pada awal tahun 1990 hingga tahun 1993. Namun gerak mundur tersebut dimulai tahun 1985 ketika sarung Silungkang diproduksi secara masal di Majalaya, Jawa Barat oleh seorang pengusaha rantau yang berasal dari Silungkang. Dengan biaya yang jauh lebih murah dan adanya organisasi koperasi di Jawa Barat yang lebih baik, produski sarung dengan merk Silungkang itu dapat dijual jauh lebih murah dibandingkan dengan sarung yang sama yang diproduksi di Silungkang. Namun demikian, usaha ini kemudian mendapatkan sanksi sosial dari para orang Silungkang baik di kampung dan juga di rantau sehingga terhenti tidak lama kemudian.
Kondisi perekonomian yang muram tersebut juga menimpa kelompok pengusaha besar seperti pabrik sarung Taltex dan Gapersil. Para perantau Silungkang kemudian mencoba menolong dan mencari jalan keluarnya dengan mendirikan Bank Perkreditan Rakyat Gebu Minsi Utama. Bank ini merupakan bagian dari program Gebu Minang (Gerakan Seribu Minang). [8]
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa setelah krisis 1997, jumlah pengusaha dan penenun ATBM jauh berkurang, namun tidak demikian dengan tenun songket. Beberapa pengusaha yang menghentikan produksi tenun sarung ATBM mereka, sekarang lebih mengaktifkan kembali tenun songket mereka terutama songket penuh benang emas yang mereka sebut dengan songket balapak. Bachtiar, salah satu ex-pengusaha tenun sarung ATBM menjual semua alatnya lalu lebih mengaktifkan kembali usaha songket, di samping ia juga adalah salah satu dari beberapa keluarga di Silungkang yang mengerjakan ‘pengelolaan‘ proses pemintalan benang untuk ditenun. Walaupun penyelesaian satu helai kain songket silungkang balapak dapat memakan waktu satu - dua bulan, banyak penenun yang tetap mempertahankannya karena harga jual yang cukup tinggi dan dibuat berdasarkan pesanan-pesanan saja terutama dari Malaysia (Wawancara YA, 2 Agustus 2003; BMS, 14 Juli 2003). Sehelai kain bila dijual di Silungkang dapat bernilai Rp 600 – Rp 800 ribu, tetapi bila dijual di luar Silungkang bernilai lebih dari Rp 1 juta, dan di Malaysia dapat mencapai harga jual tiga hingga empat kali lipat.
Walaupun sudah sejak awal 1990 ada satu dua pengusaha yang mempunyai hubungan dagang yang erat dengan Malaysia dan Brunei, namun sejak krisis 1997, dengan dibantu oleh perkumpulan persatuan anak rantau Minang di Malaysia, lebih banyak lagi pengusaha tenun terutama tenun songket yang mempunyai kerjasama langsung dengan Negeri Sembilan, Malaysia. Salah satu bentuknya adalah “diundang”-nya sekelompok penenun songket maupun tenun sarung berikut seluruh perangkat tenun ke Muzium Diraja, Istana Lama Negeri Sembilan pada bulan Oktober 1998. Undangan yang ditujukan untuk melakukan peragaan menenun selama satu tahun, juga menjadi kesempatan bagi para penenun dan pengusaha Silungkang mempromosikan dan menjual hasil kerajinan mereka secara langsung pada level internasional (Wawancara YA, 2 Agustus 2003; Memoir, Djasril Abdullah, 2007).
Mengatasi Krisis
Sebuah serial tulisan yang terbit di Tabloid Suara Silungkang pada bulan Juli 2007, [9] memberikan gambaran mengenai hubungan para penenun dan pengusaha songket Silungkang dengan kelompok elit Melayu Negeri Sembilan, yang diwakili oleh para pengelola Muzium Diraja Negeri Sembilan. Pada akhir tahun 1998, seorang mantan kepala desa beserta keluarganya yang penenun dan beberapa orang penenun songket telah “diundang” oleh pengelola Muzium Diraja Negeri Sembilan, Istana Seri Menanti, untuk melakukan peragaan menenun songket. [10] Mereka membawa alat tenun tradisional mereka beserta seluruh perangkatnya. [11]
lahan yang diklasifikasikan sebagai harta pusaka (harato pusako). Selain itu ada kesamaan ekologis Program ini merupakan yang pertama kalinya dilaksanakan antara dua kawasan ini. Pertama kali bagi pemerintah Malasyia, dalam hal ini kerajaan Negeri-Negeri Sembilan, merekrut pekerja asing dengan biaya kerajaan negeri (pemerintah). Pertama kali bagi Lembaga Muzium Diraja Negeri Sembilan membentuk jabatan yang akan diduduki oleh seorang penenun Silungkang. Pertama kali pula dalam hak dan kewajibannya, dipersamakan dengan pegawai kerajaan negeri (pemerintah) lainnya, seperti gaji pokok, gaji masa lembur, biaya perumahan, kesehatan, maupun bonus lainnya. Sebagaimana statement dari Kurator Muzium Diraja, [12] bahwa perekrutan mantan kepala desa tersebut dan segala kemudahan yang diperolehnya merupakan salah satu usaha dari pemerintah kerajaan negeri Negeri Sembilan untuk “menarik pelancong-pelancong di Malaysia ini” datang ke Negeri Sembilan. [13]
Hubungan Sosial Kultural Silungkang dan Negeri Sembilan
Negeri Sembilan yang terletak di Semenanjung Malaysia bagian barat, merupakan daerah migrasi orang Minangkabau yang datang pertama kali ke sana pada permulaan abad ke-16 (lebih jauh lihat Josselin de Jong, 1951; lihat juga Peletz, 1988). Pada perkembangannya, perbedaan yang muncul dalam adat kebiasaan dengan kawasan asal di Minangkabau Sumatra Barat, sebagian besar adalah konsekwensi dari perbedaan pola dan cara pemerintah kolonial pada masing-masing kawasan, pada satu pihak adalah pemerintahan kolonial British, dan di pihak lain adalah pemerintah kolonial Belanda.
Ikatan sosio-kultural yang ada diantara dua kawasan, Negeri Sembilan dan Minangkabau, dapat dilihat pada nama persukuan yang ada di Negeri Sembilan, yang mencerminkan nama-nama kampung asal para pendatang Minangkabau di sana, di antaranya adalah Tanah Datar, Batu Hampar, Seri Lemak, Mungka, Payakumbuh, Seri Malanggang, Tigo Batu, Tigo Nenek, Batu Belang, dan Anak Aceh (Peletz, 1988: 25). Secara sosio-kultural, nama-nama suku di Negeri Sembilan, di antaranya adalah suku Tanah Datar, menggambarkan kedekatannya dengan Silungkang, di mana Nagari Silungkang merupakan rantau dari luhak Tanah Datar.
Di kedua kawasan ini, rumah tangga dibentuk atas dasar keluarga seketurunan garis ibu (Kahn, 1993: 41 – 67; Peletz, ibid.; Swift, 2001: 95 ff.). Ikatan sosio-kultural tercermin pada kesamaannya akan hak kepemilikan antara dua kawasan tersebut, dimana dengan adanya hubungan inter-kultural telah membentuk sistem dan teknik persawahan yang memiliki kesamaan (Kahn, 1993: 41 – 45). [14]
Kebijakan Pemerintah dan Peran Aktor Lokal dan Regional Pasca Krisis 1997
Usaha-usaha untuk memulihkan kondisi ekonomi yang merosot pasca krisis ekonomi 1997 dilakukan oleh berbagai aktor di berbagai institusi pemerintah baik langsung atau tidak dengan program kebijakan yang mendukung pertumbuhan industri kecil dan menengah, para pengusaha lokal, institusi lokal yang berbasis komunitas keluarga. Selain itu peranan otoritas tradisional di Silungkang beserta ikatannya dengan perantau masih kuat sebagai ikatan pemersatu kelompok pengusaha dan penenun, sebagaimana yang disebutkan oleh seorang penenun yang telah lima tahun bolak-balik secara rutin antara Silungkang dan Negeri Sembilan sejak tahun 1998: [15]
“di Malaysia kito kan punyo perkumpulan persatuan anak rantau Minang, ..di perkampungan budaya. Itu pun cukuik untuak kami bangkik..”
Selain itu, peran kerjasama antara Gubernur Sumatra Barat dan pemerintah lokal di Negeri Sembilan yang telah memberikan kemudahan ‘lalulintas‘ pergerakan para pengusaha dan penenun Silungkang beserta segala perangkat/peralatan tenun di antara dua kawasan itu, [16] telah memacu kembali gairah pertenunan sarung dan songket silungkang, bahkan hingga pada tingkat internasional.
Peranan institusi keuangan, seperti Gebu Minsi Utama tidak bisa diabaikan. Hingga tahun 1997 BPR Gebu Minsi telah menolong para pengusaha Silungkang dengan memberikan pinjaman dan memperoleh keuntungan sekitar Rp 113,14 juta. Setelah Krisis 1997, BPR Gebu Minsi Utama masih memberikan bantuan kepada para kelompok pengusaha menengah, [17] namun sejak tahun 1998 terpaksa juga membatasi pemberian kreditnya hanya kepada pengusaha yang kemampuannya dipercaya dapat mengembalikan pinjamannya, setelah tahun yang sama mencapai kerugian sebesar Rp 30,33 juta. Keadaaan memburuk terutama ketika para nasabah Gebu Minsi Utama yang banyak mempunyai hubungan dagang dengan Jakarta ikut mengalami musibah akibat kerusuhan dan kebakaran yang melanda pasar Ciledug, Jakarta pada bulan Mei 1998. Namun demikian, peran institusi keuangan ini beserta ikatan para perantau Minang-Silungkang baik di dalam negeri maupun luar negeri, terutama Malaysia tetap memberikan perhatiannya terutama kepada perkembangan industri tenun sarung dan songket.
Catatan Penutup
Bila melihat fluktuasi sejarah sosial-ekonominya, Silungkang ternyata memiliki catatan krisis yang bervariasi dalam sejarahnya. Meskipun berkali-kali mengalami krisis dan mengikuti pergantian rezim, ternyata Silungkang sebagai kampung tenun masih tetap bertahan hingga sekarang. Ini bila dibandingkan dengan nagari tenun lain, seperti Kubang di luhak Limapuluh koto, yang ‘mati suri‘.
Kelompok penenun Silungkang dalam menyikapi berbagai krisis yang dialaminya tidak dapat terlepas dari kebijakan pemerintah dan peran aktor lokal maupun regional. Pada masa pemerintah kolonial, antuasiasme penenun Silungkang membuahkan hasil dengan diberikannya pinjaman yang cukup besar pada tahun 1935 untuk mempertahankan dan memperbaiki tingkat ketrampilan mereka, sehingga mereka masih dapat bertahan. Begitu juga peran institusi lokal seperti Koperasi Sarekat Silungkang pada awal abad ke-20, dan Kantoor Oeroesan Tenoenan Siloengkang pada tahun 1938, maupun Kopinskra Silungkang dan BPR Gebu Minsi Utama pada masa kini.
Pada tahun 1910 para istri pejabat pemerintah kolonial Belanda telah membawa para penenun songket dan hasil songket mereka berpameran di Belgia, dan memperoleh medali dari ratu Belgia. Usaha-usaha yang demikian merupakan salah satu cara promosi tenun songket silungkang hingga ke tingkat internasional. Cara yang serupa juga dialami oleh para penenun dalam menyikapi krisis ekonomi regional pada tahun 1997. Ikatan sosio-kultural yang cukup erat antara masyarakat Minang rantau di Malaysia, terutama di Negeri Sembilan, telah membawa sekelompok pengusaha dan penenun sarung dan songket Silungkang ke Muzium Diraja Negeri Sembilan. Cara demikian merupakan sakah satu cara yang cukup efektif bagi mereka dalam menyikapi dan mengatasi krisis yang dihadapi.
Daftar Pustaka
Erwiza dan Moh. Sobary. 1993. Etos Kerja dan Wirausaha Orang Minangkabau: Studi Kasus di Silungkang. Jakarta: PMB-LIPI.
Kahn, Joel S. 1980. Minangkabau Social Formations: Indonesian peasants and the world-economy. Cambridge: Cambridge University Press.
Kahn, Joel S. 1993. Constituting the Minangkabau: Peasants, Culture, and Modernity in Colonial Indonesia. Berg: Providence/Oxford.
Mimbar Minang, “Gagal di Rantau, Sukses di Kampung”, 9/Juli/2002.
Mohamad, Maznah. 1996. The Malay Handloom Weavers: A Study of the Rise and Decline of Traditional Manufacture. Singapore: ISEAS.
Oki, Akira. 1979. “A Note on the History of the Textile Industry in West Sumatra”, in Between People and Statistics, Essays on Modern Indonesian History, edited by Francien van Anrooij et.al. The Hague: Martinus Nijhoff.
-------. 1984. “The Dynamics of Subsistence Economy in West Sumatra”, in History and Peasant Consciousness in Southeast Asia, edited by Andrew Turton and Shigeharu Tanabe. Osaka: Series Ethnological Studies, 13.
Peletz, Michael Getz. 1988. A Share of the Harvest: Kinship, Property and Social History Among the Malays of Rembau. Berkeley: University of California Press.
Suribidari, 2006, “Silungkang Weavers of Minangkabau: The off-farm activities of the peasant household during the crises, 1930-1990”, Jurnal Masyarakat Indonesia, vol. XXXII, No.1. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Swift, M G. 2001. Social Anthropology of the Malays: Collected Essays of MG Swift. Bangi: UKM.
Thee, Kian Wie. 2003. “The Economic Crises in Indonesia in the mid-1960s and late 1990s: A Comparison”. Paper presented at the Workshop on the Comparative Social History of Economic Crises in Indonesia, 1929-2003, held at the Royal Institute of Linguistics and Ethnology (KITLV), Leiden, 17-18 December 2003.
__________
Suribidari
Makalah ini disampaikan dalam seminar internasional Indonesia-Malaysia Update 2008, atas kerjasama antara Universitas Gadjah Mada (UGM) Indonesia, dengan Universiti Malaya (UM) Malaysia, yang diselenggarakan pada tanggal 27-29 Mei 2008 di UGM Yogyakarta.
________________________________________
[1] Suribidari adalah peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Puslit Sumber Daya Regional (Research Centre for Regional Resources, Indonesian Institute of Sciences/PSDR – LIPI), Jakarta.
[2] Wawancara dengan pasangan pengusaha muda tenun songket R dan A, Silungkang, 14 Juli 2003.
[3] Thee, Kian Wie. 2003. “The Economic Crises in Indonesia in the mid-1960s and late 1990s: A Comparison”. Paper presented at the Workshop on the Comparative Social History of Economic Crises in Indonesia, 1929-2003, held at the Royal Institute of Linguistics and Ethnology (KITLV), Leiden, 17-18 December 2003.
[4] Orang Minangkabau hidup di dalam apa yang disebut dengan “Alam Minangkabau”, yang terdiri dari dua kawasan; luhak atau darek (hinterland), dan rantau (outer areas). Luhak meliputi luhak nan tigo (tiga luhak), yang dianggap sebagai jantung kawasan Minangkabau, yaitu Agam, Tanah Datar and Limapuluh Koto. Rantau, sebaliknya, merujuk pada kawasan di luar kawasan pedalaman/luhak, yang lebih sebagai kawasan satelit, atau perkembangan dari luhak (Kato, 1982).
[5] Hari pekan adalah hari pasar. Pada umumnya setiap kampung/nagari di Minangkabau memiliki hari pekan yang berbeda.
[6] Wawancara dengan bapak Kepala Desa Datuk Ismed, Silungkang Februari 2004.
[7] Sayang sekali, penulis sulit untuk mendapatkan informasi dan data terakhir mengenai remittance ini.
[8] Gebu Minang berarti Gerakan Seribu Minang, diluncurkan pada awal tahun 1990 oleh para perantau Minang sebagai usaha mereka untuk menolong usaha skala kecil dan menengah di kampung mereka.
[9] Catatan hidup/memori dari Saudara Djasril Abdullah, yang diterbitkan serial 1 - 8 di Tabloid Suara Silungkang sejak Juli 2007. Juga bisa diakses pada silungkang online.
[10] Ibid., Silungkang Online, 28 September 2007, Bagian I.
[11] Di antara alat-alat tenun dibawa tersebut, selain 2 buah palantai/mesin ATBM dan juga dua buah palantai gadokan; juga sebagian alat-alat kecil seperti locuik-locuik, tughak, sikoci, sikek, buluah tughiang, balobe, juaran panjang, juaran singkek, lidi onau, kakolong, tali putiah.
[12] Kurator atau Kepala Muzium yang asli orang Negeri Sembilan menyelesaikan pendidikannya hingga memperoleh gelar Sarjana di Indonesia.
[13] Ibid., Bagian kedua, 1 Oktober 2007.
[14] Rasa ikatan sosio-kultural ini diucapkan oleh salah seorang pegawai Muzium Diraja Negeri Sembilan, “Alam disini (di Silungkang – pen.) sama sangat dengan alam di Negeri Sembilan, berbukit bakau, sungai yang berbatu, orang punya cakap (berbahasa –pen.) pun hampir sama, mereke berbahasa nagori”, pernyataan Encik Mohammad Darus, salah seorang pegawai Muzium Diraja Negeri Sembilan ketika tiba di Silungkang bersama Tan Sri Samad Idris, mantan Wakil Rakyat Peringkat Negeri (setingkat DPRD Provinsi), mantan Wakil Rakyat Parlimen (setingkat DPRD Pusat), mantan Mentri Besar Negeri Sembilan (setingkat Gubernur), mantan Menteri Kebudayaan, Belia dan Sukan Malaysia (Menteri Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga.
[15] Wawancara YA, Silungkang 2 Agustus 2003.
[16] “... bahkan bendi itu kito bao ka situ, jo kudo-kudonyo jo kusirnyo dari siko, macam mano di Minang, macam tu lah kami buek di situ, saluang ado, talempong ado, kerajinan tangannyo ado...”, Wawancara YA, Silungkang 2 Agustus 2003.
[17] Keuntungan BPR Minsi Utama tahun 1997 sebesar Rp 143,48 juta, yang secara kumulatif masih berlaba Rp 113,14 juta. (Indra Nara Persada, Minang Pos, Institut Studi Arus Informasi, 6 April 1999).