Kajian Filologis dan Analisis Semiotik
Oleh: Sangidu
1. Pengantar
Hamzah Fansuri merupakan ulama dan ahli sufi pertama yang dipandang telah menghasilkan karya tulis ketasawufan dalam bahasa Melayu tinggi atau baku yang pada gilirannya kelak dipilih menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia. Kecemerlangan gaya penulisan Hamzah sulit ditandingi oleh ulama sezaman dan sesudahnya. Ia dipandang sebagai pemula yang merintis tradisi keilmuan di bidang sastra mistik Melayu, khususnya, dan bahkan di bidang sastra Melayu, pada umumnya (Al-Attas, 1970:178). Ia juga merupakan pemula puisi Islam Nusantara, perintis tradisi keilmuan dan filsafat, serta pembaharu spiritual pada zamannya. Dalam puisi-puisinya, ia menampakkan semangat egaliterisme, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama derajatnya sebagai pancaran semangat tauhid. Ia juga sebagai potret ahli sufi yang independen dan intelektual yang berani, pendakwah yang gigih, dan karismatik (Hadi W.M., 1995:48-49). Karya-karyanya tidak terhitung jumlahnya, baik yang berbentuk prosa maupun puisi. Sebagian besar karya-karyanya sudah lenyap dimakan zaman dan kutu buku ataupun peristiwa pembakaran terhadap karya-karyanya. Sebagian besar lainnya masih tersimpan di museum-museum ataupun di perpustakan-perpustakaan pribadi, di antaranya berjudul Syarabu l-‘Âsyiqin, Al-Muntah î, dan Rubâ‘î Hamzah Fansuri.
Naskah Rubâ‘î Hamzah Fansuri merupakan naskah yang selalu dicari keberadaannya oleh para peneliti asing. Naskah ini merupakan barang langka yang telah diselamatkan oleh para murid Hamzah Fansuri pada waktu terjadi pembakaran karya-karya Hamzah dan Syamsuddin oleh Nuruddin. Yang dimaksud rubâ‘î atau al-murabba‘ adalah bentuk syair yang terdiri atas empat baris (Wahbi, 1984:351). Syair berasal dari kata Arab sya‘ara-yasy‘uru -syi‘ran wa huwa syâ‘irun yang berarti “menembang, bersyair, berpantun” (Yunus, 1972:198). Syair atau syi‘r dalam bahasa Arab sama dengan puisi atau sajak dalam bahasa Indonesia. Syair, pada umumnya, berisi empat baris, tiap bait. Keempat-empatnya itu berisi buah pikiran seperti yang terdapat di dalam puisi barat. Kadang-kadang keempat baris itu tidak sama sajaknya, dan hal yang demikian termasuk perkecualian. Menurut keterangan Wilkinson (dalam Usman, 1963:184-185), syair Melayu lahir pada abad ke-17. Akan tetapi, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa sebelum abad ke - 17 sudah ada syair Melayu karena syair yang ada di batu nisan raja Pasai bertanggal 781 H. atau 1380 M. Hal ini merupakan bukti konkret adanya syair sebelum abad ke-17. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa sebelum Malaka jatuh, syair sudah dikenal oleh orang Melayu. Syair, yang dapat dipastikan asal usul dan tahunnya, adalah syair karangan Hamzah Fansuri yang hidup pada zaman Sultan Iskandar Muda (tahun1606-1636 M).
Naskah Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” ini menarik untuk diteliti, baik dari aspek pernaskahan, penyuntingan maupun dari aspek makna teksnya karena di dalam syair ini bercerita tentang keadaan Dzât Allah. Menurut Hamzah, Allah itu terlalu nyata daripada semua hal yang nyata. Untuk memahami pendapat dan keyakinan Hamzah ini, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap karyanya yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata”
2. Masalah
Berdasarkan uraian di dalam pengantar di atas, dapat dikemukakan masalah yang akan dijawab di dalam penelitian ini adalah pernaskahan “Sidang Fakir Empunya Kata”, penyuntingan, dan makna teksnya.
3. Landasan Teori dan Metode
Oleh karena di dalam penelitian ini membahas kajian filologis dan analisis semiotik, maka sudah barang tentu teori dan metode yang dimanfaatkannya pun juga bersifat filologis dan semiotis. Untuk itu, di bawah ini dikemukakan dasar- dasar kedua teori dan metode tersebut.
3.1 Teori dan Metode Filologi
Dalam keadaannya sebagai ciptaan sastra lama, Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” berkaitan erat dengan masalah pernaskahan dan penyuntingan. Karena itu, pemahaman dan pengungkapan makna teksnya terlebih dahulu perlu dilakukan dengan memanfaatkan teori filologi. Filologi merupakan suatu ilmu yang objek penelitiannya naskah-naskah lama dan dipandang sebagai pintu gerbang yang dapat menyingkap khazanah masa lampau (Djamaris, 1977:20). Kegiatan filologi yang menitikberatkan penelitiannya kepada bacaan yang berbeda (varian), dan bahkan bacaan yang rusak (korup) serta dipandangnya sebagai suatu kesalahan itu, sering disebut filologi tradisional. Adapun Kegiatan filologi yang memandang bacaan yang berbeda (varian) dan bacaan yang rusak (korup) sebagai suatu kreativitas penyalinnya itu sering disebut filologi modern (Chamamah-Soeratno, 1999).
Penelitian terhadap Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” ditujukan untuk menyajikan teksnya dalam bentuk suntingan atau dalam bentuk teks terbaca. Untuk itu, di dalam penelitian ini, akan diungkapkan masal h yang berkaitan dengan pernaskahan Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata”, penyuntingan, dan makna teks yang terkandung di dalamnya.
Secara teoretis, penyajian teks dalam bentuk suntingan tersebut dilengkapi dengan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dan metodenya serta pemberian aparat kritik. Pemberian aparat kritik terhadap teks tersebut berupa pembetulan bacaan yang didasarkan pada kamus, konteks kalimatnya, dan diperbandingkan dengan naskah lain. Pemberian aparat kritik dengan perbandingan naskah lain hanya digunakan bagi teks-teks yang naskahnya lebih dari satu buah, sedangkan teks-teks yang naskahnya hanya satu buah, pemberian aparat kritik berupa hasil duga penyunting yang mengacu pada kamus dan konteks kalimatnya. Semuanya itu dilakukan dalam rangka memahami dan mengungkapkan makna teksnya. Karena itu, teori filologi yang dimanfaatkan di dalam penelitian ini adalah teori filologi modern.
Teori filologi modern merupakan suatu disiplin yang mendasarkan kerjanya pada bahan tertulis dan bertujuan mengungkapkan makna teks tersebut dalam segi kebudayaan agar buah pikiran yang terkandung di dalamnya dapat diketahui oleh masyarakat sekarang (Chamamah-Soeratno, 1999).
Di dalam penelitian ini, baru ditemukan satu buah naskah Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata”. Apabila naskah tertentu hanya didapatkan satu buah naskah, maka penyuntingannya memanfaatkan metode edisi naskah tunggal. Pemanfaatan metode ini dilakukan dengan dua jalan. Pertama, edisi diplomatik, yaitu menerbitkan satu naskah seteliti mungkin tanpa mengadakan perubahan sedikit pun. Dalam edisi diplomatik ini, penyunting dapat membuat transliterasi setepat-tepatnya tanpa menambahkan sesuatu (Robson., 1978:42). Kedua, edisi biasa dan disebut juga edisi standar atau edisi kritik, yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan, sedangkan ejaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku (Robson, 1978:43). Selain itu, penyunting perlu melakukan pembagian kata, ka limat, penggunaan huruf besar, pungtuasi, dan memberikan komentar mengenai kesalahan-kesalahan teks. Semua perubahan dan pembetulan yang telah dilakukan dicatat di tempat khusus agar selalu dapat diperiksa dan diperbandingkan dengan bacaan naskah sehingga masih memungkinkan penafsiran lain oleh pembaca. Segala usaha perbaikan harus disertai pertanggungjawaban dengan metode rujukan yang tepat (Robson, 1978:43). Oleh karena ada dua jalan yang dapat ditempuh dalam metode edisi naskah tunggal, maka di dalam penelitian ini dimanfaatkan edisi standar atau edisi kritik. Hal itu dilakukan karena metode edisi diplomatik secara teoretis dipandang murni dan tidak ada unsur campur tangan dari editor, tetapi secara praktis metode itu dipandang kurangmembantu pembaca.
3.2 Teori dan Metode Semiotik
Manusia sebagai homo significans, dengan karyanya akan memberi makna kepada dunia nyata atas dasar pengetahuannya. Pemberian makna dilakukan dengan cara mereka dan hasil karyanya berupa tanda (Chamamah-Soeratno, 1991:18).
Sebagai tanda, karya sastra merupakan dunia dalam kata yang dapat dipandang sebagai sarana komunikasi antara pembaca dan pengarangnya. Karya sastra bukan merupakan sarana komunikasi biasa. Oleh karena itulah, karya sastra dapat dipandang sebagai gejala semiotik (Teeuw, 1984:43)
Semiotik merupakan suatu disiplin yang meneliti semua bentuk komunikasi selama komunikasi itu dilaksanakan dengan menggunakan tanda yang didasarkan pada sistem-sistem tanda (kode-kode (Segers, 1978:14). Oleh karena semiotik dipanda ng sebagai ilmu tentang tanda atau sebagai ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda – tanda tersebut mempunyai arti, maka dalam pengertian ini ada dua prinsip yang perlu diperhatikan. Kedua prinsip itu adalah “penanda” (Ing. Signifier; Pr. Signifiant), yakni yang menandai dan “petanda” (Ing. Signified; Pr. Signifié), yakni yang ditandai (Chamamah-Soeratno, 1991:18; Pradopo, 1990,121)
Atas dasar pengertian di atas, maka Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” dengan sendirinya dapat dipandang sebagai gejala semiotik atau sebagai tanda. Sebagi tanda, makna karya sastra dapat mengacu kepada sesuatu di luar karya sastra itu sendiri atau pun di dalam dirinya (Riffaterre, 1978:1).
Sebagai dunia dalam kata, karya sastra memerlukan bahan yang disebut bahasa (Wellek dan Austin Warren, 1990:15). Bahasa sastra merupakan “penanda” yang menandai “sesuatu”. Sesuatu itu disebut “petanda”, yakni yang ditandai oleh penanda. Makna karya sastra sebagai tanda adalah makna semiotiknya, yaitu makna yang bertautan dengan dunia nyata (Chamamah-Soeratno, 1991:18). Sebagai dasar pemahaman terhadap karya sastra yang merupakan gejala semiotik adalah pendapat bahwa karya sastra merupakan fenomena dialektik antara teks dan pembaca. Oleh karena itulah, pembaca tidak dapat terlepas dari ketegangan dalam usaha menangkap makna sebuah karya sastra (Riffaterre, 1978:1-2; Abdullah, 1991:8). Dengan demikian, makna karya sastra tidak hanya ditentukan oleh pembaca terhadap karya sastra yang dihadapinya, tetapi juga ditentukan dan diarahkan oleh karya sastra itu sendiri (Chamamah Soeratno, 1991:18). Oleh karena itu, sebagai dasar pemahaman terhadap Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” yang merupakan gejala semiotik adalah pendapat bahwa karya tersebut merupakan fenomena sastra dan sebagai satu dialektika antara teks dengan pembacanya ataupun antara teks dengan konteks penciptaannya (Riffaterre, 1978:1).
Untuk mengungkapkan makna karya di atas sebagai gejala semiotik, diperlukan metode, yaitu metode pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif. Metode pembacaan heuristik merupakan cara kerja yang dilakukan oleh pembaca dengan menginterpretasikan teks sastra secara referensial lewat tanda-tanda linguistik (Riffaterre, 1978:5). Pembacaan heuristik juga dapat dilakukan secara struktural (Pradopo, 1991:7). Artinya, pada tahap ini pembaca dapat menemukan arti (meaning) secara linguistik (Abdullah, 1991:8). Adapun metode pembacaan hermene utik atau retroaktif merupakan kelanjutan dari metode pembacaan heuristik untuk mencari makna (meaning ofmeaning atau sifniifcance). Metode ini merupakan cara kerja yang dilakukan oleh pembaca dengan bekerja secara terus-menerus lewat pembacaan teks sastra secara bolak-balik dari awal sampai akhir. Dengan pembacaan bolak-balik itu, pembaca dapat mengingat peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian di dalam teks sastra yang baru dibaca. Selanjutnya, pembaca menghubungkan kejadian-kejadian tersebut antara yang satu dengan lainnya sampai ia dapat menemukan makna karya sastra pada sistem sastra yang tertinggi, yaitu makna keseluruhan teks sastra sebagai sistem tanda (Riffaterre, 1978:2; Culler, 1981:81).
Adapun teknik pembacaannya dapat dilakukan secara simultan atau serentak. Artinya, pembacaan heuristik ataupun pembacaan hermeneutik dapat berjalan secara serentak atau bersama-sama. Akan tetapi, secara teoretis sesuai dengan metode ilmiah untuk mempermudah pemahaman dalam proses pemaknaan dapat dianalisis secara bertahap dan sistematis, yaitu pertama kali dilakukan pembacaan heuristik secara keseluruhan terhadap teksnya dan kemudian baru dilakukan pembacaan hermeneutik. Dalam penelitian ini, teknik pembacaanya dilakukan secara simultan atau serentak .
4. Pembahasan
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, ada tiga masalah yang akan dijawab dan dibahas di dalam penelitian ini, yaitu masalah pernaskahan Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata”, penyuntingan, dan makna teksnya. Untuk itu, di bawah ini dikemukakan jawaban dan pembahasan terhadap ketiga masalah di atas.
4.1 Pernasakahan Rubâ‘î berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata”
Naskah Rubâ‘i berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” yang dijadikan objek material di dalam penelitian ini adalah naskah yang sudah diinventarisir, tetapi belum diberi nomor. Naskah Rubâ‘i ini terdapat di Museum Negeri Banda Aceh dalam kondisi yang tidak lengkap. Penulis meneliti langsung di Museum Negeri Banda Aceh dan mendapatkan naskah tersebut serta mengkopinya.
Naskah Rubâ‘i berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” ini berukuran 20 x 6 1 cm dan terdiri atas dua halaman. Halaman pertama memuat 15 baris tulisan dan halaman kedua memuat 12 baris tulisan. Bagian atas halaman pertama dilukis dengan lukisan bunga dan bagian bawah halaman kedua juga dilukis dengan lukisan bunga. Setiap barisnya rata-rata terdiri dari 8 sampai 10 kata.
Ukuran salinan teksnya berukuran 13 x 9 cm pada halaman pertama dan halaman kedua berukuran 10 x 9 cm. Naskah Rubâ‘i disalin dengan tulisan Jawi (Arab-Melayu), memakai tinta hitam, dan ditulis dengan rapi, bersih, dan jelas dengan khath naskhi sehingga mempermudah dalam proses pembacaan teksnya. Penyalinan teksnya tidak menggunakan garis pengarah, baik garis pabrik maupun garis kuku atau garis lainnya yang dibuat dengan tinta atau pensil.
Kertas yang digunakan untuk menampung salinan teks Rubâ‘i berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” ini dipandang masih bagus tanpa coretan sedikit pun yang menandakan bahwa naskah tersebut belum pernah diteliti. Kertas yang dipakai untuk menyalin naskah Rubâ‘i merupakan jenis kertas buatan Perancis dan berwarna putih kecoklat-coklatan dengan cap air (watermark) CS jenis MISCELLANEOUS (Churchill, 1965:CCCLXXXII). Hal itu menandakan bahwa kertasnya dibuat kira-kira pada tahun 1743 M (Churchill, 1965:88).
4.2 Penyuntingan dan Aparat Kritik Teks Rubâ‘I berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata”
4.2.1 Penyuntingan Teks Rubâ‘I berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata”
Suntingan teks Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” berdasarkan naskah yang tersimpan di Museum Negeri Banda Aceh. Teks Rubâ‘î ini terdiri dari tigabelas bait dan setiap baitnya terdiri dari empat baris. Ketigabelas bait yang dimaksud adalah sebagai berikut.
[1]
Sidang fakir empunya kata
Tuhanmu1 zhâhir terlalu nyata
Jika sungguh engkau bermata
Lihatlah dirimu rata-rata
Kenal dirimu hai anak jamu
Jangan kau2 lupa akan diri kamu
Ilmu hakikat yogya kau ramu3
Supaya terkenal 3akan dirimu
Jika kau kenal dirimu bapai
Elokmu itu tiada berbagai
Hamba dan Tuhan dâ‘im4 berdamai
Memandang dirimu5 jangan kau lalai
Kenal dirimu hai anak dagang
Menafikan dirimu6 jangan kau saying
Suluh itsbât yogya kau pasang
7Maka sampai engkau anak hulu balang7
8Kenal dirimu hai anak ratu8
Ombak dan air asalnya satu
Seperti manikam much îth dan batu
Inilah tamtsil engkau dan ratu
9Jika kau dengar dalam firman9
10Pada kitab Taurat, Injil, , dan Furqân 10
11Wa Huwa ma‘akum fayak ûnu pada ayat Qur‘an11
13Wa huwa bi kulli syai‘in muchîth terlalu12 ‘iyân13
Syariat Muhammad 14ambil akan14 suluh
Ilmu hakikat yogya pertubuh
15Nafsumu itu yogya kau bunuh15
16Maka dapat dua sama luruh16
Mencari dunia berkawan-kawan
[2]Oleh nafsu khabî ts badan17 tertawan
Nafsumu itu yogya kau lawan
Maka18 sampai engkau bangsawan
Machbûbmu itu tiada berch â‘il
Pada ainamâ tuwallû jangan kau ghâfil
Fa tsamma wajhul-L âhisempurna wâ shil19
Inilah jalan orang yang kâmil
Kekasihmu zhâhir terlalu terang
Pada kedua alam nyata terbentang
Pada ahlul-ma‘rifah terlalu menang
Wâ shil nya dâ‘im20 tiada berselang
Hapuskan akal dan rasamu
Lenyapkan badan dan nyawamu
Pejamkan hendak kedua matamu
21di sana21 kau lihat permai rupamu
Rupamu22 itu yogya kau serang
23Supaya sampai ke negeri23 yang henang
Seperti Ali tatkala berperang24
Melepaskan Duldul tiada berkekang
Hamzah miskin orang ‘uryâ ni
Seperti Ismail menjadi25 qurbâni
Bukannya ‘Ajam lagi ‘Arab î
Senantiasa dengan Yang Bâ qî
4.2.2 Aparat Kritik Teks Rubâ‘î berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata”
Oleh karena suntingan teks Rubâ‘î yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” ini memanfaatkan metode edisi naskah tunggal, maka aparat kritik yang dicantumkan di bawah ini pada umumnya merupakan hasil duga penyunting berdasarkan kamus dan konteks kalimatnya. Selain itu, juga dibandingan dengan hasil suntingan Drewes dan Brakel (1986).
Perlu dikemukakan di sini bahwa deretan angka pertama menunjuk pada halaman naskah Rubâ‘î (yang dalam teks suntingan diberi tanda [1] dan [2]), sedangkan deretan angka kedua menunjuk pada bagian teks yang diberi catatan.
1 1 dalam naskah tertulis “Tuhanku”
2 dalam naskah tertulis “jangan”
3- 3 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “âlî adamu”
4 dalam naskah tertulis “dayim”
5 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “diri”
6 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “diri”
7-7 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “supaya dapat mudah kau datang”
8- 8 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “dengarkan ini hai anak ratu”
9- 9 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “jika terdengar olehmu firman”
10 - 10 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “pada Taurat, Injil, Zabur, dan Furqân”
11-11 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “wa huwa ma‘akum pada ayat Qur‘an”
12 dalam naskah tertulis “terla”
13 - 13 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “bi kulli syai‘in maknanya i‘yân”
14 - 14 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “ambillah”
15 - 15 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “makanya dapat sekalian luruh”
16 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “kamu”
2 17 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “kamu”
18 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “makanya”
19 dalam naskah tertulis “washal”
20 dalam naskah tertulis “dayim”
21 - 21 dalam naskah tertulis “di sa”
22 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “adamu”
23 - 23 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “supaya dapat negeri”
24 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “perang”
25 dalam suntingan Drewes dan Brakel tertulis “jad
4.3 Makna Teks “Sidang Fakir Empunya Kata”
Telah dikemukakan di atas bahwa teknik pembacaan yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah teknik pembacaan secara simultan atau serentak. Artinya, baik pembacaan heuristik maupun pembacaan hermeneutik dilakukan secara bersama-sama sebagaimana terlihat pada uraian di bawah ini.
Bait Pertama
Kata Hamzah, “Sidang fakir empunya kata”. Arti sidang adalah tuan dan arti fakir adalah tidak mempunyai harta atau papa. Dengan demikian, maksud baris pertama pada bait pertama ini adalah bahwa tuan fakir yang tidak berwujud, tidak bersifat, tidak berasmâ‘, dan tidak berfi‘il berkata. Kata Hamzah, “Tuhanmu zhâhir terlalu nyata”. Arti zhâ hir adalah nyata, lahir, terinderawi. Dengan demikian, maksud baris kedua pada bait pertama ini adalah bahwa Hamzah Fansuri yang mempunyai dan mengarang rubâ‘î menceritaka n tentang Allah. Menurutnya, Allah itu terlalu nyata daripada semua hal yang nyata. Kata Hamzah, “Jika sungguh engkau bermata”. Maksud baris ketiga pada bait pertama ini adalah bahwa Allah itu terlalu nyata. Artinya, bagi seorang ‘Ârif yang dapat mengenal Allah, ia mengatakan bahwa Allah terlalu nyata karena ia melihat dengan mata hatinya dan bukan dengan mata kepalanya. Kata Hamzah, “Lihatlah dirimu rata-rata”. Maksud baris keempat pada bait pertama ini adalah bahwa jika seorang ‘Ârif mempunyai mata hati, niscaya ia akan melihat dirinya nyata dari kenyataan Allah. Artinya, bahwa diri seorang ‘Â rif itu berasal dari Allah (As-Samatrâ‘î dalam Syarah Rub â‘î, t.t.:17).
Bait Kedua
Kata Hamzah, “Kenali dirimu hai anak jamu”. Maksud baris pertama pada bait kedua ini adalah bahwa kita semua hidup di sebuah negeri bernama dunia diibaratkan seperti anak jamu dan anak dagang yang tidak akan dapat kembali lagi ke negeri dunia. Kata Hamzah, “Janganlah lupa akan diri kamu”. Maksud baris kedua pada bait kedua ini adalah bahwa diri seseorang merupakan tempat kembali atau asal mula bagi anak jamu dan anak dagang. Karena itu, seyogyanya anak jamu dan anak dagang jangan lupa terhadap tempat kembali atau asal mulanya. Kata Hamzah, “Ilmu hakikat yogya kau ramu”. Arti ilmu adalah pengetahuan, pengenalan, dan arti hakikat adalah yang sebenar-benarnya. Dengan demikian, maksud baris ketiga pada bait kedua ini adalah bahwa ilmu hakikat hendaklah dipelajari, diambil, dan diamalkan dengan sunguh-sungguh. Kata Hamzah, “Supaya terkenal ‘â li adamu”. Arti ‘â li adalah yang tinggi. Dengan demikian, maksud baris keempat pada bait kedua ini adalah bahwa barang siapa di antara para ‘Ârif yang dapat mengambil dan memperoleh ilmu hakikat dengan sepenuh hatinya, maka ia akan menjadi tunggal adanya karena keberadaannya itu tidak bercerai dengan wujud dan Dzât Allah. Artinya, hakikat dirinya menjadi dikenal dan demikian juga adanya atau eksistensi dirinya (As-Samatrâ‘î dalam Syarah Rubâ‘î, t.t.:17-18).
Bait Ketiga
Kata Hamzah, “Jika kau kenal dirimu bapai”. Maksud baris pertama pada bait ketiga ini adalah bahwa jika seorang ‘Ârif mengenal hakikat dirinya, niscaya dikenalilah keelokan dan kecantikan dirinya. Kata Hamzah, “Elokmu itu tiada berbagai”. Maksud baris kedua pada bait ketiga ini adalah bahwa keelokan dan kecantikan hakikat diri seorang ‘Â rif merupakan pancaran dari keelokan dan kecantikan Wujud dan Dzât Allah sehingga keelokan-Nya tidak ada yang dapat menandingi-Nya. Kata Hamzah, “Hamba dan Tuhan dâ‘im berdamai”. Arti dâ‘im adalah senantiasa, selalu, terus menerus dan arti berdamai adalah tidak bercerai. Dengan demikian, maksud baris ketiga pada bait ketiga ini adalah para ‘Ârif yang telah mengenal hakikat dirinya, hakikat nabinya, dan hakikat Tuhannya, ia tidak akan bercerai dengan semuanya dari martabat azali (keabadian tanpa awal) sampai ke martabat abadi (keabadian tanpa akhir). Kata Hamzah, “Memandang diri jangan kau lalai”. Maksud baris keempat pada bait ketiga ini adalah bahwa para ‘Ârif seyogyanya memandang hakikat dirinya karena Tuhan tidak tersembunyi dan nyata berada di dalamnya. Artinya, penjelasan tentang hal tersebut dapat diibaratkan seperti seseorang yang melihat cermin, maka ia akan melihat rupa dirinya yang tidak tersembunyi dan nyata berada di dalam cermin (As-Samatrâ‘î dalam Syarah Rubâ‘î, t.t.:18).
Bait Keempat
Kata Hamzah, “Kenali dirimu hai anak dagang”. Maksud baris pertama pada bait keempat ini adalah bahwa semua makhluk yang ada di dunia ini diibaratkan seperti anak dagang. Anak dagang di dalam perjalanan dan pelayarannya tidak akan pernah dapat kembali ke negeri tempat asal-muasalnya. Kata Hamzah, “Menafîkan diri jangan kau sayang”. Arti menafîkan adalah meniadakan. Dengan demikian, maksud baris kedua pada bait keempat ini adalah bahwa para ‘Ârif tidak sayang meniadakan dirinya yang zhâhir dan dirinya yang batin. Ia seyogyanya senantiasa menetapkan bahwa Tuhannya berada di dalam dirinya. Kata Hamzah, “ Suluh itsbât yogya kau pasang”. Arti itsbât adalah yang tetap. Dengan demikian, maksud baris ketiga pada bait keempat ini adalah bahwa para ‘Ârif seyogyanya selalu menetapkan bahwa Allah Ta‘ala itu nyata secara zhâhir dan batin. Kata Hamzah, “Supaya dapat mudah kau datang”. Maksud baris keempat pada bait keempat ini adalah bahwa barang siapa di antara para ‘Ârif yang senantiasa menetapkan keberadaan Allah Ta‘ala secara zhâ hir dan batin, yakni mereka telah menyaksikan Wujud dan Dzât Allah; maka mereka akan memperoleh kemudahan untuk wâshil atau sampai dan bertemu dengan Allah Ta‘ala (As-Samatrâ‘î dalam Syarah Rub â‘î, t.t.:18-19).
Bait Kelima
Kata Hamzah, “Dengarkan sini hai anak ratu”. Maksud baris pertama pada bait kelima ini adalah bahwa para ‘Ârif seyogyanya mendengarkan dan memperhatikan segala ibarat atau tamsil yang dipandang dapat menghantarkan dirinya wâ shil atau sampai dan bertemu dengan Allah Ta‘ala. Kata Hamzah, “Ombak dan air asalnya satu”. Arti asal adalah pohon, yang pertama. Dengan demikian, maksud baris kedua pada bait kelima ini adalah bahwa Hamzah Fansuri mengumpamakan semua makhluk dengan ombak dan mengumpamakan Allah dengan air sebagai asalnya. Ombak itu berasal dari air dan kembalinya pun juga menuju ke air sehingga ombak berasal dari yang satu, yaitu air. Demikian juga semua makhluk berasal dari Wujud dan Dzât Allah yang satu dan akan kembali kepada -Nya. Kata Hamzah, “Seperti manikam muchî th dan batu”. Arti muchîth adalah meliputi. Dengan demikian, maksud baris kedua pada bait kelima ini adalah bahwa para ‘Ârif mengumpamakan makhluk dengan batu dan mengumpamakan Allah Ta‘ala dengan manikam yang bercahaya di dalam batu. Antara batu dengan manikam tidak dapat bercerai. Demikian juga, antara makhluk dengan Wujud dan Dzât Allah tidak bercerai karena semua makhluk berasal dari Allah. Kata Hamzah, “Inilah tamtsil engkau dan ratu”. Maksud baris keempat pada bait kelima ini adalah bahwa tamsil atau perumpamaan antara ombak (makhluk) dengan air laut (Allah Ta‘ala), batu (makhluk) dengan manikam (Allah Ta‘ala) hanya dapat dimengerti oleh para ‘Â rif Kâmil Mukammil (As-samatrâ‘î dalam Syarah Rub â‘î, t.t.:19).
Bait Keenam
Kata Hamzah, “Jika terdengar olehmu firman”. Maksud baris pertama pada bait keenam ini adalah bahwa para ‘Ârif yang mengumpamakan makhluk dengan ombak dan batu dan mengumpamakan Allah Ta‘ala dengan air laut dan manikam itu berdasarkan firman-firman Allah yang dinukil dari Alquran. Kata Hamzah, “Pada Taurat, Injil, Zabur, dan Furq ân”. Maksud baris kedua pada bait keenam ini adalah bahwa dalil yang menyebutkan dan menyatakan makhluk dengan Allah Ta‘ala itu esa dan tidak bercerai itu terdapat di dalam kitab Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa, di dalam kitab Injil yang diturunkan kepada nabi Isa, di dalam kitab Zabur yang diturunkan kepada nabi Dawud, dan kitab Furq ân (Alquran) yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Kata Hamzah, “Wa Huwa ma‘akum pada ayat Qur‘an”. Arti wa huwa ma‘akum ainamâ kuntum adalah Dia (Allah) bersama kamu dimana saja kamu berada. Dengan demikian, maksud baris ketiga pada bait keenam ini adalah bahwa para ‘Ârif senantiasa mentashdîq kan (membenarkan) dalam hatinya tentang ta‘ayyun Wujud dan Dzât Allah dengan alam semesta seisinya tidak cerai dan tidak lepas dari Wujud dan Dzâ t Allah Ta‘ala. Kata Hamzah, “Bi kulli syai‘in muchîth maknanya ‘iyân”. Arti bi kulli syai‘in much îth adalah Ia (Allah) meliputi segala sesuatu. Kutipan ayat tersebut dari Q.S. Fush-shilat ayat 54 lengkapnya berbunyi: Allâ innahum fî miryatin min liq â ‘i rabbihim, allâ innahu bi kulli syai‘in muchîthun. Artinya, Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuannya dengan Tuhan mereka. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia (Allah Ta‘ala) Maha meliputi segala sesuatu. Dengan demikian, maksud baris keempat pada bait keenam ini adalah bahwa Allah Ta‘ala mengetahui segala sesuatu di mana saja berada karena semuanya berasal dan akan kembali kepada-Nya (As- Samatrâ‘î dalam Syarah Rubâ‘î, t.t.:19-20).
Bait Ketujuh
Kata Hamzah “Syariat Muhammad ambillah suluh”. Arti syariat Muhammad adalah jalan, perkataan, perbuatan Muhammad SAW. Dengan demikian, maksud baris pertama pada bait ketujuh ini adalah bahwa segala ‘Ârif yang ingin menempuh jalan menuju Allah hendaklah mengerjakan dan mengikuti perkataan, perbuatan, dan syariat nabi Muhammad SAW agar jalannya menuju Allah Ta‘ala menjadi sempurna. Kata Hamzah, “Ilmu hakikat yogya kau pertubuh”. Arti ilmu ha kikat adalah suatu disiplin untuk mengetahui hakikat dirinya, nabinya, dan Tuhannya. Dengan demikian, maksud baris kedua pada bait ketujuh ini adalah bahwa segala ‘Ârif yang telah memperoleh ilmu hakikat seyogyanya ia mengerjakan syariat nabi Muhammad dan mengamalkan ilmu hakikat sebagaimana nabi juga telah mengamalkannya. Kata Hamzah, “Nafsumu itu yogya kau bunuh”. Arti nafsu itu adalah keinginan yang dipandang dapat melalaikan Allah. Dengan demikian, maksud baris ketiga pada bait ketujuh ini adalah bahwa nafsu yang dipandang dapat melalaikan Allah itu seyogyanya dibunuh dan dilenyapkan dari hati segala ‘Ârif. Kata Hamzah, “Makanya dapat sekalian luruh”. Maksud baris keempat pada bait ketujuh ini adalah bahwa barang siapa di antara para ‘Ârif dapat membunuh dan melenyapkan nafsunya yang dipandang dapat melalaikan Allah Ta‘ala, niscaya ia dapat menjalankan fan â‘un fil- Lâh untuk menuju baqâ ‘un bil-Lâh. Artinya, hancur atau lenyapnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia menuju kekekalan atau keabadian dalam Allah untuk selama-lamanya (As-Samatrâ‘î dalam Syarah Rubâ‘î, t.t.:20).
Bait Kedelapan
Kata Hamzah, “Mencari dunia berkawan-kawan”. Maksud baris pertama pada bait kedelapan ini adalah bahwa barang siapa di antara para ‘Â rif mencari kesenangan dunia secara berlebih-lebihan atau ingin menumpuk harta benda secara berlebih-lebihan, maka mereka tidak akan dapat menempuh jalan menuju Allah Ta‘ala. Selain itu, mereka juga tidak dapat meniru perilaku auliy â‘ul-Lâh atau wali-wali Allah yang telah dekat dengan Allah karena mereka meninggalkan kesenangan dunia. Kata Hamzah, “Oleh nafsu khabîts kamu tertawan”. Arti nafsu adalah ingin dan arti khabîts itu cemar atau jelek. Dengan demikian, maksud baris kedua pada bait kedelapan ini adalah bahwa barang siapa di antara para ‘Ârif yang mengikuti hawa nafsunya dan melalaikan Allah Ta‘ala, niscaya ia ditawan atau dikendalikan oleh hawa nafsunya dan tidak akan dapat menuju ke jalan Allah. Kata Hamzah, “Nafsumu itu yogya kau lawan”. Maksud baris ketiga pada bait kedelapan ini adalah bahwa para ‘Ârif seyogyanya selalu melawan hawa nafsunya agar tidak melalaikan Allah Ta‘ala. Kata Hamzah, “Makanya sampai engkau bangsawan”. Maksud baris keempat pada bait kedelapan ini adalah bahwa barang siapa di antara para ‘Ârif yang telah dapat mengusir, melenyapkan, dan membunuh hawa nafsunya, maka mereka akan memperoleh bangsa atau kedudukan yang amat tinggi di sisi Allah (As-Samatrâ‘î dalam Syarah Rub â‘î, t.t.:20-21).
Bait Kesembilan
Kata Hamzah, “Machb ûbmu itu tiada berch â‘il”. Arti machbûb itu kekasih dan arti châ‘il itu dinding. Dengan demikian, maksud baris pertama pada bait kesembilan ini adalah bahwa Allah subch ânahu wa ta‘â lâ itu sebagai kekasih yang hakiki bagi para ahlul-Lâh. Karena itu, antara Allah Ta‘ala dengan ahlul-L âh tidak ada sekat atau dinding. Kata Hamzah, “fa ainamâ tuwall û jangan kau ghâfl ”. Arti fa ainamâ tuwall û adalah ke mana saja kamu semua berpaling atau menghadap dan arti ghâfil itu lalai atau lupa. Dengan demikian, maksud baris kedua pada bait kesembilan ini adalah bahwa barang siapa di antara para ‘Â rif yang menjadikan Allah sebagai kekasihnya, maka ke mana saja mereka menghadap atau berpaling, niscaya mereka akan dilindungi oleh Allah Ta‘ala. Kata Hamzah, “Fa tsamma wajhul-Lâhi sempurna wâ shil”. Arti fa tsamma wajhul-Lâh adalah di situ ada wajah Allah. Artinya, kekuasaan Allah meliputi seluruh alam sehingga di mana saja manusia berada, Allah pasti mengetahuinya. Adapaun arti wâshil adalah sampai. Dengan demikian, maksud baris ketiga pada bait ke sembilan ini adalah bahwa barang siapa di antara para ‘Ârif yang perilaku dan pandangan hatinya hanya tertuju pada Allah Ta‘ala, maka mereka akan dilindungi oleh Allah dan akan dapat sampai dan bertemu dengan-Nya. Kata Hamzah, “Inilah jalan orang yang k âmil”. Arti kâ mil adalah yang sempurna. Dengan demikian, maksud baris keempat pada bait kesembilan ini adalah bahwa jalan untuk musyâhadah atau menyaksikan Allah Ta‘ala itu merupakan jalan bagi orang-orang yang telah k â mil (As-Samatrâ‘î dalam Syarah Rubâ ‘î , t.t.:21).
Bait Kesepuluh
Kata Hamzah, “Kekasihmu zhâhir terlalu terang”. Arti zh âhir adalah yang nyata. Dengan demikian, maksud baris pertama pada bait kesepuluh ini adalah bahwa Allah Ta‘ala merupakan kekasih yang nyata bagi para ‘Â rif yang menjadikan Nya - sebagai kekasih. Kata Hamzah, “Pada kedua alam nyata terbentang”. Arti ‘ lam â adalah barang-barang apa saja selain Allah. Dengan demikian, maksud baris kedua pada bait kesepuluh ini adalah bahwa kenyataan Allah Ta‘ala itu amat nyata pada kedua alam, yaitu alam dunia dan alam akherat. Hal tersebut hanya dapat diketahui dan dimengerti oleh orang-orang yang telah mendapat karunia makrifat Allah Ta‘ala. Sementara itu, bagi orang-orang yang tidak mendapatkan karunia makrifat Allah, mereka tidak akan dapat mengetahui dan mengerti kenyataan Allah yang dipandang amat nyata. Kata Hamzah, “Ahlul-ma‘rif ha terlalu menang”. Arti ahlul-ma‘rif ha adalah orang-orang yang bermakrifat kepada Allah. Dengan demikian, maksud baris ketiga pada bait kesepuluh ini adalah bahwa barang siapa telah memperoleh karunia dari Allah dan dapat mengenal-Nya, niscaya ia telah memperoleh kemenangan dan keberuntungan atau laba yang amat besar di negeri dunia dan di akherat. Kata Hamzah, “Wâshilnya dâ ‘im tiada berselang”. Arti w âshil adalah sampai dan arti dâ ‘im itu senantiasa, selalu, terus menerus. Dengan demikian, maksud baris keempat pada bait kesepuluh ini adalah bahwa barang siapa yang telah memperoleh makrifat Allah, maka ia senantiasa sampai kepada Allah Ta‘ala dan jalan menuju ke Allah tidak akan terputus (As-Samatrâ‘î dalam Syarah Rubâ ‘î , t.t.:21-22).
Bait Kesebelas
Kata Hamzah, “Hapuskan akal dan rasamu”. Maksud baris pertama pada bait kesebelas ini adalah bahwa ‘Ârif yang Kâmil senantiasa melenyapkan dan menghapus akal dan rasanya karena keduanya merupakan ta‘ayyun (hal yang nyata) dari segala ta‘ayyun makhluk. Ta‘ayyun adalah kedirian, individualisasi, entifikasi, atau penurunan. Istilah ini diterapkan berkaitan dengan penurunan Wujud Murni dalam berbagai tingkat entitas. Manusia merupakan wujud mutlak yang dibatasi oleh ta‘ayyun. Kata Hamzah, “Lenyapkan badan dan nyawamu”. Maksud baris kedua pada bait kesebelas ini adalah bahwa para ‘Ârif hendaknya selalu melenyapkan dan menghapus badan dan nyawa karena hal itu merupakan jalan untuk sampai kepada Allah Ta‘ala. Kata Hamzah, “Pejamkan hendak kedua matamu”. Maksud baris ketiga pada bait kesebelas ini adalah bahwa segala ‘Ârif yang ingin me musyâhadah kan atau menyaksikan Allah Ta‘ala hendaklah ia memejamkan kedua mata kepalanya dan membuka mata hatinya atau mata batinnya. Dengan mata hatinya atau mata batinnya, ia akan dapat menyaksikan Allah Ta‘ala. Kata Hamzah, “Sana kau lihat permai rupamu”. Maksud baris keempat pada bait kesebelas ini adalah bahwa jika ‘Â rif dapat menyaksikan Allah, maka kedua mata kepalanya telah dipejamkan dan kedua mata batinya atau mata hatinya dibuka. Apabila kedua mata batinnya atau mata hatinya telah terbuka, maka terlihatlah keelokan dan keindahan rupa dirinya. Keelokan dan keindahan rupa dirinya dipandang masih dalam kawasan ilmu Allah Ta‘ala (As- Samatrâ ‘î dalam Syarah Rubâ‘î, t.t.:22-23).
Bait Keduabelas
Kata Hamzah, “Adamu itu yogya kau serang”. Maksud baris pertama pada bait keduabelas ini adalah bahwa segala ‘Ârif hendaknya menyerang, membinasakan, dan melenyapkan sangkaan, keragu-raguan yang hakiki dan majâzi, yang zhâhir dan yang batin yang ada pada dirinya. Kata Hamzah, “Supaya dapat negeri yang henang”. Arti henang adalah yang tetap atau yang tidak dapat berpindah pindah. Dengan demikian, maksud baris kedua pada bait keduabelas ini adalah bahwa segala ‘Ârif yang telah dapat melenyapkan dan membinasakan keragu-raguan, sangkaan, kebimbangan yang ada pada dirinya, niscaya mereka akan mendapatkan tempat yang tetap dan tidak berpindah-pindah. Kata Hamzah, “Seperti Ali tatkala perang”. Maksud baris ketiga pada bait keduabelas ini bahwa segala ‘Â rif yang telah dapat melenyapkan dan membinasakan dirinya, maka ia seperti amîrul-mu‘min î n, yaitu Ali tatkala berperang. Kata Hamzah, “Melepaskan Duldul tiada berkekang”. Maksud baris keempat pada bait keduabelas ini adalah bahwa seperti Duldul yang dibawa dan dilepaskan oleh Ali tidak dapat melintasi sesuatu. Karena itu, ‘Ârif yang telah melenyapkan dan membinasakan dirinya, niscaya ia selalu dilindungi oleh Allah Ta‘ala (As-Samatrâ‘î dalam Syarah Rubâ ‘î , t.t.:23).
Bait Ketigabelas
Kata Hamzah, “Hamzah miskin orang ‘uryâni”. Arti miskin itu tidak memiliki sesuatu dan arti ‘uryân adalah telanjang. Dengan demikian, maksud baris pertama pada bait ketigabelas ini adalah bahwa Syaikh Hamzah Fansuri mengikrarkan, menyatakan, dan membenarkan adanya Dzât, sifat, asmâ‘, dan af‘âl Allah. Kata Hamzah, “Seperti Ismail jadi qurbâni”. Maksud baris kedua pada bait ketigabelas ini adalah bahwa Syaikh Hamzah Fansuri mengungkapkan dirinya diumpamakan seperti Nabi Ismail yang dijadikan kurban oleh Nabi Ibrahim karena kesabaran, kerelaaan, keikhlasan, dan ketaatannya. Kata Hamzah, “Bukannya ‘Ajam lagi ‘Arabî ”. Maksud baris ketiga pada bait ketigabelas ini adalah bahwa Syaikh Hamzah Fansuri itu bukan orang dari bangsa Arab dan bukan orang selain Arab. Kata Hamzah, “Senantiasa wâ shil dengan Yang Bâ qî”. Arti wâshil itu yang sampai dan arti bâqî itu yang kekal. Dengan demikian, maksud baris keempat pada bait ketiga ini adalah bahwa Syaikh Hamzah Fansuri senantiasa sampai menuju Allah dan kekal dengan-Nya. Karena itu, barang siapa dapat sampai kepada Allah dan kekal dengan-Nya, niscaya ia akan memperoleh kekekalan di dunia dan di akherat (As-Samatrâ‘î dalam Syarah Rubâ‘î , t.t.:23-24).
Kesimpulan
Hamzah Fansuri mengarang Rubâ ‘î dengan judul “Sidang Fakir Empunya Kata” bertujuan ingin bercerita tantang Allah sesuai dengan pengalaman batin yang dialaminya. Menurutnya, Allah itu terlalu nyata daripada semua hal yang nyata. Keadaan Allah dikatakan nyata karena seorang ‘Â rif dapat melihat-Nya dengan mata hatinya dan bukan dengan mata kepalanya. Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang ‘Ârif agar dapat melihat Allah dengan jelas adalah mengenal dirinya yang pusatnya terletak di hati.
Hati seseorang harus selalu dicuci agar bersih dari sifat-sifat yang jelek. Penyucian hati perlu dilakukan secara terus -menerus dengan cara berbuat baik kepada siapa saja. Semakin bersih dan jernih hati seseorang, maka akan semakin jelas ia dapat melihat Allah. Selain itu, ia juga harus mempelajari dan mengamalkan ilmu hakikat dengan sunguh-sungguh. Hati seseorang yang bersih atau jernih dan ia dapat mengamalkan ilmu hakikat dengan sungguh-sungguh, maka pada akhirnya ia akan dapat bertemu dan bersatu atau menjadi tunggal dengan Allah Ta‘ala (Wachdatul-Wujûd).
Untuk dapat memahami kesimpulan di atas, seseorang dianjurkan memperhatikan tamsil (ibarat) yang dipandang dapat menghantarkannya untuk bertemu dan bersatu dengan Allah Ta‘ala (Wachdatul-Wuj ûd). Tamsil itu adalah ombak dan air asalnya satu. Hamzah Fansuri mengumpamakan alam semesta seisinya (semua makhluk) dengan ombak dan ia juga mengumpamakan Allah dengan air. Ombak berasal dari air dan kembalinya pun juga menuju ke air sebagai asal atau sumbernya. Artinya, ombak (manusia) berasal dari Yang Satu, yaitu Allah sehingga keduanya merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan (Wachdatul-Wuj ûd).
Daftar Pustaka
Abdullah, Imran Teuku. 1991. Hikayat Meukuta Alam: Suntingan Teks dan Terjemahan beserta Telaah Struktur dan Resepsi. Penerbit Intermasa, Jakarta.
Al-Attas, Syed Muhammad Naguib. 1970. The Mysticism of Hamzah Fansuri. University of Malaya Press, Kuala Lumpur.
As-Samatrâ‘î, Syamsuddin. t.t. Syarah Rubâ‘î Hamzah Fansuri A. 24 halaman Naskah Koleksi Pribadi Prof. Ali Hasymi, Banda Aceh
Chamamah-Soerattni, Siti. 1991. Hikayat Iskandar Zulkarnain Analisis Resepsi. Balai Pustaka, Jakarta.
--------------------------------. 1999. “Studi Filologi: Macam-Macam Teori” Makalah Penataran Filologi bagi Para Dosen IAIN Sunankalijaga dan Para Dosen Kopertis Wilayah V Daerah Istimewa, Yogyakarta pada bulan Juli –September 1999 di IAIN Sunankalijaga, Yogyakarta.
Churchil, W.A. 1965. Watermark in Paper in Holland, England, France, Etc. in The XVII and XVIII Centuries and Their Interconnection. Menno Hertz-berger & Coo, Amsterdam.
Djamaris, Edwar. 1977. “Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi” dalam Bahasa, dan Sastra. Tahun III nomor 1halaman 20-33.
Drewes, G.W.J. and L. F. Brakel.1986.The Poems of Hamzah Fansuri. Koninklijk Instuut voor Taal, Land-en Volkenkunden, Leiden.
Fansuri, Hamzah. t.t. Rubâ ‘î Hanzah Fansuri. 5 halaman. Naskah Koleksi Filologika Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh.
Hadi W.M., Abdul. 1995. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya. Penerbit Mizan, Bandung.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian Puisi. Penerbit Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry. Indiana University Press, Bloo-mington London.
Robson, S.O. 1978. “Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia” dalam Bahasa dan Sastra, tahun IV nomor 6.
Segers, Rien T. 1978. The Evaluation of Text. The Peter de Ridder Press, Lisse.
Teeuw, Andries. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta.
Usman, Zuber. 1963. Kesusastraan Lama Indonesia . Penerbit PT Gunung Agung,Jakarta.
Wahbi, Magdi. 1984. Mu‘jamul-Mushthalachâtil-‘Arabiyyati fl-Lughah wal-Adab. Percetakan Libanon, Beirut.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan diindonesiakan oleh Melani Budianta dari judul asli Theory of Literature. Cetakan ke-2. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Yunus, Mahmud. 1973. Kamus Arab-Indonesia. Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Pentafsiran Al-Qu‘an, Jakarta.
Dr. Sangidu, adalah Guru Besar pada Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Indonesia
Oleh: Sangidu
1. Pengantar
Hamzah Fansuri merupakan ulama dan ahli sufi pertama yang dipandang telah menghasilkan karya tulis ketasawufan dalam bahasa Melayu tinggi atau baku yang pada gilirannya kelak dipilih menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia. Kecemerlangan gaya penulisan Hamzah sulit ditandingi oleh ulama sezaman dan sesudahnya. Ia dipandang sebagai pemula yang merintis tradisi keilmuan di bidang sastra mistik Melayu, khususnya, dan bahkan di bidang sastra Melayu, pada umumnya (Al-Attas, 1970:178). Ia juga merupakan pemula puisi Islam Nusantara, perintis tradisi keilmuan dan filsafat, serta pembaharu spiritual pada zamannya. Dalam puisi-puisinya, ia menampakkan semangat egaliterisme, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama derajatnya sebagai pancaran semangat tauhid. Ia juga sebagai potret ahli sufi yang independen dan intelektual yang berani, pendakwah yang gigih, dan karismatik (Hadi W.M., 1995:48-49). Karya-karyanya tidak terhitung jumlahnya, baik yang berbentuk prosa maupun puisi. Sebagian besar karya-karyanya sudah lenyap dimakan zaman dan kutu buku ataupun peristiwa pembakaran terhadap karya-karyanya. Sebagian besar lainnya masih tersimpan di museum-museum ataupun di perpustakan-perpustakaan pribadi, di antaranya berjudul Syarabu l-‘Âsyiqin, Al-Muntah î, dan Rubâ‘î Hamzah Fansuri.
Naskah Rubâ‘î Hamzah Fansuri merupakan naskah yang selalu dicari keberadaannya oleh para peneliti asing. Naskah ini merupakan barang langka yang telah diselamatkan oleh para murid Hamzah Fansuri pada waktu terjadi pembakaran karya-karya Hamzah dan Syamsuddin oleh Nuruddin. Yang dimaksud rubâ‘î atau al-murabba‘ adalah bentuk syair yang terdiri atas empat baris (Wahbi, 1984:351). Syair berasal dari kata Arab sya‘ara-yasy‘uru -syi‘ran wa huwa syâ‘irun yang berarti “menembang, bersyair, berpantun” (Yunus, 1972:198). Syair atau syi‘r dalam bahasa Arab sama dengan puisi atau sajak dalam bahasa Indonesia. Syair, pada umumnya, berisi empat baris, tiap bait. Keempat-empatnya itu berisi buah pikiran seperti yang terdapat di dalam puisi barat. Kadang-kadang keempat baris itu tidak sama sajaknya, dan hal yang demikian termasuk perkecualian. Menurut keterangan Wilkinson (dalam Usman, 1963:184-185), syair Melayu lahir pada abad ke-17. Akan tetapi, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa sebelum abad ke - 17 sudah ada syair Melayu karena syair yang ada di batu nisan raja Pasai bertanggal 781 H. atau 1380 M. Hal ini merupakan bukti konkret adanya syair sebelum abad ke-17. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa sebelum Malaka jatuh, syair sudah dikenal oleh orang Melayu. Syair, yang dapat dipastikan asal usul dan tahunnya, adalah syair karangan Hamzah Fansuri yang hidup pada zaman Sultan Iskandar Muda (tahun1606-1636 M).
Naskah Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” ini menarik untuk diteliti, baik dari aspek pernaskahan, penyuntingan maupun dari aspek makna teksnya karena di dalam syair ini bercerita tentang keadaan Dzât Allah. Menurut Hamzah, Allah itu terlalu nyata daripada semua hal yang nyata. Untuk memahami pendapat dan keyakinan Hamzah ini, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap karyanya yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata”
2. Masalah
Berdasarkan uraian di dalam pengantar di atas, dapat dikemukakan masalah yang akan dijawab di dalam penelitian ini adalah pernaskahan “Sidang Fakir Empunya Kata”, penyuntingan, dan makna teksnya.
3. Landasan Teori dan Metode
Oleh karena di dalam penelitian ini membahas kajian filologis dan analisis semiotik, maka sudah barang tentu teori dan metode yang dimanfaatkannya pun juga bersifat filologis dan semiotis. Untuk itu, di bawah ini dikemukakan dasar- dasar kedua teori dan metode tersebut.
3.1 Teori dan Metode Filologi
Dalam keadaannya sebagai ciptaan sastra lama, Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” berkaitan erat dengan masalah pernaskahan dan penyuntingan. Karena itu, pemahaman dan pengungkapan makna teksnya terlebih dahulu perlu dilakukan dengan memanfaatkan teori filologi. Filologi merupakan suatu ilmu yang objek penelitiannya naskah-naskah lama dan dipandang sebagai pintu gerbang yang dapat menyingkap khazanah masa lampau (Djamaris, 1977:20). Kegiatan filologi yang menitikberatkan penelitiannya kepada bacaan yang berbeda (varian), dan bahkan bacaan yang rusak (korup) serta dipandangnya sebagai suatu kesalahan itu, sering disebut filologi tradisional. Adapun Kegiatan filologi yang memandang bacaan yang berbeda (varian) dan bacaan yang rusak (korup) sebagai suatu kreativitas penyalinnya itu sering disebut filologi modern (Chamamah-Soeratno, 1999).
Penelitian terhadap Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” ditujukan untuk menyajikan teksnya dalam bentuk suntingan atau dalam bentuk teks terbaca. Untuk itu, di dalam penelitian ini, akan diungkapkan masal h yang berkaitan dengan pernaskahan Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata”, penyuntingan, dan makna teks yang terkandung di dalamnya.
Secara teoretis, penyajian teks dalam bentuk suntingan tersebut dilengkapi dengan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dan metodenya serta pemberian aparat kritik. Pemberian aparat kritik terhadap teks tersebut berupa pembetulan bacaan yang didasarkan pada kamus, konteks kalimatnya, dan diperbandingkan dengan naskah lain. Pemberian aparat kritik dengan perbandingan naskah lain hanya digunakan bagi teks-teks yang naskahnya lebih dari satu buah, sedangkan teks-teks yang naskahnya hanya satu buah, pemberian aparat kritik berupa hasil duga penyunting yang mengacu pada kamus dan konteks kalimatnya. Semuanya itu dilakukan dalam rangka memahami dan mengungkapkan makna teksnya. Karena itu, teori filologi yang dimanfaatkan di dalam penelitian ini adalah teori filologi modern.
Teori filologi modern merupakan suatu disiplin yang mendasarkan kerjanya pada bahan tertulis dan bertujuan mengungkapkan makna teks tersebut dalam segi kebudayaan agar buah pikiran yang terkandung di dalamnya dapat diketahui oleh masyarakat sekarang (Chamamah-Soeratno, 1999).
Di dalam penelitian ini, baru ditemukan satu buah naskah Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata”. Apabila naskah tertentu hanya didapatkan satu buah naskah, maka penyuntingannya memanfaatkan metode edisi naskah tunggal. Pemanfaatan metode ini dilakukan dengan dua jalan. Pertama, edisi diplomatik, yaitu menerbitkan satu naskah seteliti mungkin tanpa mengadakan perubahan sedikit pun. Dalam edisi diplomatik ini, penyunting dapat membuat transliterasi setepat-tepatnya tanpa menambahkan sesuatu (Robson., 1978:42). Kedua, edisi biasa dan disebut juga edisi standar atau edisi kritik, yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan, sedangkan ejaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku (Robson, 1978:43). Selain itu, penyunting perlu melakukan pembagian kata, ka limat, penggunaan huruf besar, pungtuasi, dan memberikan komentar mengenai kesalahan-kesalahan teks. Semua perubahan dan pembetulan yang telah dilakukan dicatat di tempat khusus agar selalu dapat diperiksa dan diperbandingkan dengan bacaan naskah sehingga masih memungkinkan penafsiran lain oleh pembaca. Segala usaha perbaikan harus disertai pertanggungjawaban dengan metode rujukan yang tepat (Robson, 1978:43). Oleh karena ada dua jalan yang dapat ditempuh dalam metode edisi naskah tunggal, maka di dalam penelitian ini dimanfaatkan edisi standar atau edisi kritik. Hal itu dilakukan karena metode edisi diplomatik secara teoretis dipandang murni dan tidak ada unsur campur tangan dari editor, tetapi secara praktis metode itu dipandang kurangmembantu pembaca.
3.2 Teori dan Metode Semiotik
Manusia sebagai homo significans, dengan karyanya akan memberi makna kepada dunia nyata atas dasar pengetahuannya. Pemberian makna dilakukan dengan cara mereka dan hasil karyanya berupa tanda (Chamamah-Soeratno, 1991:18).
Sebagai tanda, karya sastra merupakan dunia dalam kata yang dapat dipandang sebagai sarana komunikasi antara pembaca dan pengarangnya. Karya sastra bukan merupakan sarana komunikasi biasa. Oleh karena itulah, karya sastra dapat dipandang sebagai gejala semiotik (Teeuw, 1984:43)
Semiotik merupakan suatu disiplin yang meneliti semua bentuk komunikasi selama komunikasi itu dilaksanakan dengan menggunakan tanda yang didasarkan pada sistem-sistem tanda (kode-kode (Segers, 1978:14). Oleh karena semiotik dipanda ng sebagai ilmu tentang tanda atau sebagai ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda – tanda tersebut mempunyai arti, maka dalam pengertian ini ada dua prinsip yang perlu diperhatikan. Kedua prinsip itu adalah “penanda” (Ing. Signifier; Pr. Signifiant), yakni yang menandai dan “petanda” (Ing. Signified; Pr. Signifié), yakni yang ditandai (Chamamah-Soeratno, 1991:18; Pradopo, 1990,121)
Atas dasar pengertian di atas, maka Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” dengan sendirinya dapat dipandang sebagai gejala semiotik atau sebagai tanda. Sebagi tanda, makna karya sastra dapat mengacu kepada sesuatu di luar karya sastra itu sendiri atau pun di dalam dirinya (Riffaterre, 1978:1).
Sebagai dunia dalam kata, karya sastra memerlukan bahan yang disebut bahasa (Wellek dan Austin Warren, 1990:15). Bahasa sastra merupakan “penanda” yang menandai “sesuatu”. Sesuatu itu disebut “petanda”, yakni yang ditandai oleh penanda. Makna karya sastra sebagai tanda adalah makna semiotiknya, yaitu makna yang bertautan dengan dunia nyata (Chamamah-Soeratno, 1991:18). Sebagai dasar pemahaman terhadap karya sastra yang merupakan gejala semiotik adalah pendapat bahwa karya sastra merupakan fenomena dialektik antara teks dan pembaca. Oleh karena itulah, pembaca tidak dapat terlepas dari ketegangan dalam usaha menangkap makna sebuah karya sastra (Riffaterre, 1978:1-2; Abdullah, 1991:8). Dengan demikian, makna karya sastra tidak hanya ditentukan oleh pembaca terhadap karya sastra yang dihadapinya, tetapi juga ditentukan dan diarahkan oleh karya sastra itu sendiri (Chamamah Soeratno, 1991:18). Oleh karena itu, sebagai dasar pemahaman terhadap Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” yang merupakan gejala semiotik adalah pendapat bahwa karya tersebut merupakan fenomena sastra dan sebagai satu dialektika antara teks dengan pembacanya ataupun antara teks dengan konteks penciptaannya (Riffaterre, 1978:1).
Untuk mengungkapkan makna karya di atas sebagai gejala semiotik, diperlukan metode, yaitu metode pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif. Metode pembacaan heuristik merupakan cara kerja yang dilakukan oleh pembaca dengan menginterpretasikan teks sastra secara referensial lewat tanda-tanda linguistik (Riffaterre, 1978:5). Pembacaan heuristik juga dapat dilakukan secara struktural (Pradopo, 1991:7). Artinya, pada tahap ini pembaca dapat menemukan arti (meaning) secara linguistik (Abdullah, 1991:8). Adapun metode pembacaan hermene utik atau retroaktif merupakan kelanjutan dari metode pembacaan heuristik untuk mencari makna (meaning ofmeaning atau sifniifcance). Metode ini merupakan cara kerja yang dilakukan oleh pembaca dengan bekerja secara terus-menerus lewat pembacaan teks sastra secara bolak-balik dari awal sampai akhir. Dengan pembacaan bolak-balik itu, pembaca dapat mengingat peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian di dalam teks sastra yang baru dibaca. Selanjutnya, pembaca menghubungkan kejadian-kejadian tersebut antara yang satu dengan lainnya sampai ia dapat menemukan makna karya sastra pada sistem sastra yang tertinggi, yaitu makna keseluruhan teks sastra sebagai sistem tanda (Riffaterre, 1978:2; Culler, 1981:81).
Adapun teknik pembacaannya dapat dilakukan secara simultan atau serentak. Artinya, pembacaan heuristik ataupun pembacaan hermeneutik dapat berjalan secara serentak atau bersama-sama. Akan tetapi, secara teoretis sesuai dengan metode ilmiah untuk mempermudah pemahaman dalam proses pemaknaan dapat dianalisis secara bertahap dan sistematis, yaitu pertama kali dilakukan pembacaan heuristik secara keseluruhan terhadap teksnya dan kemudian baru dilakukan pembacaan hermeneutik. Dalam penelitian ini, teknik pembacaanya dilakukan secara simultan atau serentak .
4. Pembahasan
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, ada tiga masalah yang akan dijawab dan dibahas di dalam penelitian ini, yaitu masalah pernaskahan Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata”, penyuntingan, dan makna teksnya. Untuk itu, di bawah ini dikemukakan jawaban dan pembahasan terhadap ketiga masalah di atas.
4.1 Pernasakahan Rubâ‘î berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata”
Naskah Rubâ‘i berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” yang dijadikan objek material di dalam penelitian ini adalah naskah yang sudah diinventarisir, tetapi belum diberi nomor. Naskah Rubâ‘i ini terdapat di Museum Negeri Banda Aceh dalam kondisi yang tidak lengkap. Penulis meneliti langsung di Museum Negeri Banda Aceh dan mendapatkan naskah tersebut serta mengkopinya.
Naskah Rubâ‘i berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” ini berukuran 20 x 6 1 cm dan terdiri atas dua halaman. Halaman pertama memuat 15 baris tulisan dan halaman kedua memuat 12 baris tulisan. Bagian atas halaman pertama dilukis dengan lukisan bunga dan bagian bawah halaman kedua juga dilukis dengan lukisan bunga. Setiap barisnya rata-rata terdiri dari 8 sampai 10 kata.
Ukuran salinan teksnya berukuran 13 x 9 cm pada halaman pertama dan halaman kedua berukuran 10 x 9 cm. Naskah Rubâ‘i disalin dengan tulisan Jawi (Arab-Melayu), memakai tinta hitam, dan ditulis dengan rapi, bersih, dan jelas dengan khath naskhi sehingga mempermudah dalam proses pembacaan teksnya. Penyalinan teksnya tidak menggunakan garis pengarah, baik garis pabrik maupun garis kuku atau garis lainnya yang dibuat dengan tinta atau pensil.
Kertas yang digunakan untuk menampung salinan teks Rubâ‘i berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” ini dipandang masih bagus tanpa coretan sedikit pun yang menandakan bahwa naskah tersebut belum pernah diteliti. Kertas yang dipakai untuk menyalin naskah Rubâ‘i merupakan jenis kertas buatan Perancis dan berwarna putih kecoklat-coklatan dengan cap air (watermark) CS jenis MISCELLANEOUS (Churchill, 1965:CCCLXXXII). Hal itu menandakan bahwa kertasnya dibuat kira-kira pada tahun 1743 M (Churchill, 1965:88).
4.2 Penyuntingan dan Aparat Kritik Teks Rubâ‘I berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata”
4.2.1 Penyuntingan Teks Rubâ‘I berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata”
Suntingan teks Rubâ‘î Hamzah Fansuri yang berjudul “Sidang Fakir Empunya Kata” berdasarkan naskah yang tersimpan di Museum Negeri Banda Aceh. Teks Rubâ‘î ini terdiri dari tigabelas bait dan setiap baitnya terdiri dari empat baris. Ketigabelas bait yang dimaksud adalah sebagai berikut.
[1]
Daftar Pustaka