Rahman: Demi Tanah Laut

Oleh : Agnes Rita Sulistyawaty

"Banyak uang ditawarkan kepada saya atau masyarakat. Tetapi, perjuangan merebut tanah ulayat ini hendak membuktikan, tidak semua hal bisa dibeli dengan uang," tutur Rahman (44), Datuk Penghulu Setio Dirajo.

Tanah ulayat di Desa Sialang Godang, Kecamatan Bandar Petalangan, Pelalawan, Riau, bukan sekadar benda mati yang menghasilkan nilai tambah secara ekonomi. Lebih dari itu, tanah tersebut merupakan simbol harga diri sekaligus situs pelestarian budaya.

Oleh karena itu, Rahman memilih tetap berusaha merebut tanah ulayat yang dikuasai perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1987. Masyarakat Petalangan yang ketika itu mengambil getah pohon karet, dipaksa pulang karena perkebunan karet di tanah ulayat itu akan dijadikan perkebunan sawit.

Bukan berarti tak ada perlawanan ketika itu, tetapi mereka yang berani menentang, langsung merasakan akibatnya. Tak terhitung berapa banyak kepala desa, sekretaris desa, dan camat yang dicopot karena mempertahankan tanah ulayat. Bahkan, ayah Rahman, Imam Thaha yang menjadi tokoh masyarakat desa, pun menjadi korban intimidasi pihak perusahaan dan aparat.

"Bapak saya tidak rela melihat kebun karet yang selama ini menjadi penghidupan masyarakat desa, digusur paksa oleh aparat dan perusahaan. Beban hidup itu juga yang menyebabkan Bapak sakit lalu meninggal dunia," tutur Rahman.

Jalan masuk ke Desa Sialang Godang yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari Jalan Lintas Timur Sumatera sempat diblokir oleh aparat keamanan. Sepekan lamanya warga tidak bisa melintas, sekadar untuk berbelanja bahan kebutuhan pokok sekalipun.

Setelah intimidasi dan teror, korporasi perkebunan dari Jakarta itu menguasai sekitar 12.000 hektar lahan ulayat masyarakat Petalangan. Di lahan itu hingga kini, batang-batang pohon sawit berdiri dengan gagah. Para pekerja didatangkan dari luar desa. Sedangkan masyarakat Petalangan terpinggirkan, hanya menjadi penonton.

Selain perkebunan sawit yang menduduki tanah ulayat Penghulu Setio Dirajo, perusahaan lain pengelola hutan tanaman industri (HTI) juga ikut merampas tanah ulayat. Namun, fokus dan tenaga masyarakat yang sangat terbatas membuat mereka sementara mengerahkan pikiran untuk merebut perkebunan kelapa sawit. Tanah ulayat itu luasnya sekitar 26.000 hektar.

Lahan warisan nenek moyang masyarakat Petalangan, lepas dari tangan mereka. Hilanglah sudah kisah penghidupan masyarakat Petalangan yang bersumber dari padi berladang, mengumpulkan dan menjual hasil hutan nonkayu, serta perkebunan karet di lahan pekarangan.

Upaya Negosiasi
Upaya merebut hak ulayat harus diusahakan. Masyarakat tidak bisa hanya berpangku tangan menanti kembalinya hak atas tanah itu. Itulah kesadaran Rahman. Ia pun menggalang massa untuk merebut tanah itu.

Langkah demi langkah telah ditempuh. Upaya negosiasi dijalani dari tingkat kabupaten, DPR, kepolisian, hingga Komnas HAM. Peta tanah ulayat yang dimiliki masyarakat ternyata belum bisa menjadi daya tawar untuk mendapatkan kembali tanah tersebut. Padahal, peta tersebut mereka peroleh dari Badan Koordinasi Survei Tanah Nasional (Bakorsurtanal).

Aksi pembakaran perkebunan perusahaan pada akhir tahun 1998 merupakan salah satu titik kulminasi masyarakat, setelah negosiasi terus tanpa hasil. Rahman dan masyarakat juga menemukan, izin hak guna usaha (HGU) perkebunan swasta itu baru keluar tahun 1999.

Lagi-lagi, masyarakat kalah bila berhadapan dengan sistem hukum negara yang belum berpihak pada masyarakat adat. Alih-alih masyarakat mendapatkan tanah ulayat, justru Rahman dipenjarakan. Mulai 15 April 1999 hingga Agustus 2000, Rahman menghabiskan waktu di tiga lembaga pemasyarakatan, yakni LP Bangkinang, Pasir Pangarayan, dan Rengat.

Di penjara, pihak perkebunan sawit itu masih berusaha menghentikan langkah masyarakat dengan memperkarakan penyerobotan lahan. Pihak perkebunan sempat menawarkan Rp 7 miliar dan pembebasan tuntutan kepada Rahman.

Tahun 2003, masyarakat juga ditawari Rp 18 miliar untuk ganti rugi 1.000 hektar lahan yang diserobot. Kalau ingin kaya, kata Rahman, sebenarnya ia bisa saja mengambil uang itu. Namun, uang akan habis sekali pakai, sedangkan tanah bisa menjamin hidup masyarakat dari generasi ke generasi.

Tawaran damai dari perkebunan bukan sekali diterima Rahman. Beberapa kali pula pihak perkebunan menyodorkan sejumlah uang untuk menghentikan upaya masyarakat meminta kembali tanah ulayat mereka.

Namun, Rahman bersikukuh. Kendati hidup dari gaji bulanan sebagai guru golongan III di SD Sialang Godang, Rahman tidak tergiur tawaran uang itu. Aktivitas mengajar di sekolah bahkan sering digantikan guru honorer, karena Rahman kerap bepergian ke luar kampung untuk mengurus tanah ulayat.

Peningkatan posisi sebagai kepala sekolah atau pegawai di kantor Kabupaten Pelalawan, ditampiknya. Alasannya sederhana, ia masih ingin menggunakan sebagian besar waktunya untuk mendapatkan kembali tanah ulayat masyarakatnya. Ini pun dia kerjakan demi masa depan para siswa yang diajarnya, yang sebagian besar warga Melayu Petalangan.

Kini, masyarakat tetap pada tuntutan mereka, yakni mendapatkan tanah ulayat itu. Bahkan, dari 12.000 hektar tanah yang diserobot pihak perkebunan, masyarakat meminta pengembalian 7.116 hektar saja. Luas lahan ini diperoleh dari lahan yang belum diganti rugi, serta kelebihan lahan dari yang diizinkan untuk digunakan perkebunan.

Kalau saja lahan itu kembali menjadi milik masyarakat Penghulu Setio Dirajo, warga bersepakat mengolah kebun sawit itu bersama-sama dalam wadah koperasi.

"Bila dihitung, dengan lahan seluas 7.116 hektar itu, masyarakat bisa mendapatkan hasil sawit sampai miliaran rupiah," ungkap Rahman.

Kebijakan industrialisasi ternyata belum mampu menyejahterakan rakyat. Dalam kasus Rahman, yang terjadi adalah proses peminggiran dan pengambilan secara paksa atas kedaulatan tanah yang dimiliki masyarakat lokal.

Hutan dan tanah untuk penyambung nyawa, itulah yang hendak diraih Rahman selaku Datuk Penghulu Setio Dirajo. Bila saja ada tanah yang bisa mereka kelola, di situlah tumpuan penghidupan akan disandarkan.

Datuk Itu Seorang Guru SD
Di tengah gerakan perlawanan terhadap perkebunan swasta, Rahman masih tercatat sebagai guru SD Sialang Godang. Setelah hampir 20 tahun menjadi guru pegawai negeri sipil (PNS), ia mendapatkan golongan III C.

Gaji bulanan ditambah dengan hasil dari penjualan karet di lahan miliknya yang masih tersisa, pria ini menghidupi istrinya, Rahmaniah (38) dan tiga anak mereka. Bahkan, gaji bulanan sebagai guru pun kerap diberikannya kepada guru honorer di sekolah itu, yang menggantikan tugasnya mengajar kelas V.

Kendati pernah hidup di bui, pria kelahiran Sialang Godang, 1 September 1963 itu masih tetap dipekerjakan sebagai PNS. Bahkan, masyarakat ikut mendukung usaha Rahman. Ia mendapatkan suara terbanyak dibandingkan tiga calon lain yang dipilih menjadi datuk-pimpinan Penghulu Setio Dirajo.

Pada 2 Oktober 2000, Rahman dikukuhkan sebagai Datuk Penghulu Setio Dirajo oleh Wakil Bupati Pelalawan, yang ketika itu dijabat oleh Anas Badrun.

Sumber: Kompas