Proses Terbentuknya Heterogenitas Etnis di Pontianak pada Abad ke-19

Oleh : Hasanuddin dan Budi Kristanto

1. Pengantar
Yang ingin dicapai tulisan ini adalah memandang setiap perkembangan masyarakat Pontianak sebagai suatu kesatuan. Sebagai konsep kesatuan tercakup segala aspek perkembangan sejarah pada masa lalu. Salah satu konsep kesatuan yang mencakup berbagai unsur dan dimensi, yaitu interaksi antara penduduk pribumi dan pendatang/pedagang, dapat saling mempengaruhi dimensi kesatuan itu. Sehubungan dengan ini, masalah komunikasi sangat penting karena jalur-jalur komunikasilah yang membentuk jaringan golongan lapisan sosial; dengan menciptakan komunikasi sosial timbul aliran besar kultural yang membawa ideologi, sistem kepercayaan, sistem politik, dan berbagai unsur kebudayaan lainnya.

Dari segi geografis, Pontianak terletak diantara jalur perdagangan Selat Malaka dan merupakan daerah transito perdagangan, baik dari timur maupun barat Nusantara, terutama hubungannya dengan Singapura sebagai pusat perdagangan setelah jatuhnya Malaka dan merupakan jalur pelayaran antara Cina dan India. Jalur inilah yang merupakan jalan dan kemudahan terpenting untuk menyelenggarakan transportasi dan komunikasi yang menarik berbagai etnis untuk berdatangan ke Pontianak, dan merupakan hal yang bersifat taktis dan strategis bagi suatu kerajaan untuk kepentingan politik, sosial ekonomi, kebudayaan dan militernya. Bahkan, kebesaran, kemegahan, dan kemasyhuran kerajaan pada umumnya tergantung pada ramainya lalu lintas perhubungan dan jenis-jenis alat yang digunakan pada masa itu.

Interaksi antarunit terjadi lewat komunikasi, mulai dari hubungan perkawinan, perang, diplomasi, sampai pada pelayaran dan perdagangan. Dari jaringan komunikasi itu timbullah proses integrasi di antara daerah-daerah dan unsur-unsur sosialnya. Dengan perkembangan pusat-pusat kekuasaan pada waktu tertentu, perjalanan sejarah Pontianak secara jelas menunjukkan kecenderungan ke arah integrasi progresif yang sudah barang tentu proses tersebut mengalami pasang surut.

Lagi pula, yang menarik dalam persamaan kekuasaan dan kecenderungan sosial dalam menghadapi pengaruh dari luar, konflik antara kelompok menurut sikap pro atau kontra kekuasaan asing dalam struktur kekuasaan feodalistis yang mengandung benih-benih disintegrasi, perpecahan tidak hanya terjadi karena perbedaan ideologi, tetapi juga karena kepentingan ekonomi dan loyalitas kepada tradisi atau keluarga sehingga sering timbul adanya berbagai pertentangan berdasarkan perlawanan etnis.

2. Berdiri dan Berkembangnya Kerajaan Pontianak
Berdirinya Kerajaan Pontianak bermula dari riwayat hidup Syarif Abdurrahman --pendiri Kerajaan Pontianak--. Sebagai anak muda yang cakap dan tampan, dia telah menunjukkan bakat dan ambisinya yang besar. Masa mudanya penuh dengan petualangan, seperti melakukan pelayaran ke Siak dan Palembang, mengadakan kegiatan perdagangan lada di daerah Banjarmasin, mengadakan perang dan berhasil mengalahkan kapal Francis di Pasir (Banjarmasin), juga mengalahkan jung-jung Cina, dan sebagainya. Di wilayah Banjarmasin beliau diangkat menantu oleh Sultan Saad dengan mengawini Ratu Sirih Anom, kemudian diberi gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam, yang sebelumnya telah mengawini puteri Tjandramidi, anak Opu Daeng Menambon. Karena ambisinya yang sangat kuat, akhirnya di daerah tersebut dia sangat dibenci oleh kerabat kerajaan sehingga terpaksa bertolak kembali ke Mempawah.1

Sejak pertengahan abad 18, VOC merasa terganggu atas adanya perompak-perompak/bajak laut terhadap kapal-kapal dagangnya di kawasan perairan muara Sungai Kapuas. Hal ini mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi VOC karena hasil bumi dari Kerajaan Landak, utamanya lada dan hasil tambang intan, jatuh ke tangan para perompak tersebut. Untuk itu, para pembesar VOC meminta bantuan kepada Panembahan Mempawah guna mengamankan wilayah di sekitar muara Sungai Kapuas dari para perompak. Kemudian Panembahan Mempawah menyanggupi permintaan tersebut, dan menugaskan Syarif Abdurrahman untuk mengamankan wilayah tersebut yang pada masa itu Syarif Abdurrahman bagi kalangan elite politik Mempawah kurang disenangi karena perilakunya. Pada 23 November 1771 bersama sejumlah pengikutnya sebagian besar orang Bugis yang menetap di Mempawah dengan menggunakan 15 buah kapal meninggalkan Mempawah, Syarif Abdurrahman dan pengikutnya berangkat melalui rute perjalanan muara Sungai Kapuas dan selanjutnya ke Sungai Peniti guna mencari sarang para perompak, tetapi hasilnya ialah belum juga ditemukan sarang para perompak tersebut. Kemudian Syarif Abdurrahman melanjutkan kembali perjalanannya dan menjumpai sarang para perompak tersebut --sekarang dikenal dengan daerah antara Batu Layang dan Nipah Kuning-- para perompak tersebut berhasil diusirnya dari kawasan muara Sungai Kapuas. Sebagai seorang ahli siasat dan pengalamannya dalam pentualangan, Syarif Abdurrahman memilih untuk mendirikan pusat kedudukannya di sekitar Sungai Kapuas sampai tempat pertemuannya dengan Sungai Landak.2

Menurut Panji Pustaka dalam Nomor Soeltan Pontianak dinyatakan bahwa setelah Syarif Abdurrahman tiba di daerah pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak, kemudian ia memulai pembukaan hutan yang banyak dihuni hantu dan berhasil diusirnya setelah beberapa hari menembakkan bedil. Setelah hantu-hantu itu berhasil diusirnya, kemudian daerah ini diberinya nama Pontianak. Pada saat pembentukan daerah Pontianak, Syarif Abdurrahman kembali ke daerah Mempawah dan mengajak keluarganya ke daerah yang baru dibuka tersebut. Tanggal 8 Syahban 1192 H para raja di Kalimantan Barat menghadiri pengangkatan Syarif Abdurrahman sebagai raja di Kerajaan Pontianak. Kemudian Yang Dipertuan Haji Raja Muda dari Riau atas nama seluruh rakyat mengangkat Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam dengan gelar Maulana Sultan Syarif Abdurrahman, Sultan di Kerajaan Pontianak. Rabu, 20 Rajab 1185 H merupakan hari jadi berdirinya daerah Pontianak, peristiwa ini juga dicatat dalam tambo kerajaan.3

Veth mengatakan bahwa pada 7 Januari 1772 di wilayah inilah mereka mulai membuka hutan dan mendirikan pemukiman baru, kemudian membangun sebuah surau (Mesjid Jami` sekarang) dan beberapa waktu kemudian didirikan sebuah bangunan (Keraton Kadriah sekarang) dengan bahan sederhana yang terbuat dari bahan bambu dan daun ilalang. Setelah itu wilayah ini dikembangkannya menjadi pusat pelayaran dan perdagangan. Daerah yang strategis membawa kemajuan dalam pelayaran dan perdagangan karena kemudian banyak pedagang datang ke wilayah tersebut dengan mengadakan hubungan dagang, seperti Bugis, Melayu, Cina, Sanggau, Sukadana, Mempawah, dan Sambas.4

Setelah berdirinya Kerajaan Pontianak, orang Dayak banyak berdatangan dan secara bergelombang membuka perkampungan sepanjang tepian Sungai Ambawang. Kelompok pertama berjumlah dua puluh keluarga dengan membuka daerah perkampungan yang sekarang disebut Kampung Durian. Kelompok kedua berjumlah empat puluh keluarga di bawah pimpinan Macan Sumit membuka perkampungan cabang kiri. Kelompok ketiga, berjumlah enam puluh keluarga dipimpin Tumenggung Maja, membuka perkampungan masuk ke simpang kanan. Kelompok keempat berjumlah delapan puluh keluarga, dipimpin Mangku Kipang, mendiami Kampung Pasak. Kelompok kelima berjumlah seratus dua puluh keluarga, membuka perkampungan di daerah Pancaroba, Ngabang, dan Landak.5 Dari awal inilah komunitas Dayak tumbuh dan berkembang di Pontianak.

Dengan adanya jaminan Sultan Pontianak atas pelayaran dan perdagangan di kawasan Sungai Landak dan Sungai Kapuas Kecil, lalu lintas perdagangan di Pontianak cukup ramai. Jalur perdagangan yang dikuasai dan diatur oleh sultan sangat menguntungkan bagi kerajaan. Cukai yang masuk dari hegemoni dagang ini merupakan pendapatan (revenuen) yang besar bagi kerajaan dan menyebabkan Pontianak secara ekonomis maupun militer merupakan kerajaan yang kuat. Dengan kedudukannya yang cukup kuat Syarif Abdurrahman berusaha melakukan ekspansi, yang menjadi keinginan pertama adalah Kerajaan Sanggau. Adanya ancaman tersebut, Raja Sanggau selaku vazal (negeri bawahan) Banten meminta bantuan, tetapi pihak Banten yang secara resmi masih dipandang mempunyai suzereinitas sesungguhnya sudah tidak berdaya lagi melakukan tindakan tersebut, maka pada 26 Maret 1778 Sultan Banten bersama para pembesarnya menyerahkan supremasi Banten kepada VOC6 dan selanjutnya menyerahkan kekuasaan Sanggau kepada Sultan Pontianak.

Dalam menghadapi situasi baru itu serta penuh kesadaran akan kekuasaan kompeni, maka Syarif Abdurrahman mengakui supremasinya dengan menandatangani kontrak (perjanjian) dengan VOC pada 5 Juli 1779. Setelah penobatannya sebagai Sultan Pontianak dan Sanggau dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman Nur Alam Ibnu Hamid Husin Alkadri, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mengakuinya sebagai Sultan Pontianak dan Sanggau dengan mengutus Residen Rembang Willem Adrian Palm yang bertujuan untuk mengikat berbagai perjanjian, yaitu mengatur sistem pemerintahan dan mempertahankan kerajaan secara bersama-sama. Jika sultan wafat, para menteri mengusulkan calon sultan kepada kompeni dan sekaligus mengangkatnya sebagai sultan. Sultan mengangkat para menteri dengan sepengetahuan kompeni. Sultan hanya boleh membangun benteng atas persetujuan gubernur jenderal. Apabila kompeni membangun benteng, sultan harus mengizinkan dan membantunya. Bila ada serdadu atau pegawai kompeni lari kepada sultan, sultan harus menyerahkannya kepada kompeni. Mata uang Belanda yang berlaku di Batavia juga diberlakukan di kesultanan. Sultan tidak diharuskan memungut cukai ekspor dan impor kecuali oleh Peter Kompeni. Hak monopoli atas hasil hutan seperti intan, emas, lada, sarang burung, sisik ikan, bulu, dan sagu dengan harga jual yang ditentukan kompeni. Wilayah Pontianak dan Sanggau tidak diperbolehkan menanam cengkeh, pala, dan kopi; jika ditemukan, harus ditebang dan dilarang diperdagangkan. Sultan tidak diharuskan melakukan perdagangan kecuali sepengetahuan kompeni dan para pedagang berasal dari negeri Pontianak dan Sanggau harus membawa pas kompeni. Bila terjadi serangan dari luar, kompeni wajib menolong sultan. Sultan dan daerah bawahannya diwajibkan membantu kompeni terhadap serangan musuhnya dari darat dan laut. Orang-orang Cina yang menetap di Pontianak dan Sanggau di bawah yuridiksi kompeni, orang-orang Cina yang beragama Islam juga di bawah yuridiksi kompeni, kecuali anak-anaknya yang beragama Islam di bawah kekuasaan sultan. Para pendatang Jawa, Melayu, Bali, Bugis, dan Cina yang ingin menetap di Pontianak dan Sanggau harus sepengetahuan kompeni. Sultan agar mengadakan upacara sebagai perjanjian setia kepada kompeni, gubernur jenderal, tentara, dan kepada Prince van Oranje dan Nassau.7 Dengan adanya perjanjian tersebut VOC telah berhasil mengikat Kerajaan Pontianak dan memperluaskepentingan politiknya untuk menguasaidaerah-daerah di sekitar Kerajaan Pontianak dan berangkat dari inilah VOC pertama kali mengatur dan menguasai Kerajaan Pontianak.

Setelah Sultan Syarif Abdurrahman wafat pada tahun 1808, Syarif Kasim mengangkat dirinya menjadi Sultan Pontianak dan menghadap Gubernur Jenderal di Batavia untuk menyatakan bahwa ia bertahta sebagai Sultan Pontianak. Walaupun sesungguhnya Sultan Syarif Abdurrahman menunjuk putranya Syarif Usman (Pangeran Ratu) sebagai pewaris Kesultanan Pontianak, Syarif Usman yang usianya masih muda mengakui bahwa saudara tuanya, Syarif Kasim, sebagai Sultan Pontianak untuk sementara waktu, dan keputusan ini tidak mendapat persetujuan dari penduduk Pontianak yang menginginkan Syarif Usman sebagai Sultan Pontianak.8

Pada masa kekuasaannya, Sultan Syarif Kasim berusaha menjalin hubungan dengan Thomas Raffles. Hal ini dibuktikan dengan adanya pemberian hadiah dari kedua belah pihak. Pada masa kekuasaannya permasalahan yang dihadapi sering mendapat bantuan dari Raffles, terutama tentang adanya para perompak yang menghalangi jalur pelayaran dan perdagangan di Pontianak. Dalam menghadapi para perompak, utamanya yang dipimpin oleh Pangeran Anom, bekerja sama dengan perompak Ilanun yang sering menyerang para pedagang yang berniaga di Pontianak, Mempawah dan Banjar, kemudian ia menyurati Thomas Raffles dan meminta bantuannya guna melawan para perompak tersebut, yang secara langsung kepentingan perdagangan Inggris di Kalimantan juga akan mendapatkan dampak yang ditimbulkan dari para perompak tersebut.9

Letak geografis Kerajaan Pontianak berada di daerah persimpangan sungai besar (Sungai Landak dan Sungai Kapuas) sehingga jalur inilah yang merupakan jalan atau kemudahan yang terpenting untuk menyelenggarakan transportasi dan komunikasi di sekitar negeri-negeri Pontianak; merupakan hal yang bersifat taktis dan strategis bagi suatu kerajaan untuk kepentingan politik, sosial ekonomi, kebudayaan, dan militernya. Bahkan, kebesaran, kemegahan, dan kemasyhuran kerajaan pada umumnya tergantung kepada ramainya lalu lintas perhubungan dan jenis-jenis alat yang digunakan. Kepentingan Belanda untuk menguasai daerah pesisir Kalimantan Barat terpenuhi dengan berusaha mengadakan kontrak atau perjanjian-perjanjian dengan kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah pesisir tersebut. Pada akhir tahun 1820-an dan 1830-an, Pontianak, Mempawah, Sambas, dan negeri-negeri kecil di pesisir barat lainnya telah menandatangani perjanjian-perjanjian dengan pihak Belanda. Dengan adanya perjanjian-perjanjian tersebut Belanda telah berhasil mengikat kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat dan memperluas kepentingan politiknya, yang pada umumnya memuat isi perjanjian-perjanjian yang sangat merugikan kerajaan-kerajaan tersebut.

Pada tahun 1819 Pangeran Syarif Usman menggantikan Sultan Syarif Kasim Alkadri menjadi Sultan di Pontianak. Akan tetapi, hal ini ditolak oleh Pangeran Syarif Abubakar (putra Syarif Kasim) yang juga menginginkan tahta kesultanan, kemudian ia menghadap Gubernur Jenderal di Batavia. Peristiwa ini juga mendapat kecaman dari penduduk Pontianak yang menginginkan Syarif Usman menjadi Sultan Pontianak. Setelah itu, Gubernur Jenderal Belanda mengirimkan Komisaris Roesler untuk mengakui dan mengangkat Pangeran Ratu Syarif Usman menjadi Sultan Pontianak dengan gelar Sultan Syarif Usman bin Sultan Abdurrahman Alkadri dan ia juga tetap menjadi Panembahan di Mempawah. Pangeran Syarif Abubakar diberi gelar Pangeran Muda. Sultan Syarif Usman memberikan kepadanya tunjangan sebesar f. 6.000 setiap tahun.10
Setelah wafatnya Sultan Syarif Usman pada tanggal 12 April 1855, sebagai putra sulung Syarif Hamid Alkadri menggantikannya menjadi Sultan Pontianak. Sebelumnya, Syarif Hamid pernah memerintah di daerah Kubu berdasarkan keputusan Pemerintah Belanda pada 7 Oktober 1841. Baik pada masa Sultan Syarif Usman maupun Sultan Syarif Hamid Alkadri, daerah kekuasaan Sultan semakin berkurang dan Belanda semakin memperluas wilayah kekuasaannya di Pontianak. Sementara itu, kawasan Pontianak di sekitar Sungai Kapuas Kecil semakin ramai dikunjungi para pedagang yang telah menjadikan pusat perdagangan dan pusat pemerintahan Residen Belanda di Kalimantan Barat.11

Sekitar tahun 1872 Sultan Syarif Hamid Alkadri meninggal, sebagai gantinya Syarif Yusuf Alkadri yang juga putra sulung; Sultan Syarif Hamid Alkadri diangkat sebagai Sultan Pontianak. Pada masa kekuasaannya, ia telah kehilangan politiknya, dalam menentukan pajak harus tunduk kepada pemerintah Belanda dan sultan hanya mengkoordinasi penarikan pajak yang kemudian hasilnya diserahkan kepada Pemerintah Belanda. Sultan Syarif Yusuf terkenal sebagai sultan yang sangat kuat berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam dan menjadikannya terkenal di antara raja-raja, baik yang ada di Kalimantan Barat maupun di luar Kalimantan Barat sehingga semakin banyak berdatangan para pedagang dari daerah Bugis, Banjar, Bangka, dan Belitung, Serasan, Tambelan, Sampit, Kamboja, Bali, Melayu, dan sebagainya. Kemudian para pedagang ada yang berminat dan meminta restu kepada sultan untuk menetap dan membuka pemukiman baru di sepanjang Sungai Kapuas, yang kemudian dikenal dengan kampung-kampung yang berorientasi dengan daerah asal pendirinya.12 Kedatangan para pedagang dari berbagai etnis ini didasari oleh adanya hubungan kerja sama antara sultan dengan para pedagang. Sultan juga dengan tangan terbuka mengizinkan para pedagang untuk menetap di Pontianak, yang sekaligus bersama-sama mengembangkan Pontianak. Dengan berdirinya kampung-kampung tersebut terbentuklah heterogenitas etnis yang merupakan ciri utama komposisi penduduk di Pontianak.

3. Pertumbuhan Penduduk dan Pola Pemukiman
Dalam suasana yang amat sibuk di dunia perdagangan pada abad ke-19, jatuhnya kerajaan-kerajaan besar di Kalimantan Barat seperti Kerajaan Sambas, Sukadana, Kubu, dan Sintang menyebabkan bergesernya pusat-pusat perdagangan sebagai akibat dari peperangan. Pergeseran pusat perdagangan membawa pengaruh yang amat besar bagi perkembangan Pontianak. Hal ini menjadikan Kerajaan Pontianak berkembang menjadi pelabuhan terbesar dan sekaligus sebagai kota perdagangan terbesar di Kalimantan Barat.13 Akibatnya, Kerajaan Pontianak termasuk ke dalam kerajaan-kerajaan terpenting yang berada di wilayah Kalimantan, termasuk Sambas, danBanjar.14

Perkembangan daerah Pontianak membuat jalur pelayaran dan perdagangan semakin menarik bagi para pedagang dengan kedatangan banyaknya kapal Nusantara dan kapal-kapal asing ke pelabuhan Pontianak dengan membawa barang-barang dagangan untuk dipasarkan di daerah Pontianak. Kembalinya kapal-kapal tersebut mengangkut barang-barang komiditi berupa berlian, emas, lilin, rotan, tengkawang, karet, tepung sagu, gambir, pinang, sarang burung, kopra, lada, kelapa, dan sebagainya, yang kemudian dipasarkan ke wilayah dalam dan luar Nusantara. 15

Tidak sedikit para pedagang yang kemudian tertarik untuk bermukim di Pontianak. Setiap bangsa diberi lokasi tersendiri untuk membangun tempat kediaman fon- (dachi). Mereka mendirikan pemukiman/perkampungan setelah mendapat izin dari sultan. Pada masa itu banyak didirikan kampung yang berorientasi pada daerah atau negara dari mana pedagang tersebut berasal dan bermukim di wilayah sekitar pusat pemerintahan kerajaan. Terdapat Kampung Bugis, Melayu, Tambelan Sampit, Banjar, Bali, Bangka-Belitung, Kuantan, Kamboja, Bansir, Saigon, Arab, Tanjung, Kapur, Parit Mayor, dan sebagainya.

Berdasarkan nama-nama kampung tersebut dapat diketahui bahwa meningkatnya jumlah penduduk Pontianak, khususnya golongan pribumi, Cina, Eropa, dan bangsa lainnya berkaitan erat dengan perkembangan kegiatan pertanian, ekonomi, dan perdagangan. Para pendatang yang menetap di Pontianak secara bertahap dapat menarik penduduk yang ada di daerah asal untuk pindah ke tempat pemukiman yang baru.

Semakin banyaknya para pendatang yang membuka perkampungan baru yang berorientasi pada asal daerah dan bangsa, menciptakan heterogenitas etnis yang merupakan salah satu ciri utama komposisi penduduk Pontianak. Di daerah Kalimantan Barat pada masa itu telah terjadi urbanisasi dari daerah sekitarnya. Dengan demikian, Pontianak menarik penduduk daerah penghuluan untuk melakukan urbanisasi. Kaum urbanis terdiri atas orang Melayu yang pada umumnya berasal dari Mempawah dan Sambas, dan orang Cina yang bermata pencaharian sebagai pedagang. Suku Dayak yang merupakan penduduk asli daerah tersebut justru kurang tertarik untuk berurbanisasi ke Pontianak, padahal suku bangsa lain dari luar Kalimantan Barat secara terus-menerus bermigrasi ke Pontianak. Jumlah orang Dayak yang menetap di Pontianak relatif kecil dibandingkan dengan suku bangsa lain. Hal ini disebabkan orang Dayak selalu mengikuti suatu filsafat bagi hidupnya. Menurut pandangan mereka bahwa hakikat kehidupannya adalah sebagai petani padi. Pekerjaan sebagai petani dipandang paling mulia karena merupakan rahmat bagi kehidupannya. Oleh karena itu, menjadi petani tentu saja tidak dapat menetap di Pontianak karena tidak tersedianya lahan pertanian yang cukup, apalagi jika harus menganut sistem perladangan berpindah, mereka bermukim dan membuat perkebunan di sekitar Sungai Ambawang seperti Kuala Ambawang, Pancaroba, Puguk, Retok, Lingga, dan sebagainya.

Jumlah penduduk Kalimantan Barat secara keseluruhan, pada tahun 1830 tercatat sebanyak 250.075 jiwa. Jumlah orang Cina yang menetap cukup besar. Pada tahun 1770 para buruh tambang Cina berjumlah 10.000 jiwa, tahun 1810 berkisar 32.000 jiwa, tahun 1829 berjumlah 32.925 jiwa, dan tahun 1900 berjumlah 41.400 jiwa. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan imigran Cina meningkat setiap tahun dibandingkan dengan penduduk pribumi dan pendatang lainnya. Pada tahun 1830 jumlah penduduk Kalimantan Barat tercatat 250.075 jiwa dengan perincian Suku Dayak 143.026 jiwa, Melayu 71.085 jiwa, Bugis 2.281 jiwa, Arab 955 jiwa, Eropa 13 jiwa, dan Cina 32.925 jiwa. 16

Dalam pada itu, tidak diperoleh keterangan tersendiri mengenai komposisi penduduk Pontianak. Pengetahuan mengenai komposisi hanya dapat disimpulkan dari keterangan Veth yang menyatakan bahwa jumlah penduduk Pontianak sangat sedikit,17 Berkaitan dengan jumlah penduduk Pontianak, terdapat beberapa keterangan didasarkan atas etnis, seperti Tobias W. menyatakan bahwa etnis Melayu berjumlah 25.200 jiwa dan etnis Cina berjumlah 3.500 jiwa. Hartmann H.S. berpendapat bahwa etnis Melayu berjumlah 8.403 jiwa dan etnis Cina berjumlah 1.159 jiwa. Selanjutnya, Francis menambahkan bahwa etnis Melayu berjumlah 11.122 jiwa, etnis Cina berjumlah 11.391 jiwa, etnis Arab berjumlah 900 jiwa, dan etnis Bugis berjumlah 1814 jiwa. Van Lijden juga mengungkapkan bahwa etnis Melayu berjumlah 7.486 jiwa, etnis Cina berjumlah 1.711 jiwa, etnis Dayak berjumlah 105 jiwa, dan etnis Arab berjumlah 216 jiwa. Dalam kartu statistik Van Mervil Van Carnbel, jumlah penduduk Pontianak termasuk juga Mandor kira-kira 36.637 jiwa,18 dan Vleming menambahkan keterangan bahwa baik di Pontianak maupun di Singkawang, hanya sepertiga19 jumlah luas daerahnya yang berpenghuni, sedangkan orang Cina yang bermukim di Pontianak pada tahun 1843 berkisar 15.000 orang dan hidup dalam kelompok-kelompok kongsi.20 Angka-angka tersebut merupakan suatu perkiraan karena belum diadakannya sensus penduduk, baik oleh kerajaan Pontianak maupun pemerintah Belanda dalam kurun waktu itu. Akan tetapi, berbagai laporan dari para pedagang dan pembesar-pembesar pemerintah Belanda dapat digunakan sehingga dapat menghasilkan cerminan dari jumlah penduduk tersebut di atas.

Masalah penduduk sudah tentu berkaitan erat dengan pemukiman. Lingkungan alam mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pola pemukiman penduduk. Permukaan tanah yang relatif landai, pola aliran sungai yang tidak teratur, dan hutan yang lebat memberikan kecenderungan penduduk memanfaatkan sungai-sungai sebagai prasarana lalu lintas utama. Sungai Kapuas dan Sungai Landak merupakan main road yang menghubungkan wilayah Kerajaan Pontianak dengan daerah hinterland dan ke arah hilir sungai yang menghubungkan wilayah tersebut dengan daerahdaerah lain.

Dilihat dari letak geografisnya, pemukiman ini merupakan salah satu mata rantai dari pola pemukiman dendritic. Menurut Bennet Bronson, pemukiman semacam ini banyak dijumpai pada aliran-aliran sungai yang bercabang-cabang sehingga disebut istilah dendritic karena gambar pola perhubungan antarpemukiman mirip dengan sebatang pohon yang semakin tinggi semakin bercabang hingga beranting, dan di daerah muara sungai akan ditemui pusat perdagangan. Barang-barang komoditi ini disalurkan melalui pemukiman daerah hulu sungai yang akhirnya sampai ke pusat perdagangan di daerah muara sungai.21 Pola semacam ini banyak dijumpai di wilayah Pontianak, selain dicirikan dengan keletakannya, juga ditandai oleh adanya pertukaran barang komoditi.

Sungai-sungai besar sebagai main road mempunyai anak-anak sungai yang oleh penduduk dikenal dengan sebutan parit-parit yang berfungsi sebagai lalu lintas yang menghubungkan pemukiman dengan daerah pertanian dan daerah pemasaran komoditi perdagangan22, mencegah banjir, dan menjaga keamanan kota. Fungsi parit bagi keamanan kota adalah untuk memperkecil kemungkinan serangan yang datangnya dari luar sehingga musuh tidak bisa langsung menyerang pusat kota. Parit-parit tersebut oleh Pemerintah Belanda sengaja diperlebar menjadi kanal-kanal (gracht) untuk meningkatkan ketiga fungsi tersebut di atas. Peranan dan fungsi parit yang semakin besar dapat menarik penduduk Pontianak untuk mulai mengembangkan pemukiman ke arah parit-parit tersebut. Pada mulanya bersifat memanjang dan mengelompok sesuai dengan kemudahan yang tersedia oleh alam, artinya bahwa pemilihan lokasi pemukiman tidak disertai dengan usaha penaklukan alam lebih dahulu. Dengan demikian, lokasi pemukiman berpola mengelompok padat dan memanjang mengikuti alur sungai-sungai. Pola ini juga terdapat pada pengembangan pemukiman penduduk di daerah alur Sungai Jawi dan Parit Besar.

Perkembangan pemukiman yang mengelompok padat dan memanjang mengikuti aliran sungai ini disebut sebagai perkembangan kota organik, yaitu yang berkembang dengan sendirinya karena adanya suatu aktivitas tertentu dan bukan hasil dariperencanaan pihak penguasa.23 Perkembangan pemukiman di wilayah Verkendepaal sebagai pusat administrasi kota/ perkantoran gubernemen dan pemukiman merupakan sisi perkembangan kota yang terencana karena sesuai dengan keinginan penguasa Belanda.

Keraton sebagai pusat kota tradisional didiami oleh sultan dan para keluarganya. Kemudian di luar keraton terdekat bermukin para kerabat istana, sedangkan di luar pemukiman kaum kerabat keraton terdapat keluarga para hulubalang atau pembantu kerajaan, dan ini terdiri atas orang Bugis dan Arab. Kaum kerabat keraton dan hulubalang tinggal di Kampung Bugis, Kampung Arab, dan Kampung Banjar. Di luar pemukiman para hulubalang adalah Kampung Tambelan. Nama ini sesuai dengan asal Panglima Abdul Rani, salah seorang utusan dari Kerajaan Riau yang ingin menyerang Kerajaan Pontianak, tetapi dapat dikalahkan oleh sultan. Atas kebijakan sultan, ia diberi izin untuk membuka kampung tersebut.

Wilayah sebelah Utara Sungai Kapuas dikembangkan orang-orang Cina pada tahun 1772 oleh Lo Fong bersama dengan seratus orang pengikutnya yang berimigrasi dari Provinsi Kanton dan mendarat di Kampung Siantan. Walaupun Lo Fong kemudian meninggalkan Pontianak menuju daerah Mandor. Ia membuka pemukiman baru dengan mendirikan kongsi, tetapi pengaruhnya telah tertanam dan menjadi anutan bagi Cina yang bermukim di Pontianak.24 Dapat dikatakan bahwa Lo Fong merupakan perintis pemukiman orang Cina di Pontianak. Hal ini kemudian menjadi dasar kebijakan sultan untuk menentukan wilayah pemukiman orang Cina di Pontianak, yaitu di sebelah utara keraton.

Sultan juga menetapkan kebijakan bahwa orang Dayak diberi kebebasan mendirikan daerah pemukiman di sebelah utara keraton, yang letaknya di daerah sepanjang Sungai Ambawang. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa daerah tersebut masih memungkinkan bagi orang Dayak untuk mengembangkan sistem pertanian ladang berpindah.

Perkembangan pemukiman dimulai dengan adanya pengakuan pemerintah Kompeni Hindia Belanda pada tahun 1773, kemudian pada tanggal 5 Juli 1779 Sultan Pontianak telah mengadakan perjanjian dengan VOC yang bertujuan untuk mengatur dan mempertahankan negeri ini secara bersama-sama,25 dan kemudian diberi tempat oleh Sultan Pontianak membangun perkantoran dan pemukiman di seberang selatan Sungai Kapuas. Pemberian ini dikenal dengan nama Tanah Seribu atau Verkendepaal yang meliputi areal seluas seribu kali seribu meter persegi. Daerah ini merupakan inti perkembangan daerah administrasi kota yang kemudian menarik orang-orang Cina untuk menetap dan mengembangkannya sebagai daerah perdagangan (sekarang menjadi kawasan Jalan Gajah Mada) karena telah terbukanya pusat pemukiman dan perkantoran gubernemen yang merupakan awal dari perluasan kekuasaan Kolonial Belanda di daerah ini.26

Sejak didirikannya pusat pemerintahan di bagian selatan Sungai Kapuas (sekarang Kantor Walikota Pontianak) dan di dekatnya didirikan pula benteng kecil pertahanan yang dinamakan Fort Du Bus (sekarang kawasan perdagangan dan pertokoan Nusa Indah), orang Eropa dan pejabat pemerintahan Belanda menetap di kawasan tersebut dan di depannya dibangun sebuah pelabuhan Sungai Kapuas. Wilayah pemukiman orang Eropa, terutama Belanda, ini mencakup ke timur sampai selatan (Parit Besar sekarang), dan ke selatan (sebatas Jalan Merdeka sekarang). Kelompok orang Eropa ini mulai berkembang terutama setelah tahun 1840, demikian pula daerah selatan tepi Sungai Kapuas karena semakin banyaknya orang Eropa yang menetap, baik menjadi pegawai, militer maupun pedagang. Untuk keperluan itu, mereka mendirikan pabrik minyak kelapa, gereja pada tahun 1893, sekolah-sekolah Belanda H.I.S., H.C.S., dan sebagainya. Tepi kiri Sungai Kapuas merupakan daerah perdagangan orang Cina dan ramai dikunjungi kapal api, perahu, dan sampan. Sepanjang kanan Sungai Kapuas dan Sungai Landak banyak dihuni orang Cina yang bermatapencaharian sebagai tukang kayu dan pembuat perahu.27

Kebijakan penetapan pemukiman kelompok -kelompok etnis yang berbeda ini merupakan strategi pengelolaan area boundary dan cultural boundary antarkelompok suku dan berkaitan juga dengan pembagian lapangan pekerjaan sehingga dapat mencegah pertikaian atau konflik antaretnis.

4. Kelompok-Kelompok Sosial
Berbagai kategori pengelompokan sosial timbul berdasarkan ras, agama, dan etnisitas yang seringkali saling tumpang tindih dan paralel. Hal ini mengakibatkan semakin dipertegasnya batas-batas solidaritas dan pengelompokan. Pengelompokan sosial berdasarkan suku meliputi pertama, komunitas suku Dayak yang merupakan kelompok kekerabatan yang tinggal di daerah pedalaman; kedua, komunitas Melayu, Bugis, dan Arab; serta ketiga, imigran Cina yang bermukim di daerah pesisir. Komunitas suku Dayak merupakan sebuah komunitas yang tertutup dan lebih menonjolkan kesamaan dan kesatuan sosio-kultural. Komunitas Melayu, Bugis, dan Arab adalah penganut agama Islam yang lebih menekankan aspek sosio-historis sebagai kelompok kelas penguasa, sedangkan komunitas Cina lebih merupakan satu kesatuan sosio-ekonomi.28

Menurut keterangan Veth dan Duman, orang Dayak merupakan penduduk asli Pulau Kalimantan.29 Jan B. Ave menambahkan pula bahwa selain orang Dayak, orang Punan juga termasuk penduduk asli Pulau Kalimantan. Orang Punan disebutnya sebagai kelompok penduduk yang menyandarkan hidup mereka pada kegiatan berburu, meramu di hutan, dan menangkap ikan di sungai dan danau, sedangkan orang Dayak lebih memusatkan kegiatan pada bidang pertanian, utamanya menanam padi.30 Suku bangsa ini merupakan keturunan dari para imigran yang berasal dari wilayah yang kini disebut Yunnan di daerah Cina Selatan. Dari tempat tersebut kelompok-kelompok kecil mengembara melalui Indo-Cina ke Jazirah Malaysia yang menjadi batu loncatan untuk memasuki pulau-pulau di Indonesia. Imigran dari Yunnan yang datang secara bergelombang dengan kelompok pertama adalah kelompok Negrid dan Weddid, yang sampai sekarang sudah tidak ditemukan lagi. Kemudian disusul kelompok yang lebih besar, yaitu kelompok ProtoMelayu yang masa perpindahannya kira-kira berlangsung selama seribu tahun antara tahun 3000-1500 sebelum Masehi.31

Dapat diperkirakan bahwa penduduk Yunnan pada masa itu mengadakan perpindahan untuk mencari tempat yang dianggap paling dapat memberikan peluang kebebasan bergerak untuk mencari makanan, khususnya berladang dan berburu. Kemudian berlangsung lagi sekitar lima ratus tahun sebelum Masehi dari daratan Asia ke pulau-pulau Indonesia. Kelompok-kelompok ini dinamai Deutro-Melayu yang mendiami daerah pesisir pantai.32 Jika dilihat dari keterangan di atas perbedaan antara kelompok Proto-Melayu dan Deutro-Melayu dapat dilihat berdasarkan wilayah yang didiaminya, yakni daerah pedalaman dihuni oleh kelompok Proto-Melayu dan daerah pesisir pantai didiami oleh para imigran DeutroMelayu.

Ch.F.H. Duman menyatakan pula bahwa orang Dayak pada mulanya mendiami daerah-daerah tepi Sungai Kapuas dan Laut Kalimantan. Kedatangan orang Melayu Sumatera dan Semenanjung Malaka mengakibatkan pergeseran pemukiman orang Dayak sampai ke hulu sungai.33 Berkaitan dengan itu, Vleming menyatakan bahwa Kalimantan Barat pada mulanya dihuni orang Dayak, bagi orang Melayu disebutnya sebagai penduduk hulu sungai atau penduduk pedalaman. Mereka hidup berkelompok dengan jumlah sekitar seratus orang. Mata pencaharian mereka adalah mengumpulkan hasil-hasil hutan, beternak babi, menanam padi, dan menangkap ikan dengan cara sederhana. Sistem perekonomiannya sangat sederhana. Perdagangan dilakukan dengan cara tukar-menukar hasil hutan dengan barang keperluan hidupnya, terutama kebutuhan garam.34

Orang Dayak hidup mengelompok dalam unit-unit kecil, yang merupakan satu kesatuan sosial ekonomi. Setiap kelompok orang Dayak menempati dan menguasai suatu wilayah yang terdiri atas tempat pemukiman dan hutan sebagai tempat mereka mengumpulkan hasil hutan serta areal bercocok tanam ladang berpindah. Dalam komunitas suku Dayak kepemimpinan dipegang oleh para demang yang menjadi pejabat penghubung antara orang Dayak dengan sultan. Para demang dibantu oleh kepala kampung yang disebut pasirah. Dalam situasi perang diadakan pemilihan para pemimpin yang biasa disebut singa atau macan.35

Proses terbentuknya suku Melayu menjadi salah satu suku pribumi (asli) di daerah Kalimantan Barat ini diawali dengan adanya penyebaran agama Islam yang dibawa oleh orang Melayu dari Semenanjung Malaka dan Sumatera, kemudian disusul orang Arab, Bugis, Semit, Saud, India, dan Pakistan.36 Daerah penyebaran agama Islam diawali dengan melalui aliran Sungai Sambas yang juga merupakan pusat Kerajaan Sambas, kemudian menyebar ke Singkawang, Mempawah, dan Pontianak dengan menyusuri Sungai Kapuas. Selanjutnya penyebaran dilakukan melalui Sungai Landak masuk ke daerah Tayan, Sintang, dan Nanga Pinoh. Dari daerah Sintang penduduk menyusuri Sungai Kapuas sampai ke daerah Putussibau. Penyebaran ini berlangsung sekitar tahun 1550-1800.37

Sebagian suku bangsa di pedalaman Kalimantan Barat yang telah menganut ajaran agama Islam secara spontan bergabung dalam suku Melayu. Di daerah pemukiman hulu sungai besar, seperti Sungai Kapuas, Sungai Landak, dan Sungai Sambas, orang Dayak yang baru menganut agama Islam secara langsung mengikutipola hidup suku Melayu. Proses ini bagi orang-orang Kalimantan Barat nonMelayu dikenal sebagai proses masuk Melayu atau proses turun Melayu.38 Hal ini juga dinyatakan Vleming bahwa agama Islam umumnyadianut suku Melayu, sedangkan kepercayaan animisme dianut oleh suku Dayak. Dalam Ensiklopedia Hindia Belanda dikatakan bahwa suku Dayak yang telah menganut agama Islam meninggalkan atau melepas identitas dirinya dan menjadi suku Melayu, dari gambaran ini terlihat dengan jelas bahwa selain telah terjadi proses Islamisasi di daratan Kalimantan Barat, khususnya orang Dayak, juga terjadi semacam proses Melayunisasi terutama terhadap suku Dayak nonmuslim.39 Akibat langsung dari proses tersebut mengakibatkan jumlah mereka semakin berkurang. Dengan demikian, suku Melayu dapat memiliki kapasitas sebagai "pribumi asli" yang sama kedudukannya dengan suku Dayak. Dalam hal ini, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa penduduk yang bertetangga, serumpun, dan mempunyai latar belakang yang sama dapat menjadi berbeda secara mendasar apabila memasuki kelompok masyarakat berdasarkan agama yang dianutnya.

Suku Dayak yang sudah masuk Islam atau masuk Melayu cenderung menyangkali leluhurnya sebagai suku Dayak, kadang-kadang mereka langsung berhubungan dengan bangsa Arab yang dapat mempertebal identitas dirinya sebagai suku Melayu. Dengan menjadi orang Melayu, pada umumnya mereka menganggap dirinya sudah melakukan mobilisasi sosial vertikal dari status yang rendah (suku Dayak) meningkat menjadi suku Melayu atau sebagai orang muslim.40 Veth menambahkan pemeluk agama Islam berjumlah 300.000 jiwa dan yang terbanyak adalah orang Melayu, Bugis, Jawa, dan Arab. Mereka bertempat tinggal di daerah pesisir pantai, terutama di muara-muara sungai.41 Hal ini didasari karena pada umumnya identitas penduduk yang bermukim di kerajaan-kerajaan Kalimantan Barat, khususnya di Kerajaan Pontianak adalah suku Melayu, sebagai kelompok masyarakat yang paling terpandang dalam tingkatan status sosial. Sebagian besar suku Melayu mendiami sepanjang Sungai Kapuas dan Sungai Landak, di samping itu menghuni daerah di sepanjang pantai (dataran rendah).

Veth juga menggambarkan pendatang Melayu sebagai para pemukim yang tinggal di pesisir, tepi atau muara-muara sungai. Mereka berasal dari Johor, Riau, dan daratan Sumatera. Koloni atau pangkalan mereka akhirnya berkembang menjadi pusat-pusat kerajaan. Kedudukan mereka di pesisir dan muara-muara sungai menjadi sumber supremasi Melayu di atas Dayak. Letaknya yang strategis karena dekat ke Malaka, Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Singapura, menguntungkan profesi dagang Melayu. Kedudukan inilah yang memberikan keunggulan Melayu sehingga hampir seluruh kerajaan pedalaman tergantung ataupun menjadi satelit kerajaan-kerajaan Melayu pesisir.42

Komunitas Melayu, Bugis, Banjar, Arab, dan suku-suku bangsa lainnya yang penganut agama Islam hidup secara bersama-sama. Hal ini disebabkan adanya kesamaan di bidang agama dan ekonomi, di lain pihak mereka juga berusaha untuk menyesuaikan dengan kehidupan penduduk asli dan berbahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka dengan cepat dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan penduduk setempat.

Corak pedesaan orang Cina serta kongsi-kongsi yang kemudian didirikan haruslah dipahami dari sudut kepentingan dan latar belakangnya. Penetapan koloni dan lokasi desa pertama-tama mempertimbangkan segi-segi praktis, sama seperti di Cina ketika sungai berfungsi dan berperan lebih penting sebagai sarana perdagangan dan transportasi. Penyebaran koloni dan imigran Cina menunjukkan bahwa jumlah dan kepadatannya semakin kecil semakin jauh ke pedalaman. Imigran Cina terkonsentrasi pada daerah Pontianak, Sambas, dan Mempawah.

Di daerah-daerah inilah para imigran mencoba mendirikan perkampungan yang khas Cina dan sekaligus menjadi satuan sosio-ekonomi, sebagai satu komunitas yang produktif. Kespesifikan dari daerah yang sama (dorpsgemeenschappen) Cina ini terutama terletak pada otonominya. Secara sosial ekonomi dan politik, desa-desa ini relatif berdiri sendiri atau hanya dengan campur tangan pusat kekuasaan politik yang sangat minimal.43 Pada tahun 1777 di Mandor telah berdiri sebuah Republik Kecil di bawah kekuasaan Tai-Ko Lo Fong yang mempunyai struktur pemerintahan sendiri, seperti kekuasaan tertinggi disebut Tai Ko (Abang yang paling besar), setingkat di bawah Tai-Ko adalah Nyi-Ko (Abang Kedua) di bawah Nyi-Ko adalah Kaptai (Kapten Besar), dan di bawah Kaptai adalah Lo Tai44 yang bernaung di bawah langsung kekuasaan Kaisar Cina.45 Peraturan kewarganegaraan negeri Cina dikeluarkan pada tahun 1896, yang menyatakan bahwa orang Cina di mana pun berada tetap diakui sebagai warga negara Cina. Hal ini menyebabkan orang Cina di daerah Kalimantan Barat juga menganggap bahwa mereka berada dalam suatu small China dalam arti republik sendiri.46 Hubungan erat dengan tanah leluhurnya dilakukan dengan adanya kewajiban setiap republik kecil mengirimkan kira-kira 6% dari penghasilannya ke negeri Cina.47 Mereka selalu mengusahakan untuk mendapatkan dan mempertahankan kebebasan mengurus, mengatur, serta menyelesaikan seluruh masalah intern tanpa campur tangan dari kekuatan luar. Bentuk otonomi seperti ini lazim diterapkan di negeri Cina dan dicoba diterapkan oleh imigran Cina di Kalimantan Barat. Jika di Cina kekuasaan luar yang dimaksud adalah kekaisaran, di Kalimantan Barat khususnya Pontianak kekuatan asing berupa kesultanan dan kemudian juga Hindia Belanda.

Kelompok etnik Cina terdiri dari berbagai subkelompok, di antaranya Hakka (Khek), Hoklo (Tewcu) dan Teo Chiu yang menguasai daerah-daerah pertambangan emas di Mandor dan Monterado.48 Di lokasi tersebut mereka membentuk perkongsian untuk memperkuat kedudukannya. Pada tahun 1745 telah terdapat Perkongsian Tai Kong, Samto Kiaw, dan Few Sjun yang merupakan gabungan antara Tai Kong dan Samto Kiaw. Di Pontianak telah dibentuk Kongsi Tszu Sjin yang mendapat bantuan dari Lo Fong, imigran baru dari Kampung Shak Shan Po, Kabupaten Kuynchu, Propinsi Kanton.49 Terbentuknya kongsi-kongsi tersebut salah satunya disebabkan oleh adanya berbagai keuntungan yang diperoleh melalui perkebunan lada (Piper nigrum L.) dan pertambangan emas.50

Pada tahun 1843 orang Cina yang bermukim di Pontianak kurang lebih 15.000 orang dan hidup dalam kelompok-kelompok kongsi, Kongsi Lo Fong di Mandor merupakan kongsi yang terpenting di antara kelompok-kelompok tersebut. Kongsi-kongsi di Pontianak pada umumnya di bawah pengaruh kongsi-kongsi di Sambas.51 Kepala pemukiman orang Cina di daerah Mandor bergelar Kapitein Demang dan sejak tahun 1843 diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda52 dan berkewajiban membayar upeti f. 20.000,- per tahun dari Kapitein Demang der Kongsi Lo Fong, Ko Aliok kepada pemerintah Hindia Belanda.53

Pada abad ke-19 orang Cina di Kalimantan Barat, khususnya di Pontianak, sebagian besar adalah Cina peranakan yang disebabkan adanya amalgamasi atau perkawinan campuran antara imigran Cina dengan penduduk asli. Secara historis imigran Cina umumnya laki-laki pencari kerja atau pelarian. Di daerah ini mereka melakukan perkawinan dengan putri Dayak yang keturunannya mengaku dirinya sebagai orang Cina. Hal ini disebabkan adanya asas kewarganegaraannya yaitu ius sanguinisa atau asas keturunan.54

5. Hubungan Antaretnis
Terbentuknya masyarakat majemuk yang terdiri atas berbagai suku bangsa dan bangsa asing pada dasarnya terjadi karena sikap suku bangsa Melayu yang dalam hal ini berlaku sebagai penduduk asli, yang terbuka menerima kedatangan berbagai suku bangsa dan bangsa asing di daerah mereka. Suku bangsa Melayu menganut paham keterbukaan sehingga setiap pendatang dapat diterima dengan baik. Dengan sikap ini, sangat terbuka bagi suku bangsa dan bangsa-bangsa asing masuk dan bermukim di daerah ini. Di lain pihak daerah Pontianak yang cukup luas dengan jumlah penduduk yang relatif kecil mendorong para pendatang untuk membuka perkampungan-perkampungan yang dirasakan daerah ini tidak jauh berbeda dengan kampung asalnya.

Hubungan dengan Cina agak terbatas, kehidupan Cina cenderung mengelompok. Bahasa dan agama sangat berlainan dengan golongan suku bangsa lainnya, sehingga hubungan sesamanya tidak dapat berjalan dengan akrab. Politik orang Cina yang berorientasi pada negeri leluhur sering menimbulkan terjadinya konflik dengan suku bangsa lainnya. Wertheim berpendapat bahwa konflik sosial serta diskriminasi rasial antara bumiputera dengan Cina merupakan konsekuensi kompetisi ekonomis dan Somers menambahkan bahwa dominasi ekonomi itu pula yang dianggap mempunyai hubungan kausal dengan ketegangan sosial dan peranan ekonomi yang khas terhadap golongan Cina. 55 Pada umumnya mereka terlibat dalam kegiatan agraris, menguasai daerah pertambangan emas, dan sebagai perantara perdagangan bagi pedagang Eropa, terutama Belanda dengan pedagang pribumi. Pedagang-pedagang Belanda memasukkan bahan-bahan kain sutera, barang-barang rumah tangga, dan minyak tanah, yang kemudian membawa komoditi perkebunan dari pedagang-pedagang Cina yang tahu akan kebutuhan penduduk.56

Persaingan antara kongsi-kongsi Cina sering menimbulkan konflik yang pada dasarnya terjadi adanya perebutan tambangtambang emas yang merupakan sumber mata pencahariannya. Konflik Tai-Ko Lo Fong yang ingin menaklukkan kongsi-kongsi di sekitarnya, seperti penaklukan Ung Kui Peh dan Kong Neh Pak yang akhirnya secara bersama-sama dengan anggota warganya bergabung ke dalam pemerintahan Tai-Ko Lo Fong, kemudian pertempuran dengan Tai-Ko Liu Kong Siong yang meluas sampai ke San King (hulu Toho), dalam pertempuran ini Tai-Ko Liu Kong Siong gugur sehingga pasukan beserta daerahnya dikuasai Tai-Ko Lo Fong. Dari penaklukan tersebut, Tai-Ko Lo Fong memperluas areal pertambangan emas yang kemudian melebar sampai ke Mempawah, Pontianak, dan Landak sehingga pada tahun 1777 Tai Ko Lo Fong mendirikan "Republik Kecil" yang berpusat di Mandor.57

Dalam hubungan antara orang Cina dengan suku Dayak di daerah Pontianak seringkali terjadi konflik yang meluas menjadi suatu peperangan. Konflik rasial ini selalu berkaitan dengan daerah penambangan emas dan intan sebagai komoditi utama mereka. Konflik-konflik biasanya terjadi karena adanya perampasan-perampasan yang sering dilakukan oleh orang-orang Cina terhadap suku-suku Dayak, seperti penyerangan kampung-kampung Dayak dan merampas harta bendanya, penguasaan tambang-tambang emas dan int an, bahkan menawan penghuni kampung tersebut untuk dijadikan budak. Sengketa-sengketa ini sering meluas dan menjadi sengketa umum di antara orang-orang Cina dengan suku-suku Dayak. Di antara sengketa yang terbesar terjadi di Landak pada tahun 1841 dan tahun 1846, Pemerintah Belanda terpaksa ikut campur tangan menengahi sengketa-sengketa tersebut dengan perantara Kerajaan Pontianak, terutama dari Pangeran Bendahara58 yang mempunyai kewibawaan dan berpengaruh bagi masyarakat di sepanjang Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Sengketa-sengketa tersebut, utamanya di daerah Landak, menyebabkan penarikan retribusi pajak tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan pada tanggal 20 Mei 1844 Kongsi Lo Fong baru dapat membayar utang retribusinya sebesar f. 4.000. Adanya keterlambatan membayar pajak juga diakibatkan permusuhan masyarakat Dayak di Landak dengan masyarakat Cina di Mandor.59

Hubungan antara pemerintah Belanda dengan Melayu, Jawa dan orang Cina khususnya pedagang perantara sangat erat dan baik mengingat adanya kepentingan-kepentingan Belanda, baik dari segi politik maupun ekonomi bagi golongan-golongan etnis tersebut. Golongan Cina baik di kota maupun di pedalaman menguasai sebagian besar perekonomian sehingga pihak Belanda sangat memerlukannya karena kemampuan ekonominya dapat membantu pemerintahan Belanda. Dalam hubungan kerja sama antara keduanya, para pedagang Cina memerlukan bantuan pihak Belanda untuk mendapatkan berbagai fasilitas dagang. Beberapa hak istimewa dan fasilitas diberikan Belanda dengan harapan dapat dijadikan saingan dengan golongan suku bangsa lainnya yang dekat hubungannya dengan sultan.60 Kemudian pemerintah Belanda mengangkat seorang pemimpin yang dipilih sebagai wakil dari masyarakat Cina dengan pangkat kapitein sebagai pangkat tertinggi, di bawahnya adalah luitenant dan wijkmeestee (kepala kampung yang bertugas sebagai perantara antara orang Cina dengan kapitein dan juga menarik pajak penghasilan orang Cina). Tugas-tugas para pemimpin tersebut adalah sebagai perantara dalam berhubungan atau menghubungkan orang-orang Cina dalam mengurus hal-hal yang berkaitan dengan birokrasi dalam pemerintahan Belanda. Para pemimpin tersebut oleh orang Cina disebut kongkoan.61

Dikuasainya daerah-daerah tambang emas dan pusat-pusat pemukiman di Mandor dan Monterado pada tahun 1856 menyebabkan matapencaharian orang Cina menjadi tidak menentu. Mereka mulai membuka perdagangan dan sebagian bertani, sekedar untuk memenuhi kebutuhan seharihari, seperti menanam lada dan sayur-sayuran. Pedagang mulai mengalihkan62 perhatiannya ke kota Pontianak, yang telah berkembang pesat dengan adanya pelabuhan dan pasar yang ramai dan seringnya dikunjungi para pedagang dari Nusantara dan luar Nusantara. Pada masa itu karet sudah merupakan komoditi utama dan merupakan penghasilan yang cukup besar bagi para eksportir, dan orang Cina di kota sudah menguasai perdagangan karet baik di dalam kota Pontianak maupun di daerah-daerah pedalaman.63

Bagi pemerintah Belanda, suku bangsa Jawa sangat diperlukan pikirannya karena pegawai-pegawai gubernemen pada umumnya berasal dari Jawa sedangkan tenaganya diperlukan untuk mengelola perkebunan dan pertanian, terutama karet (Hervea brassiliensis) dan kelapa (Cocos nucifera)64 baik di dalam maupun di luar pusat kota. Suku bangsa Jawa diberi kesempatan oleh pemerintah Belanda untuk berkolonisasi dari daerah yang padat ke daerah Kalimantan Barat yang kondisi fisiknya masih terbuka luas untuk daerah pemukiman dan usaha pertanian. Secara ekonomis perpindahan penduduk mendatangkan hal yang positif. Kedatangan orang Jawa yang mengelola usaha pertanian sangat bermanfaat bagi orang Melayu dengan menemukan cara-cara yang baru dan penting dalam mereka melakukan usaha pertanian karet, kelapa, dan terutama penanam padi untuk kebutuhan bahan makanan sendiri.65

6. Penutup
Hubungan antarunit terjadi lewat komunikasi, mulai dari hubungan perkawinan, perang, diplomasi, sampai pada pelayaran dan perdagangan. Dari jaringan komunikasi itu timbullah proses integrasi di antara daerah-daerah dan unsur-unsur sosialnya. Dengan perkembangan pusat-pusat kekuasaan pada waktu tertentu, perjalanan sejarah sosial ekonomi Pontianak secara jelas menunjukkan kecenderungan ke arah integrasi progresif yang sudah barang tentu proses tersebut mengalami pasang surut. Faktor-faktor dari luar datang bersama dengan pelayaran dan perdagangan, baik dari Barat maupun dari Timur yang menghasilkan komunikasi dan menimbulkan aliran besar kultural yang membawa ideologi, sistem kepercayaan, sistem politik, dan berbagai unsur kebudayaan lainnya.

Dengan adanya berbagai suku bangsa terjadi akibat-akibat sosial yang sangat penting. Terjadinya hubungan geografis mewujudkan pula hubungan yang lebih erat antara beberapa daerah di Indonesia dan sekedar penurunan dari tekanan kepadatan penduduk, paling tidak sepanjang menyangkut lapangan kerja. Perkenalan antar-suku bangsa, terutama yang dilakukan oleh para pendatang, memberikan kemungkinan terbukanya komunikasi dalam pertukaran pengalaman-pengalaman di daerahnya, yang akan menjurus pada kesadaran ten tang kesatuan dari suku bangsa dari seluruh tanah air.

Perkembangan daerah Pontianak membuat jalur pelayaran dan perdagangan semakin ramai dengan kedatangan kapal-kapal Nusantara dan kapal-kapal asing ke pelabuhan Pontianak, dengan membawa barang-barang dagangan untuk dipasarkan diwilayah kerajaan-kerajaan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Kembalinya kapal-kapal tersebut mengangkut barang-barang komiditi berupa berlian, emas, lilin, rotan, karet, lada, tepung sagu, gambir, pinang, sarang burung, kopra, kelapa, tengkawang, dan lain-lain, yang kemudian dipasarkan ke wilayah Nusantara dan di luar wilayah Nusantara. Tidak sedikit para pedagang yang kemudian tertarik untuk bermukim di Pontianak. Setiap bangsa diberi lokasi tersendiri untuk membangun tempat kediaman/perkampungan. Mereka mendirikan perkampungan setelah mendapat izin dari sultan sehingga pada masa itu banyak didirikan kampung yang berorientasi pada daerah atau negara dari mana pedagang tersebut berasal. Masyarakatnya secara tradisional yang berasal dari berbagai suku atau bangsa yang sejak lama melibatkan diri dalam kegiatan perdagangan kemudian mampu mengembangkan diri dalam memajukan kegiatan perdagangan di Pontianak.

Lagi pula, yang menarik dalam persamaan kekuasaan dan kecenderungan sosial dalam menghadapi pengaruh dari luar, konflik antara kelompok menurut sikap pro atau kontra kekuasaan asing dalam struktur kekuasaan feodalistis yang mengandung benih-benih disintegrasi, perpecahan tidak hanya terjadi karena perbedaan ideologi, tetapi juga karena kepentingan ekonomi dan loyalitas kepada tradisi atau keluarga. Mencolok sekali bahwa ada pertentangan berdasarkan perlawanan etnis. Tidak dapat disangkal bahwa potensi ideologi religius sangat besar untuk membentuk jaringan komunikasi yang jauh melampaui batas-batas etnis, daerah kerajaan, dan kebudayaan. Pengaruh ideologi, kepentingan ekonomi, dan kekuasaan politik dapat saling memperkuat dalam pembentukan kekuatan sosial ekonomi untuk menghadapi penetrasi dan dominasi bangsa Barat.

Catatan:
1 P.J. Veth, Borneo`s Wester Afdeeling, Geographisch, Statistisch, Historisch, voorafgegaan door een algemene schets der gangsche eilands. Deel I, (Zaltbommel, 1854), hlm. 251-253. Setelah dalam pentualangannya, Syarif Abdurrahman kembali ke Mempawah pada tanggal 11 Rabiul Akhir 1180 H. Anonim, “Nomor Soeltan Pontianak” dalam Panji Pustaka, No. 15 Tahun IV, 23 Februari 1926, hlm. 325. Dalam perkawinannya dengan puteri Tjandramidi Syarif Abdurrahman dikaruniai 7 orang putera yaitu Syarif Abdullah Alkadri, Syarif Kasim Alkadri, Syarifah Aisyah Alkadri, Syarifah Fatimah Alkadri, Syarifah Syafiah Alkadri, Syarif Husen Alkadri, dan Syarif Ahmad Alkadri; sedangkan dari Ratu Sirih Anom dikaruniai 2 orang putera, yaitu Syarifah Salmah dan Syarif Alwi. Wawancara Syarif Mahmud Syarwani 20 Oktober 1999 di Pontianak.

2 Ibid., hlm. 254; Lihat juga Daghregister Van de Oost Indische Compagnie van. ca 1760-1783. Dalam Panji Pustaka, Nomor Soeltan Pontianak, dikisahkan bahwa setelah bermusyawarah dengan para saudaranya, maka dicapai keputusan untuk meninggalkan Mempawah dan pada tanggal 14 Rajab 1180 H, Syarif Abdurrahman beserta pengikutnya dengan menggunakan 14 perahu –kakap— menuju pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak guna membuka pemukiman baru, Anonim, op.cit., hlm. 325.

3 Anonim, op.cit., hlm. 325-326.

4 Menurut cerita wilayah ini dihuni oleh hantu-hantu dan kesemuanya berhasil diusir atas bantuan orang Dayak, begitu pula dalam hal pembukaan hutan dan pemukiman baru. P.J. Veth, op.cit., hlm. 254-255; lihat juga J.U. Lontaan, Sejarah, Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pontianak, Pemda Tingkat I Kalimantan Barat, 1975, hlm. 232-233, dan wawancara Syarif Usman Mek Al-Idrus 20 Oktober 1999 di Pontianak.

5 J.U. Lontaan, op.cit., hlm. 235.

6 P.J. Veth, op.cit., hlm. 260.

7 Ibid., hlm. 260-262; Lihat juga Arsip Nasional Republik Indonesia, Borneo-West 16/26, (5 Juli 1779).

8 Wawancara Syarif Yusuf Alkadri 19 Oktober 1999 dan Syarif Usman Mek Al-Idrus 23 Oktober 1999 di Pontianak.

9 Annabel Teh Gallop, et al. Surat Emas Raja-Raja Nusantara. Jakarta : Yayasan Lontar kerja sama dengan London : British Library, 1991, hlm. 132-133.

10 P.J.Veth (1856), op.cit., hlm. 71-74.

11 Ibid., hlm. 140-141 & 590; Wawancara Syarif Usman Mek Al-Idrus 22 Oktober 1999
di Pontianak.

12 Wawancara H. Muhammad Isa 18 Oktober 1999 di Pontianak.

13 Syarif Ibrahim Alqadrie, Sejarah Sosial Daerah Kotamadya Pontianak. Jakarta, Depdikbud, Proyek IDSN, 1984, hlm. 19.

14 Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta, PN. Balai Pustaka, 1984, hlm. 51.

15 P.J. Veth (1854), op.cit., hlm. 262; lihat juga J.L. Vleming, Het Chineesche Zakenleven in Nederland Indie. (Weltevreden, 1926), hlm. 257.

16 Writser Jans Cator, The Economic Position of the Chinese in Netherlands Indie. (Oxford, 1936), hlm. 149.

17 P.J. Veth (1854), op.cit., hlm. xxxi.

18 Ibid., hlm. 13.

19 J.L. Vleming, op.cit., hlm. 254.

20 Arsip Nasional Republik Indonesia (1973), op.cit., hlm. 215.

21 Miksic, John N, “Penganalisaan Wilayah dan Pertumbuhan Kebudayaan Tinggi di Sumatera Selatan” dalam Berkala Arkeologi V. Yogyakarta, Balai Arkeologi Yogyakarta, Maret 1984, hlm. 10.

22 J.L. Vleming, op.cit., hlm. 257-258.

23 Pengertian lebih lanjut tentang perkembangan kota yang bersifat organik dan terencana, lihat Aryandini Novita, “Pola Pemukiman Kota Batavia Abad XVII-XVIII”, Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung. Nomor : 5/ Maret 1999.

24 Syarif Ibrahim Alqadrie, op.cit., hlm. 79.

25 Arsip Nasional Republik Indonesia, Borneo-West 16/26, (5 Juli 1779); lihat juga P.J. Veth (1854), op.cit., hlm. 262.

26 Syarif Ibrahim Alqadrie, op.cit., hlm. 78-79.

27 Anonim, op.cit., hlm. 327.

28 F.H. Naerssen, Een Streekoderzoek in West Borneo. 5e Jaargan, 1951-1952, hlm. 134-137.

29 P.J. Veth (1854), op.cit., hlm. xxxi; J.U. Lontaan, op.cit., hlm. 48.

30 Syamsuni Arman, “Analisa Budaya Manusia Dayak”, Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta, Kerjasama LP3ES – Institut of Dayakology Research and Development dengan Gramedia, 1994, hlm. 122 - 123.

31 Mikhail Coomans, Manusia Daya Dahulu, Sekarang dan Masa Depan. Jakarta Gramedia, 1987, hlm. 3.

32 Ibid., hlm. 4.

33 J.U. Lontaan, op.cit., hlm. 48.

34 J.L. Vleming, op.cit., hlm. 254.

35 W.H. Sena van Basel, Een Dajaksch Dorp op Borneo`s Weskust. Deel I, 1874, hlm. 1-15; Arsip Nasional Republik Indonesia (1973), op.cit., hlm. 222-223.

36 M.D. La Ode, Tiga Muka Etnis Cina–Indonesia: Fenomena Di Kalimantan Barat. Yogya karta, Bayu Indra Grafika, 1997, hlm. 21.

37 Soedarto, et al., Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Barat. Jakarta, Depdikbud, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1978-1979, hlm. 9.

38 Bernard Sellato, Hornbill and Dragon. Jakarta, Gramedia, 1989, hlm. 59.

39 J.L. Vleming, op.cit., hlm. 255.

40 Bernard Sellato, op.cit., hlm. 59; lihat juga M.D. Laode, op.cit., hlm. 23.

41 P.J. Veth (1854), op.cit., hlm. xxxi.

42 W.H Sena van Basel, op.cit., hlm. 1-15.

43 Harlem Siahaan, “Pembauran Di Kalimantan Barat Prospek dan Perspektif Sejarahnya”, dalam Interaksi Antarsuku Bangsa Dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta, Depdikbud, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989, hlm. 24.

44 J.L. Vleming, op.cit., hlm. 256; lihat J.U. Lontaan, op.cit., hlm. 250; lihat juga M.D.Laode, op.cit., hlm. 110-111.

45 Syarif Ibrahim Alqadrie, op.cit., hlm. 70.

46 Sumadi, Peranan Kalimantan Barat Dalam Menghadapi Subversi Komunis Asia Tenggara. Pontianak, Yayasan Tanjungpura, 1973, hlm. 50-51.

47 Angus Maddison, “Kolonialisme Belanda Di Indonesia: Suatu Perspektif Berdasarkan Perbandingan”, Anne Booth, et al, (peny.)., Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta, LP3ES, 1988, hlm. 437.

48 J.L. Vleming, op.cit., hlm. 254.

49 Syarif Ibrahim Alqadrie, op.cit., hlm. 69; lihat M.D. La Ode, op.cit., hlm. 109.

50 Soedarto et al., op.cit., hlm 8.

51 Arsip Nasional Republik Indonesia (1973), op.cit., hlm. 215.

52 J.L. Vleming, op.cit., hlm. 256.

53 Arsip Nasional Republik Indonesia, Besluit No. 9, (9 April 1843).

54 Victor Purcell, The Chinese in Southeast Asia. (London, Oxford University Press, 1965), hlm.
20; lihat juga Syarif Ibrahim Alqadrie, op.cit., hlm. 70.

55 Harlem Siahaan, op.cit., hlm. 18-19.

56 J.L. Vleming, op.cit., hlm. 262.

57 J.U. Lontaan, op.cit., hlm. 250; lihat M.D. La Ode, op.cit., hlm. 110.

58 Arsip Nasional Republik Indonesia (1973), op.cit., hlm. 218.

59 Ibid., Besluit No. 4, (20 Mei 1844).

60 Syarif Ibrahim Alqadrie, op.cit., hlm. 107.

61 Djoko Surjo, “Kota dan Pembauran Sosial-Kultural Dalam Sejarah Indonesia”, Interaksi Antarsuku Bangsa Dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta, Depdikbud, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989, hlm. 44; lihat juga M.D. La Ode, op.cit., hlm. 107.

62 J.L. Vleming, op.cit., hlm. 257.

63 Ibid., hlm. 260; J.U Lontaan, op.cit., hlm. 253.

64 Syarif Ibrahim Alqadrie, op.cit., hlm. 37.

65 J.L. Vleming, op.cit., hlm. 256.

Daftar Pustaka
Alqadrie, Syarif Ibrahim. Sejarah Sosial Daerah Kotamadya Pontianak. Jakarta, Depdikbud, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1984.

Anonim, “Nomor Soeltan Pontianak”, Panji Pustaka. No. 15 Tahun IV, 23 Februari 1926.

Arman, Syamsuni. "Analisa Budaya Manusia Dayak", Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta, Kerjasama LP3ES - Institut of Dayakology Research and Development dengan PT. Gramedia, 1994.

Arsip Nasional Republik Indonesia. Borneo West, 16/26, 5 Juli 1779.

———. Besluit, No. 9, 9 April 1843.

———. Besluit, No.4, 20 Mei 1844.

———. Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah No. 5. Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda Tahun 1839-1848. Jakarta, 1973.

Basel, W.H. Sena van. Een Dajaksch Dorp op Borneo`s Weskust. Deel I, 1874.

Cator, Writser Jans. The Economic Position of the Chinese in Netherlands Indie. London, Oxford, 1936.

Coomans, Mikhail. Manusia Daya Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan. Jakarta, PT. Gramedia, 1987.

Gallop, Annabel Teh, et al., Surat Emas Raja-Raja Nusantara. Jakarta, Yayasan Lontar kerjasama dengan London, The British Library, 1991.

La Ode, M.D. Tiga Muka Etnis Cina – Indonesia: Fenomena Di Kalimantan Barat. Yogyakarta, PT. Bayu Indra Grafika, 1997.

Lontaan, J.U. Sejarah, Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pontianak, Pemda Tingkat I Kalimantan Barat, 1975.

Maddison, Angus. "Kolonialisme Belanda Di Indonesia: Suatu Perspektif Berdasarkan Perbandingan", Anne Booth, et al., (peny.) Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta, LP3ES, 1988.

Miksic, John N, “Penganalisaan Wilayah dan Pertumbuhan Kebudayaan Tinggi di Sumatera Selatan” dalam Berkala Arkeologi V. Yogyakarta, Balai Arkeologi Yogyakarta, 1984.

Naerssen, F.H van. Een Streekoderzoek in West Borneo. 5e Jaargan, 1951-1952.

Novita, Aryandini. “Pola Pemukiman Kota Batavia Abad XVII-XVIII”, Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung. Nomor : 5/ Maret 1999.

Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta, PN. Balai Pustaka, 1984.

Purcell, Victor. The Chinese in Southeast Asia. London, Oxford University Press, 1965.

Sellato, Bernard. Hornbill and Dragon. Jakarta, PT. Gramedia, 1989.

Siahaan, Harlem. "Pembauran Di Kalimantan Barat Prospek dan Perspektif Sejarahnya" Interaksi Antarsuku Bangsa Dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta, Depdikbud, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989.

Soedarto, et al. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Barat. Jakarta, Depdikbud, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1978-1979.

Sumadi. Peranan Kalimantan Barat Dalam Menghadapi Subversi Komunis Asia Tenggara. Pontianak, Yayasan Tanjungpura, 1973.

Surjo, Djoko. "Kota dan Pembauran Sosio-Kultural Dalam Sejarah Indonesia", Interaksi Antarsuku Bangsa Dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta : Depdikbud, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989.

Veth, P.J. Borneo`s Wester Afdeeling, Geographisch, Statistich, Historisch, voorafgegaan door een algemene schets der gansche eilands. Deel I. Zaltbommel, 1854.

———. Borneo`s Wester Afdeeling, Geographisch, Statistich, Historisch, voorafgegaan door een algemene schets der gansche eilands. Deel II. Zaltbommel, 1856.

Vleming, J.L. Het Chineesche Zakenleven in Nederland Indie. Weltevreden, 1926. Sumber Wawancara
Syarif Yusuf Alkadri, sesepuh Keraton Kadriah, warga Kompleks Keraton Kadriah

Syarif Mahmud Syarwani, sesepuh Keraton Kadriah, warga kampung Arab.

Syarif Usman Mek Al-Idrus, tokoh masyarakat Kampung Dalam Bugis.

H. Muhammad Isa, tokoh masyarakat Kampung Dalam Bugis.

Hasanuddin, Doktorandus. Staf Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Manado

Budi Kristanto, Doktorandus. Staf Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Manado

Sumber : Humaniora Volume XIII, No. 1/2001