Reinterpretasi dan Reposisi Terhadap Adat dan Tradisi (Kasus Melayu Islam Beraja di Serdang)

Oleh : Tuanku Luckman Sinar Basarsyah-II, SH

Di Pesisir Timur Sumatera menghadap Selat Melaka dari watas Aceh sampai ke watas Provinsi Riau terdapat 6 Kerajaan Maritim Melayu yang besar yaitu: Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Siak dan Pelalawan.

Dengan kekuatan senjata modern, Belanda dapat menaklukkan kerajaan-kerajaan Melayu itu di tahun 1865, meskipun terdapat perlawanan bersenjata secara bergerilya, tetapi tidak kompak karena politik devide et impera Belanda. Terhadap kerajaan-kerajaan yang dirasanya raja dan rakyatnya ekonomis dan potensial, maka Pemerintah Hindia Belanda mengadakan perjanjian yang disebut Politik Kontrak di tahun 1907.

Pasal-pasal yang penting adalah:
1. Bahwa Kerajaan itu berada di bawah Pemerintah Hindia Belanda
2. Bahwa Raja tidak boleh megadakan hubungan dengan Pemerintah asing
3. Bahwa urusan luar negeri, pertahanan, keizinan exploitasi tanah dan pertambangan, urusan keuangan berada di tangan Pemerintah Hindia Belanda
4. Bahwa Raja boleh mengadili kaulanya (orang Melayu, Karo dan Batak Timur) di dalam Mahkamah (Kerapatan), berdasarkan hukum Adat dan KUHP tetapi hukuman Buang dan Hukuman Mati harus dengan izin Gubernur Jendral.
5. Semua hasil dari kerajaan itu 50% untuk Pemerintah Hindia Belanda dan sisanya untuk pembangunan di wilayah kerajaan itu
6. Urusan Adat dan Agama tetap berada di tangan kuasa raja

Timur menjadi kaya raya dan menghasilkan 1/3 devisi seluruh Indonesia. Raja memerintah didampingi oleh 4 Orang Besar yang mewakili rakyat. Sejak berdirinya Kerajaan Serdang di tahun 1723 M. Raja berkuasa atas 3 unsur yaitu:

1. Sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan
2. Sebagai Khalifatullah Fil Ard (Pemimpin Agama Islam)
3. Sebagai Kepala Adat

Wilayah-wilayah kerajaan ini di Indonesia (Langkat, Deli, Sedang, Asahan, Siak, Pelalawan, Yogya, Solo, Pakualam, Pontianak, Kutai, Ternate, Tidore, Bacau, dan lain-lain kesemuanya 16 buah) disebut Zelfbestuurd Gebieden dan diluar itu wilayah yang dikuasai oleh Hindia Belanda disebut Gouvernement Gebieden seperti Tapanuli, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung, Lampung, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Kalimantan, Irian dan lain sebagainya.

Raja Serdang menjalankan hukum kepada rakyatnya berdasarkan Hukum Syariah Islam Mazhab Syafii dan Hukum Adat, sesuai pepatah Adat Melayu Bersendikan Hukum Syariah, Hukum Syariah Bersendikan Kitabullah.

Raja menjalankan "KEADILAN" (=KEBENARAN menurut Hukum Islam) dan menjadi pelindung rakyat. Sebaliknya rakyat mendukung Raja dengan “TAAT DAN SETIA”. Peraturan Hukum Adat berdasarkan:

ADAT SEBENAR ADAT (sesuai dengan Hukum Alam)
ADAT YANG DIADATKAN (berdasrkan konsensus Raja dan Orang Besar)
ADAT YANG TERADAT (lahir dari Resam dan kebiasaan masyarakat)
ADAT ISTIADAT (Seremoni yang berlaku di Istana yang jika Raja berganti mungkin saja ini akan berubah.

Ketentuan menurut hukum Islam dilaksanakan berdasarakan kuasa Raja kepada Majelis Ryar‘i Kerajaan Serdang yang terdiri dari para ulama dan pakar Agama Islam. Ketentuan keadilan menurut hukum adat dipagari oleh Orang Besar Empat yang mempunyai kekuasaan menjatuhkan dan mengangkat raja.

Institusi Orang Besar Empat berdasarkan fenomena alam yang kokoh (binatang berkaki 4; adanya 4 penjuru alam dan azas tungku 4 sejarangan dan azas kekeluargaan di Serdang, yaitu: suami, istri, anak beru (menantu) dan Puang (mertua).

Menurut Prof. DR. Van Vollenhoven dan Prof. DR. Ter Haar, yaitu para bapak Hukum Adat Nusantara, bahwa perilaku kebiasaan yang baik dituruti oleh masyarakat (zeden en gewoonten) dan itu merupakan adat. Pelanggaran terhadap adat yang diterima secara konsensus itu, berarti melanggar Hukum Adat dan dapat dikenakan Sanksi Sosial (misalnya dikucilkan, dikecam) atau sanksi pidana (misalnya hukuman denda adat, dibuang dari wilayah ataupun jadi durhaka terhadap kerajaan bisa dihukum mati).

Oleh sebab itu relasi timbal balik antara Raja dan Rakyat itu merupakan suatu kontrak sosial sehingga diformulasikan di dalam beberapa pepatah adat Melayu, seperti:

Tiada Raja, Tiada Adat
Hidup dikandung adat, mati dikandung tanah
Biar mati anak daripada mati adat.
Mati anak gembar sekampung, mati adat gempar sebangsa

Semua keputusan Raja haruslah dengan persetujuan Dewan Orang Besar dan segala sesuatu berdasarkan bulat air karena pembetung, bulat manusia karena mufakat.

Oleh karena Raja Sedang mempunyai 3 unsur kekuasaan itu, maka Pemberontakan dianggap sebagai DURHAKA yaitu menggoncangkan keseimbangan harmoni masyarakat yang mengakibatkan disintegrasai masyarakat. Maka hukuman terhadap “DURHAKA’ ialah hukuman mati. Tetapi bukanlah pemerintahan berdasarkan hukuman adat itu bisa menjadi beku. Ia juga terpengaruh di dalam perjalanan zaman oleh perubahan. Hal ini tercantum di dalam pepatah adat Sekali Air Bah, Sekali Tepian Berobah. Tetapi setiap perobahan itu tidak boleh lepas dari Jatidiri Melayu, yaitu: Seorang Melayu itu ialah beragama Islam, Berbahasa Melayu dan Beradat-istiadat Melayu (Adat bersendikan Hukum Syara, syara bersendikan Kitabullah).

Konsep “RAJA ADIL, RAJA DISEMBAH, RAJA ZALIM RAJA DISANGGAH”, dapat kita temui pula di dalam hikayat-hikayat lama. Jika raja itu zalim dilukiskan bak sebuah negeri itu sunyi sepi ditinggalkan rakyatnya, ibarat disambar oleh garuda, raja yang zalim itu sudah kehilangan “DAULAT” (pamornya).

Sebaliknya suatu kerajaan dimana Raja menjalankan keadilan dan bijaksana dilukiskan oleh Hikayat: ... maka negeri itupun makmur sejahteralah. Ramailah saudagar datang ke bandar itu. Padipun menguning dan rakyat banyak bersuka cita!.

Adapun syarat keadilan Raja di Serdang yaitu:
1. Selalu ingat kepada Allah SWT dan melaksanakan hukum syariah
2. Meneguhi sekalian janjinya kepada Wazir (Orang Besar) dan rakyat
3. Jangan percaya apa yang datangnya dari musuh begitu saja
4. Membeli kesayangan rakyat/wazir dan hulubalang
5. Pemurah dan membalas jasa mereka itu dengan tertib
6. Jangan raja duduk dengan orang yang jahat budinya, orang yang suka memuji-muji
7. Memeriksa dan menghukum dengan tertib sesuai qanun kerajaan
8. Memegang adat pusaka yang qanun
9. Adil, pengasih, arif bersusun
10. Bijak menilik zaman yang berobah seperti kata adat Sekali air bah, sekali tepian berobah.

Baginda juga menasehatkan kepada putra-putranya bagaimana seharusnya sifat seorang Raja yang baik yaitu sekurang-kurangnya mahir atas 8 perkara:
1. Tuah hati
2. Bermurah manis
3. Berlidah fasih
4. Bertangan murah
5. Menghukum yang adil
6. Bersifat mengasihi hamba rakyat
7. Menegakkan hukum dengan tegas
8. Berjiwa berani

Adapun syarat-syarat untuk Orang Besar dan Kepala Luhak, Baginda menetapkan:
1. Mereka adalah kayu besar di tengah padang tempat berteduh di hari hujan, tempat bernaung di hari panas, uratnya boleh tempat duduk, batangnya boleh tempat bersandar
2. Mereka kaya bukan karena emas tetapi karena mempertahankan adat pusaka undang yang qanun sejak dahulu kala
3. Janganlah mereka memerahkan rupa dimuka rapat, menggertak, menghantam tanah, menyingsing lengan baju, menjunjung barang yang berat.
4. Mereka tetap berdiri di pintu adat, alim ulama berdiri di pintu agama, pegawai berdiri di pintu sudah dan hulubalang berdiri di pintu mati
5. Kata Raja melimpahkan, Kata Orang Besar memperselesaikan, kata Alim Ulama kata hakekat, kata Hulubalang kata mengeras, kata orang banyak kata bercampur, adat diatas tumbuh dan pusaka diatasnya, adat sepanjang jalan cupak sepanjang betung
6. Jika negeri hendak selamat, pagarlah dengan syara‘ dan adat, antara Orang Besar dengan Datuk, antara Bentara dengan Bentara, antara Hulubalang dengan Laskar, antara rakyat dengan rakyat, semua seia bersatu hati
7. Rumah sekata tengganai, kampung sekata tua, luhak sekata penghulu, berpucuk bak jala, berumpun bak manau, keatas sepujuk ke bawah seurat, seraja sedaulat, sehutang sepiutang, terjemur sama kering, terendam sama basah, maka jauhlah segala silang sengketa

Karena wilayah Kerajaan Sedang dan Wilayah Residensi Sumatera Timur itu menjadi aman dan makmur, maka berduyun-duyunlah sekalian bangsa di dunia dan etnis-etnis dari wilayah kekuasaan Gouvernement Gabidien (dari Tapanuli, Sumatera Barat, Jawa dan lain-lain), untuk menjadi buruh perkebunan, kerani di Pemerintahan Belanda dan perusahaan asing). Mereka sudah menjadi mayoritas, tetapi tidak berhak memiliki Tanah Adat di dalam wilayah kerajaan. Mereka tunduk kepada hukum yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda karena mereka kaula (rakyat) Gubernemen Belanda.

Zaman Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (17-08-1945 s.d. 03-03-1946)
Ketika Jepang menyerah kalah, Indonesia (Soekarno-Hatta) memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Karena communication yang buruk maka berita itu lambat ke Sumatera Timur. Barulah pada bulan Oktober 1945 diresmikan Gubernur Sumatetra R.I. di Medan, tetapi kekuasaan militer Jepang masih aktif disuruh oleh Allied Commad, mereka menjaga keamanan sampai nanti Allied Forces mendarat untuk membawa mereka pulang ke Jepang. Baru pada tangal 10 Oktober 1945 itu mendarat di Sumatera Timur (Belawan-Medan) Allied Forces dari Britsh Indian 26th Division dan diikuti oleh sedikit tentara Belanda. Sementara itu bekas tentara bantuan Jepang bangsa Indonesia dan para pemuda revolusioner ramai membentuk Laskar bersenjata atas nama partai politik disamping Tentara Republik Indonesia (TNI) sendiri. Hampur semua senjata diambil dari tentara Jepang yang dengan senang menyerahkannya atau diselami di dasar laut yang dangkal yang dibuang oleh tentara Jepang itu. Disamping itu senjata diperoleh dari selundupan (smuggling) dari Singapura dan Malaya. Gubernur Sumatera R.I. lalu membentuk Residen, Controller (Bupati) meniru masa Belanda dahulu. Maka terjadilah pelayanan umum (civil service) yang bersaingan dengan pelayanan umum (civil service) kerajaan Melayu. Orang Pendatang dan orang Komunis mulai menguasai partai politik dam Laskar Bersenjata dan Pelayanan Umum R.I. dan yang paling kuat persenjataan dan organisasinya ialah Laskar PESINDO dan LASKAR BURUH yang dikuasai orang Komunis.

Pada akhir tahun 1945 hanyalah Sultan Siak dan Sultan Serdang yang secara aktif mengirim telegram kepada Presiden Sukarno, bahwa kerajaan Melayu itu mendukung Pemerintahan R.I., tetapi raja-raja yang lain masih ragu-ragu. Pada tanggal 3 Februari 1946, Gebernur Sumatera memanggil seluruh raja-raja/sultan Melayu di Medan untuk menanyakan sikap mereka. Seluruh raja-raja/sultan Melayu membuat statement mendukung pemerintah R.I., dan segera akan membuat state council yang demokratis hasil utusan dari rakyat dan political parties. Tetapi secara sembunyi kaum komunis sudah mempersiapkan rencana untuk menghapuskan kerajaan dan taken over pemerintahan kerajaan. Mereka membuat propaganda di surat kabar, radio dan pamflet (propaganda leaflet) serta nyanyian revolusioner “Darah Rakyat” dan isu fitnah palsu bahwa raja-raja Melayu itu sudah bekerjasama dengan Belanda dan mereka adalah feodal yang memeras dan menindas rakyat.

Meskipun sudah terlambat, beberapa raja-raja membentuk kesatuan bersenjata yang pro kerajaan, seperti Partai Anak Deli Islam oleh Sultan Deli di Sunggal. Sultan Asahan mempersenjatai pasukan TNI di Tanjung Balai untuk menjaga Kesultanan. Sultan Sedang segera menyuruh keluarga bangsawan Melayu agar memasuki dan memimpin TNI di Serdang serta menjadi pro sultan, serta memasuki partai-partai politik Islam dan Nasionalis. Sultan Langkat mendapat senjata dari Jepang untuk Polisi Kerajaan Langkat, yang menjaga istana-istana Sultan Langkat.

Zaman Revolusi Sosial (3 Maret 1946)
Melihat situasi politik yang sudah meninggi suhunya ini, tiba-tiba Gubernur R.I. Sumatera berangkat mengadakan tur ke Provinsi Lampung di Selatan. Wakil Gubernur, Dr. Amir, membiarkan partai-partai politik kiri bebas bergerak dan membentuk Flok‘s Block. Pada tanggal 3 Maret 1946 pada jam 12 tengah malam secara serentak Flok‘s Front (People‘s Front) yang dipimpin orang-orang Komunis/kiri dikepalai oleh Presindo menyerbu istana dan kantor kerajaan Melayu dan diumumkan bahwa kerajaan Melayu telah dihapuskan oleh rakyat Indonesia. Mulailah rumah dan istana-istana diserang, dirampok hartanya, dan Raja/Sultan beserta Orang Besar dan para bangsawan serta pegawai kerajaan ditangkap dan sebagian dibunuh di tengah hujan atau dibenamkan di laut. Sultan Deli di Medan minta perlindungan British Indian Forces. Istana Maimoon terkepung menjadi benteng dan keluarga Sultan pergi ke hutan bersembunyi dan malam hari minta perlindungan bataliyon Jepang di Tanjung Balai. Baginda lalu minta dibawa ke pusat Pemerintahan R.I. di Siantar dan lalu diinterner.

Pasukan Sultan Deli di Sunggal dapat dikalahkan oleh PESINDO. Istana dan rumah-rumah orang Bangsawan Melayu dirampok dan dibakar, sehingga sebagian penghuninya berlindung di istana Maimoon yang dijaga oleh satu unit British Indian Troop. Istana Maimoon itupun dikepung dan siang malam ditembaki tetapi tidak ada yang hancur dan tidak ada penghuni yang tewas. Sultan Deli kemudian mengungsi dengan keluarganya ke Perak (Malaya). Istana Sultan Langkat baik yang di Tanjung Pura (Darul Aman) maupun yang di kota Binjai diserbu dan isinya dirampok. Para bangsawan Langkat ditangkap dan sebagian besar dibunuh dengan kejam termasuk Pujangga Besar Tengku Amir Hamzah.

Putri-putri Sultan Langkat didepan matanya diperkosa (raped) oleh ketua Pengganas Pesindo, Komunis Marwan. Tengku-tengku di Asahan yang laki-laki semua dibunuh termasuk isteri Tengku Musa dan anaknya. Di Kesultanan Serdang, karena Sultan Sulaiman Shariful Alamshah (lahir 1866) sejak dahulu terkenal anti-kolonialis Belanda, dan banyak keluarga Kesultanan yang duduk di dalam partai politik dan di TNI, maka People‘s Front hanya dapat mengerahkan rakyat (kebanyakan rakyat pendatang) untuk berbaris berdemonstrasi meminta agar Kerajaan Serdang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada R.I.

Hal ini disetujui, dengan menyerahkan semua kekuasaan pemerintahan Kerajaan Serdang kepada TNI, yang diterima komandan Batalion III, yaitu Kapten Tengku Nurdin, kemenakan dari Sultan Serdang. Sementara itu dimana-mana istana dan rumah kaum bangsawan Melayu dirampok dan terjadi pembunuhan terhadap kaum bangsawan secara masal. Kaum bangsawan Melayu dari daerah-daerah mengungsi ke Istana Kota Galuh Serdang dan dikawal oleh TNI. Satu bulan kemudian Menteri Amir Syarifuddin (salah seorang eksponen Komunis) tiba di Serdang dari Jawa dan menghasut partai-partai dan laskar-laskar rakyat kenapa membiarkan feodal Sultan dan bangsawan Serdang di istananya. Dengan akal jahatnya Partai Komunis Indonesia (PKI) berhasil memindahkan Kapten Tengku Nurdin dari Batalion III naik pangkat menjadi Komandan Resimen di Tanah Karo dengan pangkat Mayor. Tidak berapa lama kemudian penggantinya yang baru, menangkap semua kaum bangsawan termasuk perempuan dan anak-anak ditangkap dan dibawa ke perkampungan (Concentration camp) di Simalungun dan Tanah Karo. Sultan Serdang dengan Permaisuri dan beberapa orang pembantu dipindahkan ke Istana Permaisuri. Istana besar dirampok. Semua harta yang ada disita dan lalu dijadikan headquater mereka. Pada tanggal 13 Oktober 1946, Sultan Sulaiman mangkat karena sakit dan usia tua dan dimakamkan dengan upacara kebesaran militer di sebelah Mesjid Raya Perbauran. Ketika tentera Belanda mengadakan aksi militer tetrhadap Republik Indonesia, pasukan marinir Belanda mendarat di Pantai Cermin dan merebut ibukota Serdang (Perbaungan) dan seluruh rekan dan komplek istana dibumihanguskan (scorceharth policy seperti yang dilakukan Sovyet Union di Stalingrad pada Perang Dunia-II).

Zaman Periode 1947 : Orde Lama
Ketika tentara Belanda mengungsi, Residency Sumatera Timur kembali (Juli 1947), masyarakat Melayu bersama etnis Karo dan Simalungun, mendirikan Negara Sumatera Timur (NST) dan menjadi bahagian dari Republik Indonesia Serikat. Disebutkan di dalam pernyataan bahwa kerajaan-kerajaan Melayu akan dihidupkan kembali apabila suara rakyat menghendakinya. Kaum komunis dan nasionalis mendesak agar RIS dibubarkan dan Presiden Soekarno memenuhi keinginan itu kemudian RIS dibubarkan dan kembali diganti dengan Undang-undang Dasar 1945 yang unitaristic. Dalam masa dimana kaum komunis dan Orang Pendatang yang anti-raja berkuasa tidaklah mungkin lagi mendirikan Kerajaan Melayu Islam. Pada masa ini, tanah adat Melayu dirampas oleh petani komunis dan disingkirkan. Mereka dinista dan dicacimaki sebagai orang bodoh dan pemalas serta berada di dalam kemiskinan dan tidak mendapat bantuan Negara dan di negerinya sendiri dianggap sebagai second class citizens. Pada masa itu 2 generasi orang Melayu hampir kehilangan identitas mereka. Mereka takut mengaku Melayu, takut memakai baju teluk belanga dan menambah gelar marga Batak di depan namanya supaya boleh masuk sekolah atau diterima di kantor pemerintahan. Mereka menghilangkan gelar Tengku atau Wan karena takut dicaci sebagai feodal.

Zaman ini adalah masa kegelapan buat adat-budaya Melayu.
Zaman Orde Baru dan Reformasi
Pada 30 September 1965 terjadilah kudeta (coup d‘etat) PKI yang segera dihancurkan oleh Angkatan Bersenjata RI pimpinan Jenderal Suharto. Sebahagian besar eksponen PKI di Sumatera Timur yang di tahun 1946 membunuh dan merampok kaum bangsawan Melayu, ditangkap dan dibunuh rakyat.

Mulailah timbul kesadaran dari masyarakat Melayu untuk bersatu-padu dan menegakkan adat-budaya mereka kembali di tanah kelahiran mereka. Para Pemuka masyarakat Melayu di Sumatera Timur dilindungi oleh Panglima Komando Wilayah Sumatera, Letnan Jendral Ahmad Tahir. Ia mengumpulkan dan menyatukan sebanyak 17 organisasi massa Melayu dan membentuk payung organisasi bernama MAJELIS ADAT BUDAYA MELAYU INDONESIA (MABMI) di Medan pada tahun 1971.

Perjuangan MABMI itu tidaklah mudah, karena selama 2 generasi yang lalu, mereka kurang mengenal identitas Melayu. Oleh sebab itu gerakan MABMI melalui massa rakyat, haruslah setapak demi setapak secara bertahap:

Tahap I:
Mempopulerkan dimana-mana dan juga dikalangan bangsa Indonesia identitas Lagu dan Tarian Melayu, yang karena indah menjadi populer dan digemari masyarakat ramai.

Tahap II:
Mempopulerkan adat istiadat perkawinan Melayu, teluk Belanga, Kebaya Melayu dan Sastra Melayu Lama (berpantun).

Tahap III:
Mengadakan penerangan ke segenap pelosok daerah tentang kepahlawanan Melayu di masa lampau dengan menerbitkan buku-buku, ceramah di radio, televisi dan media massa lainnya.

Tahap IV:
Mempopulerkan definisi Melayu: Orang Melayu beragama Islam, berbahasa Melayu dan beradat-istiadat Melayu. Adat Melayu bersendikan hukum Syara‘ dan Syara‘ bersendikan Kitabullah.

Tahap V:
Memperjuangkan pengembalian Hak Tanah Adat Melayu yang diduduki oleh perusahaan Negara dan Orang Pendatang, paling tidak diberikan kompensasi. Memperjuangkan agar orang Melayu duduk juga di dalam Civil Service ditingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Tahap VI:
Jika menuntut Hak Adat Tanah dan Hak-Budaya Melayu haruslah ada Kepala Adat/Sultan/Raja di setiap bekas kerajaan. Karena berdasarkan Kesatuan Hukum Adat (territorial adat law) setiap negeri melayu.

Negeri Beraja, Luhak Berdatok, Kampung Berpenghulu.
Berdasarkan hal itu lalu di setiap bekas Kerajaan Melayu, MABMI menyokong terbentuknya Lembaga Kerapatan Orang-Orang Besar (territorial chefs) yang diambil dari keturunan laki-laki dari bekas Orang Besar (Datok/Kajeruan) sebagaimana pada zaman kerajaan masih ada dahulu (1946).

Tahap VII:
Kerajaan Adat yang terdiri dari para Orang Besar lalu bersidang dan mengangkat (tabalkan) seorang KEPALA ADAT/SULTAN diambil dari keturunan anak laki-laki dari Sultan yang terakhir (Maret 1946).

Ini didasarkan kepada Pepatah Adat Melayu dan dasar Hukum Kerajaan Melayu yaitu:

Tiada Raja, Tiada Adat
Raja Melayu mempunyai 3 fungsi, yaitu Kepala Pemerintahan (government), Kepala Agama Islam (Khalifatullah Fil Ard) dan Kepala Adat-Istiadat.

Bidang Pemerintahan dan bidang Kepala Agama Islam sudah diambil alih oleh Negara Republik Indonesia, tetapi bidang kekuasaan selaku Kepala Adat-Istiadat tetap ada kepada Sultan selagi masih ada rakyat/masyarakat yang mendukung adat istiadat itu.

Tahap VIII:
Karena berada di suatu negara yang berdasarkan Demokrasi dan dalam suasana keterbukaan bebas (reformasi) sekarang di Indonesia. Maka penegakan institusi beraja itu haruslah mendapat simpati dari masyarakat adat pendukungnya terlebih lagi dari generasi muda yang tidak pernah mengalami zaman Kerajaan itu dahulu.

Oleh sebab itulah ketika Kesultanan Serdang akan dipulihkan diadakan dahulu pertemuan dialog terbuka dengan pemuka masyarakat dimana diadakan tanya-jawab yang simpatik.

Ternyata masyarakat adat Melayu (terutama dari generasi muda) sangat antusias menyambut hal itu, bahkan mereka sendiri menjadi Panitia (comittee) untuk melaksanakan upacara penobatan Sultan. Masyarakat Melayu ternyata sudah muak/bosan dengan suasana korupsi, caci-maki, brutal, kekerasan, penindasan hak azasi, sikap kasar, pornografi, narkotika, dan lain-lain, yang menurut penuturan ayah mereka dahulu dilarang oleh adat dan Raja. Di zaman dahulu diketengahkan sopan santun, lemah lembut dalam kata dan tindakan serta kerukunan gotong royong masyarakat. Masyarakat kini sadar bahwa propaganda kaum komunis tentang kekejaman feodalis raja-raja, ternyata palsu karena ketika orang komunis/anti raja berkuasa mereka lebih menindas rakyat lagi.

Bahwa institusi adat Beraja pada bangsa Indonesia sudah lahir selaku hasil ciptaan bangsa kita sendiri sejak ratusan tahun dan telah diuji sebagai suatu sistem yang terbaik disesuaikan dengan fenomena alam dan watak kita, karena buat orang Melayu “Alam ini menjadi Guru”. Sistem Beraja dengan institusi feodalis hanya tumbuh sejak abad ke-8 Masehi di Eropah. Raja Melayu yang Islam tunduk kepada ketentuan Hukum Islam yang benar dan adil serta membuat keputusan itu sesuai musyawarah mufakat dengan Orang-Orang Besar (adat/territorial chiefs) yang mewakili suara masyarakat. Kesultanan Deli telah Exist. Begitu juga Kesultanan Asahan.

Kesultanan Serdang telah pulih sejak masa Reformasi (2000-2002). Sedangkan Kepala Adat Langkat pada tahun 2003. Pada bulan Agustus 2003 yang lalu Pemerintah Provinsi Riau telah membangun berdirinya kembali Istana Sultan Pelalawan (Kampar). Dalam tahun 2002 Bupati Langkat telah mendirikan Balairung Adat Langkat. Fenomena seperti ini juga terjadi di bekas Kerajaan Kutai di Kalimantan dan di Sumatera Barat. Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten di Sumatera Utara mendukung dan mengharapkan sebagai patner semua Kepala Adat/Sultan yang baru itu.

Kesimpulan
Kebangkitan kembali institusi “Beraja” di alam globalisasi di Sumatera Timur khususnya adalah disebabkan oleh faktor :

1. Penderitaan masyarakat Melayu akan tipu daya orang Pendatang dan Orang Komunis sehingga lepasnya hegemoni dalam pemerintahan, dalam hak tanah adat dan dalam institusi adat-budaya mereka;

2. Mereka melihat bahwa Raja dan keluarga bangsawan lainnya juga turut menderita bersama-sama dengan mereka dan terhina;

3. Bahwa di dalam suasana globalisasi dengan keterbukaan dan kebebasan kini perlu ada institusi adat Beraja yang Islami untuk dapat membendung pengaruh gempuran budaya negatif yang individualistic/capitalistic dan pornografi dari Barat, sehingga kepribadian Melayu Islam tidak hilang;

4. Kesadaran generasai muda Melayu yang telah membaca kegemilangan masa lampau berhasrat menuju masa depan yang cemerlang bersama institusi adat mereka menjadi Tuan Rumah di negeri sendiri;

5. Bahwa kemakmuran dan aman damai yang ditunjukkan institusi Melayu Islam Beraja di Malaysia dan Brunei menjadi simbol inspirasi masyarakat Melayu disini.

6. Bahwa dalam alam globalisasi dan demokratisasi, peranan adat memainkan unsur penting guna menegakkan jatidiri bangsa Indonesia sesuai watak perilaku mereka dan alamnya yang menjadi guru. Apakah akan terjadi nicely blended transformatio dalam budaya Indonesia yang akan datang?

Daftar Literatur
1. Milner, A.C., Kerajaan : Malay Political Culture on the Eve of Colonial Rule, Tucson : University of Arizona Press 1982.
2. Prof. DR. B. Ter Haar, Adatrechtbundels Nedelandsch-Indie.
3. Prof. DR. B. Ter Haar, Beginselen en stelsel van get Adatrech.
4. Prof. DR. C. Van Vollenhovenm, Het Adatrecht van Nedelandsch-Indie.
5. Panuti H.M. Sudjiman, Adat Raja-Raja Melayu, U.I. Press 1983.
6. G. J. Resink, Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia, Jembatan Jakarta 1987.
7. Tengku Luckman Sinar, SH., Sari Sedjarah Serdang, MABMI Medan 1971.
8. --------------: Jatidiri Melayu, Medan 2001.
9. --------------: Kebudayaan Melayu Sumatera Timur, USU Press, Medan 2002.
10. ---------------: Pantun dan Pepatah Melayu, Medan 1995.
11. ---------------: Peranan Adat dalam Pembangunan, Majalah FORKALA, Medan Agustus 2003.
12. ---------------: Kronik Mahkota Kesultanan Serdang, Penerbit Yandira, Agung, Medan 2003.
13. WHM. Schadee, Geschiedenis van Sumatra‘s Oostkust, I dan II (1919) Indonesia, Jakarta 1998.
14. Tengku Nurdin, Bara Juang Nyala di Dada, Yayasan Penerbit Biografi Indonesia, Jakarta 1998.
15. DR. Anthony A. Ried, The Blood of the People.
16. DR. SL. Van der Wall, Officieele Bescheiden Betreffende de Nederlandsch-Indonesische Betrekkingen 1945-1950 (Terugkeer Naar Ned. Indie, p.588, Vol.I)
17. Rajendra Singh, Post-war Occupation Force (Medan Area).
18. Majalah Tempo, 24-09-1988 tentang keterlibatan PESINDO dengan PKI.
19. Tengku Yusuf Aziddin, Revokutie Antie-Sociaal, Tanjung Balai, 08-07-1948.
20. Hj. Jumaat bin Dato‘ Hj. M. Noor., Sekalung Budi, Seuntai Bahasa, Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia ; K. Lumpur, 2002.
21. Prof. DR. Datuk Abd. Latif Abubakar (ed.), Adat Melayu Serumpun, Univ. Malaya Press K.L. 2001.
22. Aziz Deraman cs, Kamus Peribahasa, Selangor Darul Ehsan.
23. John Anderson, Mission to the Eastcoast of Sumatra, Edinburgh 1826.

Sumber : www.kongresbud.budpar.go.id