Menagih Rempah Sastra Melayu

Oleh : Binhad Nurrohmat

Amir Hamzah berkisah: Setelah runtuhnya kota Malaka diterbangkan peluru d‘Alfonso, panglima Peranggi itu, maka melayanglah semangat kesusastraan pujangga Melayu. Sultan Ahmad undur ke Hulu Muar, didatangi Peranggi pula, lari ke Paguh, dari Paguh menuju Pahang, dari Pahang menyeberang ke Bintan, tiada boleh bertahan lagi, sebagai kijang dihambat harimau. Cerai-berailah rakyat Melayu, lari membawa diri, menyusur pantai, merenangi sungai, pecah-belah kian kemari bagai daun diterbangkan angin. Sunyilah dada anak Melayu, padamlah api syair, keringlah mata pantun... (dari Sesuatu Indonesia, Afrizal Malna, Bentang Budaya, 2000).

Kisah yang terjadi pada ratusan tahun yang lampau itu menjadi mula keruntuhan kekuasaan Melayu dan kemunduran khazanah kebudayaan dan kesusastraannya. Tunggang-langgang dari tempat ke tempat yang lain semacam hewan buruan Feringgi (orang Eropa) sehingga kehilangan kemungkinan untuk menjelmakan hasil-hasil batin maupun lahir kebudayaannya secara optimal.
Tak tampak lagi karya sastra besar Melayu yang menjulang setelah Hikayat Hang Tuah, Syair Perahu, maupun Gurindam Duabelas. Penjajahan orang Eropa telah memiskinkan sumber ekonomi, menindas marwah kemanusiaan, dan mengeringkan mata air kesusastraan Melayu. Semangat kebudayaan dan kesusastraan Melayu bangkrut dan sekedar menjadi objek proyek imperialisme dan kolonialisme bangsa Eropa yang serakah.

Khazanah kesusastraan Melayu yang masih terwariskan hingga kini adalah bentuk pantun dan hikayat, dan setelah bersentuhan dengan dan terpengaruh oleh kebudayaan Barat melalui penjajahan yang menghisap kemakmuran dan bersikap kejam terhadap masyarakat Melayu selama berabad-abad yang penuh gejolak, kedua bentuk itu mengalami perkembangan bentuk menjadi sanjak dan roman. Pantun dan hikayat yang menjadi salah satu bahasa ucap kebudayaan masyarakat Melayu terbungkam.

Pantun dan hikayat menggali sumber penciptaan/gagasan dari kebudayaan masyarakat Melayu; dan sanjak dan roman terilhami sumber penciptaan/gagasan yang juga berasal dari kebudayaan masyarakat yang bukan Melayu. Anak-anak yang dilahirkan kebudayaan Melayu semacam Amir Hamzah terilhami daya renung kesusastraan India dan Chairil Anwar menyerap semangat Pencerahan kebudayaan dan kesusastraan masyarakat Eropa.

Kedua pilar utama puisi Indonesia modern itu berdarah-daging kebudayaan Melayu dan terus mempertahankan dan membangun eksistensinya dalam pergaulan kebudayaan dunia tanpa kehilangan identitas kebudayaan yang melahirkannya maupun melekang kepekaannya/ kesadarannya terhadap persoalan dalam ruang dan waktu yang menghidupi persoalan individual maupun kolektifnya. Mereka membuang jauh romantisme terhadap kebudayaan ibunya dan sigap membangun daya nalar maupun sikap kebudayaan yang lebih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan zamannya tanpa menjadi pendurhaka.

Kesadaran penciptaan kedua sastrawan itu menjadi sebuah model yang boleh dibilang ideal bagi tradisi penciptaan sastra di kawasan Asia Tenggara yang berakar kebudayaan Melayu ini di sebuah zaman yang telah kehilangan sekat jarak maupun waktu fisikal seperti saat ini. Mereka berbasah-kuyup dengan kebudayaan mereka sendiri sekaligus mereguk kebudayaan-kebudayaan yang membentang jauh di luar tapal batas kebudayaan mereka. Jantung kebudayaan mereka adalah kebudayaan Melayu tapi mereka sadar bahwa darah yang memompakan daya ciptanya bisa berasal dari mana pun. Kosmopolitanisme itu membuat batas-batas kebudayaan mereka terabas justru untuk semakin mengukuhkan eksistensi dan watak kebudayaan mereka sendiri.

Kosmopolitanisme adalah urusan yang tak bisa dihindarkan sepanjang sebuah kebudayaan tak ingin menjadi katak dalam tempurung. Tradisi kebudayaan-kebudayaan besar yang pernah ada selalu membuka, menyerap, maupun menyempurnakan tradisi kebudayaan-kebudayaan besar sebelumnya. Sejarah kebudayaan Islam, kebudayaan Eropa, kebudayaan Yunani, kebudayaan Melayu (Klasik) sendiri telah memberikan pelajaran mengenai hal itu.

Karya sastra terkini di kawasan Asia Tenggara yang ber-ibu kebudayaan Melayu telah kehilangan daya untuk menghadirkan dirinya sendiri secara istimewa di mata masyarakatnya sendiri maupun masyarakat dari belahan kebudayaan yang lain. Belum ada lagi isu besar yang dimunculkan oleh karya sastra terkini di kawasan ini yang mampu menarik perhatian masyarakat maupun pengamat sastra di tanahnya sendiri maupun dunia.

Karya sastra di banyak negara di kawasan ini nyaris ‘hanya‘ dibaca oleh masyarakat di negaranya masing-masing, tanpa ada upaya saling membaca di antara mereka. Karya sastra di kawasan besar ini tak saling bergaul dengan karya sastra di kawasannya sendiri maupun kawasan kebudayaan dunia yang lain. Karya sastra Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura, maupun negara pengguna bahasa Melayu yang lain tak saling mengenal di antara mereka. Yang ada hanya pertemuan sastrawan dan bukan pergaulan yang intens dengan karya sastranya, tak ada lalu-lintas teks di antara mereka, dan abai terhadap lalu-lintas teks yang berkelebatan di luar pagar kebudayaan mereka.

Karya sastra di kawasan ini telah kehilangan daya jelajah persoalan maupun eksplorasi bentuk yang mampu menawarkan cara pandang maupun kejutan estetik yang berarti baik dari capaian capaian sastrawi maupun daya olah kepekaannya terhadap persoalan di kawasannya sendiri. Tonggak-tonggak sastra besar yang dihasilkan di kawasan yang menjulang di masa silam itu seolah kehilangan daya untuk memompa semangat maupun ilham bagi karya sastra di masa selanjutnya ketika imperialisme fisikal telah hengkang dari kawasan ini dan zaman telah meninggalkan modernisme menuju pasca modernisme.

Edward Said (1993) pernah memperbincangkan tentang kondisi bangsa-bangsa selepas dari penjajahan untuk melihat kembali dan menilai-ulang sejarah masa lampau bangsanya sendiri dan Jean Baudrillard (1883) pernah bilang bahwa ketika kenyataan tak lagi seperti masa lampau maka nostalgia akan memberikan makna yang lebih terang mengenai mitos dan sejarah sehingga bangsa-bangsa yang lepas dari penjajajahan dapat terhindarkan dari sebuah kondisi - meminjam istilah kaum sosiolog -- homeless mind, keterasingan peradaban, agar bangasa-bangsa yang lepas dari penjajahan memiliki apa yang oleh Francis Fukuyama (1989) dalam The End of History disebut sebagai "nostalgia yang kuat".

Namun jangan hanya memaknai nostalgia sebagai upaya menghadirkan yang lampau di masa kini belaka, melainkan kesanggupan untuk mendenyut kemasakinian dan kemasadepanan sekaligus (Hashim Ismail, 2001). Nostalgia ini, dengan demikian, adalah paduan yang historistik dan yang futuristik dengan cara berdialog dengan sejarah dan mitos untuk menemukan cara pandang atau tafsir yang baru terhadap sejarah dan mitos.

Contoh, novel Ismail Tehrani 1515 yang mengisahkan kekalahan Portugis oleh Malaka (padahal dalam sejarah, pada 1511 Malaka ditaklukan Portugis), novel Umberto Eco Foucault‘s Pendulum yang bermain-main dengan sejarah Eropa melalui cara pandang yang memikat, novel Gabriel Garcia Marquez One Hundred Years of Solitude dan puisi Canto General Pablo Neruda yang merupakan subversi terhadap sejarah Meksiko, maupun novel Dan Brown Da Vinci Code yang mencoba memberikan tafsir antropologis terhadap tanda-tanda religi Kristen.

Sebagai sebuah kebudayaan yang kuat dan tua yang pernah hidup dan berjaya di sebuah kawasan yang luas, kebudayaan Melayu memiliki jejak sejarah dan mitos yang kaya. Generasi sastra terkini masih berhutang banyak terhadap masa lampau itu, bukan untuk diromantisirnya, melainkan melunasinya dengan cara melahirkan karya sastra juga, sebagaimana sikap dan tindakan nyata sastrawan Amerika Latin terkini terhadap warisan kebudayaan leluhurnya yang berupa sejarah dan mitos yang sangat lama dibungkam oleh tangan penjajahan bangsa Spanyol.
Kini sastrawan Amerika Latin sanggup berdiri paling depan dalam kancah kesusastraan dunia karena mampu menampilkan watak dan kepekaan terhadap masalah yang ada dalam jantung kebudayaannya sendiri. Kekalahan mereka yang telah berlalu mampu membangkitkan semangat untuk membangun kemenangan yang baru melalui sastra. Sastra Melayu kini tak mungkin lagi mengukuhi pantun dan hikayat sebagaimana bentuknya yang dulu. Zaman telah berubah dan menuntut kebutuhan yang juga telah berubah. Romantisme harus digantikan nalar yang lebih produktif sehingga menghasilkan sesuatau yang konkret dan berwawasan global.

Lalu, apa yang harus dilakukan?

Menurut saya, mengidentifikasi sejarah dan mitos kebudayaan Melayu di masa lampau menjadi urusan penting saat ini untuk dijadikan sumber mengenali kembali identitas kebudayaan sendiri dan yang kemudian sanggup mengilhami upaya penciptaan sastra yang dapat menghirup semangat dan inti kebudayaan Melayu sebagaimana yang sudah dilakukan karya sastra di kawasan kebudayaan yang lain yang pernah mengalami nasib sebagai bangsa yang dijajah.

Maka segala bentuk pertemuan sastra(wan) di kawasan Asia Tenggara yang konon masih merasa Melayu ini semestinya diarahkan untuk menangkap sejarah Melayu yang silam itu untuk menggerakkan masa kini dan masa depannya sendiri. Maka jika bangsa Amerika Latin kehilangan emas di masa lalu dan kini mendulang keemasan kebudayaan sastranya, maka bangsa Melayu yang kehilangan rempah di masa lampau semestinya juga bisa menghisap keharuman kebudayaan sastranya di masa kini. Kenapa tak?

Binhad Nurrohmat adalah Penyair dan Kolomnis Sastra

Sumber : http://www.republika.co.id