Oleh : Garin Nugroho
Daya hidup Kebudayaan seperti layaknya makanan sebagai produk Kebudayaan, senantiasa memerlukan tungku nan tiga untuk terus menghidupkannya agar makanan itu hangat dan masak, yakni tungku dengan tiga sendi yang kokoh menyangganya. Demikian juga dengan setiap proses menjadi Indonesia, ia dihidupkan dengan tiga penyangga, yakni pergulatan tentang falsafah, ditegakkan oleh hukum, dan mempunyai daya hidup sosiologis dalam masyarakat. Pada sisi lain, ke tiga sendi itu senantiasa harus memberi hidup pada tiga sendi dari suatu produk kebudayaan, yakni kebudayaan umum (massa, komersial), kebudayaan alternatif (seni, temuan-temuan, personal), dan kebudayaan klasik, mengandung dimensi kesejarahan.
Kasus 1
Cobalah simak, di Perancis, film-film seni hampir delapan puluh persen dikelola dari pajak tontonan, yang dilindungi mekanismenya oleh hukum. Dana pajak tontonan tersebut lewat strategi kebudayaan diupayakan untuk membangun dua aspek penting, yakni momen kreasi dan momen apresiasi. Maka dana dari pajak disubsidikan tidak saja kepada para pencipta, namun juga bioskop hingga televisi dan ruang-ruang apresiasi lainnya. Pada sisi lain, strategi kebudayaan untuk film dalam kemasan budaya populer dikelola dalam mekanisme ala kredit Bank, sementara untuk film seni (alternatif) dianggap sebagai modal sosial, yang dipentingkan adalah nilai gunanya, maka ia dijaga dengan mendapatkan ruang apresiasi yang juga telah disubsidi. Demikian juga dengan daya hidup sinematek yang menyimpan film-film klasik, ia dikelola sebagai modal sosial.
Kasus 2
Cobalah simak juga televisi di Inggris, khususnya BBC. Stasiun ini dananya diambil dari iuran setiap pembeli televisi. Inggris membangun stasiun televisi memulai dengan televisi publik, dan kemudian baru tumbuh televisi swasta. Hal ini berbeda dengan Amerika, yang siarannya ditumbuhkan dari pasar, maka kultur stasiun siaran di Amerika bertumbuh dari televis swasta, namun untuk menjamin nilai-nilai publik, tumbuhlah kemudian televisi publik, yang disebut PBS.
Kasus 3
Cobalah simak program Sesame Street, program boneka anak-anak di PBS. Program ini dikelola berdasar strategi kebudayaan yang menyangkut pendidikan dan pengajaran pada berbagai ketimpangan berdasar riset nasional bangsa Amerika, maka seri program ini, lima tahun pertama, dimaksud untuk membantu ketertinggalan pendidikan pada kaum kulit hitam Amerika lewat program boneka anak khusus untuk membaca dan matematika, dan lima tahun berikutnya untuk masyrakat Spanyol-Amerika.
Contoh-contoh kasus di atas mengajarkan, bahwa falsafah negara senantiasa berhubungan dengan konsep hukum dan daya sosiologis produk kebudayaan dalam suatu masyraakat. Maka, Inggris dan Perancis yang cenderung pada hukum kontinental, yang lebih sebagai negara kesejahteraan, pada gilirannya negara harus ikut menjaga nilai-nilai publik (modal sosial) secara sosiologis, lewat perlindungan hukum dan tidak terlepas dari falsafahnya. Untuk itu strategi kebudayaan dalam pengambilan keputusan politik, senantiasa harus mempresentasikan sendi falsafah dan hukum, dengan demikian memiliki daya hidup di masyarakat, seperti layaknya film-film Perancis, yang dipasar Perancis sendiri dikalahkan oleh film-film Amerika. Namun, pajak film Amerika lewat strategi kebudayaan menghidupkan moment kreasi dan moment apresiasi film Perancis.
Hal di atas berbeda dengan Amerika yang Anglo Saxon, lebih berpijak pada hukum Pasar. Oleh karena itu, sistem hukumnya mestilah yang melindungi pasar yang sehat agar secara sosiologis, produk-produk kebudayaan mampu menumbuhkan masyarakat sipil yang sehat. Maka, sebutlah rating, meski menjadi ukuran penting di televisi, ia terlebih dahulu lewat seleksi sistem hukum dan kode etik sebagai panduan, serta dijaga oleh infrastruktur yang menjadi prasyarat sebuah penyiaran.
Keseluruhan proses di atas tak terlepas dari syarat-syarat demokratisasi, entah itu dalam pengambilan keputusan maupun dalam negosiasi serta transparansi modal ekonomi yang digunakan.
Contoh-contoh praktis dan sederhana di atas, seringkali menjadi semacam cermin bagi saya untuk melihat kembali bagaimana ‘ke-Indonesia-an‘ di paska reformasi, khususnya pada produk kebudayaan, lebih khusus lagi pada kesenian. Pada gilirannya melahirkan berbagai pertanyaaan:
Apakah produk Pemilu dalam semangat reformasi telah melahirkan penentu kebijakan negara yang mampu mengembangkan strategi kebudayaan, suatu strategi yang menjaga agar kebudayaan umum, alternatif dan khusus saling bersinergi serta mampu memiliki daya hidup di masyarakat sekaligus merepresantasikan falsafah bernegara dalam sistem Demokrasi?
Dengan kata lain, di tanah tempat Hatta hingga Tan Malaka bersekolah ini, sesungguhnya saya bertanya :
Mampukah kita menghidupkan semangat Yamin, Soekarno, Hatta hingga Tan Malaka dalam kebudayaan umumyang dikonsumsi sehari-hari masyarakat, dan kebudayaan akternatif yang senantiasa mempertanyakan dan menemukan dialog, maupun kebudayaan klasik yang mampu menyimpannya dalam semangat sejarah yang hidup yang memberi penghargaan pada proses sejarah? Bukankah ini tungku nan tiga yang memberi api pada berbagai aspek kehidupan? Bukankah ini salah satu proses memasak menjadi ‘Indonesia‘?
Kebudayaan massa dewasa ini, khususnya di televisi, menurut, saya, kehilangan tungku nan tiga tersebut. Ia hidup dalam penyangga budaya tanpa strategi budaya. Pada gilirannya, Kebudayaan massa hanya menghidupkan dirinya tanpa falsafah dan sistem hukum yang menegakkannya. Ia menjadi kebudayaan massa yang konsumtif dan menjadi alat kekuasaan baru. Ia , seperti layaknya anak tekno kapitalis tanpa etika, menjalankan kehidupan dengan serba cepat, banyak, tanpa tujuan serta penegakan hukum. Maka, simaklah di televisi, yang terkenal bukan ketrampilan sepakbola, maupun organisasi sepakbola, serta sistem pertumbuhannya maupun penegakkan etika, apalagi falsafahnya, namun yang lebih dikenal tak lebih dari kuis, hingga kasus kekerasan dan suap. Hal ini paralel dengan politik kita dewasa ini, bukan terkenal karena ketrampilan, penegakan dan dialog falsafah politik, namun pada kekerasan serta kekuatan uang di politik dan massa.
Jika dikembalikan pada proses memasak menjadi Indonesia, maka saya mengalami kebingungan dengan pertatanyaan : Ranah publik dan privat mana yang harus dilindungi negara dan dibebaskan pasar? Haruskah negara melindungi lewat strategi kebudayaan terhadap produk-produk budaya alternatif dan klasik? ataukah dibiarkan dalam sistem pasar? Manakah yang cocok berdasar dialog falsafah kita? Kalaupun pasar, sudahkan sistem pasar seperti Rating memiliki prasyarat intrakstruktur industri pasarnya?
Oleh karena itu, dibawah ini dengan secara sederhana, saya mencoba menulis beberapa kesimpulan dan saran :
(1) Krisis dewasa ini dikarenakan pemimpin dan pelaku politik yang angkuh dengan politik praktisnya, namun kehilangan kemampuan mensinergikan dialog falsafah, penegakan hukum dan daya hidup sosiologis di masyarakat, karena keputusan politik tidak disertai strategi budaya. Ia hanya hidup dalam ekonomisme (meminjam istilah Mubyarto) dan politikisme yang praktis untuk kekuasaan, yang melahirkan konsumerisme dan model-model kekerasan tanpa panduan. Mereka lalu hanya hidup dari Indonesia (mengisap) dan tidak menghidupi proses menjadi Indonesia.
Oleh karena itu, kita harus mencari pemimpin dan pelaku politik yang melakukan kerja keputusan politik dalam konsep, kebijakan dan strategi budaya. Dalam padanan sederhana, mencari pemimpin yang mampu menghidupkan semangat Hatta, Sjahrir, Soekarno hingga Tan Malaka dalam kebudayaan umum, klasik, maupun seni dalam dialog demokratisasi.
Lebih jauh lagi, kita harus menumbuhkan pengelola budaya yang memahami proses tawar menawar dalam politik sekaligus memahami strategi kebudayaan yang mengandung unsur strategi poltik, ekonomi dan peta produk kebudayaan itu sendiri.
(2) Kebudayaan massa khususnya oleh televisi mencerminkan roda kehidupan sehari-hari yang dikelola dalam teknokapitalis tanpa etika yang melahirkan budaya serba cepat, banyak konsumtif dan penuh kekerasan sekaligus kehilangan panduan, maka kebudayaan massa mematikan kebudayaan alternatif dan klasik. Sementara pada kebudayaan umum kehilangan Nilai produktifitasnya dalam proses menjadi Indonesia, namun lebih pada konsumtifnya.
Teknokapitalis televisi dikontruksi untuk memanfaatkan tiap detik waktu senggang dan produktif kehidupan masyarakat sehari-hari, maka televisi memberi bias besar kepada seluruh aspek kehidupan berbangsa.
Suatu strategi komunikasi berbangsa yang melawan bentuk-bentuk Kebudayaan massa yang konsumstif dan dipenuhi model-model kekerasan sera kekuasaan dan monokultur haruslah dilakukan. Maka, diperlukan tekanan politik agar mampu melahirkan pelaku politik yang mampu melahirkan strategi politik Komunikasi yang melahirkan masyarakt yang produktif, multikultur dan Demokratis.
(3) Seluruh proses menjadi Indonesia paska reformasi yang dipenuhi khaos, dialog tambal sulam, dan pergulatan, selayaknya dilihat kembali dalam tungku nan tiga, yakni sinergi dialog falsafah, hukum dan sosiologisnya.
Untuk mengakhiri catatan yang sederhana ini, selayaknya di tanah tempat konggres ini, kita menghidupkan kembali pergulatan Sjahrir, Hatta hingga Tan Malaka, yang hidup dari tanah ini dan menjadi seraya mengalami ‘ke-Indonesia-an‘ dalam proses yang tidak pernah mati didialogkan hingga Konggres ini berlangsung.
Garin Nugroho Pekerja dan pengamat Komunikasi.
Daya hidup Kebudayaan seperti layaknya makanan sebagai produk Kebudayaan, senantiasa memerlukan tungku nan tiga untuk terus menghidupkannya agar makanan itu hangat dan masak, yakni tungku dengan tiga sendi yang kokoh menyangganya. Demikian juga dengan setiap proses menjadi Indonesia, ia dihidupkan dengan tiga penyangga, yakni pergulatan tentang falsafah, ditegakkan oleh hukum, dan mempunyai daya hidup sosiologis dalam masyarakat. Pada sisi lain, ke tiga sendi itu senantiasa harus memberi hidup pada tiga sendi dari suatu produk kebudayaan, yakni kebudayaan umum (massa, komersial), kebudayaan alternatif (seni, temuan-temuan, personal), dan kebudayaan klasik, mengandung dimensi kesejarahan.
Kasus 1
Cobalah simak, di Perancis, film-film seni hampir delapan puluh persen dikelola dari pajak tontonan, yang dilindungi mekanismenya oleh hukum. Dana pajak tontonan tersebut lewat strategi kebudayaan diupayakan untuk membangun dua aspek penting, yakni momen kreasi dan momen apresiasi. Maka dana dari pajak disubsidikan tidak saja kepada para pencipta, namun juga bioskop hingga televisi dan ruang-ruang apresiasi lainnya. Pada sisi lain, strategi kebudayaan untuk film dalam kemasan budaya populer dikelola dalam mekanisme ala kredit Bank, sementara untuk film seni (alternatif) dianggap sebagai modal sosial, yang dipentingkan adalah nilai gunanya, maka ia dijaga dengan mendapatkan ruang apresiasi yang juga telah disubsidi. Demikian juga dengan daya hidup sinematek yang menyimpan film-film klasik, ia dikelola sebagai modal sosial.
Kasus 2
Cobalah simak juga televisi di Inggris, khususnya BBC. Stasiun ini dananya diambil dari iuran setiap pembeli televisi. Inggris membangun stasiun televisi memulai dengan televisi publik, dan kemudian baru tumbuh televisi swasta. Hal ini berbeda dengan Amerika, yang siarannya ditumbuhkan dari pasar, maka kultur stasiun siaran di Amerika bertumbuh dari televis swasta, namun untuk menjamin nilai-nilai publik, tumbuhlah kemudian televisi publik, yang disebut PBS.
Kasus 3
Cobalah simak program Sesame Street, program boneka anak-anak di PBS. Program ini dikelola berdasar strategi kebudayaan yang menyangkut pendidikan dan pengajaran pada berbagai ketimpangan berdasar riset nasional bangsa Amerika, maka seri program ini, lima tahun pertama, dimaksud untuk membantu ketertinggalan pendidikan pada kaum kulit hitam Amerika lewat program boneka anak khusus untuk membaca dan matematika, dan lima tahun berikutnya untuk masyrakat Spanyol-Amerika.
Contoh-contoh kasus di atas mengajarkan, bahwa falsafah negara senantiasa berhubungan dengan konsep hukum dan daya sosiologis produk kebudayaan dalam suatu masyraakat. Maka, Inggris dan Perancis yang cenderung pada hukum kontinental, yang lebih sebagai negara kesejahteraan, pada gilirannya negara harus ikut menjaga nilai-nilai publik (modal sosial) secara sosiologis, lewat perlindungan hukum dan tidak terlepas dari falsafahnya. Untuk itu strategi kebudayaan dalam pengambilan keputusan politik, senantiasa harus mempresentasikan sendi falsafah dan hukum, dengan demikian memiliki daya hidup di masyarakat, seperti layaknya film-film Perancis, yang dipasar Perancis sendiri dikalahkan oleh film-film Amerika. Namun, pajak film Amerika lewat strategi kebudayaan menghidupkan moment kreasi dan moment apresiasi film Perancis.
Hal di atas berbeda dengan Amerika yang Anglo Saxon, lebih berpijak pada hukum Pasar. Oleh karena itu, sistem hukumnya mestilah yang melindungi pasar yang sehat agar secara sosiologis, produk-produk kebudayaan mampu menumbuhkan masyarakat sipil yang sehat. Maka, sebutlah rating, meski menjadi ukuran penting di televisi, ia terlebih dahulu lewat seleksi sistem hukum dan kode etik sebagai panduan, serta dijaga oleh infrastruktur yang menjadi prasyarat sebuah penyiaran.
Keseluruhan proses di atas tak terlepas dari syarat-syarat demokratisasi, entah itu dalam pengambilan keputusan maupun dalam negosiasi serta transparansi modal ekonomi yang digunakan.
Contoh-contoh praktis dan sederhana di atas, seringkali menjadi semacam cermin bagi saya untuk melihat kembali bagaimana ‘ke-Indonesia-an‘ di paska reformasi, khususnya pada produk kebudayaan, lebih khusus lagi pada kesenian. Pada gilirannya melahirkan berbagai pertanyaaan:
Apakah produk Pemilu dalam semangat reformasi telah melahirkan penentu kebijakan negara yang mampu mengembangkan strategi kebudayaan, suatu strategi yang menjaga agar kebudayaan umum, alternatif dan khusus saling bersinergi serta mampu memiliki daya hidup di masyarakat sekaligus merepresantasikan falsafah bernegara dalam sistem Demokrasi?
Dengan kata lain, di tanah tempat Hatta hingga Tan Malaka bersekolah ini, sesungguhnya saya bertanya :
Mampukah kita menghidupkan semangat Yamin, Soekarno, Hatta hingga Tan Malaka dalam kebudayaan umumyang dikonsumsi sehari-hari masyarakat, dan kebudayaan akternatif yang senantiasa mempertanyakan dan menemukan dialog, maupun kebudayaan klasik yang mampu menyimpannya dalam semangat sejarah yang hidup yang memberi penghargaan pada proses sejarah? Bukankah ini tungku nan tiga yang memberi api pada berbagai aspek kehidupan? Bukankah ini salah satu proses memasak menjadi ‘Indonesia‘?
Kebudayaan massa dewasa ini, khususnya di televisi, menurut, saya, kehilangan tungku nan tiga tersebut. Ia hidup dalam penyangga budaya tanpa strategi budaya. Pada gilirannya, Kebudayaan massa hanya menghidupkan dirinya tanpa falsafah dan sistem hukum yang menegakkannya. Ia menjadi kebudayaan massa yang konsumtif dan menjadi alat kekuasaan baru. Ia , seperti layaknya anak tekno kapitalis tanpa etika, menjalankan kehidupan dengan serba cepat, banyak, tanpa tujuan serta penegakan hukum. Maka, simaklah di televisi, yang terkenal bukan ketrampilan sepakbola, maupun organisasi sepakbola, serta sistem pertumbuhannya maupun penegakkan etika, apalagi falsafahnya, namun yang lebih dikenal tak lebih dari kuis, hingga kasus kekerasan dan suap. Hal ini paralel dengan politik kita dewasa ini, bukan terkenal karena ketrampilan, penegakan dan dialog falsafah politik, namun pada kekerasan serta kekuatan uang di politik dan massa.
Jika dikembalikan pada proses memasak menjadi Indonesia, maka saya mengalami kebingungan dengan pertatanyaan : Ranah publik dan privat mana yang harus dilindungi negara dan dibebaskan pasar? Haruskah negara melindungi lewat strategi kebudayaan terhadap produk-produk budaya alternatif dan klasik? ataukah dibiarkan dalam sistem pasar? Manakah yang cocok berdasar dialog falsafah kita? Kalaupun pasar, sudahkan sistem pasar seperti Rating memiliki prasyarat intrakstruktur industri pasarnya?
Oleh karena itu, dibawah ini dengan secara sederhana, saya mencoba menulis beberapa kesimpulan dan saran :
(1) Krisis dewasa ini dikarenakan pemimpin dan pelaku politik yang angkuh dengan politik praktisnya, namun kehilangan kemampuan mensinergikan dialog falsafah, penegakan hukum dan daya hidup sosiologis di masyarakat, karena keputusan politik tidak disertai strategi budaya. Ia hanya hidup dalam ekonomisme (meminjam istilah Mubyarto) dan politikisme yang praktis untuk kekuasaan, yang melahirkan konsumerisme dan model-model kekerasan tanpa panduan. Mereka lalu hanya hidup dari Indonesia (mengisap) dan tidak menghidupi proses menjadi Indonesia.
Oleh karena itu, kita harus mencari pemimpin dan pelaku politik yang melakukan kerja keputusan politik dalam konsep, kebijakan dan strategi budaya. Dalam padanan sederhana, mencari pemimpin yang mampu menghidupkan semangat Hatta, Sjahrir, Soekarno hingga Tan Malaka dalam kebudayaan umum, klasik, maupun seni dalam dialog demokratisasi.
Lebih jauh lagi, kita harus menumbuhkan pengelola budaya yang memahami proses tawar menawar dalam politik sekaligus memahami strategi kebudayaan yang mengandung unsur strategi poltik, ekonomi dan peta produk kebudayaan itu sendiri.
(2) Kebudayaan massa khususnya oleh televisi mencerminkan roda kehidupan sehari-hari yang dikelola dalam teknokapitalis tanpa etika yang melahirkan budaya serba cepat, banyak konsumtif dan penuh kekerasan sekaligus kehilangan panduan, maka kebudayaan massa mematikan kebudayaan alternatif dan klasik. Sementara pada kebudayaan umum kehilangan Nilai produktifitasnya dalam proses menjadi Indonesia, namun lebih pada konsumtifnya.
Teknokapitalis televisi dikontruksi untuk memanfaatkan tiap detik waktu senggang dan produktif kehidupan masyarakat sehari-hari, maka televisi memberi bias besar kepada seluruh aspek kehidupan berbangsa.
Suatu strategi komunikasi berbangsa yang melawan bentuk-bentuk Kebudayaan massa yang konsumstif dan dipenuhi model-model kekerasan sera kekuasaan dan monokultur haruslah dilakukan. Maka, diperlukan tekanan politik agar mampu melahirkan pelaku politik yang mampu melahirkan strategi politik Komunikasi yang melahirkan masyarakt yang produktif, multikultur dan Demokratis.
(3) Seluruh proses menjadi Indonesia paska reformasi yang dipenuhi khaos, dialog tambal sulam, dan pergulatan, selayaknya dilihat kembali dalam tungku nan tiga, yakni sinergi dialog falsafah, hukum dan sosiologisnya.
Untuk mengakhiri catatan yang sederhana ini, selayaknya di tanah tempat konggres ini, kita menghidupkan kembali pergulatan Sjahrir, Hatta hingga Tan Malaka, yang hidup dari tanah ini dan menjadi seraya mengalami ‘ke-Indonesia-an‘ dalam proses yang tidak pernah mati didialogkan hingga Konggres ini berlangsung.
Garin Nugroho Pekerja dan pengamat Komunikasi.