Masa Para Raja di Tanah Parahyangan

Berbicara mengenai kerajaan-kerajaan yang pernah muncul di daerah Jawa Barat, tidak seperti membicarakan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Sumber primer yang terbatas, tercampurbaurnya data serta fakta sejarah dengan legenda yang hidup di masyarakat, serta peninggalan fisik yang minim bila dibandingkan dengan kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, membuat pembuktian sejarah mengenai keberadaan kerajaan-kerajaan di Jawa Barat begitu sulit untuk dikemukakan.

Kerajaan dan wilayah Jawa Barat tidak dapat dipisahkan dari kata Sunda. Pada mulanya kata “sunda” atau "suddha" dalam bahasa Sanskerta diterapkan pada nama sebuah gunung yang menjulang tinggi di bagian barat Pulau Jawa yang dari jauh tampak putih karena tertutup abu asal gunung tersebut (Gonda, 1973: 345-346). Gunung Sunda itu terletak di bagian barat Gunung Tangkuban Parahu. Kemudian, nama tersebut diterapkan pula pada wilayah di mana gunung itu berada dan pada penduduknya. Pemberian nama Sunda bagi wilayah bagian barat Pulau Jawa itu diilhami oleh sebuah kota dan atau kerajaan di India yang terletak di pesisir barat India antara kota Goa dan Karwar (ENI, IV, 1921: …).

Istilah Sunda saat ini menunjuk kepada pengertian ajaran, budaya, etnis, geografis, administrasi pemerintahan dan sosial. Setidaknya, ada beberapa ahli yang berpendapat mengenai istilah sekitar Sunda, di antaranya sebagai berikut.

1. R.W. Van Bemmelen (1949)
Sunda adalah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian Barat Laut wilayah India Timur . sedangkan dataran bagian Tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem gunung Sunda yang melingkar (circum-Sunda Mountain Systems) yang panjangnya sekitar 7.000 km. Dataran Sunda (circum-Sunda Systems) itu terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian Utara yang meliputi kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang lautan Pasifik bagian Barat serta bagian Selatan yang terbentang dari Timur ke Barat mulai Maluku bagian Selatan hingga Lembah Brahmaputra di Assam (India). Dengan demikian, bagian Selatan dataran Sunda itu dibentuk oleh kawasan mulai pulau Banda di Timur terus kearah Barat melalui pulau-pulau di Kepulauan Sunda Kecil (the lesser Sunda Islands), Jawa, Sumatra, Kepulauan Andaman, dan Nikobar sampai ke Arakan Yoma di Birma. Selanjutnya, dataran ini bersambung dengan kawasan Sistem Gunung Himalaya di Barat dan Dataran Sahul di Timur (Bemmelen, 1949; 2-3).

2. Ilmu Bumi
Dalam buku-buku ilmu bumi dikenal pula istilah Sunda Besar dan Sunda kecil. Pengertian Sunda Besar adalah Himpunan pulau-pulau yang berukuran besar, yaitu terdiri atas Sumatera, Jawa dan Madura, dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil adalah pulau-pulau yang berukuran kecil yang kini termasuk ke dalam Provinsi Bali, Nusa Tenggara barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor (Bemmelen, 1949;15-16).


3. Prasasti Jayabhupati (Cibadak, Sukabumi)
Istilah Sunda yang menunjukan pengertian di wilayah bagian Barat pulau Jawa dengan segala aktivitas kehidupan manusia didalamnya, muncul pertamakalinya pada abad ke-11 masehi. Istilah tersebut tercatat dalam prasasti yang ditemukan di daerah Cibadak, Sukabumi. Dimana disebutkan ada seorang raja bernama Sri Jayabhupati yang berangka 952 saka (sama dengan 1030 Masehi).

Dalam prasasti itu, ia menyebut dirinya sebagai raja Sunda (Pleyte, 1916; 201-218). Namun tidak dijelaskan lebih jauh dalam prasasti itu, kapan kerajaan Sunda itu berdiri. Petunjuk tentang waktu berdirinya kerajaan Sunda terdapat dalam sumber Sekunder, yaitu dalam naskah berbahasa Sunda Kuno. Menurut sumber ini, kerajaan Sunda didirikan oleh Maharaja Tarusbawa (Pleyte, 1914; 257-280). Menurut naskah Nagarakretabhumi, Maharaja Tarusbawa memerintah pada tahun 591-645 Saka yang sama dengan tahun 669/670-723/724 Masehi. Ia merupakan penerus raja-raja Tarumanagara (Atja & Ayatrohaedi 1986; 157,227).

4. Ptolomaeus (150M)
Dalam bukunya, Ptolomaeus menyebutkan tiga buah pulau disebelah timur India dengan nama Sunda.

5. Rouffaer (1905:16)
Menyatakan bahwa kata Sunda merupakan “pinjaman” kata dari kebudayaan Hindu.

6. Williams
Menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari kata “Sund” atau “Suddha” dalam kata Sansakerta yang mengandung makna : bersinar, terang, putih (Williams, 1872 :, Eringa 1949:289). Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata “Sunda” dengan pengertian : bersih, suci, murni, tak bercela/bernoda, air, tumpukan, waspada, pangkat (Mardiwarsito, 1990, Anandakusuma, 1986, Winter, 1928 : 219).

Selanjutnya, Sunda dijadikan nama kerajaan di bagian barat Pulau Jawa yang beribukota di Pakuan Pajajaran, sekitar kota Bogor sekarang. Kerajaan Sunda itu telah diketahui berdiri pada abad ke-7 Masehi dan berakhir pada tahun 1579 Masehi.

Istilah Sunda sebagai nama tempat atau kerajaan tercatat pula dalam prasasti lain dan dalam empat buah naskah berbahasa Sunda Kuno yang dibuat pada akhir abad ke-15 atau abad ke-16 Masehi. Prasasti itu adalah prasasti Kebantenan yang ditemukan di Bekasi. Di dalam prasasti itu dikemukakan adanya tempat (Dayeuhan) yang bernama Sundasembawa, disamping tempat lain yang bernama Jayagiri. Kedua tempat itu berada di wilayah kerajaan Sunda (Sutaarga 1984:33). Mungkin yang dimaksud adalah nama daerah Mandala, yaitu daerah suci tempat kegiatan keagamaan (Banasasmita & Anis Ojatisunda, 1986 : 2-7). Adapun 4 naskah dimaksud adalah : Carita Parahyangan (Atja, 1967), Sanghyang Siksakanda Ng Karesian (Atja & Saleh Danasasmita, 1977), Sewaka Dharma (Banasasmita et.al., 1987), dan Bujangga Manik (Noorduyn, 1982 : 413-442).

Dalam naskah-naskah tersebut nama wilayah Sunda disebut bersama atau dalam hubungan dengan wilayah lain seperti Jawa, Lampung, Baluk, Cempa. Bahkan dalam naskah yang terakhir dijelaskan tentang wilayah Sunda dengan wilayah Jawa, yaitu sungai Cipamali (kali Pemali, sekarang), dekat Brebes. Dikatakan bahwa “sadatang ka tungtung Sunda, meu(n)tasing di Cipamali, datang ka alas Jawa”. Yang artinya ; setibanya diujung (wilayah) Sunda, (kemudian) menyeberang di (Sungai) Cipamali, masuk ke wilayah Jawa (Noorduyn, 1982 : 415). Batas wilayah itu (Sungai Cipamali) diabadikan dalam tradisi lisan Sunda berupa cerita pantun lakon Ciung Wanara yang kisahnya diakhiri dengan sumpah dan perjanjian antara 2 tokoh utama kakak-beradik, yaitu Ciung Wanara dan Haria Banga, bahwa mereka akan mengakhiri pertengkaran dan sepakat membagi wilayah kekuasaan di pulau Jawa atas dua bagian, yakni Sunda dan Jawa, dengan batas sungai Cipamali.

Surayana-Sundayana
Jajaran pegunungan yang masih aktif, patahan-patahan hasil letusan gunung berapi ribuan bahkan jutaan tahun yang lampau membentuk wajah geologis Jawa Barat menjadi Eksotis. Lingkungan dengan jajaran pegunungan aktif, aliran sungai besar dan kecil serta jurang-jurang curam tersebut sedikit banyak membentuk Religiositas penduduk yang hidup didalamnya.

Parahyangan kemudian menjadi salah satu nama sebutan untuk kawasan Jawa Barat saat ini. Karena jajaran pegunungan yang masih aktif di sekitara kawasan Jawa Barat tersebut diyakini sebagai tempat bersemayamnya para leluhur. Kata "Parahyangan" yang kemudian lebih sering disebut dengan "Priangan" pada prinsipnya menunjukan sebuah tempat, sebab jika kita menelusurinya melalui bahasa "Sang Saka Kerta" yang ditulis dalam aksara Palawa kata Parahyangan itu akan mengandung arti sebagai berikut. "Pa" artinya adalah tempat, sedangkan "Ra" adalah sinar dan kata "Hyang" mengandung arti "pemimpin yang agung". Maka bila diartikan secara bebas arti kata Pa-Ra-Hyang itu adalah "Tempat-Sinar-Pemimpin yang Agung" atau "Tempat Pemimpin Agung yang Bersinar".

Kata "para" dalam hal ini tidak berarti jamak, seperti pada kata "para hadirin, para pemirsa, para sahabat, dan seterunya." Kata "para" secara umum digunakan juga untuk menunjukan tempat yang tinggi atau langit (para=langit, lihat dalam kata para-para atau langit-langit yang letaknya di bawah wuwungan yang artinya suwung atau kosong). Yang menyebabkan kata "Parahyang" kehilangan makna adalah ketika ia dituliskan dalam susunan dan bentuk kata "Para-hiang-an" lalu disingkat jadi "priangan".

Pa-Ra-Hyang yang dimaksudkan pada dasarnya bukan ditujukan bagi kota Bandung secara menyeluruh, namun khusus bagi wilayah tempat lahirnya Salaka Domas dan Salaka Nagara, tepatnya disekitar Gn. Agung (Gunung Tangkuban Pa-Ra-Hu), maka dari itu kita mengenal daerah "Lamba Hyang atau Lembah Hyang atau LEMBANG".

Tempat tersebut diyakini merupakan cikal bakal lahirnya konsep berkebangsaan dan ketatanegaraan diseluruh dunia yang di awali oleh Sang Hyang Watugunung Ratu Agung Manik Maya dengan misi "Mula Sarwa Stiwa Dani Kaya" (letaknya di sekitar Gunung Batu daerah Buka Nagara/Mula Nagara, Lembang). Kemudian dilanjutkan oleh Maharaja Resi Prabhu Sindhu-La-Hyang (Sang Hyang Tamblegmeneng) yang membangun padepokan Jambudwipa. kelak konsep ini dilanjutkan oleh Da-Hyang Su-Umbi (Galuh Kandiawati) dan Mulawarman atau Si Tumang (Resi Taruma Hyang), mereka mendirikan Taruma Nagara Desa. Pernikahan antara Da-Hyang Su-Umbi dengan Taruma Hyang melahirkan Panca Putra Dewa (Pandawa Putra) yang membawa misi Ajaran Dwipa (Dwipayana) maka terbentuklah: Jawa-dwipa, Swarna-dwipa, Simhala-dwipa, Waruna-dwipa, dan seterusnya hingga ke India.

Bentukan geologis serta geografis tersebut juga menginspirasi masyarakat Jawa Barat untuk menamai daerahnya dengan awalan kata “Ci” yang merupakan singkatan dari “Cai” yang berarti air. Di Jawa Barat tak kurang dari 51 Daerah Aliran Sungai (DAS). Didaerah ini juga banyak terdapat Danau/Situ.

Banyaknya Sungai, Danau serta Gunung serta tanah yang subur dengan hawa yang dingin dan sejuk , menjadikan Jawa Barat cocok sebagai tempat Tapa-Brata salah satu alasan lain mengapa Jawa Barat juga disebut sebagai tanah Parahyangan. Kata Hyang yang berarti Tuhan, Dewa atau leluhur yang disucikan cocok dengan tanah Sunda yang indah sebagai tempat bersemayamnya para Dewa/leluhur tersebut. Mandala, Ashram, Kabuyutan merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat-tempat para Hyang tersebut. Dalam konteks Jawa Barat dan Masyarakat Sunda kata Kabuyutan lebih sering digunakan untuk menyebut tempat-tempat seperti itu, seperti tercantum dalam naskah-naskah kuno. Ada dua jenis Kabuyutan yang dikenal oleh masyarakat Sunda yaitu : Lemah Diwisasana dan Lemah Parahyangan . Lemah Diwasasana adalah Mandala sebagai tempat pemujaan kepada para Dewa, sedangkan Lemah Parahyangan adalah Mandala sebagai tempat pemujaan Hyang (Danasasmita & Anis Djatisunda, 1986:3).

Lemah Diwisasana, mungkin merupakan Mandala bagi para penganut Budha atau Hindu, karena Dewa adalah zat tertinggi (Tuhan) menurut konsep agama Hindu, yaitu Dewa-Dewa : Brahma, Wisnu dan Siwa yang menyatu menjadi Trimurti. Lemah Parahyangan adalah Mandala bagi para penganut yang lebih memuja kepada para leluhur atau nenek moyang yang telah berlaku sejak jaman Prasejarah (Kebudayaan Megalithikum).

Lemah Parahyangan disebut juga sebagai Kabuyutan Jatisunda. Dari prasasti dan naskah-naskah Sunda kuno dapat diketahui beberapa Mandala di tanah Sunda, antara lain Sunda Sembawa, Jayagiri (dari prasasti Kabantenan), Galunggung (naskah kropak 632), Gunung Kumbang (naskah kropak 408), Kanekes, Denuh (Kropak, Carita Parahyangan). Sesuai dengan isi naskah kropak 408 (Sewadharma), agaknya kabuyutan Gunung Kumbang merupakan Lemah Diwasasana. Semenara itu, sesuai dengan isi kepercayaan orang Kanekes (Badui), mereka menamai kepercayaannya Sunda Wiwitan dan nama lain lokasi pemukiman mereka serta nama sebuah sungai di daerah itu, yakni Lebak Parahyang dan Ciparahyang, maka Kanekes kiranya sebuah Mandala yang tergolong Lemah Parahyangan.

Warga masyarakat Mandala mengemban tugas untuk melakukan tapa di Mandala, sedangkan warga nagara berugas melakukan tapa di nagara. Tapa disini bukanlah dalam pengertian umum yang berlaku sekarang, yaitu hidupp mengaasingkan diri di hutan atau guna melakukan hubungan dekat denga Zat Maha Tinggi (Dewa/Karuhun/Tuhan) dalam rangka mencari kekuatan lahir dan batin untuk mencapai suatu tujuan. Namun masyarakat Sunda lama memiliki konsep tersendiri mengenai tapa. Naskah kropak 632 menjelaskan mengenai pengertian tapa sebagai berikut:

“ Carekna patikrama na urang lanang-wadwan. Iya twah iya tapa. Iya twah na urang.
Gwareng twah gwareng tapa, Maja twah maja tapa, Ram pes twah, ram pes tapa; apana urang Ku twahna mana beu(ng)har, ku twahna mana waya tapa.”

Artinya :
“Menurut ajaran dalam Patikrama (segala adat), bagi kita, laki-laki dan wanita,
Amal itu sama dengan tapa. Itulah makna amal pada kita. Buruk amal, buruklah tapa, sedang amal, sedanglah tapa. Sempurna amal, sempurnalah tapa. Kan kita ini karena amal kita dapat menjadi kaya, karena amal pula kita berhasil dalam tapa”
(Atja & Saleh Danasasmita, 1981 : 31,38).

Dengan kata lain, dalam pengertian Sunda lama, pengertian tapa sama dengan berkerja. Dalam hal ini berkerja menurut tugasnya masing-masing. Bagi orang kanekes sebagai penduduk Mandala, telah melakukan tapa, apabla mereka telah berkerja sesuai denga tugas penduduk Mandala. Bagi orang Sunda warga masyarakat nagara (diluar masyarakat Mandala), telah melakukan tapa, apabila telah berkerja sesuai dengan tugas sebagai penduduk Nagara.

Mandala atau Kabuyutan-kabuyutan di tanah Sunda atau daerah Jawa Barat diduga didirikan pada masa pemerintahan raja Sunda bernama Rakeyan Darmasiksa yang memerintah tahun 1175 sampai 1297 Masehi. Karena raja ini diberitakan telah membangun beberapa Kabuyutan, termasuk kabuyuan Parahyangan, bagi para wiku yang mengajarkan dan mempraktekan ajaran agama Jatisunda dengan berpegang teguh pada ajaran Dharma dan menjalankan ajaran Sanghiyang Siksa (Atja & Saleh Danasasmita, 1981a : 15, 34-35; 1981b: 49-52).

Mengingat cara hidup di lingkungan Mandala lebih berat dari pada cara hidup di lingkungan Nagara, karena lebih banyak aturan yang bersifat keagamaan berupa perintah dan larangan, maka kiranya penduduk Mandala, termasuk orang Kanekes (Baduy) generasi pertama, merupakan orang-orang pilihan yang memiliki pengetahuan agama, pengalaman rohani dan disiplin diri lebih banyak di bandingkan penduduk Nagara yang umum. Hubungan antara Mandala dan nagara umumnya berlangsung baik, karena kedua pihak saling membutuhkan. Nagara membutuhkan Mandala bagi keperluan dukungan moral dan spiritual serta pemberian do’a restu.

Mandala dianggap oleh Nagara sebagai pusat kesaktian, pusat kekuatan gaib, yang dapat memancarkan pengaruhnya terhadap nagara. Baik atau buruk tergantung hubungan antara Mandala dan Nagara. Dalalam sejarah kerajaan Sunda, seperti yang diungkapkan dalam Carita Parahyangan, tercapainya kemakmuran negara, keamanan masyarakat, kejayaan raja selalu dikaitkan dengan sikap raja yang sangat memperhatikan kehidupan beragama, menjalankan kehidupan yang didasarkan pada aturan agama, atau patokan hidup yang telah ditetapkan oleh para leluhur, termasuk rajanya sendiri, dan menjalin hubungan baik dengan para pemimpin agama, seperti pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1372-1475) dan Sri Baduga Maharaja (1482-1521).

Sebaliknya, jika raja mengabaikan kehidupan beragama, melanggar kehidupan agama atau patokan hidu dari leluhur, dan kaum agama teraniaya, maka kehidupan menjadi susah dan keadaan menjadi kacau-balau, seperti dialami pada masa pemerintahan Prebu Ratu Dewata (1535-1543), Sang Ratu Sakti (1543-1551), Tohaan di Majaya (1551-1567), sehingga akhirnya nagara mengalami kehancuran 12 tahun kemudian (Atja, 1968: 55-58; Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. II, 1984; 367-372). Mandala memerlukan nagara bagi perlindungan dan keamanan dan memenuhi kebutuhan material . Mungkin atas permohonan pihak pemimpin penghuni Mandala, sehingga Raja Sunda mengeluarkan perintah agar siapapun dilarang mengganggu Mandala Sunda Sembawa dan Mandala Jayagiri berupa menarik pungutan hasil bumi dan pajak. Barang siapa melanggar perintah tersebut akan terkena hukuman (Purbatjaraka, 1920: 390: Sutaarga, 1984: 45).

Betapa pentingnya fungsi dan kedudukan Mandala atau Kabuyutan dalam Konstelasi Kerajaan Sunda. Tampak dari isi kropak 632 yang menyatakan bahwa masih lebih berharga nilai kulit musang di tempat sampah daripada rajaputra (penguasa Negara) yang tidak mampu mempertahankan Kabuyutan atau Mandala, sehingga jatuh ketangan orang lain (Atja & Saleh Danasasmita, 1981: 29, 35).

Mandala atau Kabuyutan inilah yang kemudian menjadi inspirasi pendirian Pesantren di Indonesia.

kata Pesantren berasal dari kata Sastra(bahasa Sansekerta) yang berarti ajaran-ajaran suci dari agama Hindu, sementara Sastri adalah orang yang ahli sastra atau yang mempelajari tentang Sastra (bahasa Sansakerta) yang berarti ajaran-ajaran suci dari agama Hindu. Pesastrian adala tempat belajar Sastra yang lama kelamaan berubah bentuk pengucapan menjadi Pesantren. Penyebaran Islam di Indonesia dipermudah melalui pesantren, karena sebagian disebarkan oleh tokoh-tokoh Islam dari Gujarat (India), seperti Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang merintis berdirinya pesantren ini (Imron Arifin : Kepemimpinan Kyai – Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, hal 3-4). Banyak isilah Sansekerta atau khasanah Hindu diadopsi dalam tradisi Islam/Pesantren, seperti tempat sembahyang langgar (dari sanggar/sanggah-sat Sang), Kyai, Pahala (Phala, hokum Karma Phala), Sorga (Swarga), neraka, puasa (Upawasa), agama, sembahyang (menyembah Sang Hyang), dan sebagainya.

Bertutur tentang sejarah panjang "Sunda" tentu tidak akan terlepas dari konsep Kemaharajaan Nusantara yang diawali pada abad ke XII Masehi era peralihan dari konsep Banjaran Nagara (Prabhu Airlangga) menuju Pajajaran Nagara (Prabhu Dharmawangsa dan Prabhu Dharmasiksa). Patut disayangkan bahwa telah banyak terjadi penyelewengan sejarah maupun kesalahan dalam menafsirkannya, diduga termasuk di antaranya kitab yang disusun oleh Pangeran Wangsakerta yang saat itu berada dibawah tekanan penjajah.

Kesalahan sangat besar akan berakibat fatal ketika anak bangsa salah memahami sejarah kehidupan negaranya sendiri, patut dipahami bahwa sistem kodefikasi dalam kata-kata merupakan ciri kearifan lokal bangsa Nusantara, maka dari itu perlu hati-hati dalam memaknai 'situs dan artefak' sebagai contoh; mayoritas anak Indonesia dari tingkat SMP hingga SMA bahkan perguruan tinggi jika ditanya tentang asal kata "Majapahit" akan menjawab bahwa nama itu artinya "buah Maja yang Pahit". Jika benar nama Majapahit itu dari kata "buah maja yang pahit" maka hal tersebut akan menjadi rancu manakala kita harus menguraikan arti dari nama kata atau nama kota seperti ; Majalengka, Majalaya, Majakerta (Mojokerto), dan sebagainya.

1. Majalengka, berasal dari kata "Maharaja Alengka" yaitu masa Prabhu Sindhu La Hyang
2. Majakerta, berasal dari kata "Maharaja Kertanegara" yaitu masa Prabhu Dharmawangsa
3. Majapahit, berasal dari kata "Maharaja Purahita" yaitu dijaman Raden Wijaya
4. Majalaya, berasal dari kata "Maharaja Mundinglaya" yaitu dijaman Prabhu Silihwangi II

Begitu pula ketika kita menguraikan asal mula dari kata Sunda, disamping beberapa pendapat serta kemiripan beberapa kata pada beberapa kebudayaan di luar Nusantara, Sunda menurut semiotika serta sistem kodefikasi Nusantara mengandung arti :

Sunda merupakan kependekan dari kata Su dan Ananda yang berarti ; “Su” mengandung arti : Kebenaran, “A” mengandung arti : tidak, “Nanda” mengandung arti : bergeming Sehingga kata Sunda dapat berarti : Kebenaran yang tidak bergeming/Kebenaran yang Kokoh

Sundayana , Yana = Ajaran, Sundayana : Ajaran mengenai kebenaran yang kokoh, dsb.

"Sunda" sama sekali bukan nama suku (etnis) yang tinggal di pulau Jawa, melainkan nama atau sebutan bagi wilayah besar yang meliputi 1/4 dunia, atau sebutan lain dari sebutan Indonesia sekarang. Batas wilayah Sunda diduga merupakan batas wilayah ajaran dari Sundayana.

Menurut cerita yang beredar di kalangan para sesepuh Sunda, runtutan Pa-Ra Buyut dan Rumuhun (Karuhun/Leluhur/Nenek Moyang) perjalanan bangsa Sunda di awali dari daerah Su-Mata-Ra. Mereka membangun kebudayaan selama beribu-ribu tahun di kawasan Mandala Hyang (Mandailing) daerah Ba-Ta-Ka-Ra sampai ke daerah Pa-Da-Hyang (Padang).

Pada masa tersebut para Karuhun tersebut telah memeluk ajaran yang disebut dengan nama “Su-Ra-Yana” atau ajaran Surya. Hingga satu masa Gunung Batara Guru meletus hingga habis, dan meninggalkan sisa Kaldera yang sekarang menjadi danau (Toba) yang sangat luas (100 Km2). Diberitakan dunia tertutup awan debu selama 3 bulan akibat meletusnya gunung tersebut.

Masa berganti cerita berubah, mandala Hyang beralih ke gunung Sunda, yang sekarang terkenal dengan nama Gunung Krakatau (Ka-Ra-Ka-Twa). Pada saat itu belum dikenal konsep Negara, tapi lebih kepada konsep Wangsa (bangsa). Wilayah Mandala Hyang pada masa itu dikenal dengan sebutan “Buana Nyungcung” karena terletak pada kawasan yang tinggi. Sementara Maya Pa-Da (Jagat Raya) dikenal dengan sebutan Buana Agung/Ageung/Gede dan Buana Alit (Jagat Alit), kata buana di jaman yang berbeda mengalami metaformosis kata menjadi “Banua” atau “Benua”.

Puncak Pertala di Buana Nyungcung Gunung Sunda dijadikan Mandala Hyang, begitu juga dengan gelar Ba-Ta-Ra Guru yang menggantikan petilasan/tempat yang sudah hilang-menghilang. Pada masa ini kehidupan wangsa menunjukan kemajuan yang luar biasa, perkembangan budaya serta aplikasinya mencapai tahap yang luar biasa, dengan berbagai penemuan teknologi di darat dan laut. Daerah ini terkenal dengan sebutan “Buana A-ta” (Buana yang kokoh dan tidak bergeming). Oleh bangsa luar dikenal dengan sebutan “Atalan”(mungkin maksudnya Ata-Land).

Kembali kemajuan disegala bidang tersebut terhenti kembali ketika Gunung Sunda meletus (Gunung Ka-Ra-Ka-Twa), darata terbagi menjadi dua (Sumatra dan Jawa). Semua bukti kemajuan jaman wangsa tersebut hilang, tenggelam tidak bersisa, yang tersisa hanyalah sebuah bentuk ajaran Surayana.

Sama seperti kejadian di Batara Guru (Gunng Toba) yang wilayahnya meliputi Pa-Da-Hyang, begtu uga dengan Batara Guru (Sunda) yang wilayahnya meliputi Pa-Ra-Hyang.

Ajaran tersebut kemudian dilanjutkan oleh Prabu Sindhu (Sang Hyang Tamblegmeneng, putra Sang Hyang Watugunung Ratu Agung Manikmaya) yang kemudian jaran tersebut lebih terkenal dengan nama Sundayana (Sindu Sandi Sunda).

Ajaran tersebut kemudian menyebar ke seluruh dunia. Perjalanan Prabu Sindu di wilayah Jepang membuat ajarannya diberi nama Shinto di daerah tersebut, memuja kepada Sang Hyang Manon (Na-Ra) bahkan lambing dari ajaran tersebut kemudian dijadikan Bende-Ra bangsa tersebut. Perjalanan penyebaran ajaran tersebut kemudian bergerak sampai ke daerah India, sampai kepada sebuah aliran sungai besar yang membelah sebuah lembah yang nantinya dikenal dengan Lembah Sungai Sindu (Barat mengenalnya dengan nama Lembah sungai Hindus), tepatnya di daerah Jambudwipa. Perkembangan ajaran tersebut sangat luar biasa sehingga menghasilkan sebuah peradaban tinggi “Mohenjodaro dan Harapa” yang memiliki kemiripan nama dengan “Maharaja-Sunda-Ra dan Pa-Ra-Ha/Hu persis dengan sebuah tempat di wilayah Parahyangan sekarang.

Ajaran Prabu Sindu yang selanjutnya disebut agama Hindu asalnya merupakan ajaran Surayana-Sundayana, yang masih tersisa hingga kini di wilayah Nusantara ada di daerah Bali sekarang, serta Ajaran Sunda Wiwitan yang isinya sama menjadikan Matahari serta Alam sebagai panutan hidup. Perjalanan sejarah kemudian menjadikan ajaran-ajaran tersebut masuk kedalam klasifikasi Animisme dan Dinamisme.

Sumber : http://www.wacananusantara.org