Teater Makyong Riau dan Pengembangannya

Oleh : Soemantri Sastrosuwondho

Penulis memaparkan tentang salah satu bentuk pertunjukan tradisional Melayu, yaituteater Makyong. Bentuk teater yang lama dimunculkan kembali melalui bengkel kerja pada awal tahun 1980. Kelompok teater yang dipakai sebagai pilot proyek adalah kelompok teater Makyong Mantang Arang dari SPG Negeri Tanjungpinang. Menurut penulis, bengkel kerja itu hendaknya berkesinambungan dan dilanjutkan dengan studi untuk membandingkan berbagai bentuk teater Makyong yang dikenal dalam kehidupan orang Melayu.

1. Pendahuluan
Judul yang ditentukan oleh Direktur Sejarah dan Nilai Tradisional untuk makalah ini ialah “Teater Melayu dan Perkembangannya”. Penggantian judul didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu penulis belum pernah melakukan penelitian terhadap seluruh teater Melayu yang ada atau yang pernah ada. Kedua, masalah teater Melayu secara menyeluruh sudah pernah dibahas dalam makalah Pertemuan Budaya Melayu Provinsi Riau di Pekanbaru pada tanggal 31 Januari sampai dengan 2 Februari 1985, dan ketiga, penelitian tentang teater Melayu yang pernah penulis lakukan hanya tentang teater Makyong.

Penulis berpendapat bahwa yang diperlukan oleh teater Melayu, terutama teater Makyong ialah tindakan yang konkret dan tepat untuk menyelamatkannya dari kepunahan. Khusus mengenai teater Makyong, upaya yang telah penulis lakukan diawali dengan penelitian pada tahun 1975 dan 1976 yang dilanjutkan dengan membuat workshop guna revitalisasi teater tersebut.

2. Makyong Di Riau
Ada berbagai pendapat mengenai asal usul Makyong di Kepulauan Riau, antara lain pendapat hasil rumusan Diskusi Teater Tradisional yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta bersama Direktorat Pembinaan Kesenian pada tanggal 13 Desember 1975. Dari pendapat itu tidak dapat diketahui dengan pasti kapan Makyong sampai ke Riau, karena Makyong berkembang menurut situasi dan kondisi setempat, dan akhirnya menjadi sebuah pertunjukan yang mendarah daging bagi penduduk setempat. Sebuah sumber mengemukakan bahwa Makyong sudah sampai ke Malaka dan Siak pada tahun 1920. Padahal berdasarkan keterangan yang dikemukakan orang-orang tua di Mantang (tempat teater ini berkembang pesat di Kepulauan Riau) disimpulkan bahwa Makyong telah ada di Riau hampir seabad yang lalu. Kalau hal ini benar, maka Makyong lebih dulu sampai ke Riau, baru ke Sumatera Utara, yang tercatat terjadi pada tahun 1896 pada saat Kerajaan Serdang diperintah Sultan Sulaiman.

Tidak seorang pun tahu dengan pasti arti kata Makyong. Namun, masyarakat luas tahu bahwa Makyong merupakan nama sebuah pertunjukan atau teater yang pernah populer di Malaysia. Bagi orang Riau masa kini, Makyong hanya sebuah kenangan atau cerita tentang teater yang sangat terkenal. Mubin Sheppard yang dianggap paling paham tentang seluk-beluk Makyong di Malaysia juga tidak tahu secara pasti arti kata Makyong. Dia mengemukakan bahwa Makyong berasal dari kata Ma Hiang atau the Mother Spirit. Yang jelas Makyong dikenal sebagai nama sebuah bentuk teater dan nama salah seorang tokoh utama dalam lakon Makyong.

Teater Makyong pernah berjaya di Riau. Teater ini tidak saja hidup di tengah masyarakat, tetapi juga merupakan kekayaan budaya istana. Di Kepulauan Riau masa lalu, Makyong ditemukan di dua tempat, yaitu di Tanah Merah dan di Mantang Arang. Menurut seorang pembina teater, dulu ada beberapa kelompok Makyong, yaitu delapan kelompok di Mantang Arang yang masing-masing dipimpin oleh Hasan, Ni Poso, Tongkong, Botak, Ungu Mayang, Awang, Begoh, Khalid; di Tanah Merah dipimpin oleh Embak Tanah Merah; di Rempang dan Sembulang dipimpin oleh Niah; dua kelompok di Kasu masing-masing dipimpin oleh Minah Kekap dan Mat Darus; dan di Dompak dipimpin oleh Emak Empak.

Kelompok yang masih ada hingga sekarang hanya Makyong Mantang Arang yang dipimpin oleh Khalid. Sebagian besar anggota kelompok ini sudah berusia lebih dari setengah abad. Bahkan anggota tertua berusia lebih dari delapan puluh tahun (pada tahun 1989). Penduduk Mantang Arang sebagian besar bekerja sebagai petani dan nelayan. Mereka tidak tinggal di Pulau Mantang yang hanya terdiri dari sebelas rumah itu. Pada hari-hari besar tertentu seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulud Nabi mereka baru beramairamai pulang ke kampungnya.

3. Pementasan Makyong
Seperti juga teater rakyat (tradisional) lainnya, pementasan Makyong tidak menuntut set properti, dekorasi, atau layar untuk pergantian babak. Bila Makyong dipentaskan di lapangan terbuka, tempat pentas harus diberi atap yang menggunakan bubungan dengan enam buah tiang penyangga. Pada kayu yang melintang dihiasi daun kelapa muda. Bila dimainkan di istana, Makyong dipentaskan di panggung beton berbentuk segi enam.

Setelah Ketua Panjak yang disebut Bomo mendapatkan tempat yang tepat untuk pertunjukan Makyong, ia harus melakukan serangkaian upcara sebelum pementasan dilakukan. Mula-mula dilaksanakan upacara mengasap alat-alat yang terdiri dari sebuah pendang penganak, sebuah gendang pengibu, dua buah tawak-tawak atau gong, dua buah mong atau kromong, sebuah geduk-geduk, sebuah canang, sebuah serunai, dan sebuah rehab. Upacara mengasap dilanjutkan pada alat-alat bermain (properti) lainnya, termasuk canggai (kuku-kuku palsu yang panjang).

Upacara selanjutnya disebut buang bahasa atau buka tanah dengan menanam sebutir telur ayam, segenggam beras basuh, segenggam beras kuning, bertih, sirih sekapur, dan sebatang rokok daun nipah. Setelah sang Bomo memerintahkan pembantunya menanam benda-benda tersebut, ia mulai menaburkan bertih dan beras basuh ke sekeliling tempat bermain, sambil membaca serapah atau mantra yang diiringi bunyi musik berirama magis. Serapah tersebut berbunyi:

Assalamualaikum
Waalaikumsalam
Tabik orang di laut
Tabik orang di darat
Aku nak membubuh paras
dan tanda di sini
Aku minta tanah yang baik
Bismillahirrahmanirrahim
Bam tanah Jembalang tanah
Aku tahu asal engkau
Mulai menjadi bintang timur
Berundurlah engkau dari sini
Jangan engkau menghalang
Pekerjaan aku di sini
Huh !

Setelah itu Bomo menekankan ujung jarinya ke langit-langit mulutnya, kemudian menekankan jari itu pada tanah.

Selama upacara berlangsung, para pelakon/pemain duduk berderet di depan pemain musik. Begitu Bomo selesai mengadakan upacara buka tanah atau buang bahasa, para pemain segera mengambil satu atau dua butir bertih dan beras basuh yang ditaburkan sang Bomo untuk dikunyah, dengan maksud agar lakon mereka lancar.

Pertunjukan Makyong pun dimulai. Dengan diiringi musik, seorang pemain wanita berpakaian lelaki yang memerankan Pakyong atau Cikwang berdiri. Dia bertelekan pada kedua lutut dan perlahan-lahan berdiri sambil menyanyikan lagu “Betabik”. Nyanyian Pakyong disambut oleh para pemain wanita yang memerankan inang dan dayang. Mereka berdiri, kemudian ikut menari dan menyanyi bersama Pakyong. Setelah selesai membawakan lagu Betabik, para dayang dan inang duduk kembali. Pakyong yang masih berdiri di tengah area pertunjukan segera memanggil Si Awang atau Peran. Di sudut lokasi itu Awang atau Peran menyahut panggilan Pakyong sambil memantrai topeng yang sedang dipegangnya. Topeng dipakai dan ia pun mendekati Pakyong dengan gerakan teatral khas Makyong, yaitu melenggang dengan tangan bergetar. Dalam teater Makyong, Awang atau Peran merupakan pemain yang amat penting. Dia menjadi pelawak, pengiring raja, pengiring anak raja (pangeran), dan kadang-kadang juga disebut Pakyong Muda.

Pergantian babak atau adegan dalam teater Makyong ditandai dengan nyanyian dan dialog yang diucapkan para pemain atau dengan duduk dan berdirinya para pemain di pinggir ruang pertunjukan, sedangkan pertukaran peran dilakukan dengan menukar topeng yang dikenakan pemain. Seorang pemain boleh membawakan lebih dari satu peran, bahkan tiga atau empat peran dengan cara menukar topengnya.

Jalan pertunjukan Makyong agak lamban. Cerita dapat bersambung terus selama lima malam, kadang-kadang sampai tujuh malam. Pertunjukan biasanya dimulai setelah Isya dan berakhir menjelang Subuh.

4. Cerita Makyong
Cerita yang disajikan dalam pementasan Makyong sebagian besar sudah dikenal secara luas, karena cerita dalam Makyong berasal dari folktale atau warisan dari tukang cerita istana. Tidak ada peninggalan tertulis tentang lakon Makyong. Semua lakon ditularkan melalui tradisi lisan. Di antara cerita-cerita Makyong yang sangat terkenal ialah Tuan Putri Ratna Emas, Nenek Gajah dan Daru, Cerita Gondang, Wak Peran Hutan, Gunung Intan, Dewa Muda, Dewa Indra Dewa, Megat Muda, Megat Sakti, Megat Kiwi, Bungsu Sakti, Putri Timun Muda, Raja Muda Laleng, Raja Tingkai Hati, Raja Dua Serupa, Raja Muda Lembek, dan Gading Betimbang. Kadang-kadang juga dipentaskan cerita yang berasal dari Mahabarata, Ramayana, cerita Panji, dan Pagarruyung. Cerita dan bahan yang disebut terakhir sudah beda jauh dari aslinya, sehingga hanya dapat dikenal dari bingkai atau polanya saja. Sebagai contoh adalah cerita Koripan yang berasal dari cerita Panji.

Jika dalam pewayangan (wayang purwa) dikenal cerita-cerita yang tabu dipentaskan tanpa sesaji atau semah dan upacara khusus, Makyong pun memiliki ceritera seperti itu, yaitu lakon Nenek Gajah dan Daru. Cerita ini mengisahkan tentang seekor hewan mitologis Melayu bernama Gajah Mina di Pusat Tasik Pauh Janggi yang bertempur dengan bermacam-macam ular dan naga. Anggota kelompok Makyong dan masyarakat di sekitar Mantang Arang percaya bahwa jika cerita ini dipentaskan tanpa semah dan upacara tertentu, hal itu akan mendatangkan badai dahsyat.

Tokoh pertunjukan Makyong terdiri dari: Pakyong atau Raja, Pakyong Muda atau Pangeran, Makyong atau Permaisuri yang disebut juga Mak Senik, Putri Makyong atau Putri Raja, Awang Pengasuh atau pelayan raja yang berjumlah lebih dari satu orang, Orang tua, Dewa, Jin dan Raksasa, dan para Pembatak. Peran-peran wanita ialah Makyong, Putri, Inang, dan Dayang. Pakyong merupakan tokoh pria, namun dibawakan oleh wanita. Peran-peran seperti Awang, Mak Perambun, Wak Petanda Raja, Wak Nujum, Dewa, Jin, Pembatak, dan Raksasa dibawakan oleh pria.

5. Musik, Tari Dan Nyanyi
Dalam teater Makyong dikenal lagu Tabuh, Betabik, Awang Nak Bejalan, Selendang Awang, Colak Adik Hitam, Sedayung Makyong, Gendang Tinggi, Jalan Masuk, Mengulit Kasih, Cik Poi, Lenggang Tanduk, Cik Milik, Lagu Rancak, Bunga Kuning, Timang Welo, Lagu Sabuk, Gemalai Lagu Kelantan, dan Ikan Kekek yang diringi dengan alat-alat musik. Lagu-lagu ini dibawakan dengan tari dan dengan atau tanpa lirik. Dalam pertunjukan Makyong, para pelakon/pemain berjalan dengan gerak tari sederhana. Gerakan yang sederhana itu menggambarkan watak para pelakon. Misalnya seorang wanita pemeran Pakyong harus memperlihatkan gerakan yang cekatan untuk menggambarkan bahwa dirinya seorang pria.

Contoh perbedaan gerakan pria dan wanita ialah dalam cara duduk. Duduk bersila, berlipat lutut peria, dan bersimpuh (bertimpuh) merupakan cara duduk untuk wanita. Duduk dengan menegakkan lutut merupakan cara duduk untuk pria dan wanita. Gerakan-gerakan lain dalam pertunjukan Makyong ialah ketika berdiri: tegak merendah, bersilang kaki, berputar di tempat, beringsut setengah lingkaran ke kiri dan ke kanan, dan bergeser sejajar dengan lingkaran. Ketika melangkah dikenal gerakan langkah berjalan, melenggang, langkah terhenti, langkah tari, langkah segi tiga atau mengubah arah, langkah segi empat, langkah mengejar, dan bergegas. Gerakan yang dipakai untuk tangan yaitu lenggang berjalan untuk pria, lenggang berjalan untuk Mak Inang, sembah pembuka, gerak tari pembuka ketika duduk dan berdiri, gerak tari sabuk kiri dan kanan, gerak tari asyik, gerak tari ular sawah, gerak tari mabuk, gerak tangan sebelah ketika berundur, gerak tari tanduk, gerak kecipung, gerak senandung jamak, dan gerak aba-aba.
Jenis tari yang terdapat dalam teater Makyong yaitu tari pembukaan yang disebut Betabik, tari berjalan jauh atau dekat, tari ragam atau tari gembira, dan tari perang atau gerak silat. Tari hiburan yang dilakukan oleh inang dan dayang berupa tari Inai, yaitu tari untuk upacara perkawinan dan tari Bersenang Hati di Taman, yaitu tari untuk menghibur tuan putri.

6. Tata Busana, Topeng, Dan Properti
Tata busana dalam teater Makyong adalah sebagai berikut. Pertama, tokoh Pakyong atau Pakyong Tua memakai baju berlengan pendek, berseluar (bercelana), berdagang luar (kain samping), celemek (alas dada atau elau berhias manik-manik), tanjak berhias manikmanik, selampai, bengkung, pending, sabuk, keris, dan tongkat berbelah tujuh, serta canggai di jari-jarinya. Warna pakaiannya dipilih yang hitam atau warna gelap lainnya.

Kedua, tokoh Pakyong Muda mengenakan pakaian seperti Pakyong Tua dengan warna muda atau cerah. Kain samping yang disebut dagang luar dipakai sedikit di atas lutut atau lebih singkat dari yang dipakai Pakyong Tua.

Ketiga, tokoh Makyong memakai kebaya panjang dari bahan yang mengkilap, selendang bersulam keemasan, pending menindih selendang, dan memakai mahkota di kepala.

Keempat, tokoh Putri Makyong hampir sama pakaiannya dengan pakaian Makyong, tetapi warnanya lebih muda atau cerah.
Kelima, tokoh Awang memakai kaos oblong putih atau gunting cina, warna seluarnya boleh berbeda dengan bajunya, berdagang luar kain pelekat, dengan atau tanpa ikat kepala.

Keenam, tokoh Mak Inang Pengasuh memakai baju kurung pendek, kain sarung, dan selendang yang diikat di dada.

Ketujuh, tokoh Dayang-dayang memakai pakaian seperti Putri Makyong dengan bahan dan warna yang lebih sederhana.

Kedelapan, tokoh Tata busana untuk pemeran Jin, Raksasa, Pembatak, Wan Perambun, dan lain-lain cukup dengan pakaian rakyat setempat, seperti teluk belanga atau memakai kaos oblong seperti si Awang.

Semua tokoh yang dimainkan oleh pria memakai topeng yang disesuaikan dengan wataknya. Khusus untuk Mak Inang Pengasuh, peran dipegang oleh seorang pria yang memakai topeng putih dan bersanggul. Topeng juga dikenakan oleh pemeran hewan seperti harimau, gajah, garuda, burung, ular, naga, ikan, dan lain-lain.

Topeng yang biasa digunakan dalam pertunjukan Makyong ialah topeng Datuk Betara Guru atau Wak Petela Guru, Wak Petala Siu (guru si raja jin), Awang Pengasuh, Wak Petanda Raja (punggawa), Inang Tua, Apek atau Cina Tua, Mamak atau rakyat, Wak Perambun, Jin Kafri Gangga, dan Pembatak. Topeng yang masih dimiliki kelompok Makyong Mantang Arang ialah topeng Datuk Betara Guru berwarna putih, topeng Wak Perambun berwarna hijau, topeng Wak Petanda Raja berwarna merah, dan topeng Jin Kafri Gangga. Semua topeng tersebut dapat digunakan dalam berbagai cerita Makyong.

Properti dalam pementasan Makyong tidak disiapkan secara khusus, kecuali sebuah bilai yang dibuat dari bambu yang dibelah tujuh. Bilai ini selalu dibawa oleh raja (Pakyong) dan pangeran (Pakyong Muda) yang digunakan untuk memukul Awang (pengasuh) bila terlambat datang ketika dipanggil atau ketika Awang mengkritik dengan tajam. Properti lainnya ialah sepotong kayu bengkok yang dipakai Awang untuk menarik leher teman bermainnya yang sederajat.

Apabila cerita dalam pertunjukan Makyong menghendaki adanya barang berupa layang-layang ajaib, salah seorang pemain dengan cepat melepaskan ikat kepalanya dan diikatkan pada ujung tongkat sehingga penonton sudah dapat membayangkan itu sebagai layang-layang ajaib. Demikian pula untuk menggambarkan tongkat sakti, geliga bertuah, dan sebagainya.

7. Tanda Musnahnya Makyong Di Riau
Dari pengamatan pertunjukan Makyong, baik yang dimainkan di Mantang Arang maupun yang dimainkan di Jakarta, terlihat beberapa faktor yang menunjukkan tanda akan musnahnya teater Makyong di Riau. Hal ini juga dikemukakan beberapa pengamat budaya yang banyak mengetahui tentang Makyong atau teater semacam ini. Faktor-faktor tersebut ialah usia para pendukung pertunjukan dan langkanya kesempatan pentas, karena jenis teater ini dipandang kurang diminati masyarakat. Berkaitan dengan kedua faktor tersebut, kelompok Makyong satu-satunya di Riau ini sudah berada di tepi jurang kemusnahan. Mereka kesulitan mendapatkan pakaian dan segala macam peralatan penunjang pertunjukan Makyong. Para pemain musik yang berpengalaman juga sudah amat kurang.

Untuk mengetahui sejauh mana perhatian masyarakat di Mantang Arang, Tanjungpinang, dan Jakarta terhadap teater Makyong, penulis menyiapkan sepuluh pertanyaan yang digunakan sebagai interview guide di Tanjungpinang dan Mantang Arang dengan sepuluh responden yang terdiri dari anak-anak muda.1) Penulis juga melakukan wawancara tidak langsung terhadap orang-orang yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Riau (sekarang Provinsi Kepulauan Riau, ed) yang menetap di Jakarta.

Kesimpulan yang dapat dipetik dari hasil penelitian dengan menggunakan interview guide ini ialah: Makyong masih dikenal di Tanjungpinang dan Mantang Arang; para penontonnya lebih suka datang ke tempat pertunjukan diselenggarakan; sebab-sebab Makyong jarang dipentaskan adalah karena adanya hiburan lain yang lebih menarik, seperti joged/ronggeng; pementasan Makyong dalam acara hajatan tidak pernah dilakukan lagi karena tarifnya terlalu mahal. Makyong bisa dipopulerkan kembali dengan memperbaiki cara pementasannya, misalnya, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu sehari-hari yang mudah dimengerti; pakaian harus diperindah; menyertakan para pemain yang lebih muda (regenerasi); cerita harus diperbaharui, begitu pula cara pementasannya hendaknya disesuaikan dengan selera publik masa kini.

Wawancara tidak langsung yang dilakukan terhadap responden dari Riau Kepulauan yang menetap di Jakarta membuahkan kesimpulan yang sama. Kesimpulan yang didapat dari pengamatan pementasan Makyong dan kesimpulan dari jawaban para responden di daerah penelitian Tanjungpinang, Mantang Arang, dan Jakarta memperkuat niat penulis untuk melakukan revitalisasi teater Makyong Riau melalui sebuah workshop.

8. Workshop Untuk Revitalisasi Teater Makyong
Laporan penelitian mengenai Makyong setebal 180 halaman yang telah penulis buat juga dilengkapi dengan sebuah usulan proyek “Revitalisasi Makyong Riau di Tanjungpinang”. Langkah-langkah revitalisasi tersebut berupa
a. Pengajuan Proposal Workshop
Proposal yang disampaikan kepada Bapak Gubernur Kepala Daerah Riau adalah sebagai berikut.

Latar Belakang Masalah
Upaya yang dapat dilakukan adalah mengusahakan agar pementasan Makyong bisa berkomunikasi dengan publik masa kini, tidak saja di Kepenghuluan Mantang Arang, namun juga di seluruh Provinsi Riau. Untuk itu cara yang dapat ditempuh adalah: (1) melakukan regenerasi para pemain Makyong; (2) mempersingkat waktu pementasan, dari semalam penuh menjadi kurang lebih dua jam; (3) menghidangkan cerita yang bisa dimengerti dan mampu berkomunikasi dengan publik masa kini, namun tetap bersumber pada perbendaharaan budaya Melayu.

Usaha ini bisa dilakukan dalam sebuah workshop. Taraf pertama, para pemain senior akan berbaur dengan para pemain yunior yang akan melanjutkan teater Makyong. Dalam workshop ini para pemain muda akan mendapat kesempatan menimba kepandaian dan pengalaman dari pemain senior.

Tujuan Penyelenggaraan Workshop
Melakukan pewarisan kemampuan para pelaku Makyong yang saat ini sudah berusia di atas setengah abad, bahkan ada yang sudah berusia 80 tahun, kepada anak-anak muda yang terdiri dari pelajar SPG Negeri Tanjungpinang dan para seniman teater yang ada di kota tersebut.

Mengolah sebuah pertunjukan Makyong baru yang didukung oleh anak-anak muda dan mampu berkomunikasi dengan publik masa kini dengan tetap mempertahankanciri-ciri/konvensinya.

Mengikutsertakan para pelajar SPG Tanjungpinang dalam workshop Makyong dengan maksud agar bila mereka kelak kembali ke daerah masing-masing ataupun bertugas di daerah lain di Provinsi Riau dan menjalankan tugasnya sebagai guru, kesenian Makyong tersebut dapat diajarkan kepada anak didiknya. Dengan cara demikian mudah-mudahan Makyong mempunyai penerus.

Mengikutsertakan peserta dari Pekanbaru dengan maksud agar Makyong dapat dikembangkan di ibu kota provinsi.

Cara Penggarapan
Workshop Makyong akan ditangani oleh sebuah tim yang terdiri dari seorang pengarah/sutradara/penyusun cerita, penata tari, penata lagu/komposer, penari pria, dan penari wanita.

Anggota tim ini dipilih dari orang yang sudah berpengalaman dalam menangani workshop atau semacam workshop teater tradisional di Jakarta dan Pekanbaru. Mereka ini akan menjadi penata tari dan instruktur bagi para pelaku/penari muda di Tanjungpinang.
Tahap-tahap kegiatan yang perlu dilakukan adalah :

1) Tahap I : Tahap Observasi
Sebelum terjun ke lapangan, tim akan melaksanakan observasi tentang Makyong lewat film yang dibuat oleh Direktorat Kesenian, disertai dengan penjelasan-penjelasan dari ketua tim. Penata tari dari Jakarta melakukan observasi terhadap pementasan Makyong di Jakarta. Berdasarkan observasi tersebut, penata tari mulai menyusun koreografi untuk Makyong yang akan dilatihkan di workshop dengan menggunakan naskah cerita yang sengaja disusun untuk keperluan tersebut.

Sementara itu, sebagian anggota tim menyusun lagu-lagu berdasarkan rekaman Makyong yang tersimpan di Dewan Kesenian Jakarta. Cerita yang akan digarap dalam workshop Makyong ini adalah cerita Lancang Kuning, yaitu sebuah cerita rakyat Riau (Bukit Batu, Siak2). Dasar pertimbangan pemilihan cerita tersebut adalah Lancang Kuning merupakan lakon klasik yang disenangi setiap publik. Temanya amat dekat dengan kehidupan seharihari, yaitu tentang persaingan, kedengkian, dan iri hati. Selain itu persoalan yang dikemukakan dalam Lancang Kuning masih relevan dengan kehidupan publik masa kini.

2) Tahap II : Menonton Pementasan
Sebelum workshop, anak-anak muda (siswa SPG Tanjungpinang), seluruh anggota tim, dan para penari muda harus menyaksikan pementasan Makyong di lingkungan etniknya (Mantang Arang), sedikitnya sekali. Setelah menyaksikan pementasan tersebut, kemungkinan besar segala sesuatu yang telah disusun di Jakarta akan mengalami perubahan dan penyesuaian. Dalam kesempatan ini juga dilakukan perekaman lagu-lagu Makyong yang mungkin akan diperluas untuk sarana latihan dalam workshop.

3) Tahap III : Tahap Latihan
Workshop yang sesungguhnya dimulai. Beberapa orang pemain penting Makyong, seperti Pakyong, Makyong, Wakyong, Tuan Putri, dan para pemusik dibawa ke workshop di Tanjungpinang. Dalam taraf awal, latihan dilakukan secara terpisah, seperti cerita dengan dialog, dan tari dengan nyanyi. Kemudian seluruh latihan dilakukan dalam satu kesatuan. Latihan terus dilakukan sampai para pemain siap untuk melakukan pementasan. Setiap beberapa hari sekali diadakan diskusi antartim.

4) Tahap IV : Tahap General Rehearsal
General rehearsal merupakan kesempatan bagi tim untuk melakukan penilaian terhadap hasil garapan. Setelah general rehearsal, dilakukan diskusi antartim untuk penyempurnaan sampai pementasan perdana yang diselenggarakan di Tanjungpinang. Pementasan per-dana diselenggarakan untuk undangan terbatas dan sehari kemudian disusul dengan pementasan terbuka untuk umum.

5) Tahap V
Beberapa hari kemudian dilakukan pementasan di ibukota provinsi untuk undangan dan umum, dengan mengundang seniman, budayawan, dan pers untuk mendapatkan penilaian.
Proposal yang disampaikan kepada Gubernur Kepala Daerah Riau tersebut mendapatkan persetujuan untuk dilaksanakan dengan dukungan biaya dari APBD Provinsi Riau tahun anggaran 1979/1980.

b. Pelaksanaan Workshop Teater Makyong
Semula Proyek Revitalisasi Teater Makyong ini akan dibiayai oleh pihak Pemerintah Daerah Provinsi Riau dan pihak LPKJ sebagai pelaksana proyek, yang akan mengumpulkan dana dari beberapa sponsor. Sampai menjelang pelaksanaan workshop, dana yang diharapkan dari pihak sponsor tidak berhasil dikumpulkan. Akhirnya pihak pelaksana tetap melaksanakan kegiatan tersebut dengan dana yang disediakan oleh Pemerintah Daerah Riau. Dalam keadaan demikian banyak rencana kegiatan dan jumlah personalia yang harus diciutkan dan disesuaikan dengan dana yang ada. Anggota tim dari Jakarta yang berjumlah delapan orang yang bisa didatangkan ke Tanjungpinang hanya lima orang. Tenaga dokumentasi audio visual dan kegiatannya dibatalkan. Kegiatan dokumentasi dilakukan secara sederhana, yaitu berupa stil photo dan rekaman kaset. Pelaksanaannya pun tidak dilakukan secara profesional. Anggota tim dari Pekanbaru yang dalam rencana semula berjumlah empat orang hanya bisa dihadirkan dua orang. Terlepas dari masalah dana, anggota tim yang terdiri dari penari dan pelatih tari dari Tanjungpinang sendiri tidak dapat ikut serta (menurut panitia setempat mereka ternyata sudah pindah dari Tanjungpinang), padahal keikutsertaan mereka amat diperlukan untuk kelangsungan pembinaan Makyong di Tanjungpinang.

Walau dengan biaya serba terbatas, berkat bantuan pemerintah setempat, panitia, dan para pengajar SPG Negeri Tanjungpinang, terutama Bapak Kepala SPG Tanjungpinang yang diikuti oleh semangat para peserta workshop yang terdiri dari siswa SPG, kegiatan itu berjalan dengan lancar. Workshop dimulai tanggal 17 Februari 1980 dan berakhir pada tanggal 14 Maret 1980 dengan pementasan Makyong hasil garapan workshop, bertempat di SPG Negeri Tanjungpinang. Secara kronologis kegiatan workshop tersebut adalah sebagai berikut.

Tanggal 17 Februari 1980 pukul 10.00 anggota tim pelaksana Proyek Revitalisasi Teater Makyong tiba di Tanjungpinang. Siangnya anggota tim dari Pekanbaru datang. Pukul 14.30 diadakan pertemuan dengan para pengajar SPG Negeri Tanjungpinang dan para calon peserta workshop yang terdiri dari para siswa SPG Negeri Tanjungpinang. Kemudian dilanjutkan dengan seleksi calon peserta workshop.

Tanggal 18 Februari 1980 pukul 13.00 seluruh peserta workshop berangkat ke Mantang Arang dengan menggunakan kapal motor milik Pemda Kabupaten Kepulauan Riau. Malam harinya seluruh peserta workshop menyaksikan pementasan Makyong, agar mereka mendapat gambaran yang jelas tentang Makyong.

Tanggal 19 Februari 1980 pukul 12.00 seluruh peserta workshop pulang ke Tanjungpinang.
Tanggal 20 Februari 1980 pukul 15.30 dilakukan penentuan (casting) peserta workshop yang terdiri dari pelajar SPG Negeri Tanjungpinang sesuai dengan peran yang ada dalam cerita Lancang Kuning. Malamnya, pukul 19.30 dilakukan workshop dengan pelaku dan pemusik Makyong yang didatangkan dari Mantang Arang dan Kijang, diikuti oleh anggota tim.

Tanggal 21 Februari 1980 dilanjutkan workshop dengan pelaku dan pemusik Makyong. Pukul 05.30 workshop dengan siswa SPG Negeri Tanjungpinang, diawali dengan pembacaan naskah untuk memahami watak dan alur cerita. Kemudian dilanjutkan dengan latihan tari. Pukul 23.00–01.00 dilakukan perekaman musik Makyong di RRI Tanjungpinang. Hasil rekaman selanjutnya akan digunakan untuk iringan latihan da-lam workshop.

Tanggal 22 Februari 1980 pukul 15.30 diadakan workshop dengan siswa SPG Negeri Tanjungpinang. Dalam workshop dilakukan latihan peran dan tari yang berhubungan dengan cerita, yang dilakukan secara bergiliran.

Tanggal 23 Februari 1980 pukul 10.00 para pemain/pemeran dan pemusik Makyong pulang ke Mantang Arang/Kijang. Pukul 15.30, diadakan workshop dengan peserta siswa SPG berupa latihan peran dan tari secara terpisah (bergilir). Setelah workshop berlangsung sepuluh hari, latihan dilakukan secara terpadu. Para peserta mulai latihan berlakon/berperan menggunakan gerak tari. Lagu-lagu yang akan dibawakan dalam pementasan juga sudah mulai diberikan kepada para peserta. Latihan berjalan sampai tanggal 2 Maret 1980.

Tanggal 3 Maret 1980 pukul 15.30 diadakan latihan terpadu dengan menggunakan iringan musik yang dimainkan oleh para pemusik Makyong yang didatangkan dari Mantang Arang. Latihan terpadu ini berlangsung sampai general rehearsal. Saat itu juga dilakukan latihan vokal dan olah tubuh.

Tanggal 13 Maret 1980 pukul 19.00 general rehearsal
Tanggal 14 Maret 1980 pukul 20.00 diadakan pementasan di Aula SPG Tanjungpinang.
Rencananya, pada tanggal 15 Maret 1980 akan diselenggarakan diskusi dengan seniman dan budayawan setempat, oleh karena suatu hal, diskusi tidak jadi dilaksanakan. Rencana untuk membawa Makyong hasil workshop ke Pekanbaru ditunda karena gubernur sedang tidak berada di tempat.

Dalam workshop teater Makyong, para pelaku/pemain tidak dibenarkan menghafalkan dialog, walaupun tersedia naskah dengan susunan dialog yang lengkap. Naskah hanya disediakan untuk mempelajari watak tokoh, alur cerita, dan suasana cerita. Setelah pelaku mengenal tokoh dari naskah yang dibaca dan dengan bantuan sutradara, para pelaku dirangsang untuk melahirkan dialog sendiri. Setelah latihan berjalan semakin intensif, dialog yang diucapkan oleh para pelaku terasa matang dan semakin mantap. Dialog yang diucapkan oleh para pelaku amat berbeda dengan dialog yang tersedia dalam naskah. Dialog yang diucapkan selalu mengena. Menjelang pementasan, terlihat bahwa dalam mengucapkan dialog pelaku seolah mengucapkan kalimatnya sendiri dalam kehidupan se-hari-hari.

Tari disusun di ruang workshop oleh para pelatih di hadapan para pemain untuk kemudian langsung dilatihkan kepada para pemain. Pola-pola geraknya adalah pola gerak yang terdapat dalam Makyong, dan sama sekali tidak diberikan gerak-gerak baru yang dibawa dari Jakarta. Adegan yang terlihat baru bagi masyarakat setempat adalah adegan perang di laut dengan menggunakan perahu antara Panglima Dalam dengan Saloatang. Perahu diwujudkan dalam bentuk tari dengan dasar gerak yang ada pada Makyong.

Lagu-lagu yang digunakan dalam latihan adalah lagu-lagu yang biasa dijumpai dalam pementasan Makyong, antara lain Betabik, Awang Bejalan, Jalan Masuk, Cik O‘oi, Bunga Kuning, Gemalai, Gendang Tinggi, Lagub Rancak, Lenggang Tanduk, Timang Welo, Adik Itam, Colak, Lagu Sabuk/Kecapak, dan Ratap. Lagunya tidak berubah, namun liriknya mengalami perubahan sesuai dengan cerita.

Dua minggu menjelang pementasan, rancangan busana untuk pelaku dibuat oleh penanggung jawab busana, berdasarkan petunjuk dari para pemain Makyong. Pemotongan dan penjahitan pakaian dilakukan oleh anggota keluarga Bapak Sayed Husin, seorang pembina Makyong di Tanjungpinang. Jahitan-jahitan yang mudah, dikerjakan oleh para siswa SPG. Seluruh kegiatan diikuti sesuai dengan pelajaran rutin di sekolah. Para siswa yang tidak ikut sebagai pelaku/pemain mulai membenahi pentas di bawah pimpinan salah seorang pengajar SPG. Dalam workshop ini mereka tidak hanya mendapatkan latihan mengenai cara bermain di atas pentas, tetapi juga mendapat latihan mengenai seluk-beluk yang berkaitan dengan pementasan.

Biasanya pergelaran Makyong dilakukan di atas pentas. Semula pergelaran Makyong hasil garapan workshop ini akan dipentaskan di lapangan terbuka dengan mengambil tempat di gelanggang olahraga, akan tetapi tidak jadi, karena saat workshop, hujan turun di Tanjungpinang. Akhirnya diputuskan, pementasan Makyong diselenggarakan di aula SPG Negeri Tanjungpinang. Di aula ini pun semula pementasan akan dilakukan secara arena.

Akan tetapi kembali tidak jadi karena akan banyak penonton yang tidak dapat melihat pertunjukan dengan jelas akibat tertutup penonton lain yang ada di depan. Pementasan kemudian dilaksanakan di atas pentas konvensional. Pemain bermain di atas panggung dengan penonton yang berada di auditorium dari satu arah.

Pementasan tidak diawali dengan upacara buka tanah, akan tetapi sehari sebelum menjelang general rehearsal diadakan pembacaan doa selamat dengan hidangan pulut kuning. Secara singkat susunan adegan dalam pementasan adalah sebagai berikut.

Panggung kosong, yang ada di pentas sebelah kanan dan kiri adalah para pemain musik Makyong. Kemudian terdengar lagu Tabuh. Sementara itu para pelaku dari kedua pentas, masing-masing mengambil tempat di muka backdrop (latar belakang).

Disusul adegan betabik yang dilakukan oleh Pakyong atau Cikwang. Adegan ini merupakan semacam penghormatan kepada para pemuka masyarakat dan para penonton.

Kemudian para pelaku berputar mengelilingi ruang permainan dengan diiringi penari/penyanyi Yung Dondang. Setelah itu para tokoh duduk kembali.

Adegan dilanjutkan dengan adegan-adegan lain sesuai dengan jalan cerita yang dipentaskan sampai selesai. Pertunjukan Makyong garapan workshop ditutup dengan tutup tanah, berakhir dengan adegan tarian para pelaku yang mengelilingi ruang permainan dengan iringan lagu Cik Milik.

Sayang Cik Milik mengarang bunga
Bunga dikarang berduri-duri

Maafkan Encik sekalian yang ada
Permainan kami mohon berhenti

Pertunjukan berlangsung selama kurang lebih dua jam. Selama pementasan, keseimbangan antara tari, nyanyian, drama, roman, dan lawakan selalu terjaga rapi. Kalau para pembaca bertanya apakah pementasan Makyong garapan workshop yang diselenggarakan pada awal tahun 1980 itu berhasil, penulis tidak bisa menjawabnya, karena sukar bagi seseorang untuk menilai pekerjaannya sendiri secara objektif. Yang dapat penulis kemukakan adalah, dari reaksi publik saat menonton pementasan tersebut tampak jelas bahwa pertunjukan itu komunikatif. Reaksi penonton sesuai dengan yang penulis perkirakan. Mereka tertawa saat mengikuti adegan atau dialog yang lucu. Adegan sedih juga diterima penonton sebagaimana yang penulis harapkan.
Sebenarnya ketika selesai melaksanakan tugas memimpin workshop, penulis pribadi masih berhasrat untuk menyempurnakan garapan tim yang terasa belum memuaskan, antara lain unsur topeng yang sama sekali belum terjamah dalam workshop tersebut. Hal ini sengaja dilakukan karena pada taraf awal sukar bagi seorang pelaku/penari untuk berlaku/menari dengan menggunakan topeng secara benar. Keinginan penulis untuk membenahi Makyong tidak pernah bisa terjangkau. Sementara itu di pemerintah provinsi telah terjadi pergantian pejabat dan juga terjadi pergantian prioritas sesuai dengan minat pejabat baru tersebut. Pada saat bersamaan, tidak pernah terdengar lagi kegiatankegiatan Makyong yang dilakukan oleh peserta workshop.

Berita menyenangkan yang sampai kepada penulis pada tahun 1983 ketika penulis datang ke Penyengat adalah yang mengatakan bahwa ada di antara para guru yang mengajarkan kesenian Makyong kepada para siswanya. Dia adalah salah satu siswa SPG yang ikut serta dalam workshop. Mudah-mudahan berita ini benar.

Dalam kesempatan ini, penulis kemukakan saran untuk Pemerintah Daerah Provinsi Riau dan pemerintah pusat guna mengadakan kegiatan sebagai berikut: (a), melakukan perekaman pementasan Makyong (asli) dengan video dan rekaman suara; (b), disusul dengan pembuatan transkripsi hasil pementasan tersebut; (c), pembuatan notasi lagu, lengkap dengan liriknya; (d), pembuatan notasi tari.

Usaha ini perlu dilakukan agar pemerintah memiliki dokumentasi yang lengkap tentang Makyong. Hal ini amat diperlukan, baik oleh para peneliti maupun seniman yang ingin mempelajari Makyong. Kita harus ingat bahwa umur para pendukung Makyong juga terbatas, sementara kekayaan budaya yang pernah dimiliki daerah perlu diselamatkan.

Usaha tersebut masih perlu diikuti dengan kegiatan-kegiatan seperti berikut:
Kegiatan workshop perlu diulang kembali dengan perencanaan dan fasilitas yang mantap, baik berupa alat penunjang maupun pembiayaan. Peserta diharapkan berasal dari seluruh daerah di Provinsi Riau.

SPG Negeri Tanjungpinang dijadikan pilot proyek tempat persemaian bibit Makyong, dengan cara memasukkan seni teater Makyong dalam bidang studi kesenian.

Diadakan festival sekali setahun untuk menggairahkan kegiatan berteater Makyong. Pemenang festival mendapatkan hadiah berupa biaya pementasan rutin.

Perlu diadakan workshop bersama antara Makyong Malaysia dan Makyong Riau dengan mengambil tempat di Pusat Informasi dan Pengkajian Kebudayaan Melayu. Pesertanya adalah seniman teater Makyong, para pembina, dan para ahli teater.

9. Penutup
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa uraian ini jauh dari sempurna, dan penulis berpendapat bahwa forum ini berkewajiban untuk melengkapinya dengan mengadakan koreksi terhadap hal-hal yang dianggap tidak benar. Sekali lagi, apa yang penulis lakukan adalah sekadar “Berjagung-jagung dahulu menjelang padi masak”, dan penulis akhiri uraian ini dengan mengucapkan ucapan Hang Tuah “Tak Melayu hilang di bumi”. Memang Melayu tidak akan pernah hilang di bumi dan di Indonesia, ia akan terus hidup dalam kebhinnekatunggalikaan Indonesia.

Daftar Pustaka
Amanriza, E. Pe. dan B.M. Syamsuddin. 1985. Seni Lakon Orang Riau. Makalah Pertemuan Budaya Melayu Provinsi Riau.

Barani, N. 1983. Seni Pertunjukan Rakyat di Sumatera Utara. Makalah Sarasehan Festival Seni Pertunjukan Rakyat Tingkat Nasional, Yogyakarta.

Bidang Kesenian Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Barat. 1983. Upaya Pembinaan Revitalisasi dan Konservasi Seni Tradisional Mendu di Kalimantan Barat. Makalah Sarasehan Festival Seni Pertunjukan Rakyat Tingkat Nasional, Yogyakarta.

Bujang, R. 1975. Sejarah Perkembangan Drama Bangsawan di Tanah Melayu dan Singapura. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Effendy, B. A. 1974a. Makyong Kesenian Tradisional Daerah Kepulauan Riau. Riau: Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayan Provinsi Riau.

––––––––––. 1974b. Petunjuk Teknis Lapangan Bagi Petugas Kebudayaan. Riau: Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau.

––––––––––. 1974c. Mendu Kesenian Khas Daerah Riau. Riau: Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau.

Kadir, S. 1977. Teater Tradisional Mamanda. Makalah Diskusi Teater Tradisional, Jakarta.

Kerkhoff, Ch. P. van. 1986. Het Maleisch Toneel te Westkust van Soematra.

Khalidi, M. 1975. Memperkenalkan Makyong Riau. Makalah Diskusi Teater Rakyat Makyong, Festival Desember, Jakarta.

Malm, W. P. 1974. “The Music of Malaysian Makyong” dalam Traditional Drama and Music of Southeast Asia. Kuala Lumpur.

Oemaryati, B. S. 1983. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Pane, A. 1953. “Produksi Film Tjerita di Indonesia” Indonesia 1 dan 2, Tahun IV.

Proyek Pengembangan Kesenian Sumatera Selatan. 1980. Teater Tradisional Sumatera Selatan.
Saleha, (Raja Ali Haji). 1934. Syair Abdoel Moeloek. Batavia Centrum: Balai Poestaka.

Sanderta, B. 1977. Teknis Pergelaran Teater Tradisional Mamanda. Makalah Sarasehan Mamanda, Banjarmasin.

Sastrosuwondho, S. 1975. Penggalian dan Pengembangan Teater Tradisional. Laporan kerja, Jakarta.

––––––––––. 1976a. Bahasan terhadap “Memperkenalkan Makyong Riau” dan “Makyong Teater Tradisional Daerah Riau” dalam Pesta Seni 1976. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

–––––––––– (Ed.). 1976b. “Penggalian dan Pengembangan Lenong” dalam Pralokakarya Seni Budaya Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.
––––––––––. 1984. Sejarah Lenong. Makalah Diskusi Lenong Mahasiswa di Universitas Assafiiyah, Jakarta.

Sheppard, M. 1972. Taman Indra. New York: Oxford University Press.

––––––––––. 1974. “Makyong: The Malay Dance Drama” dalam Traditional Drama and Music of Southeast Asia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Sinar, T.L. 1971. Sari Sejarah Serdang. Jilid I. Medan.

Syamsuddin, B. M. dan A. Hasan. 1976. “Teater Tradisional Daerah Riau”. dalam Pesta Seni 1976. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
______________________________
Soemantri Sastrosuwondho, lahir di Selatpanjang, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Menempuh Sekolah Rakyat Taman Siswa di Selatpanjang, SMP dan SMA Negeri di Yogyakarta, kemudian masuk Akademi Seni Drama dan Film di Yogyakarta.

Kegiatannya sebagian besar berkaitan dengan kesenian dan kebudayaan, antara lain sebagai Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesenian Rakyat Jakarta; Sekretaris LPKJ; Anggota Dewan Kesenian Jakarta, dan tahun 1985 menjabat Kasi Permainan Rakyat, Dit. Sejarah dan Nilai Tradisional. Kecintaannya pada dunia seni dan budaya telah melahirkan beberapa karya, seperti “Penggalian dan Pengembangan Teater Rakyat Betawi” (1979); “Makyong, Sebuah Laporan Penelitian” (1978); “Aspek Komunikasi pada Musik Tradisional Betawi” (1984); “Aspek Sosial Budaya pada Tari Tradisional Betawi” (1984); “Sejarah Lenong” (1984); “Pendidikan Kreativitas Apakah Mungkin?”; “Belajar Lewat Dramasasi Kreatif”; dan puluhan cerita pentas teater tradisional untuk TVRI dan TIM Jakarta.
______________________________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau