Kebudayaan Melayu Sebagai Faktor Integrasi Bangsa

Oleh : Soewardi MS

Bagian I
Pembahasan topik ini perlu dilakukan untuk memberikan informasi bahwa dalam perjalanan bangsa Indonesia selama jangka waktu panjang ataupun jangka selama puluhan terakhir terutama tahun sejak 1928 bahwa kebudayaan Melayu telah memberikan sumbangan kepada perwujudan dan pembentukan jati diri/identitas bangsa Indonesia.

Kebenaran penyataan itu perlu dibahas pada kongres ini mengingat bangsa Indonesia semakin mengkhawatirkan sebagai bangsa yang satu, akan terus berlanjut atau dapat tetap dipertahankan?

Bagaimana kebudayaan Melayu terutama di Riau dulu, kini, dan masa depan perlu dikaji supaya bangsa ini dapat tetap menghargai keberadaan berbagai masyarakat dan suku bangsa, daerah, sebagai bangsa yang majemuk, namun menjadi Taman Sari Yang Indah yang telah memberikan kesenangan, kebahagiaan, kesetiakawanan, kebersamaan, kekuatan, dan kesejajaran dengan masyarakat lainnya di tanah air atau di sejagat belahan dunia ini.

Metode historis dengan bantuan pendekatan ilmu sosial dalam kajian akan digunakan supaya pembahasan lebih komprehensif dan sejalana dengan pengertian budaya dalam arti daya cipta, rasa, karsa, dan karya manusia untuk keperluan kehidupan manusia itu berinteraksi dengan lingkungannya. Budaya dimaksudkan segala aspek kehidupan manusia yang sekurang-kurangnya meliputi sistem sosial, sistem budaya dan kebudayaan fisik (lihat Koentjaraningrat, 1985 dan 1987, Harysa, 1985).

Berbagai sumber dan karya tulis (baik berbentuk prasasti, manuskrip, buku dsb) serta hasil pengamatan dari kenyataan dalam masyarakat kini tentang kebudayaan Melayu akan dijadikan sumber rujukan untuk memperoleh kondisi dan potensi kebudayaan Melayu itu.

Dari kondisi dan potensi kebudayaan Melayu masa dulu akan dapat diperoleh bukti-bukti nyata tentang kebolehan kebudayaan Melayu sebagai faktor integratif bagi terbentuk dan kelangsungan bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika atau masyarakat majemuk ini. Bagaimana unsur-unsur budayanya seperti bahasa Melayu apakah menjadi faktor penentu bagi lahairnya jati diri bangsa yang tersebar di belahan bumi lebih dikenal dengan Nusantara dan sekarang Indonesia? Dari manakah dimulai kajian itu, apakah kajiannya dapat diawali dari sejak nenek moyang bermastautin di kepulauan nusantara diteruskan berkembangnya Kedatuan Sriwijaya (7 abad), diteruskan dengan Keprabuan Majapahit, dan diteruskan oleh kerajaan-kerajaan penganut agama Islam, Aceh, Mataram, Malaka, Johor-Riau, Johor-Riau-Lingga-Pahang, kerajaan di Ternate-Tidore, Goa-Tello, Bugis-Makassar, kerajaan di Maluku lainnya, sampai Indonesia merdeka dan diteruskan sampai kini dan bagaimana perspektifnya ke depan? Kajian itu perlu dibatasi ruang lingkupnya supaya memudahkan dan sejalan dengan kondisi kini dan keperluan masa depan tentunya.

Batasan kajian itu meliputi masalah-masalah yang mencakup : sekilas kondisi-potensi masa lalu, kini, dan perspektif ke depan; analisis tentang unsur dari sistem budaya-sistem sosial dan fisik Melayu dan dikaitkan dengan keperluannya memelihara dan memperkukuh jati diri bangsa sebagai faktor penentu integrasi bangsa dan negara kesatuan RI.

Dalam bagian selanjutnya akan dikupas secara ringkas bagian-bagian tersebut. Untuk memberikan gambaran tentang kaitan bahwa budaya Melayu adalah faktor integratif bangsa.

Bagian II
Kondisi dan potensi budaya Melayu sebagai bagian dari budaya nasional telah memberi petunjuk bahwa budaya tersebut mempunyai peranan dalam perjalanan bangsa Indonesia sebagai pemberi identitas bahwa salah satu unsur budayanya yaitu: Bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa persatuan. Seperti dikukuhkan pada Sumpah Pemuda 1928, serta seterusnya ditetapkan dalam UUD Negara RI bahwa Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia.

Melukiskan kebudayaan Melayu menurut pendekatan sejarah dapat dirujuk makalah Suwardi Ms, pada 22-28 Juni 2002 antara lain mengatakan bahwa Orang Melayu sebagai pendatang ke Nusantara adalah pada 3000-1500 SM., dan 500 SM. Dikenal dengan Melayu Tua, dan Melayu Baru dengan budaya bahasanya sebagai identitas yang tersebar dari timur ke barat; Pulau Pas sampai ke Madagaskar; dari utara ke selatan Formosa sampai ke Selandia Baru.

Dari persebaran itu mereka menetap di Nusantara dan salah satunya di kepulauan dikawasan Selat Malaka yaitu di pulau-pulau Riau, pesisir dan pulau-pulau Sumatera dan Kalimantan dan pada masanya telah mengembangkan bahasa Melayu kuno di kerajaan Sriwijaya abad 7-14 M. Bukti-buktinya dapat dipelajari dari prasasti, berita asing: Cina, Arab dan Portugis, Belanda dan sebagainya. Seterusnya dilanjutkan abad ke 13 M hingga tahun 1928, dan pada 1945 dikukuhkan sebagai bahasa negara.

Perkembangan budaya dapat diketahui dari sumber tertulis sebagai tertuang dalam hikayat, syair, berbentuk manuskrip yang dapat dipelajari seperti Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Johor, Syair Perang Siak, Hikayat Hang Tuah, dan sebagainya.

Dari sumber-sumber itu dapat dikaji adat dan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya. Masyarakat mengenal tingkatan adat. Tingkatan itu yakni adat sebenar adat, adat yang teradat dan adat yang diadatkan. Dari nilai dapat pula diklasifikasikan: Norma, Nilai, Hukum dan Ketentuan Khusus (lihat Koentjaraningratt, 1987).

Dalam sistem sosial ini sebagai contoh bahwa masyarakat melayu mengenal sistem kekerabatan yang diatur oleh ketentuan adat. Sistem kekerabatan itu dapat diklasifikasikan: Melayu kepulauan, Melayu Pesisir, dan daratan. Adatnya dikenal adat raja-raja (Ketemanggungan) dan adat datuk-datuk, bersuku-suku (Adat Perpatih), dan menganut garis keturunan patrilinal dan matrilinal. Ketentuan adat telah melahirkan suatu masyarakat yang tertib, aman dan damai. Masyarakatnya memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin. Masyarakatnya mengutamakan kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Dalam masyarakat diambil keputusan seperti ungkapan bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat. Sopan santun menurut budi bahasa, mereka yang suka merendah-rendah, mengutamakan harkat dan martabat, marwah, dsb.

Masuknya pengaruh kebudayaan asing ke dalam masyarakat Melayu terutama kebudayaan barat, maka kebudayaan Melayu diperkaya sepanjang memenuhi ketentuan dari kebudayaan Melayu itu. Namun, ada dari unsur kebudayaan barat sangat bertentangan dengan jati diri mereka seperti agama yang dianut tidak sesuai maka mereka mengadakan perjuangan-perjuangan karena nilai-nilai hakiki yang dimiliki telah dirusak, dan mereka kehilangan kemerdekaan. Proses berikutnya menghasilkan kembali setelah diperoleh kemerdekaan dari kekuasaan Belanda, dan kembali dikukuhkan budaya itu sejak 17-08-1945. Sebaliknya kebudayaan Melayu, khususnya bahasa Melayu, merupakana kebudayaan daerah di Riau. Mengingat Orang Riau sebagai bagian bangsa Indonesia maka selama puluhan tahun masyarakat Riau tidak memperoleh kesempatan berperan serta lagi, bahkan menjadi masyarakat yang terpinggirkan. Kondisi itu menimbulkan perjuangan membentuk provinsi otonom dan berhasil sejak 1957. Namun, kondisi sentralistik yang sangat kuat akibatnya masyarakat Riau tetap menjadi masyarakat tersisih.

Era reformasi yang berkembang memberi peluang kepada daerah terutama sejak diterapkannya UU tentang otonomi. Dari sejak penerapan UU itu, daerah Riau sudah kembali kepada jati diri sebagai pendukung budaya Melayu untuk menjadikan budaya Melayu sebagai roh pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan, seperti tertuang pada Perda yang akan disebutkan berikut nanti.

Menurut Stephanus Djawanai (2002) bahwa bahasa Melayu digunakan secara cukup luas sebagai lingua franca demi niaga dan perdagangan dan bahkan demi syiar agama (dari Pasari, ke Minangkabau, ke Jawa, ke Sulawesi, Halmahera, kepala burung Papua), dan pada masa awal kemerdekaan menjadi alat pemersatu dan pembentuk kesadaran berbangsa, maka setelah proklamasi ia dijelmakan, ditransformasikan menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa kebangsaan dan alat perekat kebangsan Indonesia, dan telah dapat membawa bangsa Indonesia sebagai bangsa modern.

Kenyataan pula bahwa penulis bahasa dan sastra Melayu, dan khususnya Melayu Riau yaitu Raja Ali Haji telah berucap dalam karya terkenalnya Gurindam XII pasal ke lima bahwa :

jika hendak mengenal orang yang berbangsa
lihat kepada budi dan bahasa
Singkatnya budi bahasa menunjukkan bangsa

Pada sisi lain bahwa kebudayaan pada intinya berakar pada sistem nilai-nilai yang dianut dan diyakini oleh masyarakatnya.

Kebudayaan Melayu memiliki berbagai nilai-nilai (lihat Tenas dkk, 2002) seperti nilai keterbukaan, kemajemukan, persebatian, tenggang rasa, kegotong-royongan, senasib-sepenanggungan, malu, bertanggung jawab, adil dan benar, berani dan tabah, arif dan bijaksana, musyawarah dan mufakat, memanfaatkan waktu, berpandangan jauh ke depan, rajin dan tekun, nilai amanah, ilmu pengetahuan, Takwa kepada Tuhan, dll.

Dari nilai-nilai itu yang terkait dengan topik ini ialah nilai persebatian, atau persatuan dan kesatuan yang menjadi asas kerukunan hidup antar sesama anggota masyarakat tanpa memandang asal-usulnya. Ungkapan yang sering didengar ialah: bersatu kita teguh bercerai kita rubuh, kebukit sama mendaki dan ke lurah sama menurun, berat sama dipikul ringan sama dijinjing, dsb. Selain itu nilai senasib sepenanggungan. Nilai ini mengutamakan kebersamaan, rasa kasih-mengasihi, saling bertenggang rasa. Terkenal ungkapan: setikar sebantal tidur, sepiring-sepinggan makan, seanak sekemanakan, senenek dan semamak, seadat dan sepusaka atau dikatakan: makan tidak menghabiskan, minum tidak mengeringkan, dsb.

Dari nilai-nilai itu dapat dibuktikan bahwa budaya Melayu mengutamakan persatuan dan kesatuan. Kondisi ini terlihat pula telah terjalin hubungan persahabatan dan kekeluargaan antara berbagai etnik di Indonesia/ Nusantara yang memperkuat satu sama lain, seperti abad 10 M telah terjalin perkawinan antara Melayu dengan Mataram. Pada abad 13 M telah pula terjadi pernikahan antara putri Melayu dengan bangsawan Singosari dan perkawinan itu melahirkan seorang pemimpin Majapahit dan seterusnya menjadi raja Minangkabau yaitu Adityawarman.

Pada abad ke 18 M telah pula terjadi perkawinan antara keturunan Bangsawan Bugis-Makassar yaitu keturunan Daeng Rilakka: Daeng Marewa, Daeng Celak, Daeng Perani, Daeng Kemasik, dan Menambun. Diantaranya telah dibuat sumpah setia Melayu dan Bugis dan hasilnya melahirkan putra-putri Melayu yang sangat berjasa dalam pembakuan bahasa Melayu yaitu Raja Ali Haji bin Raja Ahmad yang menghasilkan puluhan karya bermutu dalam kebahasaan dan kesastraan. Berkat karyanya itu pula bahwa bahasa Melayu mampu menjadi bahasa tulis dengan berbagai aspek bahasa tata bahasa, kamus, dan sastra yang bermutu seperti Gurindam XII tersebut diatas.

Raja Ali Haji dengan pengarang-pengarang lain dari Penyengat Riau telah berhimpun dalam satu organisasi pengarang Melayu disebut Rusydiah Club sekitar tahun 1892 M.

Melalui organisasi ini para pengarang Riau telah memberikan pemikirannya untuk keperluan memperkuat persatuan, dan tujuannya mengangkat pemikiran tentang marwah, harkat dan martabat Melayu sebagai kelompok yang telah mengalami penjajahan dan mereka kehilangan kemerdekaan. Kenyataan ini telah dipelopori oleh Khalid Hitam yang berangkat ke Jepang tahun 1913 M untuk mengadakan pendekatan dalam usaha memberikan pengertian agar Jepang mau dan mampu membantu Melayu menghadapi Belanda supaya Melayu memiliki kemerdekaan (lihat Sejarah Riau, 1977).

Dari kenyataan itu dapat pula disaksikan potensi budaya Melayu yang cukup besar guna memperkuat persatuan dan kesatuan (integrasi) bangsa Indonesia. Apabila potensi itu dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin, maka gejala-gejala disintegrasi yang mengkhawatirkan pada akhir-akhir ini tentu dapat diredam dan sekurang-kurangnya dapat diminimalkan.

Pada masa kini Budaya Melayu justru semakin mengkhawatirkan kita pula karena makin berkembangnya berbagai stereotip yang sangat merugikan dan bahkan memberi dampak negatif yang merugikan kepada pendukung budaya Melayu itu.

Mengingat kondisi itu pula masyarakat peduli dan pemerintah telah menetapkan suatu peraturan daerah yang terkenal dengan Perda Provinsi Riau No. 36 Tahun 2001 tentang Pola Dasar Pembangunan Provinsi Riau Tahun 2001-2005. Menurut Perda tersebut ditetapkan Visi, Misi, Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Daerah.

Visi itu ialah: “Terwujudnya provinsi Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu dalam lingkungan masyarakatt yang agamis, sejahtera lahir dan bathin, di Asia Tenggara tahun 2020”.

Sedangkan Misinya ialah:
1. Mewujudkan masyarkat Riau yang beriman dan bertaqwa, berkualitas, sehat, cerdas, terampil, dan sejahtera serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Meningkatkan peran lembaga pendidikan sekolah maupun luar sekolah guna membentuk karakter, moral, dan etika masyarakat yang agamis.

3. Meningkatkan pelaksanaan penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia serta kehidupan demokratis, guna tercipta masyarakat madani.

4. Mewujudkan dan meningkatkan pembangunan infrastuktur ekonomi, politik dan budaya agar tercipta dan terlaksana pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, pemberdayaan ekonomi rakyat, peningkatan kelembagaan masyarakat serta peningkatan pendapatan daerah.

5. Meningkatkan pembinaan industri, perdagangan dan jasa yang maju didukung oleh agroindustri dan agribisnis.

6. Dst
7. Dst

8. Membina dan mengembangkan kebudayaan Melayu yang mampu mengikuti perkembangan zaman dengan tidak menghilangkan jati diri, sehingga tercipta masyarakat Melayu yang maju, mandiri dan mampu bersaing.

9. Dst

Arah dan kebijakan serta strategi yang akan ditempuh meliputi:
Arah pembangunan antara lain
Pemerintah daerah diharapkan memiliki kemampuan dalam menangani permasalahan sebagai berikut:

1. Kesenjangan antar daerah, antar kota dan desa, antar golongan masyarakat dalam hal pendapatan.
2. Kesenjangan antar pusat dan daerah dalam hal pembagian pendapatan
3. Isu-isu internasional seperti globalisasi, kerjasama ekonomi sub regional perdagangan bebas, lingkungan dan sejenisnya
4. Kesenjangan pembangunan antar sektor
5. Kesenjangan fisik dan non fisik
6. Permasalahan pemerintah daerah yang semakin kompleks baik dari segi kualitas dan kuantitas harus ditangani secara spesifik oleh pemda.

Pelaksanaan dari visi, misi, strategi itu diarahkan kepada lima pilar pembangunan yaitu:
1. Iman dan Taqwa;
2. Sumber Daya Manusia;
3. Perekonomian Kerakyatan;
4. Olahraga dan Kesehatan;
5. Seni Dan Budaya.

Pelaksanaan dari visi, misi, arah dan kebijakan dan strategi serta lima pilar itu secara umum telah mulai kelihatan yaitu ditetapkannya Master Plan Pembangunan Riau. Dengan demikian bahwa di Riau masalah budaya mendapat tempat yang seimbang dengan perekonomian. Mengingat sosialisasi konsep-konsep itu belum menyeluruh maka hasilnya masih mengalami berbagai hambatan dan kelemahan.

Kondisi kini di Riau tentang pembangunan budaya semakin menggembirakan tetapi perlu penajaman program supaya hasilnya sesuai visi, misi, serta ketentuan lain yang telah ditetapkan itu.

Bagian III
Bertolak dari bagian II di atas perlu dikaji kekuatan dan kelemahan, peluang dan ancaman, yang dihadapi Kebudayaan Melayu, baik untuk kepentingan daerah, nasional dan global.

Kekuatan kebudayaan Melayu dalam membentengi rakyat, masyarakat, bangsa dan negara dapat dikaji dari peranan bahasa dan nilai-kebudayaan Melayu secara komprehensif yang telah mampu menjaga keutuhan masyarakat majemuk dan dapat berproses sebagai masyarakat dinamis, menuju masyarakat maju. Pemda Riau telah menetapkan peran kebudayaan Melayu untuk kedepan dalam Perda Provinsi Riau.

Kelemahan budaya Melayu bahwa generasi muda dan kenerasi penerus kurang memahaminya dan menghayati serta mengaplikasikannya sehingga lahir stereotip masyarakat Melayu yang menimbulkan dilema untuk peningkatan produktivitas dan pembinaan lebih lanjut.

Peluang dalam pembinaan cukup besar karena adanya berbagai kajian dan pertemuan baik lokal, nasional, dan internasional sehingga akan memberikan kesempatan pengembangan dan pemanfaatannya dalam pergaulan global. Diantaranya telah disepakati adanya badan-badan, lembaga formal dan non formal yang bergiat untuk keperluan menumbuh-kembangkan kebudayaan Melayu.

Ancaman yang perlu menjadi kewaspadaan ialah bahwa Orang Melayu yang semakin terpinggir dan marginal dalam persaingan lokal, nasional dan internasional.

Bagian IV
Memperhatikan SWOT di atas kiranya secara nasional, lokal dan global menuntut berbagai upaya nyata. Upaya-upaya itu diantaranya ialah:

1. Aplikasi visi, misi nasional dan daerah senantiasa menjadi milik anggota masyarakat secara luas.

2. Dilakukan sosialisasi secara terus-menerus dan berkelanjutan ke tengah-tengah masyarakat tentang konsepsi kebudayaan Melayu itu.

3. Kalangan peminat, pakar, dan praktisi senantiasa bekerja sama dalam menemukan prioritas dan memberikan masukan untuk keperluan kemajuan kebudayaan Melayu.

4. Dunia pendidikan supaya melahirkan kurikulum berdasarkan kompetensi untuk pewarisan kebudayaan itu kepada generasi penerus dan kebudayaan yang komprehensif dapat dijadikan dasar dalam proses pembelajaran.

5. Sumber-sumber dan peninggalan kebudayaan Melayu perlu dipelihara dan diselamatkan dan dapat dijadikan objek sebagai media perkenalan dan penyebaran secara nasional, internasional.

6. Upaya-upaya praktis lainnya perlu digali dan dilaksanakan guna tumbuh dan berkembangnya Kebudayaan Melayu itu.

Bagian V
1. Kebudayaan Melayu telah membuktikan keberadaannya dalam merekat kesadaran nasional dalam negara kesatuan RI di Indonesia.

2. Mengingat kebudayaan itu mempunyai dinamika maka keberadaan kebudayaan Melayu dalam arti luas senantiasa memberikan jati diri secara nasional, dan internasional, terutama bahasanya memerlukan kepedulian secara berkelanjutan dalam pembinaannya.

3. Pembinaan kebudayaan lokal dan nasional perlu terus dibina dan dikembangkan supaya proses integrasi tidak mengalami penurunan yang semakin mengkhawatirkan karena adanya gejala-gejala dis-integrasi bangsa.

4. Pencantuman kebudayan nasional dalam visi, misi, strategi nasional dan daerah perlu ditindaklanjuti dalam propenas dan propeda.

Saran yang dapat diajukan antara lain ialah:
1. Para penyelenggara negara diharapkan mampu mengerti bahwa kebudayaan bukan sub ordinat pembangunan tetapi sebagai ordinat.

2. Pemahaman kebudayaan sebagai ordinat itu perlu dituangkan dalam perencanaan dan penyelenggaraan negara.

3. Dunia pendidikan dapat mengangkat dan mengaplikasikan kebudayaan itu dalam proses pembelajaran.

4. Ungkapan “Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit Dijunjung” agar dapat menjadi kenyataan dalam penyelenggaraan negara supaya integrasi nasional semakin kukuh

5. Pembinaan kebudayaan perlu mendapat porsi pembiayaan yang wajar.

6. Mereka yang ahli dan berprofesi dalam kebudayaan diberi peluang dalam berkarya secara leluasa

7. Budaya Melayu dapat membentengi dalam keterjangkitan penyakit masyarakat, dan untuk itu perlu dimanfaatkan secara optimal.

Bahan Rujukan
Affandi, Rja Mohammad, 1974, Tokoh-Tokoh Melayu yang Agung dalam Sejarah, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementrian Pelajaran Malaysia, Kuala Lumpur.

Ali Akbar, Dt. Pangeran, 1996, Kemittraan Adat Tali Berpilin Tiga Daerah Kampar Riau, Bangkinang.

Alatas, SH, 1988, Mitor Pribumi Malas, Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonialisme, LP3ES, Jakarta.

Abu Hassan Sham, 1980, Diskusi Peristiwa-Peristiwa dari Hikayat Hang Tuah, Sarjana Enterprise, Kuala Lumpur.

Budisantoso, Prof. Dr. ed. dkk, 1986, Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Pemda Tk. I Riau, Pekanbaru.

Bakker, J.W.M.Sj., 1989, Filsafat Kebudayaan sebuah Pengantar, Penerbit Kanisius, BPK Gunung Mulia, Yogyakarta.

Diamond Larry dan Planttner F. Marc, Nasionalisme, Konflik Etnik, dan Demokrasi, Penerbit ITB, 1994

Hamzah Yunus, 2001, Naskah-Naskah Kuno Riau, Penerbit Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Pulau Penyengat dengan Yayasan Sosial Chevron dan Texaco Indonesia.

Hanafi Nollah, Lokman M.Zen, penyunting, 1995, Kebudayaan Melayu di Ambang Abad Baru, Jembatan Persuratan Melayu, UKM, KL.

Husin Ali, S, 1985, Rakyat Melayu, Nasib dan Masa Depannya, Penerbit Inti Sarana Aksara, Malaysia

Koentjaraningrat, 1987, Kebudayaan, Mentaliras dan Pembangunan, PT. Gramedia, Jakarta

Lembaga Adat Daerah Riau, 1991, Adat Istiadat Melayu Riau di Bekas Kerajaan Siak Sri Indrapura, Proyek IDKD Provinsi Riau, Pekanbaru.

-------------------------------------, 1991, Adat Istiadat Dian Upacara Perkawinan di Bekas Kerajaan Pelalawan, Pekanbaru.

Liaw Yock Fang, 1976, Undang-Undang Melaka, The Law of Malaka, The Haque-Martinus Nijhoff, Singapore.

Lukman Sinar, Tengku Basyarsyah II, SH (Sultan Negeri Sedang) dan Wan Syaifuddin, MA, 1987, Kebudayaan Melayu Sumatra Timur, USU, Medan.

Matheson, Virginia, ed, 1982, Tuhfat Al-Nafis, Raja Haji dan Raja Ali Haji, Penerbit Fajar Bakti, SDN.BHD, Kuala Lumpur

Mohd. Taib Osman, 1983, Bunga Rampai Kebudayaan Melayu, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kem, Pelajaran Malaysia, Kuala Lumpur.

Mohammad Yusoff Hashim, 1992, Hikayat Siak, dirawikan oleh Tengku Said, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kem. Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur.

------------------------------------, 1992, Pensejarahan Melayu, Kajian tentang Tradisi Sejarah Melayu Nusantara, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kem. Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur

muchtar Lutfi, Drs. (ed), dkk, 1977, Sejarah Riau, Tim Penyusunan dan Penulisan Sejarah Riau, Pemda Dati I Riau.

Netscher, E., Terj. Wan Ghalib, dkk, 1870, De Nederlanders in Djohor en Siak 1602-1865, Bruining & Wijt, Batavia

Pemda Provinsi Riau, Perda No. 36 tahun 2001 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Provinsi Riau, 2001-2005.

Raja Rulis, dkk, BA, 2000, Pedoman Pemutakhiran Adat Kuantan Singingi, Badan Pemutakhiran Adat Kuantan Singingi, Teluk Kuantan

Rahim Syam dan Norhale, 1985, Mendekati Kebudayaan Melayu, Fajar Bahakti SDN, BHD, Petaling Jaya, Malaysia

Samad Ahmad, A. 1986, Sulatussalatin (Sejarah Melayu), Dewan Bahasa dan Pustaka, Kem. Pel. Malaysia, Kuala Lumpur

Sartono Kartodirdjo, 1987, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900, dari Emporium sampai Imperium, Jilid 1, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta

Sharifah Maznah Syed Omar, 1995, Mitos dan Kelas Penguasa Melayu, Alih Bahasa Dr. Mohammad Diah, M.ed. P2 KBM UNRI, kerjasama UNRI Press, Pekanbaru

Schnitger, F.M., 1991, The Forgotten Kingdoms in Sumatra, Singapore

Soekmono, R.DR. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, 1, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Sumijati AS dkk, editor, Intergasi, Moral Bangsa dan Perubahan, Unit Pengkajian dan Pengembangan Fbud UGM, Sineergi Press, 2002.

Suwardi Ms, Prof, 1991, Budaya Melayu dalam Perjalannya Menuju Masa Depan, Puslit UNRI, Pekanbaru.

----------------, 2001, Adat dan Tradisi Masyarakat Melayu : Jati Diri Menuju Masyarakat Madani (Masa Lampau, Kini, dan Masa Depan), Laporan Penelitian Lemlit Unri, Pekanbaru.

----------------, Rekonstruksi Kontroversi Kepemimpinan Propinsi Riau dari Putra Daerah (Suatu Tinjauan Refleksi dan Perspektif Sejarah), Makalah Seminar Sehari, 11 Juli 1998, LIPI, HIPEMAARI, Jakarta; Tenas Effendy, 1994, Tunjuk Ajar Melayu (butir-butir Budaya Melayu Riau), Dewan Kesenian Riau, Pekanbaru.

----------------, 2000, Pemimpin dalam Ungkapan Melayu, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.

----------------, 1996, Kendala Orang Melayu Menghadapi Globalisasi, Makalah pada Symposium Melayu Dunia, 23-26 September 1996 di Selangor Malaysia

----------------, Keb. Melayu: Kondisi, Potensi, Peranan dalam Menuju Indonesia Baru, Makalah pada Lat II HMI, Pekanbaru, 22-28 Juni 2002.

Wee, Vivienne, 1985, Melayu : Hierarchies of Being in Riau, Thesis Degree PhD, Australian National University

Biodata Singkat
Nama : Suwardi Mohammad Samin
Tempat Tgl Lahir : Sentajo, Kuantan Singingi, 23 Juli 1939
Alamat : Jl. Ali Kelana No. 3 Pekanbaru, Telp. 0761-22941
Pendidikan Terakhir : Sarjana Pendidikan Sejarah IKIP Bandung
Jabatan :
• Struktural Terakhir : Pembantu Rektor IV Unri 1995-1997
• Fungsional : Guru Besar FKIP Unri 1987-2009
• Organisasi Profesi : Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia MSI Cabang Riau, 1975-2005
Karya Ilmiah :
1. Sejarah Riau, 1977
2. Raja Haji Marhum Telok Ketapang Malaka, 1982/83
3. Suman Hs, 1983/84
4. Sejarah Perlawanan Menentang Kolonialisme dan Imperialisme Belanda di Riau, 1984;
5. Sejarah Perjuangan Sultan Syarif Kasim II, 1997
6. Budaya Melayu dalam Perjanannya Menuju Masa Depan, 1991
7. Makalah mengenai sejarah dan budaya di pertemuan lokal, nasional dan internasional.

Makalah ini dibacakan pada “Kongres Kebudayaan” di Bukittinggi, Sumatra Barat