Kawasan Tesso Nilo termasuk dalam provinsi Riau yang memiliki hutan pamah terluas yang tersisa di pulau Sumatera. Hutan pamah ini sudah sangat terancam karena penebangan yang dilakukan oleh perusahaan kayu yang memiliki izin dan adanya penebangan liar yang dilakukan penduduk di sekitar kawasan. Untuk melindungi hutan pamah yang tersisa, kawasan Tesso Nilo akan diusulkan sebagai kawasan lindung. Tetapi informasi keanekaragaman hayati di kawasan ini termasuk keragaman burung masih sangat terbatas. Informasi yang tersedia hanya berasal dari survei singkat yang dilakukan bersamaan dengan survei vegetasi pada tahun 1992 (Gillison 2001). Survei ini bertujuan untuk mengumpulkan data dasar mengenai keragaman burung di Tesso Nilo dan menghitung indeks keragaman jenisnya.
Survei burung ini dilakukan dengan metode tangkap lepas menggunakan jaring kabut dan pengamatan tambahan dan wawancara. Pengambilan data dengan menggunakan jaring kabut diutamakan pada jenis burung semak atau yang hidup di lantai hutan karena mereka termasuk yang sangat rentan terhadap dampak penebangan atau fragmentasi hutan (Ford dan Davison 1995 dalam Lambert dan Collar 2002).
1. Metode tangkap lepas dengan jaring kabut sekitar 9 buah jaring kabut dipasang pada tiga lokasi yaitu dua lokasi di kawasan bekas PT Hutani Sola Lestari (0008.898` LS, 101034.281` BT, 133 m dpl) dengan jarak antar titik 0.5 km dan satu lokasi di kawasan Nanjak Makmur (0010.227` LS, 101040.725` BT, 133.3 m dpl). Ukuran jaring kabut yang digunakan adalah: tinggi 2.6 m, panjang 12 m dan mata jaring berukuran 30 dan 36 mm. Jaring dipasang secara memanjang dengan panjang seluruhnya mencapai 108 m pada setiap lokasi. Pemasangan jaring dilakukan antara pukul 06.00 pagi sampai pukul 18.00 WIB. Lama pemasangan pada lokasi 1 dan 2 masing-masing 25 jam dan pada lokasi 3 selama 26 jam. Jaring dipantau/diperiksa setiap 30 menit atau 60 menit sekali. Burung yang tertangkap jaring diidentifikasi, diukur dan diberi penanda sebelum dilepaskan kembali ke hutan. Koleksi spesimen dilakukan bila jenis yang tertangkap belum dimiliki Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) atau tidak langsung teridentifikasi. Pengumpulan data dilakukan selama kurang lebih 3 hari untuk setiap lokasi yang terpilih.
2. Metode Pengamatan tambahan untuk melengkapi data keragaman jenis burung dilakukan dengan pengamatan tambahan yang tidak berstruktur. Burung yang teramati selama pemasangan jaring dan pada saat tidak melakukan pemasangan jaring dicatat jenis dan jumlahnya.
3. Metode Wawancara dilakukan pada tiga orang penduduk lokal yang berpengalaman dalam menangkap burung atau pun berburu serta memelihara burung. Sebagai panduan dalam melakukan wawancara digunakan buku Burung-burung di Kalimantan, Sumatera, Jawa dan Bali (MacKinnon dkk. 1992).
Hasil metode tangkap lepas dengan jaring kabut, pengamatan tambahan dan wawancara mencatat 107 jenis burung dari 27 famili yaitu Ardeidae, Accipitridae, Phasianidae, Turnicidae, Columbidae, Psittacidae, Strigidae, Cuculidae, Trogonidae, Alcedinidae, Bucerotidae, Capitonidae, Picidae, Eurylaimidae, Pittidae, Apodidae, Pycnonotidae, Aegithalidae, Timaliidae, Sylviidae, Rhipiduridae, Dicaeidae, Nectariniidae, Ploceidae, Sturnidae, Dicruridae dan Corvidae. Pengamatan awal yang dilakukan oleh Rasfianto (dalam Gillison 2001) di kawasan Tesso Nillo mencatat 22 jenis burung dari 17 famili, namun dua jenis diantaranya yaitu Halcyon cyanoventris dan Copsychus delivura diragukan kehadirannya. Halcyon cyanoventris merupakan burung endemik pulau Jawa dan Bali (MacKinnon dkk. 1992). Bila hasil survei ini digabungkan dengan hasil pengamatan Rasfianto (dalam Gillison 2001) maka keragaman burung di kawasan ini mencapai 114 jenis atau 29% dari jumlah jenis burung yang ada di Sumatera.
Bila dilihat dari statusnya, 16 jenis burung yang terdapat di kawasan Tesso Nilo yaitu Elang ular (spilornis cheela), Alap-alap capung (microchierax fringillarius), kuau (argusianus argus), burung udang punggung merah (ceyx rufidorsa), cekakak batu (lacedo pulchella), cekakak cina (halcyon pileata), julang jambul hitam (aceros corrugatus), enggang belukar (anorrhinus galeritus), kangkareng hitam (anthracoceros malayanus), rangkong badak (buceros rhinoceros), rangkong papan (buceros bicornis), burung madu polos (anthreptes simplex), burung madu kelapa (anthreptes malaccensis), burung madu rimba (hypogramma hypogrammicum), pijantung kecil (arachnothera longirostra) dan pijantung kampung (arachnothera crassirostris) dilindungi undang-undang. Sedangkan empidan merah (lophura erythropthalma), sempidan biru (lophura ignita) dan empuloh berkait (setornis criniger) walaupun statusnya sudah diduga rentan (Holmes dan Rombang 2001) tetapi masih belum dilindungi.
Hasil pengamatan tambahan mencatat kehadiran seekor burung beo Sumatra gracula religiosa yang terancam punah. Burung beo tersebut sudah dipelihara selama dua tahun oleh seorang penduduk. Burung tersebut berasal dari anakan yang diambil dari sarang burung di hutan Tesso Nilo. Tetapi pada waktu survei tidak dijumpai seekor pun di alam. Diharapkan dapat dilakukan survei burung yang lebih lama dan meliputi kawasan yang lebih luas untuk mengetahui populasi Beo sumatera di kawasan Tesso Nilo sebelum dinyatakan `punah`.
Secara keseluruhan indeks keragaman burung di kawasan Tesso Nilo sangat tinggi. Masih dijumpainya burung pemangsa puncak seperti Elang ular dan jenis-jenis burung pemakan buah yang mencari makan pada tajuk pohon seperti berbagai jenis rangkong dan pergam (ducula aenea) serta burung pelatuk yang hidup dan mencari makan pada batang pohon, menunjukkan bahwa kondisi kawasan hutan Tesso Nilo masih cukup baik.
Hampir semua jenis burung yang tertangkap di hutan Tesso Nilo merupakan burung yang umum dijumpai di dataran rendah, kecuali burung kipas (rhipidura albicollis). Jenis ini biasanya dijumpai pada ketinggian antara 900 dan 2400 m (MacKinnon dkk. 1992). Karena hutan Tesso Nilo tempat pemasangan jaring terletak pada ketinggian 133.3 m, maka kehadirannya merupakan catatan baru bagi daerah sebaran jenis tersebut.
Hasil wawancara dengan penduduk mencatat 16 jenis burung yang dimanfaatkan yaitu untuk dikonsumsi dan untuk dipelihara atau dijual sebagai satwa piaraan (Table 5). Perburuan burung untuk dijual sebagai satwa piaraan terutama untuk beo Sumatra, nuri, betet dan serindit diinformasikan pernah marak. Pengambilan dari alam yang intensif ini diduga menjadi penyebab kelangkaan jenis-jenis tersebut terutama beo Sumatra.
Kesimpulan :
1. Kondisi kawasan Tesso Nilo masih baik untuk mendukung kehidupan berbagai jenis burung yang ditunjukkan oleh nilai indeks keragaman yang tinggi.
2. Keberadaan 16 jenis burung langka dan dilindungi menunjukkan bahwa kawasan Tesso Nilo mempunyai nilai konservasi yang tinggi.
3. Kerusakan hutan, fragmentasi hutan dan perburuan intensif menjadi ancaman utama bagi kelestarian burung di Tesso Nilo.
Sumber : www.wwf.or.id/tessonilo
Survei burung ini dilakukan dengan metode tangkap lepas menggunakan jaring kabut dan pengamatan tambahan dan wawancara. Pengambilan data dengan menggunakan jaring kabut diutamakan pada jenis burung semak atau yang hidup di lantai hutan karena mereka termasuk yang sangat rentan terhadap dampak penebangan atau fragmentasi hutan (Ford dan Davison 1995 dalam Lambert dan Collar 2002).
1. Metode tangkap lepas dengan jaring kabut sekitar 9 buah jaring kabut dipasang pada tiga lokasi yaitu dua lokasi di kawasan bekas PT Hutani Sola Lestari (0008.898` LS, 101034.281` BT, 133 m dpl) dengan jarak antar titik 0.5 km dan satu lokasi di kawasan Nanjak Makmur (0010.227` LS, 101040.725` BT, 133.3 m dpl). Ukuran jaring kabut yang digunakan adalah: tinggi 2.6 m, panjang 12 m dan mata jaring berukuran 30 dan 36 mm. Jaring dipasang secara memanjang dengan panjang seluruhnya mencapai 108 m pada setiap lokasi. Pemasangan jaring dilakukan antara pukul 06.00 pagi sampai pukul 18.00 WIB. Lama pemasangan pada lokasi 1 dan 2 masing-masing 25 jam dan pada lokasi 3 selama 26 jam. Jaring dipantau/diperiksa setiap 30 menit atau 60 menit sekali. Burung yang tertangkap jaring diidentifikasi, diukur dan diberi penanda sebelum dilepaskan kembali ke hutan. Koleksi spesimen dilakukan bila jenis yang tertangkap belum dimiliki Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) atau tidak langsung teridentifikasi. Pengumpulan data dilakukan selama kurang lebih 3 hari untuk setiap lokasi yang terpilih.
2. Metode Pengamatan tambahan untuk melengkapi data keragaman jenis burung dilakukan dengan pengamatan tambahan yang tidak berstruktur. Burung yang teramati selama pemasangan jaring dan pada saat tidak melakukan pemasangan jaring dicatat jenis dan jumlahnya.
3. Metode Wawancara dilakukan pada tiga orang penduduk lokal yang berpengalaman dalam menangkap burung atau pun berburu serta memelihara burung. Sebagai panduan dalam melakukan wawancara digunakan buku Burung-burung di Kalimantan, Sumatera, Jawa dan Bali (MacKinnon dkk. 1992).
Hasil metode tangkap lepas dengan jaring kabut, pengamatan tambahan dan wawancara mencatat 107 jenis burung dari 27 famili yaitu Ardeidae, Accipitridae, Phasianidae, Turnicidae, Columbidae, Psittacidae, Strigidae, Cuculidae, Trogonidae, Alcedinidae, Bucerotidae, Capitonidae, Picidae, Eurylaimidae, Pittidae, Apodidae, Pycnonotidae, Aegithalidae, Timaliidae, Sylviidae, Rhipiduridae, Dicaeidae, Nectariniidae, Ploceidae, Sturnidae, Dicruridae dan Corvidae. Pengamatan awal yang dilakukan oleh Rasfianto (dalam Gillison 2001) di kawasan Tesso Nillo mencatat 22 jenis burung dari 17 famili, namun dua jenis diantaranya yaitu Halcyon cyanoventris dan Copsychus delivura diragukan kehadirannya. Halcyon cyanoventris merupakan burung endemik pulau Jawa dan Bali (MacKinnon dkk. 1992). Bila hasil survei ini digabungkan dengan hasil pengamatan Rasfianto (dalam Gillison 2001) maka keragaman burung di kawasan ini mencapai 114 jenis atau 29% dari jumlah jenis burung yang ada di Sumatera.
Bila dilihat dari statusnya, 16 jenis burung yang terdapat di kawasan Tesso Nilo yaitu Elang ular (spilornis cheela), Alap-alap capung (microchierax fringillarius), kuau (argusianus argus), burung udang punggung merah (ceyx rufidorsa), cekakak batu (lacedo pulchella), cekakak cina (halcyon pileata), julang jambul hitam (aceros corrugatus), enggang belukar (anorrhinus galeritus), kangkareng hitam (anthracoceros malayanus), rangkong badak (buceros rhinoceros), rangkong papan (buceros bicornis), burung madu polos (anthreptes simplex), burung madu kelapa (anthreptes malaccensis), burung madu rimba (hypogramma hypogrammicum), pijantung kecil (arachnothera longirostra) dan pijantung kampung (arachnothera crassirostris) dilindungi undang-undang. Sedangkan empidan merah (lophura erythropthalma), sempidan biru (lophura ignita) dan empuloh berkait (setornis criniger) walaupun statusnya sudah diduga rentan (Holmes dan Rombang 2001) tetapi masih belum dilindungi.
Hasil pengamatan tambahan mencatat kehadiran seekor burung beo Sumatra gracula religiosa yang terancam punah. Burung beo tersebut sudah dipelihara selama dua tahun oleh seorang penduduk. Burung tersebut berasal dari anakan yang diambil dari sarang burung di hutan Tesso Nilo. Tetapi pada waktu survei tidak dijumpai seekor pun di alam. Diharapkan dapat dilakukan survei burung yang lebih lama dan meliputi kawasan yang lebih luas untuk mengetahui populasi Beo sumatera di kawasan Tesso Nilo sebelum dinyatakan `punah`.
Secara keseluruhan indeks keragaman burung di kawasan Tesso Nilo sangat tinggi. Masih dijumpainya burung pemangsa puncak seperti Elang ular dan jenis-jenis burung pemakan buah yang mencari makan pada tajuk pohon seperti berbagai jenis rangkong dan pergam (ducula aenea) serta burung pelatuk yang hidup dan mencari makan pada batang pohon, menunjukkan bahwa kondisi kawasan hutan Tesso Nilo masih cukup baik.
Hampir semua jenis burung yang tertangkap di hutan Tesso Nilo merupakan burung yang umum dijumpai di dataran rendah, kecuali burung kipas (rhipidura albicollis). Jenis ini biasanya dijumpai pada ketinggian antara 900 dan 2400 m (MacKinnon dkk. 1992). Karena hutan Tesso Nilo tempat pemasangan jaring terletak pada ketinggian 133.3 m, maka kehadirannya merupakan catatan baru bagi daerah sebaran jenis tersebut.
Hasil wawancara dengan penduduk mencatat 16 jenis burung yang dimanfaatkan yaitu untuk dikonsumsi dan untuk dipelihara atau dijual sebagai satwa piaraan (Table 5). Perburuan burung untuk dijual sebagai satwa piaraan terutama untuk beo Sumatra, nuri, betet dan serindit diinformasikan pernah marak. Pengambilan dari alam yang intensif ini diduga menjadi penyebab kelangkaan jenis-jenis tersebut terutama beo Sumatra.
Kesimpulan :
1. Kondisi kawasan Tesso Nilo masih baik untuk mendukung kehidupan berbagai jenis burung yang ditunjukkan oleh nilai indeks keragaman yang tinggi.
2. Keberadaan 16 jenis burung langka dan dilindungi menunjukkan bahwa kawasan Tesso Nilo mempunyai nilai konservasi yang tinggi.
3. Kerusakan hutan, fragmentasi hutan dan perburuan intensif menjadi ancaman utama bagi kelestarian burung di Tesso Nilo.
Sumber : www.wwf.or.id/tessonilo