Jatuh Bangunnya Kearifan Lokal Maluku Dalam Tantangan Pluralisme dan Demokrasi di Indonesia

Oleh : Thamrin Ely

“Sepeda yang tidak dikayuh akan berhenti atau jatuh, maka harus dikayuh agar bergerak maju ” (Ruud FM Lubbers)

Mengkritisi peran Protestantisme di Indonesia dengan topik “Jatuh bangunnya kearifan lokal Maluku dalam tantangan pluralisme dan demokrasi di Indonesia”, dalam sebuah seminar seperti ini di Ambon, bagi seorang muslim bukan saja sebuah kesempatan tapi sekaligus juga dilema.

Betapa tidak, kesempatan karena dengan begitu kita semua mendapat peluang untuk bercermin tentang relasi sosial dan citra diri masing-masing satu terhadap lainnya (dalam hal ini Islam dan Kristen/Protestan).

Dilema karena dengan membedah fenomena ini, tidak semua kita bisa memahaminya secara nuchter, atau bisa juga dimanfaatkan pihak lain untuk memancing reaksi emosional, memprovokasi atau bahkan pembicaranya dituduh sebagai provokator. Stereotip orang Maluku yang emosional, suka marah, agresif dan kasar (Suwarsih Warnaen : 2002) adalah lahan empuk bagi operasi provokasi.

Puji syukur kepada Upulahataala bahwa dengan menghadirkan pembicara-pembicara muslim di forum Kristiani seperti ini kita telah memasuki wilayah dialogis yang intelektual, sebuah situasi yang paradoksal dengan konflik kekerasan yang physicly selama ini. Tentu saja akan elok bila ada gagasan semacam ini yang diprakarsai intelektual muslim Maluku, menghadirkan pembicara Kristen di forum tentang Islamisme misalnya, Insyaallah. Paling tidak, langkah penguatan masyarakat (civil society) harus dilakukan secara simultan dan bersama-sama.

Seperti analogi Minister van Staat/mantan Perdana Menteri Belanda Ruud Lubbers yang dikutip pada awal kertas ini, sepeda yang dikayuh tentu akan bergerak maju. Apatah lagi jika sepeda itu sepeda tandem yang dikayuh banyak orang akan lebih cepat lagi bergeraknya. Sebaliknya jika tidak dikayuh, akan berhenti atau jatuh.

Kebudayaan Maluku
Pada umumnya orang Maluku Tengah percaya bahwa mereka berasal dari Nunusaku di Nusa Ina. Artinya mereka mengaku sebagai pendukung kebudayaan yang satu atau sama.

Pada tahap ini kita tidak perlu memberikan penilaian apakah kebudayaan awal ini tinggi atau rendah. Karena tinggi atau rendahnya sebuah kebudayaan tidak bisa dinilai dengan membandingkannya dengan kebudayaan lain, tetapi harus diukur berdasarkan nilai-nilai yang hidup pada kebudayaan itu sendiri (verstechen). Tidak perlu pula jika hanya untuk kepentingan mobilisasi politik lalu dikatakan bahwa kebudayaan Maluku adalah pangkal kebudayaan dunia (Maluku uber alles). Cukuplah jika oleh pendukungnya, kebudayaan itu dianggap sebagai sesuatu yang benar sebagai patokan untuk menentukan mana yang benar atau salah, mana yang bisa atau terlarang. Toh tidak ada kebudayaan yang statis (Mus Huliselan : 2001). Orang mau ngomong apa, ternyata kebudayaan awal itu telah mewariskan kepada kita kearifan lokal (local wisdom) seperti Patasiwa-Patalima, Saniri, Masohi, dan lain-lain yang pada dasarnya menunjukkan ciri kemajemukan dan demokrasi.

Kalau kemudian Maluku hanya sekedar dilihat sebagai konsep geopolitik atau bahkan administrasi pemerintahan saja, dan bukan konsep kebudayaan, ini jangan dicari kesalahannya pada orang lain.

Datangnya Agama-agama Samawi
Mestinya kesadaran akan kemajemukan Maluku ini lebih meningkat ketika terjadi perjumpaan dengan budaya lain yang membawa misi “langit”. Karena agama-agama samawi itu memiliki Tuhan yang sama yang ternyata sangat otonom tetapi tidak otoriter, Tuhan yang demokratis karena menciptakan kemajemukan awal.

Sejarah mencatat, tidak terjadi apa-apa ketika Islam yang dibawa oleh pedagang dan pendakwah Melayu dari pantai Utara Jawa datang disini pada pertengahan abad 15. Mungkin karena tidak ada saingan yang berarti, dan tidak didukung oleh bentuk kekuasaan formal yang ekspansif.

Kemajemukan mulai mendapat ujian ketika Kristen datang dibawa kolonial Eropa pada abad 16. Islam dan Kristen, Melayu dan Eropa berinteraksi dan tidak jarang berbenturan di Maluku. Karya pribumi tua Hikayat Tanah Hitu yang ditulis dengan huruf Arab dialek Melayu secara gamblang melukiskan perjumpaan Islam dan Kristen (sering ditulis kafir) pada awal kedatangan kolonialis di Maluku. Pada Alkissah XX surat 35 dari Hikayat Tanah Hitu tercatat antara lain “Dan menang kafir kepada Islampun demikian lagi, karena perang sabil di tanah Ambon itu tujuh puluh tahun dari pada perang Don Duarde sehingga datang perang Antoni Furtado”. Kristen dengan mudah menyebar karena dukungan kekuasaan formal dan dengan strategi perluasan wilayah. Banyak negeri-negeri Islam yang kemudian menjadi Kristen. Salah satu kapata (sastra bertutur) dalam bahasa Uli Hatuhaha yang masih hidup sampai sekarang menggambarkan episode sejarah tersebut :

Henamasa Waia isi loto Hunimua o
Isi uri tasibeha salane kutika o
Isi pa – olo ruma – o rumasinggi sopa – o
Epaune siresi kiberatua irarolo – o
Upu ana – e upu ana – e masu-masu sokia upu – ana – e
Wele-wele uria isi wele-wele
Mai hanu hiti imi oi lotoing sopa – e
Waia isi tatou Hitu – a

Artinya
Di zaman dulu orang Wai tinggal di Hunimua
Setiap saat mereka berdoa memuji nama Tuhan (bertasbih)
Mereka juga membangun masjid yang sangat diagungkan
Masjid itu menaungi orang di waktu sembahyang
Selalu mereka membangunkan keluarganya bila Murai telah berkicau
Mereka dipanggil untuk pergi sembahyang bila terdengar azan subuh
Segera mereka bangun dan menuju masjid
Agama mereka seperti orang Hitu (agama Islam)
(Maryam RL Lestaluhu : 1987)

Orang Waai akhirnya menjadi Kristen.
Seorang vicaris muda Daniel Wattimanela asal Waai ketika mempertahankan tesis S2-nya di Universitas Satya Wacana Salatiga mengatakan bahwa tesis tersebut ditulis dalam semangat seorang muslim Waai yang menjadi Kristen karena proses kolonialisasi Barat.

Ada sesuatu yang getir terasa ketika Daniel mengucapkan itu, tapi sekaligus menyiratkan kesadaran sejarah masa lalu yang perlu dipahami generasi sekarang. Bukan untuk mengorek luka lama, tetapi untuk lebih meneguhkan keyakinan kita bahwa Islam yang menjadi Kristen karena proses kolonialisasi itu berlaku atas objek yang sama, orang Maluku.

Kapata lain dari jazirah Leihitu juga melukiskan bagaimana Kristenisasi terhadap desa Halong berlangsung :

Topu kelane, haria topu kelane
Topu Isilame, haria topu kelane
Halonga Isilame, jadi Halonga Nasarane
Topu Isilame, haria topu kelane

Artinya :
Peganglah erat-erat, mari pegang erat-erat
Pegang agama Islam, mari pegang erat-erat
Karena Halong yang Islam, jadi Halong Nasrani
Pegang agama Islam, mari pegang erat-erat
(M Amin Ely : 1982)

Agak berbeda misalnya dengan negeri Iha yang muslim, yang memilih pindah dengan damai meninggalkan saudara-saudaranya yang ingin memeluk Kristen. Tindakan ini bisa ditafsirkan sebagai toleransi, atau juga merupakan pencerminan dari sikap saling menghargai keyakinan yang dipilih, dan karena itu mengakui perbedaan dan kemajemukan.

Tapi, ketika Hongie Tochten dilaksanakan justeru para pendayung kora-kora yang adalah orang Kristen Maluku ikut meluluhlantakan kebun-kebun cengkeh saudaranya yang muslim atas desakan pemerintah kolonial Belanda (Jacky Manuputty dan Daniel Wattimanela : 2004)

Superioritas Kristen Maluku
Fasilitas dan pendidikan kemudian menjadikan orang Kristen Maluku sebagai anak emas meraih posisi-posisi kunci dan hak-hak istimewa ditengah masyarakat Maluku, khususnya di lapisan birokrasi pemerintahan (Nico Schulte Nordholt : 2000). Di lain pihak, hal itu juga menimbulkan rasa superioritas orang Kristen Maluku yang menganggap dirinya lebih tinggi ketimbang sesama orang Indonesia lainnya bahkan mendambakan kesederajatan dengan orang Eropa (Richard Chauvel : 1985).

Wajar saja kalau sikap superior itu terjadi jika melihat bahwa melalui pendidikan sebagai langkah menuju proses modernisasi memang diawali oleh Orang Kristen, lepas dari soal siapa yang memfasilitasinya. Orang Kristen Ambonlah yang memasuki De Ambonsche Borgerschool, menjadi ambtenaar, pendeta, menerbitkan koran, dan masuk anggota KNIL (kecuali Ahmad Lekawa dari Manipa alias Kapitan Jongker). Bahkan orang Kristenlah yang karena pendidikan, pertama kali bersentuhan dengan ideologi-ideologi besar, seperti komunisme, nasionalisme dan lain-lain.

Nama-nama yang patut disebut disini ialah K (Karel?) Holle anak pendeta Jonathan Holle asal Ameth Nusalaut yang menjadi pentolan CC PKI setelah gagal mengikuti sekolah pendeta seperti harapan bapaknya (Anton E Lucas : 1989). Lalu ada M Sapiya seorang militer yang diusulkan PKI untuk menjadi anggota Konstituante (M Amin Ely : 1982), serta Christian Latuputty seorang pelukis Lekra (onderbouw PKI). Dari merekalah doktrin kontradiksi permanen sebagaimana diajarkan komunisme diterapkan di Maluku melalui kepahlawanan Kapitan Pattimura. M Sapiya menulis buku yang dipakai sebagai bahan rujukan untuk menetapkan Pattimura alias Thomas Matulessy sebagai pahlawan nasional, dan Christian Latuputty melukis tokoh Pattimura. Mereka semua sudah meninggal, dan kita orang Islam dan Kristen masih memperdebatkan tentang Kapitan Pattimura.

Nama-nama yang menonjol sebagai penganut nasionalisme Indonesia juga adalah tokoh-tokoh Kristen seperti Alexander Jacob Patty, E U Pupella, Wim Reawaru Ot Pattimapau, Latuharhary dan Jo Leimena. Kalau pada awal kemerdekaan dan pengisian posisi di kabinet Republik Indonesia, terlihat beberapa tokoh Kristen Maluku seperti Pelupessy, Putuhena, Leimena dan Siwabessy mendapat tempat, itu bukan semata-mata karena keinginan untuk mengakomodasi kepentingan minoritas tapi lebih kepada sikap toleransi dan merit system.

RMS dan Hegemoni
Lalu, kenapa harus muncul Republik Maluku Selatan? Richard Chauvel (1985) menyebutkan bahwa : “Mengenai hubungan antara kedua masyarakat agama, RMS sebetulnya merupakan suatu usaha untuk mempertahankan dominasi Kristen dalam masyarakat Ambon. Pada waktu itu, desas-desus yang disebarkan Soumokil seolah-olah ada paksaan untuk pindah masuk Islam, langsung mengena pada rasa takut orang Kristen yang telah berakar, bahwa mereka akan tenggelam ditengah-tengah mayoritas Indonesia yang Islam”

Hegemoni ternyata merupakan kata kunci yang sangat menentukan dan harus dipertahankan dalam pandangan orang Kristen Maluku. Hal ini sangat gamblang terlihat pada sikap AN. Radjawane (1964) yang melihat bahwa toleransi serta kerukunan yang berlebih-lebihan sangat menghambat upaya Kristenisasi terhadap kalangan Islam, malah menganjurkan konfrontasi. Kata Radjawane : “Gereja haruslah menekankan kepada anggota akan tugas pekabaran injil di kalangan Islam, tantangan Islam yang mengancam Kekristenan di Maluku haruslah dihidupkan lebih dahulu diantara anggota jemaat”. Ditambah lagi dengan politik aliran yang ditawarkan Latumahina agar orang Kristen terjun berpolitik serta mendukung pemerintah sesuai amanat Roma 13, tetapi menolak bekerjasama dengan orang-orang Islam (Jan S Aritonang : 2004). Maka lengkaplah proses-proses sejarah ini terakumulasi dalam memori kolektif masyarakat kita, yang kemudian mengekspresikannya pada momentum yang muncul belakangan. Timbullah pertanyaan, kemanakah kearifan-kearifan lokal yang diwariskan para leluhur kepada kita?

Konflik Kekerasan
Sering dikatakan bahwa konflik adalah sesuatu yang logic, alamiah dan inheren dengan proses dinamika kemajemukan dan demokrasi. Tapi konflik kekerasan telah memanfaatkan energi destruktif untuk menghancurkan kemajemukan dan demokrasi itu sendiri, baik secara alamiah ataupun melalui social engineering dan provokasi. Hasilnya ialah hancurnya hasil-hasil pembangunan, jatuhnya korban jiwa, rusaknya relasi sosial, tercemarnya alam pikiran dan tereduksinya karya ketuhanan.

Nasr Abu Zaid (2000), seorang intelektual muslim yang terusir dari Mesir dan sekarang mengajar di Universitas Leiden pernah berkata : “Teliti konteks sosial setiap konflik. Jangan tertipu seakan-akan itu persoalan religius. Lihat yang terselubung, jangan hanya yang tampak oleh mata”. Dalam konteks Maluku selama ini kita tidak pernah berusaha mendapat jawaban atas pertanyaan, siapa yang mendapat keuntungan dari konflik ini, baik secara politik maupun ekonomi dan sebagainya. Kita tidak pernah peduli dengan anatomi gerakan dan jumlah manusia yang menjadi korban. Kita masih tetap asyik dengan memperbincangkan perbedaan, padahal dalam masyarakat multikultural yang mengglobal dewasa ini isu-isu perbedaan tidak relevan lagi. Sebaliknya yang laku adalah isu kemanusiaan, kesejahteraan, keadilan, demokrasi, persamaan hak, kebebasan dan tanggung jawab, serta isu kesempatan yang sama.

Demikianlah, saya tidak ingin buru-buru membuat kesimpulan sebelum mendengarkan tanggapan, dan rumusan kesimpulan nanti adalah hasil dari dialog kita semua.

Makalah ini disampaikan pada Seminar Protestantisme oleh GPI di Ambon 26 Februari 2005
Thamrin Ely, adalah Ketua Delegasi Muslim pada Pertemuan Maluku di Malino 11-12 Februari 2002