Identitas dan Nasionalitas dalam Sastra Indonesia

Oleh : Aprinus Salam

Pengantar
Identitas dan nasionalitas merupakan faktor penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Faktor yang menyebabkannya penting karena identitas dan nasionalitas secara teoretis merupakan unsur utama dalam menyangga keberlangsungan kehidupan berbangsa. Pernyataan itu berangkat dari satu pengandaian teoretis bahwa "kecintaan" dan perasaan "memiliki" seseorang kepada masyarakat dan bangsanya, bergantung pada bagaimana seseorang mendefinisikan dan mengidentifikasi dirinya, suatu konsep identitas yang sepenuhnya imajiner, terhadap lingkungan sosialnya. "Rumusan" seseorang dalam mendefinisikan dan mengidentifikasi diri tersebut, memberi implikasi langsung bagaimana seseorang mempraktikkan dirinya dalam kehidupan sosial, politik, atau dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Itulah sebabnya, suatu kajian tentang identifikasi terhadap identitas seseorang/masyarakat dirasakan sangat penting. Kajian itu, diharapkan pula meliputi proses-proses konsolidasi apa saja yang menyebabkan seseorang merasa memiliki atau tidak memiliki identitas, wacana-wacana apa saja yang dimanfaatkan sebagai sarana pembentuk identitas, dan di atas semua itu, bagaimana keterkaitannya dengan nasionalitas. Pembicaraan ini secara khusus mengkaji persoalan identitas dan nasionalitas dalam beberapa karya sastra (novel) Indonesia dan hanya diambil beberapa saja yang dianggap mewakili satu "konteks" zaman.

Untuk sekedar memberi gambaran akan pentingnya masalah ini, paling tidak telah ada beberapa kajian yang telah menguraikan masalah nasionalitas. Keith Foulcher (1991) pernah menganalisis masalah nasionalisme dalam sastra Pujangga Baru (1933-1941). Foulcher memfokuskan kajiannya pada usaha perjuangan mencari bentuk nasionalisme yang ideal pada masa-masa tersebut yang direpresentasikan dalam karya-karya Pujangga Baru. Ahmad Sahal (1994) membicarakan nasionalisme sebagai satu sikap perlawanan terhadap narasi nasionalisme yang lebih mapan (kolonial). Kajian Sahal difokuskan terhadap karya Toer, yaitu Rumah Kaca.

Hilmar Farid (1994) juga pernah menulis masalah nasionalisme dalam sastra Indonesia. Akan tetapi, fokus kajian Farid lebih pada proses-proses peranan penciptaan bahasa sebagai salah satu pengikat nasionalisme Indonesia. Di samping itu, pendekatan Farid dalam tulisan tersebut lebih berat pada pendekatan sejarah. Faruk (1994) menulis masalah nasionalisme sebagai respons terhadap tulisan Foulcher. Tidak berbeda dengan Foulcher, Faruk mengkaji data-data sastra pada masa Pujangga Baru. Beberapa tulisan tersebut, tidak secara khusus mengeksplorasi masalah identitas tokoh-tokoh dalam karya sastra dan kaitannya dengan masalah nasionalitas. Di samping itu, data-data yang dikaji dalam penelitian di atas belum meliputi data-data kesastraan setelah tahun 1990-an. Dengan demikian, diharapkan tulisan ini akan memberikan perspektif dan analisis yang berbeda dengan tulisan-tulisan sebelumnya.

Dalam permasalahan di atas, Bhabha mengatakan bahwa acuan tentang identitas personal pada dasarnya tidak jelas, untuk mengatakan tidak ada. Sejauh yang terjadi, seseorang dalam mempersepsi identitas dirinya merupakan konstruksi sosial, misalnya institusi-institusi sosial-politik tertentu, seperti agama, etnisitas, bahasa, ras, kelas-kelas kepentingan, bahkan nation, yang oleh Timothy Brennan tidak lebih semacam kelas kepentingan yang lebih canggih (1994), ataupun kelompok kepentingan lainnya. Konstruksi sosial tersebut sangat mungkin saling bertentangan sehingga tidak jarang seseorang mengalami ambiguitas disebabkan mengalami proses institusionalisasi yang berjalan secara paralel dan/atau bersamaan. Itulah sebabnya, tidak jarang seseorang berada dalam posisi serba perbatasan, peniruan yang serba tanggung atau mimikri dalam konsep Bhaba (1994), atau dalam kejadian lain seseorang memiliki multi-identitas. Dalam masyarakat posmodern, wacana multiidentitas tersebut menyebabkan seseorang membangun sekat-sekat imajiner, untuk mempertahankan identitas dirinya, secara individual. Sekat-sekat imajiner individual tersebut memberikan hubungan yang problematik dengan nasionalisme.

Dari "Rumah" ke Identitas
Nasionalitas, etnisitas, ideologi, mungkin ada referensinya, tetapi identitas personal tidak. Bagaimana identitas personal diperoleh? Ada semacam dugaan bahwa mungkin rumahlah yang memberi seseorang perasaan beridentitas secara pribadi, sesuatu yang lebih kongkrit. Rumah yang membuat seseorang kerasan, yang membuat seseorang kangen. Peristiwa-peristiwa tertentu dalam rumah, bergurau dengan keluarga, selalu menjadi bagian penting dalam hidup seseorang. Kalau seseorang pergi ke mana saja, rumahlah yang menyebabkannya pulang. Tidak jarang, rumahlah yang sering membuat seseorang bermimpi. Kata sebuah pepatah there is no place like home. Rumah yang memberi perlindungan dan rasa aman. Akan tetapi, apakah rumah itu? Dalam pengertian luas, rumah adalah sebuah tempat yang diproduksi menjadi rumah, dalam pengertian luas, dan dengan itu kita menjadi bagian dalam dari rumah itu.

Sejumlah tokoh utama dalam novel-novel Balai Pustaka memperlihatkan bahwa, dalam prosesnya, ia menjadi orang asing (foreigners ) di rumahnya sendiri. Tokoh utama dalam Siti Nurbaya (SN), Salah Asuhan (SA), Samsul Bahri atau Hanafi, menjadi tidak betah dan kurang cocok di lingkungan dan adat istiadat setempat (asalnya). Memang, yang perlu diperhatikan adalah perasaan tidak kerasan itu setelah sebagian dari tokoh-tokoh dalam cerita itu mengenal/ke luar dari desanya, dan di kemudian hari, melihat dan mencoba memposisikan kembali dirinya di rumah dan kampungnya. Berikut dikutipkan tiga hal perihal Hanafi dalam SA.

....Pada Hanafi sudah nyata tak ada keteguhan hati di dalam agamanya, sedang bangsanya sendiri pun sudah dibelakanginya (h. 52)
.... Hanafi menyumpahi dirinya, karena ia dilahirkan sebagaiBumiputra! (h. 53.)
.... Bukanlah ia seketika sudah memuliakan bangsanya dan meninggikan derajat Bumiputra, tetapi ia tak suka memberi kepada siapapun juga di luar kaum bangsa itu, buat menghinakannya dengan tidak memberi alasan (h. 57)
.... "Anak itu lama di rantau orang, disangkanya mudah saja ia mengubah adat kita." (h. 71).
Pertanyaannya, di mana Hanafi?

Proses apa yang menyebabkan seseorang tergusur dari rumahnya, dari dalam dirinya sendiri atau dari luar, atau dari luar kemudian menjadi dalam dirinya sendiri. Seseorang menjadi orang luar ketika ia tidak diterima oleh wacana dominan tentang konsep rumah dalam suatu tempat tertentu. Proses-proses yang menyebabkan seorang menjadi orang dalam dan orang luar, adalah proses-proses konsolidasi yang dilakukan oleh institusi-institusi tertentu (kelas atau kelompok-kelompok kepentingan), berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai tertentu, ataupun pengetahuan tertentu, atau bahkan seperti partai-partai atau lembaga-lembaga tertentu, sehingga seseorang menjadi tersubjeksi oleh proses konsolidasi tersebut (Untuk keterangan ini lihat konsep Althusser dalam Fairclough, 1992: 30-33, 86-95; Storey, 1993: 110-113; Belsey, 1980: 56-62). Dengan demikian, definisi tentang menjadi orang luar atau orang dalam itu selalu berubah, serba bergantung kepada sudut pandang posisi tempat orang luar dan atau orang dalam.

Dalam hal di atas, terjadi proses tawar-menawar, apakah ia harus kembali menjadi orang dalam, atau tetap di luar. Tawar-menawar itu demikian keras dan mungkin sulit dipertemukan. Jika Hanafi orang luar sesuatu, tentu seharusnya ia orang dalam sesuatu yang lain. Sementara itu, ternyata ia juga tidak/belum diterima menjadi orang dalamnya orang luar itu. Di sinilah problematikanya, Hanafi berada dalam serba perbatasan, ia menjadi sesuatu yang ambivalen. Ia tidak/belum masuk ke satu inside tertentu. Sebagai contoh, dikutipkan teks berikut dalam SN.

... Seorang dari anak muda ini, ialah seorang anak laki-laki, yang umurnya kira-kira 18 tahun. Pakaiannya baju jas tutup putih dan celana pendek hitam, ..... . Topinya topi rumput putih, yang biasa dipakai bangsa Belanda. ... (h. 9).

... Jika dipandang dari jauh, tentulah akan disangka, anak muda ini seorang anak Belanda, yang hendak pulang dari sekolah. Tetapi jika dilihat dari dekat, nyatalah ia bukan bangsa Eropa; karena kulitnya kuning sebagai kulit langsat, rambut dan matanya hitam sebagai dawat. ...(h. 9).
.... Teman anak muda ini, ialah seorang anak perempuan yang umurnya kira-kira 15 tahun. Pakaian gadis ini pun sebagai pakaian anak Belanda. ... (h. 9).

.... Menurut bangun tubuh, warna kulit dan perhiasan gadis ini, nyatalah ia bangsa anak negeri di sana; anak orang kaya atau orang yang berpangkat tinggi. ... (h. 10).

Akan tetapi, jika berangkat dari kemungkinan ideologi pengarang, tampaknya Moeis berpihak pada inside adat-istiadat dan kampung halamannya. Mungkin pembaca juga "digiring" untuk tidak menyukai orang seperti Hanafi. Seseorang yang pandangan dan gaya hidupnya sudah kebelanda-belandaan, bangsa penjajah. Di sini Moeis bermaksud membangun sikap nasionalisme dan antikolonial. Hanya, proses konsolidasi yang memenangkan pertarungan itu bukan atas nama bangsa, tetapi konsolidasi atas nama agama (Islam).

Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang mencoba melihat situasi di atas berpihak pada orang luarnya SN, dengan representasi Tuti dan Yusuf, sebagai pilihan rumah psikologis dan rasionalnya (bahkan di masa depan), seperti diceritakannya secara panjang lebar dalam Layar Terkembang (LT). STA tampaknya tidak berangkat atas nama agama, tetapi lebih atas nama rasionalisme (tentu karena ia berkenalan dan berkat konstruksi "pendidikan modernnya"). Diceritakan dalam novel itu, Tuti yang progresif, rasional, emansipatif, efektif, sesuatu yang berlawanan dengan sifat-sifat Maria. Melihat LT yang rasional kebarat-baratan (dari sudut pandang yang menolaknya), Belenggu menjadi lebih menarik. Karena, siapa yang menjadi orang luar (asing) (Tini?) atau siapa menjadi orang dalam (Yah?) menjadi tidak jelas batas-batasnya. Dalam banyak hal Tono memiliki kenangan dan impian terhadap kemungkinan pilihannya kepada Yah, sesuatu yang dianggap lebih dan atau atas nama tradisi(-onalisme). Akan tetapi, karena Yah (tradisionalisme) juga belum dapat didefinisikan secara cukup jelas, maka tidak heran jika akhir cerita mengambang.

Ciri-ciri wacana yang mengangkat batas-batas itu, sesungguhnya belum bergeser jauh hingga ke novel-novel 1970-an. Cerpen Umar Kayam, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan menawarkan ilustrasi yang penting. Di ketinggian sebuah hotel di kota besar Amerika, yang dibayangkan Marno adalah sebuah tempat di desanya. Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela, mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa (Kayam, 1995: 128. Cet. I, 1972). Walaupun Marno sudah cukup lama di AS dan menimba ilmu di sana, Marno tidak akan pernah menjadi orang Amerika (lahir batin) karena sejarah sosial-psikologisnya dibesarkan di desa (Jawa). Jane dan Marno berselisih paham tentang sesuatu yang dilihat secara berbeda karena latar belakang kultural dan psikologis mereka berbeda. Akan tetapi, apakah Marno masih bisa disebut Jawa, atau bahkan mewakili prototipe orang Indonesia?

Dengan semangat yang berbeda, NH. Dini dalam Pada Sebuah Kapal (1973), menggambarkan tokoh-tokohnya sebagai orang yang selalu merindukan tanah air, membanggakan dirinya sebagai orang Indonesia (Jawa), walaupun dalam praktik kesehariannya, Sri, tokoh novel itu, tidak dapat sepenuhnya disebut sebagai orang Indonesia Jawa. Hal tersebut tampak dari cara Sri melihat bangsa dan budaya (Jawa), dan bagaimana ia hidup seperti orang Eropa (Prancis).

Wacana yang diusung oleh novel-novel di atas adalah pengakuan terhadap keberpihakan sebagai proses konsolidatif bahwa batas-batas terhadap rumah, tentang mana orang luar dan orang dalam, dan sebagai akibatnya, tertanggalnya identitas lama, tetapi belum terpasangnya identitas baru, cukup jelas. Rumah yang dibayangkan itu bukan semata-mata dalam pengertian kongkret, tetapi karena situasi dan kondisi, seperti peranan teknologi dan kapital masih cukup rendah, maka seseorang memiliki keleluasaan dan kepastian untuk memilih sesuatu sebagai acuan identitasnya, dengan kemungkinan tidak berhasil. Wacana yang berkembang adalah kalau tidak menjadi or ang dalam berarti orang dalamnya orang luar, walaupun kenyataannya Hanafi tidak masuk menjadi orang dalam mana pun. Sementara itu, rasionalisme Tuti masih dilihat dengan penuh perlawanan. Paling tidak ada kontradiksi-kontradiksi di dalam dirinya yang belum sepenuhnya dapat didamaikan. Di lain pihak, kegagapan Belenggu terjadi karena konsolidasi atas nama tradisi tidak bisa dipilih begitu saja. Anggaplah pilihan itu tradisi(onalisme) Jawa, tetapi apakah Jawa dapat mewakili sesuatu yang kelak disebut bangsa Indonesia.

Ada baiknya kita meloncat ke novel-novel akhir yang mengharu-biru, yaitu Saman dan Supernova. Era sekarang adalah suatu era ketika peranan arus kapital dan teknologi demikian berperan dan sangat signifikan. Dunia menjadi demikian menyusut sehingga batas-batas geografis, batas-batas etnis dan nasionalitas, bahkan batas-batas publik dan privat menjadi demikian kabur. Berikut dikutipkan salah satu paragrafnya.

Di taman ini, saya adalah seekor burung. Terbang beribu-ribu mil dari sebuah negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon, yang tak pernah kita tahu namanya, atau umurnya (Jambu Air, draft: 1).

Seorang gelandangan yang berbaring di bangku menggeliat dalam selimut yang berdebu. Kita tidak tahu siapa dia, apa warna kulitnya. Tapi kita tahu, dia menikmati tidur. Saya sedang berbahagia, begitu saya akan menjawab jika dia bangun dan bertanya apa saja. ...

Saya sedang menunggu Sihar di tempat ini. Di tempat yang tak seorang pun tahu, kecuali gembel itu. ... ( Jambu Air, draft: 2)

Dalam novel itu, memang ada upaya ingin mempertahankan rumah, agar kembali menjadi lebih kongkret, sebagai "respons" terhadap perdebatan polemik kebudayaan seperti berujung pada Belenggu. Kenyataannya, rumah yang dulu pernah dibayangkan dan dimiliki tergusur oleh kekuatan modal dan teknologi. Pada gilirannya, ada kesan dalam novel Saman, Jambu Air (Utami), tidak lagi mempedulikan di mana dan apa itu rumah. Ia bisa di mana saja, tanpa mengenal batas-batas geografis dan fisik, bahkan tanpa identitas. Hal itu mendapatkan wadahnya secara lebih memadai dalam Supernova dengan tokoh yang sama sekali tidak dikena l "pribadinya" kecuali nama dan alamat e-mail.

Tidak ada meja yang mampu mengikatku. Dunia virtual adalah kantorku. Semua yang dirumah ini akan kujual habis kecuali laptop. Dialah satu-satunya instrumen jaring laba-labaku," ujar Diva ringan. "Sekolah ini tidak akan mengenal hirarki guru-murid. Pada akhirnya kita saling membagi pengetahuan dari pengalaman hidup masing-masing. Dan biarkanlah jaringan kita berevolusi ke bentuk apapun itu nanti..." (Dee, 2001: 153)

Sejenak mereka menikmati hawa euforia, sampai tiba-tiba sesuatu menggelitik pikiran Dimas.
"Ruben... mungkinkah Supernova ternyata salah satu dari tokohkita?"
"Mungkin. Kenapa tidak?"
"Andai kita berdua juga bagian dari cerita yang kita buat sendiri. Kira-kira apa peran kita?" (Dee, 2001: 162).

Kapitalisasi dan teknologisasi (globalisasi) yang cepat merembes dan melakukan intervensi ke rumah-rumah, meluluhkan batas-batas. Orang dengan terpaksa atau tidak, dikondisikan untuk tidak memiliki batas-batas rumah secara definitif. Tempat-tempat diproduksi dengan demikian cepat, menjadi apakah itu tempat umum, atau tempat-tempat yang "disucikan". Dengan demikian, pengertian rumah pun ada atau tidak ada menjadi serba bergantung, menjadi demikian hierarkis, tergantung kepentingan modal/kapital yang didukung perangkat teknologisnya. Karena tidak ada lagi tempat yang bisa menjadi rumah, orang-orang hidup dengan tidak mengenal batas-batas dalam pengertian pertamanya (dalam pengertian novel BP). Oleh sebab batasan itu tidak jelas, padahal penting untuk identifikasi, seseorang menjadi orang tak dikenal secara personal (strangers ).

Untunglah, berdasarkan kesadaran-nya manusia adalah sesuatu yang menuntut dirinya beridentitas. Dalam kerabunan batas-batas itu, kembali ia membuat sekat-sekat imajiner, agar ia tetap merasa memiliki rumah. Sangat mungkin sekat-sekat yang dibangun itu berdasarkan sekat-sekat kebangsaan, bahasa, ras, agama, suku, atau bahkan komunitas-komunitas/institusi-institusi tertentu yang lebih kecil. Akan tetapi, dalam situasi kapitasilasi dan teknologisasi yang menyebakan publikasi tempat-tempat, sekat-sekat itu tampaknya tidak cukup memadai. Yang terjadi kemudian adalah orang membangun sekat-sekat pribadi dalam ruang publik, sebagai akibat intervensi publikasi terhadap tempat-tempat. Artinya, yang terjadi adalah proses individuasi di satu pihak, dan proses publikasi (pemassaan) di pihak lain. Proses ini adalah terjadinya proses "penggenahan" yang sangat berlawanan. Di satu pihak seseorang baru merasa memiliki personalitas berdasarkan sekat-sekat imajinernya, di lain pihak seseorang justru semakin merasa tidak memiliki identitas, personalitas, karena menjadi bagian dari massa yang tidak beridentitas, bahkan tidak berkarakter.

Batas antara batas individu dan publik yang tidak jelas itu dibangun berdasarkan proses konsolidasi berlapis dan sangat mungkin beragam. Perbedaan lapis dan ragam tersebut yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam cara seseorang membangun ruang individu karena setiap individu akan membuat sekat-sekat berdasarkan berbagai lapis-lapis konsolidatif yang menjadi bagian dari pengalaman hidupnya dan seberapa jauh seseorang tersebut menempatkan dirinya dalam inside tertentu, atau tidak sama sekali. Demikian pula sebaliknya, akan terjadi perbedaan dalam cara menempatkan tempat-tempat milik publik. Beberapa konflik dengan kekerasan, seperti penjarahan atas nama massa tertentu, merupakan bentuk konflik karena tidak jelasnya batas-batas imajiner tersebut.

Dalam konteks inilah, Saman dan Supernova justru ingin membebaskan kemungkinan terhadap proses-proses pemilihan. Jika novel sebelum 1970-an mewacanakan batas-batas antara inside dan outside, novel generasi Utami dan Dee justru meleburkannya, termasuk pengingkaran terhadap proses konsolidatif.

Identitas, Batas-Batas, dan Nasionalitas
Menggarisbawahi beberapa hal di atas, bagaimana karya sastra merepresentasikan tentang rumah adalah sesuatu yang penting bagi kemungkinan-kemungkinan seseorang merasa mencintai, merindukan, sesuatu yang dia rasa miliknya. Telah terjadi pergeseran konsep (definisi) tentang rumah antara dulu dan sekarang. Juga memperlihatkan bahwa gagasan atau definisi tentang rumah berubah sesuai dengan waktu dan tempat, antara dulu dan sekarang (Lihat Sarup, 1996: 3; atau bandingkan dengan Bhaba, 1997: 445-455).

Yang pasti, pada tahun 1990-an dan setelahnya, gagasan tentang rumah demikian mencair. Seseorang tiba-tiba bisa dimana saja kapan saja. Karena perubahan tempat dan ruang-ruang terjadi demikian cepat, seseorang, terpaksa atau tidak, menjadi tidak memiliki dan berada di luar rumah. Mungkin karena itu pula, secara bawah sadar seseorang justru semakin berupaya keras untuk membangun batas-batas. Karena ruang (rumah) privat dan publik menjadi campur aduk, sekarang bahkan seseorang bisa membuat batas-batas untuk ruang (rumah) privatnya, secara imajineri, di ruang publik, seperti dilakukan tokoh-tokoh Saman dan Supernova. Tampaknya, mungkin, karya sastra tidak dapat diharapkan untuk "mendefinisikan" konsep rumah, dan itu memang bukan tugasnya.

Sementara itu, rumah dalam karya sastra modern awal (1920-an bahkan hingga 1970-an), lebih definitif batas-batasnya. Rumah yang dibayangkan adalah rumah konkret dan relatif statis. Waktu itu, gerakan modal (di Indonesia belum tinggi) dan teknologi masih lumayan sederhana, penduduk juga belum terlalu padat, maka ruang dirasakan masih cukup besar. Seseorang memiliki kesempatan yang luas untuk menentukan secara definitif yang dibayangkannya sebagai rumah. Memang, sudah ada perubahan, tetapi tampaknya desakan perubahan masih belum mampu mengatasi yang telah mapan. Pada periode 1940-an hingga 1950-an, muncul kesadaran baru. Ini mungkin karena proses pendidikan modern semakin memperlih atkan konstruk dan hasilnya. Akan tetapi, karena belum masak betul, bayang an tentang rumah lebih sebagai gagasan psikologis, tidak begitu kongkrit seperti tampak dalam Belenggu. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, gagasan tentang rumah kembali mengkongkret, tetapi tidak lebih sebagai bayangan-bayangan sekilas terhadap masa lalu. Tokoh-tokoh yang melintas batas, selalu mengenang sesuatu yang menjadi pengalaman hidupnya di desanya, yang begitu akrab dan tak terlupakan, tetapi sesungguhnya ia sendiri mungkin seperti orang asing yang seolah berusaha menemukan dan menikmati kembali apa yang ditemukan sebagai orang modern.

Di samping itu, novel-novel sebelum 1970-an cenderung sebagai upaya konsolidatif terhadap kemungkinan-kemungkinan bagaimana agar tetap merasa dan sekaligus berpihak kepada orang dalam. Perasaan memiliki rumah dan beridentitas masih bisa dirasakan. Akan tetapi, di balik itu, tentu saja memperlihatkan bahwa manusia dalam karya sastra itu secara tidak disadarinya merupakan manusia yang tersubjeksi, mungkin oleh konsep nation yang dimobilisasi oleh negara, mungkin karena masih cukup rendahnya intervensi kapital dan teknologi, khususnya bagi orang Indonesia. Ada masa transisi seperti direpresentasikan Marno, tetapi belum terimplikasi secara definitif dalam kesadaran berbangsa. Marno hanya representasi orang Jawa Indonesia, seperti halnya, dalam dimensi yang berbeda, Hanafi atau Samsul Bahri. Di sini diharapkan bahwa sastra adalah proses konsolidasi itu sendiri.

Hal yang menarik dari pengalaman Marno adalah ketika berada di ketinggian Manhattan yang dikenangnya bukanlah kesadaran imajinernya bahwa ia seseorang bangsa Indonesia. Yang dikenangnya, dan ini yang membuat hatinya ada di salah satu wilayah Indonesia, kenangan di desa. Atau seperti kita sering mendapat cerita, yang dikenang seseorang tentang tanah airnya adalah kenangan tentang rasa makanan tertentu, bunyi suara salung atau gamelan, suara uir-uir (gareng pung), dan sebagainya. Apakah ini hanya memperlihatkan kegagalan "negara" dalam memobilisasi konsep nation, seperti disinyalir Gellner bahwa pada dasarnya identitas rumah nasionalisme tidak mempunyai akar yang cukup kuat dalam psiko manusia. Ia harus diciptakan dan ditumbuhkan (Gellner, 1983: 34).

Sejauh ini, memang jarang ditemukan bahwa tokoh-tokoh dalam karya sastra Indonesia demikian bangga dengan kebangsaindonesiaannya. Hanafi memang pernah marah kepada Corrie karena Corrie menghina bangsa Hanafi. Alasan Hanafi marah kepada Corrie bukan atas nama bangsa Indonesia, tetapi di dalam bangsa yang dihina Corrie itu ada ibunya, orang yang dicintai dan dihormati Hanafi. Kebangsaan yang imajiner tersebut tertolong oleh batas-batas tertentu seperti kekerabatan, dan juga kesukuan, sesuatu proses konsolidasi yang bisa jadi lebih "berakar" dibanding atas nama agama, bahkan atas nama bangsa. Sadeli dalam Maut dan Cinta (1977) karya Mochtar Lubis, memiliki sikap nasionalis, cinta tanah air, dan revolusionis, tetapi semua semangatnya itu justru untuk bangsa Indonesia yang lain, bangsa Indonesia yang tidak korup, yang pemimpinnya dapat dibanggakan. Karya-karya Toer punya konsep tersendiri tentang nasionalisme, dan dengan itu ia melawan nasionalisme Indonesia.

Menilik kemungkinan representasi rumah dan manusia Indonesia dalam Saman dan Supernova, apa yang dapat dikatakan dalam fenomena tersebut. Sesuai dengan kerangka analisis, kapitalisme dan teknologinya, telah mensubordinasi batas-batas dan definisi nasionalitas sehingga nasionalisme tidak lagi mampu berposisi sebagai suatu tempat (rumah) yang melindungi dan memelihara identitas, kecuali yang tersisa seperti bahasa, dan batas-batas tertentu (etnisitas, agama) yang justru ingin ditolak, paling tidak oleh Saman dan Supernova karena agama, etnisitas, dan ras, juga berbahaya bagi nation imajineri Indonesia. Agama dan etnisitas bisa menjadi nation dalam nation imajinernya, atas nama agama dan atau etnisitas. Akan selalu terjadi gerak wacana yang berlawanan dalam memperebutkan dominasi imajinasi-imajinasi dalam lapis-lapis identitas, selain identitas personal, terutama dalam pertarungan politik.

Wacana dan makna yang diangkat generasi Utami dan Dee adalah upaya pengakuan, dan sekaligus pembebasan terhadap upaya-upaya identifikasi akibat subjeksi, baik oleh negara, maupun oleh institusi-institusi tertentu. Ada kemungkinan bahwa sastra mutakhir kita justru memberi pencerahan tertentu agar tidak mudah tersubordinasi/tersubjeksi oleh gagasan-gagasan yang dimobilisasi negara, wacana dan kisah cinta tanah air, wacana satu nusa satu bangsa, bahkan wacana-wacana yang dius ung oleh agama, suku, dan ras, karena yang mereka kapling bukan pada batas-batas nation (imajinari), tetapi lebih pada batas-batas personal secara imajinari pula, batas-batas dalam nation, batas-batas dalam ruang publik. Bukan saja karena orang menjadi asing di tanah/rumahnya sendiri (foreigners), pada tingkat lanjut seseorang menjadi tidak dikenal (strangers) bukan saja di rumahnya, tetapi dalam tempat yang lebih luas dari itu.

Sastra Saman dan Supernova menolak proses-proses konsolidasi, tentu dengan "membangun konsolidasi tandingan" dengan cara-cara "subversif". Apakah dari kesadaran itu kita justru mencoba kembali merumuskan identitas, mulai dari rumah hingga kebangsaan dengan kriteria yang lebih definitif yang mampu mengakomodasi lapis-lapis identitas? Tugas sastrawan adalah membuat novel yang bagus. Kadang-kadang kita perlu percaya bahwa tokoh-tokoh dalam karya sastra (Indonesia) tentu tidak sepenuhnya sebagai representasi masyarakat Indonesia.

Catatan Akhir
Sekedar catatan akhir, ada kemungkinan sastra kita sekarang tidak memberi perhatian pada batas imajiner kebangsaan sebagai hal penting. Sastra kita sekarang justru berpihak kepada kemanusiaan, dia tidak berpihak pada bangsa Indonesia, tetapi, jika mungkin, pada bangsa manusia. Bangsa Indonesia boleh bubar, etnisitas boleh gulung tikar, agama boleh tidak berlaku lagi, bahasa boleh silih berganti, ras boleh campur aduk, perkauman boleh disingkirkan, tetapi tidak manusia. Sastra mutakhir kita mencoba membangun dunia ini menjadi rumah manusia masing-masing dalam dunia, dan membangun dunia dalam rumah.

Daftar Pustaka
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1962. Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka.
Belsey, Chaterine. 1980. Critical Practice. London and New York: Methuen
Bhaba, Homi K. 1994. Nation and Narration. London and New York: Routledge.
Bhaba, Homi K. 1997. "The World and the Home". Dalam Anne McClintock, Aamir Mufti, dan Ella Shohat (eds.). Dangerous Liaisons, Gender, Nation, and Postcolonial Perspectives. Minneapolis. London: University of Minnesota Press.
Brennan, Timothy. 1994. "The National Longing for Form". Dalam Homi K. Bhabha. Nation and Narration. London and New York: Routledge.
Dee. 2001. Supernova. Bandung: Truedee Books.
Dini, NH. 1973. Pada Sebuah Kapal. Jakarta: Pustaka Jaya.
Fairclough, Norman. 1992. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press.
Farid, Hilmar. 1994. "Menemukan Bangsa, Mencipta Bahasa: Bahasa, Politik, dan Nasionalisme Indonesia". Dalam Kalam, Edisi 3, Jakarta.
Faruk. 1994. "Ke Dataran Kesempurnaanmu". “Nasionalisme dalam Sastra Pujangga Baru". Dalam Kalam. Edisi 3, Jakarta.
Foulcher, Keith. 1991. Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942. Jakarta: Girimukti Pusaka.
Gellner, Ernest, 1983. Nations and Nationalism. Itacha: Cornell University Press.
Kayam, Umar. 1995. Sri Sumarah. Jakarta: Pustaka Jaya.
Lubis, Mochtar. 1977. Maut dan Cinta. Jakarta: Pustaka Jaya.
Moeis, Abdul. 1999. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka.
Pane, Armijn. 1981. Belenggu. Jakarta: Dian Rakyat.
Rusli, Marah. 1999. Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai. Jakarta: Balai Pustaka.
Sahal, Ahmad. 1994. "Terjerat dalam Rumah Kaca: Masih Meyakinkankah Nasionalisme" . Dalam Kalam. Edisi 3, Jakarta.
Sarup, Madan. 1996. Identity, Culture, and The Postmodern World. Athens: The University of Georgia Press.
Siregar, Merari. 1999. Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka.
Storey, John. 1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture. London: Harvester Wheatsheaf.
Utami, Ayu. (tt). Jambu Air.
_______. Saman. (Draft).

Aprinus Salam Drs. M.Hum., Magister Humaniora, Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hasil penelitian dengan Dana Masyarakat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2002.

Sumber : Humaniora Volume XV, No. 1/2003