Jejak Langkah Sastra Indonesia

Oleh : Maman S. Mahayana

Sastra adalah roh kebudayaan. Ia lahir dari proses yang rumit kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah kedudukan kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
***
Kesusastraan Indonesia atau kesusastraan bangsa mana pun juga di dunia ini pada dasarnya merupakan potret sosial budaya masyarakatnya. Ia berkaitan dengan perjalanan sejarah bangsa itu. Ia merupakan refleksi kegelisahan kultural dan sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa yang bersangkutan. Periksa saja perjalanan kesusastraan Indonesia sejak kelahirannya sampai kini.

Pada zaman Balai Pustaka (1920—1933), misalnya, kita melihat, karya-karya sastra yang muncul pada saat itu masih menunjukkan keterikatakannya pada problem kultural ketika bangsa Indonesia berhadapan dengan kebudayaan Barat. Tarik-menarik antara tradisi dan pengaruh Barat dimanifestasikan dalam bentuk tokoh-tokoh rekaan yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda (modern). Tarik-menarik itu juga tampak dari tema-tema yang diangkat dalam karya sastra pada masa itu. Problem adat yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan kedudukan perempuan hampir mendominasi novel Indonesia pada zaman itu.

Dalam puisi, problem kultural itu tercermin dari masih kuatnya keterikatan pada bentuk kesusastraan tradisional, seperti pantun atau syair. Meskipun Muhammad Yamin memperkenalkan bentuk soneta (Barat) dalam puisinya, ia sebenarnya masih menggunakan pola pantun dalam persamaan persajakan (bunyi) setiap lariknya. Sementara itu, dilihat dari tema-tema yang diangkatnya, tampak ada usaha merumuskan sebuah konsep kebangsaan, meskipun yang dikatakan Muhammad Yamin masih dalam lingkup Pulau Sumatera.

Dalam bidang drama, Rustam Effendi dalam Bebasari (1926) secara simbolik menawarkan perlawanan kepada bangsa asing (Belanda). Penculikan Sita (Ibu Pertiwi) oleh Rahwana (kolonial) pada akhirnya harus dimenangkan oleh perjuangan gigih seorang Rama (pemuda Indonesia). Jadi, secara simbolik, drama ini sudah mempersoalkan konsep kebangsaan dan pentingnya perjuangan melawan penjajah.

Sementara itu, di pihak yang lain, secara ideologis, karya sastra, terutama novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka memperlihatkan betapa novel-novel yang diterbitkan lembaga itu sejalan dengan ideologi pemerintah kolonial Belanda. Balai Pustaka sebagai lembaga penerbitan yang dikelola pemerintah kolonial Belanda, tentu saja mempunyai kepentingan ideologis. Oleh karena itu sangat wajar jika novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka mengusung kepentingan ideologi kolonial.
***
Pada zaman Pujangga Baru (1933—1942), tarik-menarik antara Barat dan Timur tampak tidak hanya pada perdebatan Polemik Kebudayaan, tetapi juga dalam usaha mereka menerjemahkan gagasan itu dalam karya-karyanya. Maka kita dapat melihat puisi-puisi Amir Hamzah cenderung mengungkapkan nafas sufisme dan kosa kata Melayu kuno (Timur). Ia juga banyak menerjemahkan khazanah kesusastraan Timur, khasnya India. Baghawad Gita dan beberapa terjemahan puisi Tiongkok adalah satu contoh usahanya memperkenalkan khazanah kesusastraan Timur itu. Berbeda dengan Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana berteriak lantang menganjurkan agar bangsa Indonesia meniru dan berorientasi ke Barat. Hanya dengan itu, menurutnya, bangsa Indonesia akan mencapai kemajuan. Salah satu novel Sutan Takdir Alisjahbana yang tampak mengusung gagasannya mengenai semangat Barat adalah Layar Terkembang.

Pada masa itu, puisi Indonesia sudah mulai jauh meninggalkan gaya pengucapan pantun atau syair. Masuknya pengaruh romantisisme Barat –melalui Angkatan `80 (De Tachtiger Beweging) Belanda— diterima dengan segala penyesuaiannya. Puisi tidak hanya menjadi alat mengangkat dunia ideal, tetapi juga menjadi sarana penyadaran akan kebesaran masa lalu. Romantisisme Pujangga Baru lahir bukan karena kegelisahan atas merosotnya nilai-nilai rohani, spiritualitas, dan terjadinya eksplorasi kekayaan alam, melainkan sekadar mencari bentuk pengucapan baru dalam puisi Indonesia.
***
Perubahan drastis dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik di Indonesia, terjadi selepas bala tentara Jepang masuk menggantikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Dalam masa pemerintahan pendudukan Jepang (Maret 1942—Agustus 1945), segala potensi diarahkan untuk kepentingan perang. Maka, kesusastraan pun dijadikan alat propaganda pemerintah pendudukan Jepang untuk mengobarkan semangat Asia Timur Raya.

Kehidupan kesusastraan Indonesia pada masa itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik, ekonomi. Ambruknya kehidupan ekonomi pada masa itu yang menempatkannya berada pada titik terendah, ikut pula mempengaruhi kerja kreatif para sastrawan. Maka membuat karya yang lebih cepat mendapatkan uang menjadi pilihan yang lebih rasional. Itulah sebabnya, ragam puisi dan cerpen pada zaman Jepang itu jauh lebih banyak dibandingkan novel. Demikian juga penulisan naskah drama menempati posisi yang sangat baik mengingat propaganda melalui pementasan sandiwara (drama) dianggap lebih efektif. Itulah sebabnya, pemerintah pendudukan Jepang menyediakan banyak panggung atau gedung pementasan sebagai sarana penyebarluasan propaganda melalui pementasan-pementasan drama.
***
Selepas Proklamasi, 17 Agustus 1945, kesadaran akan semangat kebangsaan dan pentingnya menyongsong dunia baru, menjadi semacam trend yang kemudian diwujudkan ke dalam karya-karya sastra yang terbit pada masa itu. Chairil Anwar muncul dengan puisi-puisinya yang penuh vitalitas, bersemangat, dan menggelora. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, Chairil Anwar menerbitkan Tiga Menguak Takdir (1949) yang menunjukkan penolakan terhadap semangat Pujangga Baru. Menguak Takdir dapat dimaknai sebagai pisau bermata dua: (1) mengusung semangat perjuangan, bahwa nasib bangsa sangat bergantung pada usaha untuk tidak menyerah pada keadaan, pada nasib, pada takdir. (2) menolak segala gagasan yang dianjurkan Sutan Takdir Alisjahbana, yaitu (i) kebudayaan bangsa harus ditentukan bukan oleh Timur—Barat, melainkan oleh diri sendiri. “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri,” (ii) bentuk pengucapan dalam puisi tidak perlu lagi dengan bahasa yang mendayu-dayu dan berbunga-bunga, tetapi dengan bahasa sehari-hari yang lugas dan langsung. Chairil Anwar yang menjadi tokoh kunci Angkatan 45 seperti meninggalkan jejak yang begitu kuat dalam peta puisi Indonesia. Pengaruhnya terus bergulir sampai periode berikutnya.

Dalam bidang prosa –novel dan cerpen—pengalaman pahit zaman Jepang dan trauma kegetiran perang kemerdekaan (1945—1949) telah menjadi sumber ilham bagi prosais Indonesia. Maka, Idrus mengangkat kegetiran pada zaman Jepang, Pramoedya Ananta Toer mengeksplorasi pengalamannya semasa menjadi gerilyawan dan berjuang melawan tentara Belanda. Demikian juga Mochtar Lubis, Balfas, Toha Mohtar, Subagio Sastrowardojo, Nugroho Notosusasto, dan beberapa novelis Indonesia lainnya yang dibesarkan dalam gejolak revolusi, mengangkat pengalaman perang sebagai tragedi kemanusiaan yang amat getir, dan di pihak lain digunakan juga sebagai alat untuk menumbuhkan semangat kebangsaan.

Memasuki dasawarsa tahun 1950-an kesusastraan Indonesia berada dalam situasi yang amat semarak. Selain tentang kisah peperangan, juga muncul semangat kedaerahan dan nafas filsafat eksistensialisme. Sitor Situmorang, Nasjah Djamin, dan teristimewa Iwan Simatupang adalah beberapa nama yang sangat bersemangat memasukkan filsafat eksistensialisme ke dalam karya-karyanya. Iwan Simatupang kemudian menjadi sastrawan penting ketika novel-novelnya diterbitkan selepas peristiwa tragedi 30 September 1965.

Masa suram kesusastraan Indonesia dan umumnya kehidupan kebudayaan Indonesia terjadi pada paroh pertama dasawarsa tahun 1960-an (1961—1965). Ketika itu, slogan “Politik adalah Panglima” telah menempatkan kehidupan politik di atas segala-galanya. Kesusastraan dan kebudayaan kemudian digunakan sebagai alat perjuangan politik. Pro dan kontra pun terjadi. Terbelahlah sastrawan Indonesia ke dalam beberapa kubu yang mengerucut menjadi dua kubu besar, yaitu golongan sastrawan yang mengusung semangat humanisme universal dan golongan sastrawan yang mengusung sastra dan kebudayaan sebagai alat perjuangan politik dengan penekanan pada sastra yang berpihak pada rakyat. Kelompok pertama mendeklarasikan sikapnya melalui apa yang disebut “Manifes Kebudayaan” dan kelompok kedua tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berporos pada Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kehidupan kesusastraan dan kebudayaan dalam masa lima tahun itu benar-benar memasuki situasi yang buruk. Perbedaan pendapat dan ideologi menjadi pertentangan fisik dan serangkaian teror. Pelarangan Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno menandai tersingkirnya kelompok Manifes dalam berbagai aspek kehidupan kebudayaan, meskipun mereka terus bergerak melakukan perlawanan.

Pecahnya peristiwa 30 September 1965 yang memicu gelombang demonstrasi pelajar dan mahasiswa sekaligus menghancurkan dominasi PKI dalam kehidupan politik nasional. Lekra sebagai underbouw PKI tentu saja ikut menjadi korban. Kelompok sastrawan pendukung Manifes Kebudayaan seperti keluar dari lubang kematian. Mereka kemudian mengusung karya-karya protes. Taufiq Ismail sebagai tokoh kunci gerakan ini menyuarakan semangat perlawanannya melalui puisi. Penyair lain, seperti Bur Rasuanto, Slamet Sukirnanto, Wahid Situmeang, adalah beberapa sastrawan yang ikut menyuarakan semangat perlawanan itu. H.B. Jassin kemudian menyebut gerakan para sastrawan itu sebagai Angkatan 66.

Gelombang demonstrasi pelajar dan mahasiswa itu berhasil mencapai perjuangannya dengan pembubaran PKI dan kemudian berdampak pada kejatuhan Presiden Soekarno. Praktis PKI beserta para pendukungnya, berada dalam posisi sebagai pecundang. Kalah dalam perjuangan politiknya. Dan Pemerintah yang menyebut dirinya sebagai Orde Baru melakukan pembersihan. Sastrawan yang tergabung dalam Lekra dengan sendirinya menjadi pihak yang kalah. Mereka ditangkap, dipenjara, dan tokoh-tokoh pentingnya dibuang ke Pulau Buru.
***
Babak baru muncul dalam perjalanan kesusastraan Indonesia. Trauma terhadap campur tangan politik dalam kebudayaan, khususnya kesusastraan, telah memberi kesadaran, bahwa kesusastraan, kesenian, dan secara keseluruhan, kebudayaan, tidak boleh dimasuki kepentingan politik. Kehidupan kebudayaan harus dipisahkan dari kehidupan politik. Tak ada tempat lagi bagi politik untuk masuk dan mengganggu kehidupan kesusastraan. Anggapan bahwa muatan politik hanya akan mengganggu estetika berkesenian menjadi semacam label penting dalam kehidupan kesenian dan lebih khusus lagi, kesusastraan Indonesia. Lalu, bagaimana pengaruhnya terhadap kesusastraan Indonesia ketika politik dianggap tidak berhak lagi memasuki wilayah kesenian dan kesusastraan.

Selepas tahun 1965 dan terutama memasuki pertengahan dasawarsa 1970-an, sastrawan Indonesia seolah-olah memperoleh saluran kebebasan yang lebih luas. Di pihak lain, mereka menolak campur tangan politik. Maka, usaha mengeksploitasi estetika yang berada jauh di luar politik adalah penggalian pada tradisi, pada sumber kekayaan khazanah kesusastraan sendiri. Di sinilah, kisah-kisah dunia jungkir-balik dalam dongeng-dongeng rakyat menjadi salah satu sumber kreativitas mereka. Selain itu, unsur-unsur mistik Islam—Jawa, sufisme, dan khazanah puisi rakyat, disadari sebagai kekayaan tradisi yang dapat dikemas atau diselusupkan ke dalam bentuk puisi yang lebih modern. Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, berhasil memanfaatkan mantera untuk kepentingan estetika puisinya yang mengandalkan kemerduan bunyi. Melalui kredonya yang menolak makna dalam kata, Sutardji menjadi salah satu tokoh kunci penyair Indonesia dasawarsa itu. Arifin C. Noer –dalam drama—berhasil pula memanfaatkan dongeng-dongeng dan teater rakyat, seperti ketoprak dan tanjidor, menjadi unsur penting dalam dramanya. Sementara itu, Kuntowijoyo yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi kejawen, tetapi menyerap juga pengaruh tasawuf dan filsafat Barat (eksistensialisme), berhasil melahirkan sebuah novel, Khotbah di Atas Bukit, yang memperlihatkan percampuran pengaruh-pengaruh itu.

Dasawarsa 1970-an –yang kemudian disebut sebagai Angkatan 70-an— adalah masa berlahirannya karya-karya eksperimentasi. Iwan Simatupang lewat empat novelnya, Merahnya Merah, Ziarah, Kering, dan Kooong, tampil sebagai salah seorang maestro novel kontemporer Indonesia. Sejumlah nama lain, tentu saja masih panjang berderet. Tetapi secara umum, mereka mempunyai semangat yang sama, yaitu “kembali ke akar, kembali ke sumber.”

Memasuki dasawarsa 1980-an sampai pertengahan 1990-an, kesusastraan Indonesia seperti bergulir tanpa gejolak menghebohkan, tanpa hiruk-pikuk. Sejumlah karya memang masih tetap lahir dengan daya kejut yang cukup kuat. Ahmad Tohari lewat trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, menyadarkan kita akan dunia wong cilik dan orang-orang yang terpinggirkan. Umar Kayam dalam Para Priyayi mengukuhkan kekayaan kultur Jawa. Kejutan lain muncul ketika Pramoedya Ananta Toer memperkenalkan tetraloginya, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Keempat novel yang dikatakannya sebagai novel Pulau Buru itu konon ditulis Pram saat ia berada dalam tahanan di Pulau Buru.

Kejutan lain yang juga penting terjadi menjelang berakhir abad ke-20. Ayu Utami melalui novelnya, Saman (1998) mengejutkan banyak pihak terutama keberaniannya dalam mengungkapkan persoalan seks. Selepas itu, bermunculan sastrawan wanita yang dalam beberapa hal justru lebih berani dibandingkan Ayu Utami. Sebutlah misalnya, Dinar Rahayu (Ode untuk Leopold, 2002), Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet! 2003, dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) 2004), Maya Wulan (Swastika, 2004).

Jauh sebelum Ayu Utami, sejumlah sastrawan wanita sesungguhnya telah menunjukkan prestasi yang cukup penting, seperti Nh Dini, Titis Basino, Marianne Katoppo, Leila Chudori, Ratna Indraswari, Abidah El-Khalieqy, Helvy Tiana Rosa, atau Dorothea Rosa Herliani. Meskipun begitu, kemunculannya makin semarak justru selepas Ayu Utami itu. Boleh jadi, kondisi itu dimungkinkan oleh runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang ketika itu banyak melakukan represi. Maka, begitu ada saluran pembebasan, berlahiranlah pengarang-pengarang wanita dengan keberanian dan kekuatannya masing-masing. Tercatat, beberapa di antaranya, Fira Basuki, Anggie D. Widowati, Naning Pranoto, Ana Maryam, Weka Gunawan, Agnes Jesicca, Ani Sekarningsih, Ratih Kumala, Asma Nadia, Nukila Amal dan Dewi Sartika.

Yang menarik dari sejumlah karya yang ditulis para pengarang wanita ini adalah usahanya untuk tidak lagi terikat oleh problem domestik. Karya-karya mereka tidak lagi berbicara tentang problem rumah tangga –suami-istri, melainkan problem seorang perempuan dalam berhubungan dengan masyarakat kosmopolitan. Maka, di sana, tokoh-tokoh wanita yang menjadi pelaku utamanya, seenaknya bergentayangan ke mancanegara atau berhubungan dengan masyarakat dunia.
***
Demikianlah, jejak langkah sastra Indonesia ini lebih merupakan tinjauan selayang pandang tentang perjalanan kesusastraan Indonesia. Terjadinya perubahan sosial-politik-ekonomi-budaya, secara langsung ikut mempengaruhi gaya pengucapan dan tema-tema yang diangkatnya. Dengan begitu, perjalanan sastra Indonesia sesungguhnya merepresentasikan perkembangan pemikiran atas terjadinya perubahan sosial yang terjadi di negeri ini. Dalam hal itulah, sastra laksana potret sosial dan di sana tercermin pula semangat zamannya.
***
Apa yang terjadi dalam sastra Indonesia, sangat mungkin terjadi pula dalam perjalanan sastra Korea. Lihat saja, karya-karya para pengarang Korea yang menyebut diri sebagai “Aliran Sastra Pascaperang” seperti Kim Tongni, Kwon Taeung, Han Musuk, Yu Chuhyon, Sonu Hwi, dan beberapa nama lain. Kisah-kisah tentang perang sebagai tragedi kemanusiaan, mengingatkan kita pada karya-karya sastrawan Indonesia tahun 1950-an yang juga mengangkat tema-tema kegelapan akibat perang. Pertemuan ayah—anak (Sokkyu—Pong Ho) dalam karya Kim Tongni, sungguh seperti kerinduan Tamin pada keluarganya dalam novel Pulang karya Toha Mohtar. Demikian juga karya Kwon Taeung tentang kisah Si Bongkok dari Seoul yang coba memanfaatkan suasana kacau akibat perang dengan “menipu” perempuan Ahyondong, sangat mungkin banyak terjadi di Indonesia ketika hidup dan mati berada dalam garis yang tipis. Sebagian besar karya “Aliran Sastra Pascaperang” yang mengangkat sisi lain tragedi perang menunjukkan adanya banyak persamaan ketika ia berbicara tentang perang yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan.

Secara umum, ada tiga tema besar yang diangkat Aliran Sastra Pascaperang yang masalahnya bersumber pada peristiwa perang dengan segala akibatnya. Pertama, sastrawan yang dibesarkan atau terlibat langsung dalam perang saudara itu melihat bahwa peristiwa itu telah meninggalkan trauma psikologis yang dahsyat. Bagaimana mungkin bangsa Korea bisa terbelah dan tega saling berbunuhan sesama saudara hanya karena di belakangnya ada perbedaan ideologi. Perang menjadi sebuah pengalaman yang begitu mengerikan yang kemudian hanya meninggalkan satu pertanyaan besar yang tidak dapat dipahaminya: Mengapa perang harus terjadi dalam sebuah keluarga bersaudara, sesama bangsa, sesama manusia.

Kedua, bagaimanapun juga, penyebab utama pecahnya perang Korea dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan ideologi. Komunisme telah menunjukkan dirinya sebagai sebuah ideologi yang ekstrem dan radikal. Dan kekejaman komunisme telah menjadi lembaran hitam yang tidak mudah dilupakan. Maka kekejaman Komunis dengan berbagai akibat yang ditimbulkannya menjadi tema yang banyak digarap sastrawan Aliran Sastra Pascaperang.

Ketiga, perang Korea tidak hanya telah membawa korban –harta benda, jiwa-raga— tetapi juga menghancurkan banyak anggota keluarga. Perang telah memisahkan segenap anggota keluarga, menghapus segala harapan ideal di masa depan. Yang muncul kemudian adalah nada pesimis. Maka, perang menjadi simbol kegelapan dan sikap pesimis dalam nenatap masa depan.

Begitulah, perang bagi bangsa Korea menjadi peristiwa besar dan kiamat kecil yang tidak mudah dilupakan begitu saja. Jejak kegetirannya telah meninggalkan trauma psikologis yang terus menghantui bangsa itu dalam masa yang panjang dan entah sampai kapan.

Di luar persoalan perang yang kemudian menjadi tema penting dalam sejumlah karya aliran ini, ada style khas yang tampak mendominasi kecenderungan gaya pengucapannya, yaitu kecenderungan mengakhiri cerita secara terbuka (open ending). Boleh jadi masalahnya berkaitan dengan filsafat hidup bangsa Korea yang menempatkan kehidupan duniawi lebih penting daripada kehidupan akhirat, carpe diem: ambillah kesempatan selagi ada, raihlah prestasi selagi hidup. Sebuah dinamika hidup yang mendorong kerja untuk urusan di dunia menjadi lebih penting daripada kerja untuk urusan akhirat. Maka, kita dapat memahami sebuah peribahasa Korea yang berbunyi: “Lebih suka pupuk di ladang daripada keindahan di negeri hayal.” Maknanya: bahwa kerja dalam kehidupan ini, betapapun sengsaranya, jauh lebih penting dan lebih bermakna daripada surga yang hanya berada dalam angan-angan. Bertindak menjadi lebih penting daripada berhayal. Maka, bekerjalah, apa pun hasilnya.
***
Salah satu hal yang menarik dari sastra Korea ini adalah adanya sejumlah persoalan yang ternyata terasa begitu dekat dengan persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia. Perang Kemerdekaan, dan sebelum itu kekejaman bangsa Jepang, serangkaian pemberontakan, dan puncaknya terjadi pada tragedi 30 September 1965, juga merupakan peristiwa masa lalu bangsa Indonesia yang hakikatnya tidak berbeda dengan Perang Korea. Segala perang, siapa pun yang menjadi musuhnya, tetaplah akan meninggalkan jejak kepedihan ketika kita berbicara tentang kemanusiaan. Dengan demikian, ketika sastra berbicara tentang perang, tentang tragedi kemanusiaan, ketika itu pula nilai-nilai kemanusiaan universal tidak dapat disekat oleh batas geografi, sukubangsa, agama, ras, dan budaya.

Perkembangan sastra Korea dewasa ini, niscaya tidak lagi terpaku pada masalah perang. Pasti ia berbicara tentang banyak hal, meskipun muaranya tetap sama: manusia dan kemanusiaan. Kesusastraan Indonesia, juga berkembang sesuai dengan perjalanan sejarah dan dinamika perubahan masyarakatnya. Dalam banyak hal, sastra Indonesia dan sastra Korea, niscaya mengandung banyak perbedaan. Tetapi, manakala ia berbicara tentang manusia dan kemanusiaan, ia tidak lagi terikat oleh batas geografi, sukubangsa, agama, ras, dan budaya. Keduanya –sastra Indonesia dan sastra Korea—tetap akan menjadi sebuah dunia yang asing, jika kedua bangsa ini tidak berusaha mendekati dan memahaminya. Oleh karena itu, kerja sama kebudayaan, khususnya kesusastraan, dengan berbagai bangsa dapat menciptakan sebuah jembatan yang memungkinkan kedua bangsa itu dapat saling memahami kebudayaan masing-masing. Dalam konteks itu, kehadiran delegasi pengarang. Korea di Indonesia dapat dimaknai sebagai salah satu usaha membangun jembatan yang memungkinkan bangsa Korea dan bangsa Indonesia dapat meningkatkan persahabatan-persaudaaran kedua bangsa. Dari sana, terbuka jalan lempang untuk memahami kebudayaan masing-masing.
Semoga!

Tulisan ini disampaikan pada acara CERAMAH DAN SIMPOSIUM SASTRA KOREA, pada tanggal 21 Juni 2005, di Kampus FIB UI Depok. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Korea.
Maman S. Mahayana, adalah kritikus sastra dan dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.

Sumber : www.fib.ui.ac.id